Strategi Penggalangan Dana Kerangka Teoritis 1. Karakteristik LSM

di sis lain. Mereka berpendapat LSM perlu mengatur dirinya sendiri melalui mekanisme pengaturan diri atau self-regulation mechanism. Perkembangan ini kiranya menarik untuk dicermati dan dikaji lebih dalam karena berkaitan dengan perkembangan wacana good governance. Tidak hanya pemerintah dan kelompok bisnis saja yang dituntut untuk menerapkan good government dan good corporate governance, namun keberadaan sebuah komunitas good non-govermental organization sebagai elemen penting dalam tubuh civil society menjadi sangat penting dalam menyangga keberlangsungan proses transisi demokrasi di Indonesia.

2.1.3. Strategi Penggalangan Dana

Saat ini banyak LSM di Indonesia yang pendanaannya masih bergantung pada pihak asing. LSM tersebut sangat sulit melepaskan diri dari bantuan lembaga donor. Ketergantungan LSM pada pihak asing tersebut tidak baik jika berlangsung secara terus-menerus dan permanen. Ketergantungan ini tidak hanya dapat mengubah style LSM, akan tetapi, juga bisa mengubah paradigma dan orientasi, bahkan mungkin juga ideologi perjuangan LSM. Penelitian yang dilakukan oleh Rustam Ibrahim 2000 pada 25 Organisasi Sumberdaya Masyarakat Sipil OSMS menemukan bahwa mayoritas lembaga nirlaba masih mengandalkan sumber bantuan luar negeri yang mencapai 65, dan sumber dalam negeri 35. Secara lebih rinci, sumber dalam negeri ini terutama adalah hasil usaha sendiri 33, sumbangan perusahaan dan dana abadi masing- masing 17, donasi individu menyumbang 14, sisanya dalam jumlah yang kecil bersumber dari pemerintah 5, sumbangan ornop 3, dan sumber lainnya 11. Lembaga nirlaba yang beruntung, akan mendapatkan dana dalam jumlah besar selama bertahun-tahun dari satu atau dua sumber dana, dapat terlena seolah- olah dana akan tersedia terus menerus. Akibatnya, ketika sumber dana utama menghentikan bantuan maka lembaga ini dapat secara tiba-tiba dalam kondisi kritis karena tidak menyiapkan kondisi finansial yang lebih mapan. Sumber dana yang tidak bervariasi dapat menjerumuskan lembaga nirlaba Widjajanti, 2006 Sebagai contoh, betapa kini YLBHI mengalami kesulitan pendanaan yang luar biasa setelah enam tahun bergantung pada pihak asing. Sejak 1994 YLBHI mendapat bantuan dana dari luar negeri, khususnya dari Belanda Novib, Belgia, dan Kanada. Bantuan itu digunakan untuk operasional YLBHI setiap bulan minimal Rp 900 juta untuk overhead dan operasionalisasi program. Setahun YLBHI membutuhkan dana lebih kurang Rp 10 Milyar. Kini setelah YLBHI tidak menerima bantuan terutama dari Novib, YLBHI kemudian mengalami kesulitan untuk membayar gaji para karyawan dan operasionalisasi program. Karena itu, mulai diupayakan penggalangan dana publik. Namun, ternyata tidak mudah menggalang dana publik, sebab publik pun pasti menuntut akuntabilitas dan transparansi pembukuan. Ironinya, LSM yang memposisikan diri untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap lembaga pemerintahan, namun selama ini tidak ada mekanisme kontrol publik atas pembukuan LSM itu sendiri Kompas, 26 April 2007. Menurut Abidin 2004, sebagian besar LSM yang beradvokasi menggalang dana fundraising, khususnya dana lokal, adalah pekerjaan yang sulit. Sebagian kalangan aktivis LSM berpendapat bahwa penggalangan dana lokal mustahil dilakukan karena kapasitas menyumbang masyarakat terbilang kecil. Selain itu, mereka berpandangan bahwa masyarakat cenderung menyumbang program atau kegiatan yang bersifat karikatif atau penyantunan. Ini bisa dilihat dari melimpahnya dukungan pendanaan kepada lembaga yang bergerak dibidang pengentasan kemiskinan, penyantunan anak yatim piatu dan jompo, atau membantu korban bencana. Sementara lembaga sosial yang bergerak di bidang penegakan hukum dan HAM, penyelamatan lingkungan, advokasi kebijakan publik, pemberdayaan perempuan, dan bidang-bidang advokasi lainnya kurang mendapatkan dukungan. Mengingat minimnya dukungan pendanaan dari sumber daya lokal, LSM yang bergerak di bidang advokasi lebih suka menggalang dana dari lembaga donor internasional. Upaya ini dalam jangka pendek memang bisa menyelesaikan persoalan pendanaan yang dihadapi LSM. Namun, dalam jangka panjang pola pendanaan semacam ini juga akan menimbulkan masalah baru. Selain menciptakan ketergantungan, dana asing dinilai mematikan kreatifitas LSM, dan menjauhkan mereka dari konstituennya. Karena mudahnya mendapatkan dukungan dari lembaga donor, LSM lebih suka meminta dukungan kepada lembaga donor ketimbang menggalangya dari masyarakat. Akibatnya, berbagai program dan agenda perubahan yang diusung oleh LSM tidak banyak didukung oleh publik dan dinilai sebagai agenda lembaga donor asing Abidin, 2004. Hal ini sejalan dengan Kuswardono 2004, yang mengatakan bahwa di sisi penerima dana, persoalan pendanaan adalah persoalan yang genting dan cenderung kronis. Dalam keberadaannya yang lebih dari 30 tahun, ornop-ornop di Indonesia, terutama golongan yang biasa disebut dengan LSM, amat bergantung pada dana negara-negara Utara. Menurut Widjajanti 2006, strategi mobilisasi sumber daya sangat beragam. Ketersediaan sumber dana yang beragam memerlukan kreatifitas strategi untuk menggalangnya. Kreatifitas yang terhambat tidak akan menghantar lembaga ke berbagai sumber daya yang dapat diakses. Banyak lembaga nirlaba masih tergantung pada lembaga dana. Sumber lain kerap kali sulit dijangkau, memerlukan lebih banyak kerja keras, dan sering kali memberikan dalam jumlah dan waktu erbatas. Akibatnya lembaga dana masih menjadi sumber utama dari hidupnya lembaga nirlaba. Gagasan untuk menciptakan dana sendiri melalui unit usaha bukan tidak populer di kalangan aktivis LSM, namun isu ini masih menjadi perdebatan. Secara teknis banyak LSM yang tidak terbiasa mengelola usaha yang komersial atau profit oriented. Namun dalam kenyataannya, beberapa organisasi mengelola unit usahanya secara profesional dalam badan usaha yang komersial dan merekrut tenaga-tenaga ahli di bidangnya. Sementara beberapa organisasi lain juga membuat unit usaha, namun pengelolaannya masih dilakukan secara semi profesional dan melibatkan pengurus maupun staf lembaga yang notabene nirlaba Saidi, 2004a. Hasil survei di sebelas kota dan studi kasus di 18 lembaga sosial yang dilakukan oleh PIRAC Saidi, 2004b menemukan bahwa LSM pada umumnya belum mendapatkan dukungan dana dari masyarakat umum. Ini nampaknya berkaitan dengan motif 98 responden menyatakan dilandasi agama, tetapi juga soal kepercayaan trust, dengan angka responden yang menyatakannya mencapai 46. Sebaliknya, alasan masyarakat menolak sumbangan, sekitar 51 berkaitan dengan ketidakpercayaan, terutama kepada penggalang danafund raiser 34, organisasinya 9, maupun kegiatanmisi organisasi yang bersangkutan 8. Menurut Saidi 2004a, program kerja yang disusun dengan baik dan logis akan meringankan persoalan klasik tapi pelik bagi lembaga nirlaba seperti LSM dan yayasan yaitu pendanaan. Pengelola lembaga harus mampu menyusun rencana program yang baik dan logis sehingga dapat dipahami secara baik oleh pelaksana dan donor. Program yang koheren dan logis akan meyakinkan donor untuk mendukungnya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip penyusunan program yang terstruktur dan logis, LSM dan yayasan dapat lebih mudah mengakses lembaga donor. Dengan demikian, LSM dan yayasan dapat mendiversifikasi donor sehingga tidak tergantung pada satu lembaga pemberi dana saja. Selama ini tidak jarang dijumpai kesulitan LSM mengakses donor, karena program yang disusun tidak dapat dipahami dengan baik Saidi, 2004a. Untuk itu, LSM perlu memiliki manajemen finansial yang sehat dan staf yang handal menjalankan program agar dapat menarik kepercayaan dari para pendukungnya. Kepercayaan itu harus dibuktikan dengan keberhasilan program dan laporan finansial yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya program yang menunjukkan kemajuan dan perubahan pada kelompok sasaran, serta laporan finansial yang memenuhi standar akuntabilitas dan transparansi akan memiliki kesempatan untuk terus menambah dukungannya. Tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi maka reputasi lembaga akan dipertanyakan sehingga kemungkinan mengakses sumber dana dan sumber daya lainnya akan sulit. 2.1.4. Perkembangan Lembaga Donor di Indonesia 2.1.4.1. Gambaran Umum Lembaga Donor di Indonesia