Ruang Lingkup Penelitian Peran Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap Program Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat dalam Konteks Pembangunan Daerah: Kasus Mitra Proyek UNDP di Wilayah Jawa dan Lampung

3. Isu yang diangkat bersifat khas dan fokus pada isu lokalitas; dan 4. Wilayah kerjanya berada di hutan negara danatau hutan milik. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Karakteristik LSM Istilah LSM di Indonesia sesungguhnya adalah pengganti istilah non- govermental organization NGO atau Ornop. Menurut Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik 2004, istilah ini diperkenalkan pada awal tahun 1980-an, karena istilah NGO dapat menimbulkan kesan dan interpretasi sebagai antipemerintah, sesuatu yang tidak disukai rezim Orde Baru pada waktu itu. Istilah LSM menunjuk pada beberapa bentuk organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah non- goverment dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan non-profit. Menurut Eldridge 2006, terdapat tiga model pendekatan yang dilakukan oleh Ornop Indonesia dalam rangka menjali hubungan dengan pemerintah. Pertama, high-level partnership: grassroots development. Ornop ini menekankan kerjasama dalam program-program pembangunan pemerintah seraya berusaha memperngaruhi rancangan maupun implementasi program-program ini agar bergerak ke arahyang lebih partisipatoris serta menyentuh dan melibatkan akar rumput. Kedua, high level politics: grassroots mobilization. Ornop ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegaitan politik. Ketiga, empowerment at the grassroots . Ornop yang memusatkan perhatian pada usaha peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat, terutama di tingkat akar rumput. Menurut Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik 2004, merujuk pada kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, maka Ornop dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: 1 Ornopyang terlibat dalam kegiatan amal charity, 2 Ornop yang bergerak dalam bidang kegiatan yang berorientasi pada perubahan dan pembangunan serta pengembangan masyarakat, 3 Ornop yang tidak hanya bergerak dalam pelayanan masyarakat, tetapi juga melakukan pembelaan advokasi. Mengutip Salamon dan Anheier, Hadiwinata 2003 mendefinisikan LSM mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1 Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; 2 Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; 3 Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan profit kepada direktur atau pengurusnya; 4 Menjalankan organisasinya sendiri self- governing , yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; 5 Sukarela voluntary, yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; 6 Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan 7 Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu Lebih lanjut menurut Fakih 1996, Ornop dapat digolongkan menjadi tiga tipologi, yaitu: 1 Tipe konformis. Ornop ini bekerja berdasarkan paradigma bantuan karikatif yang berorientasi pada proyek dan bekerja sebagai organisasi yang menyesuaikan diri dengan sistem dan struktur yang ada; 2 Tipe reformis. Ornop ini bekerja didasarkan pada ideologi modernisasi dan developmentalism serta menekankan pada partisipasi rakyat dalam pembangunan; 3 Tipe transformatif. Ornop ini berusaha menemukan paradigma alternatif yang akan mengubah struktur dan suprastruktur yang menindas rakyat serta membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya. Wirasapoetra 2004 menjelaskan bahwa ada beberapa pendorong tumbuhnya LSM di Kalimantan Timur berdasarkan pengamatan selama 20 tahun terakhir ini. Pertama, LSM yang tumbuh atas dasar kepedualian terhadap kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang memperoleh perlakukan tidak adil oleh rezim Orde Baru. Kedua, LSM yang tumbuh atas dasar kepedulian terhadap kondisi masyarakat dan alam, atau sebagai tindak lanjut dari program terdahulu yang menghasilkan ikatan kerjasama antar pesertanya. Ketiga, LSM yang tumbuh atas dasar hasil kolaborasi beberapa LSM untuk menangani masalah secara spesifik. Studi yang dilakukan oleh Rochman 2002 menyimpulkan bahwa strategi advokasi LSM Indonesia umumnya berkisar pada tiga hal, yaitu: 1 memilih pengadilan sebagai arena politik; 2 menargetkan pada perubahan peraturanUU; dan 3 menggali dukungan advokasi internasional. Strategi ini ditempuh agar mendapatkan cara yang lebih aman dan efektif. Bagi LSM, advokasi politik, seperti melalui DPR, dipandang terlalu riskan dan tidak berguna karena DPR