BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan sumberdaya alam hayati yang tinggi baik dalam jumlah maupun keanekaragamannya. Dalam hal ini
Indonesia merupakan negara mega-biodiversity di peringkat dua dunia setelah Brazilia. Keanekaragaman biodiversitas tersebut tercermin dari 90 tipe ekosistem
hutan dengan beragam kekayaan spesies flora dan fauna yang dimiliki Bappenas, 2003. Selain ekosistemnya, didalam dan disekitar hutan juga terdapat masyarakat
yang tinggal dan hidup didalamnya. Masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar hutan ini mempunyai tingkat ketergantungan yang tinggi terhadap hutan.
Secara umum wilayah tersebut mempunyai aksesibilitas yang rendah terhadap pendidikan, kesehatan dan pasar. Kebijakan pemerintah selama kurang lebih tiga
dekade terakhir yang tidak berpihak kepada masyarakat miskin telah membuat masyarakat yang tinggal didalam dan disekitar hutan semakin termarjinalkan.
Mereka juga tidak dapat menikmati pemanfaatan hasil hutan dari kegiatan logging
. Menurut Brown 2004, masyarakat yang tinggal di dalam dan disekitar
hutan di luar Pulau Jawa sekitar 48,8 juta orang. Dari jumlah itu, 10, 2 juta orang miskin Sunderlin, 2000 tinggal dan hidup di sekitar hutan alam serta sekitar 6
juta kepala keluarga telah melakukan perladangan bergilir secara turun temurun. Banyak masyarakat yang hidup secara tradisional dengan menerapkan
strategi ekonomi melalui kombinasi antara kegiatan berladang untuk mendapatkan padi, menanam tanaman palawija, berburu, memanen dan menjual kayu,
mengumpulkan dan menjual hasil hutan bukan kayu non timber forest products seperti rotan, madu, dan getah. Hasil dari kebun karet, kopi, dan tanaman lainnya
juga penting sebagai sumber pendapatan masyarakat FWIGFW, 2001. Disisi lain, kegiatan penebangan hutan di Indonesia yang tidak terkendali
selama puluhan tahun dan menyebabkan terjadinya penyusutan hutan tropis secara besar-besaran. Laju kerusakan hutan periode 1985-1997 tercatat 1,6 juta hektar
per tahun, sedangkan pada periode 1997-2000 menjadi 3,8 juta hektar per tahun. Ini menjadikan Indonesia merupakan salah satu tempat dengan tingkat kerusakan
hutan tertinggi di dunia. Di Indonesia, berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas
59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan Dephut, 2003. Berdasarkan data
terbaru dari Departemen Kehutanan 2007, rata-rata laju kerusakan hutan dalam 5 tahun terakhir sebesar 1.089.500 hatahun
. Kerusakan hutan Indonesia tidak hanya menyedot perhatian di tingkat
nasional maupun regional, namun telah sampai pada tingkat dunia Internasional. Manifestasi dari kehancuran hutan Indonesia ini dibuktikan dengan
dipecahkannya rekor Guinnes World Record yang menetapkan Indonesia pada 2007 sebagai Negara penghancur hutan tercepat. Sebagai salah satu dari 44 negara
yang secara kolektif memiliki 90 persen hutan di dunia, Indonesia meraih tingkat laju penghancuran tercepat antara 2000 – 2005, yakni dengan tingkat 1,871 juta
hektar atau sebesar 2 persen setiap tahun atau 51 kilometer persegi per hari, atau setara dengan 300 lapangan bola setiap jamnya SKEPHI, 2007.
Namun realitasnya, kebijakan kehutanan yang diimplementasikan bagi pengelolaan hutan di Indonesia dirasakan tidak mampu secara efektif menghambat
laju kerusakan hutan. Hutan Indonesia juga merupakan paru-paru dunia, yang dapat menyerap karbon dan menyediakan oksigen bagi kehidupan di muka bumi
ini. Fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah juga akan terganggu akibat terjadinya pengrusakan hutan yang terus-menerus. Hal ini akan berdampak pada
semakin seringnya terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir serta tanah longsor di musim penghujan. Pada akhirnya, hal ini akan berdampak serius
terhadap kondisi perekonomian masyarakat. Beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan
hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBMcommunity-based forest management menjadi salah satu pilihan dalam
sebuah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Seiring dengan perubahan tersebut, banyak LSM yang terlibat aktif dan intensif dalam
mendampingi masyarakat menuju PHBM. Pengembangan kapasitas dan penguatan kelembagaan masyarakat di sekitar hutan telah menjadi agenda utama
dari banyak LSM Kehutanan.
Program-program yang diusung oleh LSM ini mendapat dukungan yang besar dari lembaga donatur terutama dari international funding agency yang
concern terhadap pengembangan PHBM. Bentuk dukungan yang diberikan
lembaga donatur dalam program community forestry diantaranya adalah program pemberdayaan masyarakat dan program pengembangan kemitraan partnership.
Sejak tahun 1990-an, perkembangan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM di Indonesia sangat luar biasa, bagai jamur di musim hujan, terutama sejak
runtuhnya rezim Orde Baru. Namun tidak ada data yang pasti berapa jumlah
LSM di Indonesia. Malik 2004 mencatat bahwa pada awal tahun 1990-an, LSM
di Indonesia mengalami puncak perkembangannya yang berjumlah 13.500. Menurut Ibrahim 2004, jumlah LSM sebagai komponen yang paling visible dan
vocal dari Organisasi Masyarakat Sipil OMS yang hanya beberapa ribu, di masa Orde Baru telah meningkat menjadi puluhan ribu.
Kehadiran LSM di Indonesia, menurut Culla 2006, dipicu oleh faktor kesempatan politik dan beroperasinya lembaga-lembaga donor internasional yang
menjadi pendorong lahirnya banyak LSM, juga disebabkan oleh kekecewaan sebagian tokohpemimpin terhadap pemerintah yang menunjukkan indikasi
penyimpang dari komitmen awal untuk membangun tatanan masyarakat berkeadilan dan demokratis lebih baik ketimbang era sebelumnya.
Tumbuh dan menjamurnya LSM di era Reformasi merupakan fenomena yang menarik untuk dicermati. Menurut Abidin 2004a, pertumbuhan LSM itu di
satu sisi bisa diangap sebagai simbol kebangkitan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya. Masyarakat mulai kritis dan
mampu menampilkan wacana tandingan terhadap wacana dan kebijakan yang disodorkan oleh negara.
Banyaknya LSM yang bergerak dalam bidang pengembangan masyarakat yang bersentuhan langsung dengan suatu kawasan hutan, mempunyai keragaman
program, metodologi, sebaran wilayah yang luas dan pendekatan yang berbeda- beda pula. Pada dasarnya program yang dijalankan oleh LSM ini bertujuan untuk
mengembangkan institusi lokal pada tingkat masyarakat dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan.
Menurut Afiff 2007, isu yang sering diangkat oleh LSM ini diantaranya adalah tentang kepastian akan akses dan kontrol terhadap lahan dan sumberdaya
hutan. Masalah kepastian tenurial banyak dipersoalkan karena mayoritas dari kawasan kelola masyarakat seringkali tumpang tindih dengan kawasan yang
diklaim oleh negara sebagai kawasan hutan. Program pengembangan masyarakat community empowerment yang
dilakukan oleh LSM diantaranya adalah mengembangkan kapasitas dan keahlian komunitas yang secara signifikan dapat mengurangi tekanan pada sumberdaya
hutan. Selain itu juga untuk membangun kapasitas dan jaringan kerja pemangku kepentingan para komunitas untuk mencapai pengelolaan hutan yang ramah
lingkungan dan ramah komunitas sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lainnya.
Tumbuhnya perhatian, pengakuan, dan dukungan dari para peneliti dan aktivis LSM terhadap pola-pola PHBM merupakan satu gejala positif. Paling
tidak semua itu telah membuka wawasan dan harapan baru bagi terwujudnya sistem PHBM yang berkelanjutan di masa yang akan datang, yang akan mampu
menggantikan pola pengelolaan yang sangat exploitatif selama ini Lubis, 2000. LSM juga dituntut untuk dapat mengembangkan inisiatif lokal dalam
mempromosikan pemanfaatan dan penggunaan hutan secara berkelanjutan dan inisiatif lainnya untuk mengembangkan ekonomi lokal yang akan memberikan
nilai tambah terhadap komunitas yang hidupnya bergantung pada hutan. Pada saat yang sama inisiatif ini juga diharapkan menjaga pemanfaatan lestari dari
sumberdaya hutan Abidin, 2004b. Namun disisi lain, kadang beberapa program yang dilakukan oleh LSM
belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam penyusunan proposal, terkadang masyarakat tidak dilibatkan dari awal sehingga terjadi
lackgap antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan LSM itu sendiri.
Terkadang masyarakat hanya dijadikan sebagai alat justifikasi untuk memperoleh dukungan finansial dari lembaga donor.
Pertumbuhan LSM yang sangat pesat di Indonesia ini juga belum diikuti dengan terciptanya suatu ukuran keberhasilan yang jelas. Hal ini berbeda dengan
organisasi privat yang mempunyai tolak ukur yang lebih jelas seperti keuntungan
finansial. Hal ini disebabkan karena LSM sebagai organisasi nirlaba seringkali menetapkan tujuan yang sangat jangka panjang yang tidak memungkinkan untuk
dicapai dalam waktu yang singkat. Padahal kebutuhan ukuran keberhasilan pencapaian tujuan dan kinerja sama pentingnya antara organisasi nirlaba dan
organisasi privat. Secara umum, LSM yang ada saat ini juga cenderung memiliki citra negatif.
LSM yang ada saat ini memiliki manajemen yang tertutup serta orientasi proyek. Alokasi penggunaan dana sering kali tidak tepat sasaran baik dikarenakan
ketidakjelasan program kerja maupun ketiadaan koordinasi yang baik antar-LSM yang berada dalam satu wilayah Abidin, 2004b.
Tantangan mengenai pentingnya akuntabilitas yang harus dihadapi LSM sesungguhnya tidak lepas dari tanggungjawabnya. Secara umum, tanggungjawab
LSM dapat dibagi ke dalam tiga kategori. Pertama, tanggung jawab organisasional, termasuk diantaranya transparansi dalam pembuatan keputusan
dan keuangan, efisiensi dan efektivitas dalam bekerja serta penghormatan terhadap hukum hak asasi manusia dalam setiap kegiatan dan tindakan LSM.
Kedua , tanggung jawab untuk melaksanakan apa yang tercantum dalam misi
organisasi seperti melindungi hak-hak kaum miskin dan tertindas, pengentasan kemiskinan, perlindungan lingkungan hidup, dan sebagainya. Ketiga, tanggung
jawab terhadap semua pemangku kepentingan stakeholders yang dipengaruhi atau terlibat dalam aktivitas LSM.
Secara umum, banyak LSM yang belum mempunyai sistem penilaian kinerja yang sifatnya menyeluruh. LSM biasanya hanya melakukan evaluasi
terhadap audit keuangan beserta aktifitasnya berdasarkan proyek yang telah dilaksanakan. Penelitian ini difokuskan pada beberapa LSM yang mendapatkan
dana dari Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa United Nations Development Programme
UNDP yang didukung oleh Komisis Eropa European Commission
EC melalui program Pendanaan Kecil untuk Menunjang Pelestarian Hutan Tropis di Indonesia Small Grants Programme for Operations to Promote
Tropical Forest SGP PTF di Indonesia pada periode 2005 – 2007. Melalui
program ini telah diberikan sejumlah dana kepada 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Tema utama SGPPTF ini adalah
pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terpadu. Untuk itu, penelitian ini akan melakukan analisis penilaian kinerja yang menyeluruh
terhadap beberapa LSM dalam program pengembangan PHBM yang menjadi mitra SGP PTF UNDP.
1.2. Rumusan Masalah