BAB IV GAMBARAN UMUM LSM
4.1. Sejarah Berdirinya LSM
Sejarah berdirinya 9 LSM yang menjadi fokus penelitian ini menunjukkan beragam dengan rentang waktu antara tahun 1978 sampai tahun 2003. Berdirinya
LSM-LSM ini dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu: tahun awal berdiri sebelum dan setelah mendapatkan legal formal dari pemerintah. Dilihat dari awal tahun
berdiri, sebanyak 44 4 LSM yang ketika berdiri tidak langsung membuat landasan hukum atau legal formalnya Tabel 3. Bentuk awal lembaga hanya
berbentuk kelompok kerja atau kelompok diskusi. Diskusinya berkembang sehingga seluruh anggota bersepakat untuk membentuk lembaga yang lebih
bersifat formal dalam bentuk badan hukum. Tabel 3. Bentuk Lembaga dan Tahun Berdiri LSM
Tahun berdiri No
Nama LSM Wilayah
Bentuk Lembaga
Berdiri LegalFormal
1 LPPSP Jawa
Tengah Yayasan
1992 1992
2 Lembah Jawa
Timur Perkumpulan
2003 2003
3 Mitra Bentala
Lampung Yayasan
1995 1995
4 Persepsi Jawa
Tengah Perhimpunan
1993 1993
5 Paramitra Jawa
Timur Lembaga
1992 2002 6 SHK
Lestari Lampung
KSM 1999 2002
7 YBL Masta
Jawa Tengah Yayasan
1997 2001 8 RMI
Jawa Barat
Yayasan 1992
1992 9 Watala
Lampung Perkumpulan
1978 2003 Sumber:
Hasil pengolahan data
Namun sebagian besar LSM yaitu sebanyak 5 LSM atau 56 telah mendaftarkan diri untuk membentuk badan hukum dalam bentuk Yayasan atau
Perkumpulan ketika berdiri. LSM yang paling lama membentuk badan hukum adalah RMI dan LPPSP pada tahun 1992 dan yang paling muda adalah Lembah
yang lahir pada tahun 2003.
Bila dilihat dari rentang waktu antara tahun berdiri dengan terbentuknya badan hukum formal, Watala di Lampung mempunyai rentang waktu paling lama,
yaitu selama 24 tahun. Berdasarkan wawancara dengan pengurus Watala, kondisi ini dipengaruhi oleh tuntutan untuk membentuk badan hukum formal berbentuk
Perkumpulan baru pada tahun 2003. Hal ini berarti bahwa Watala memandang perlu untuk melibatkan konstituennya yang selama ini mendukung Watala untuk
terlibat langsung dalam pengambilan keputusan lembaga. Wadah yang dipandang paling tepat adalah berbentuk Perkumpulan. LSM yang paling muda baik sejak
berdiri maupun secara legal formal adalah Lembah. Berdirinya LSM-LSM ini sebagian besar dipengaruhi oleh kondisi wilayah
kerja pada saat itu dengan adanya ketimpangan-ketimpangan dan kerusakan- kerusakan yang terjadi, baik di tingkat masyarakat maupun pada kondisi
hutannya. Mitra Bentala di Lampung, misalnya, didirikan atas dasar adanya kebutuhan untuk membantu memfasilitasi masyarakat di Pulau Pahawang yang
telah mengalami degradasi hutan mangrove yang sudah sangat mengkhawatirkan. Begitu juga dengan Paramitra di Jawa Timur, dan LPPSP di Semarang.
Seluruh LSM mengangkat isu kerusakan sumberdaya alam, khususnya sumberdaya hutan. Isu ini merupakan isu yang seksi dan dapat menarik perhatian
publik. Isu kerusakan sumberdaya alam ini tidak lepas dari isu internasional yang telah dimulai sejak Konferensi Stockholm pada tahun 1972 LEI, 1998. Sejak
itu, gerakan hijau di tingkat internasional telah dimulai dengan fokus pada lingkungan hidup. Pada tahun 1980, terjadi kesepakatan mengenai Strategi
Konservasi Bumi World Conservation Strategi dengan fokus pada konservasi sumberdaya hayati. Puncak gerakan hijau di tingkat internasional dicapai dengan
disepakatinya Deklarasi Rio, Konvensi Keanekaragaman Hayati, Konvensi Perubahan Iklim, Agenda 21, dan Prinsip-Prinsip Kehutanan pada Konferensi
Tingkat Tinggi KTT Bumi United Nations Conference on Environment and Development
pada bulan Juni 1992 di Rio de Janeiro LEI, 1998. Setelah adanya serangkaian program yang telah digulirkan di tingkat
internasional tersebut, beberapa negara mulai merespon dengan serius, termasuk Indonesia. Beberapa organisasi yang mengusung pengelolaan sumberdaya alam
secara berkelanjutan diantaranya adalah International Tropical Timber
Organization ITTO, Forest Stewarship Council FSC, Komisi PBB untuk
Pembangunan Berkelanjutan United Nations Commision on Sustainable Development
UNCSD, International Organization for Standard ISO, World Wildlife Fund for Nature
WWF, dan Center for International Forestry Research CIFOR.
Pada tahun-tahun akhir era 80-an hingga awal-awal tahun 90-an para penggiat lingkungan yang tergabung dalam lembaga swadaya masyarakat
Environmental non-government organizationENGO melihat bahwa upaya- upaya yang dilakukan oleh pemerintah atau para pemerintah dalam mengurangi
laju pengurangan luasan kawasan hutan ataupun untuk menghentikan laju deforestasi sangat minimal sekali, baik yang terjadi di kawasan hutan tropik
maupun sub-tropik LEI, 2001. Kondisi inilah yang menjadi salah satu alasan berdirinya LSM-LSM yang bergerak di bidang pengelolaan sumberdaya alam.
4.2. Visi dan Misi LSM