Ruang Lingkup Penelitian Kerangka Pemikiran Penelitian

1.4. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi LSM Kehutanan, hasil penelitian ini memberikan kontribusi terhadap upaya peningkatan kinerjanya dalam program pengembangan masyarakat. Hasil penelitian ini juga dapat dipergunakan sebagai salah satu instrumen untuk memantau dan mengukur pencapaian kinerja LSM sesuai dengan pencapaian visi dan misinya 2. Bagi Pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu bahan dan masukan dalam mengukur dan merumuskan strategi pengorganisasian, penataan, dan konsolidasi, khususnya pada LSM-LSM yang saat ini ada dan akan semakin berkembang ke depan guna mendukung tujuan pembangunan daerah dalam jangka panjang. Hasil penelitian ini juga dapat menjadi masukan kepada pemerintah untuk menyusunan kebijakan bagi tercapainya kemitraan antar stakeholders, khususnya dengan LSM Kehutanan. 3. Bagi ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini dapat dijadikan salah satu referensi kajian pengembangan pengetahuan tentang LSM dan pengembangan masyarakat 4. Bagi peneliti, penelitian ini merupakan wahana sekaligus sarana dalam mempraktekkan pengetahuan Manajemen Pembangunan Daerah yang ditekuni.

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada tingkat organisasi pelaksana LSM-LSM Kehutanan di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Lampung yang ditujukan untuk menghasilkan sejumlah rekomendasi dalam rangka pencapaian kinerja LSM Kehutanan yang optimal di masa yang akan datang. Pemilihan responden terpilih ini didasarkan pada beberapa hal, diantaranya adalah: 1. Pola pendampingan oleh LSM Kehutanan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat sekitar hutan; 2. Mengangkat isu hutan berbasis masyarakat dan pengembangan masyarakat sebagai fokus programnya; 3. Isu yang diangkat bersifat khas dan fokus pada isu lokalitas; dan 4. Wilayah kerjanya berada di hutan negara danatau hutan milik. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kerangka Teoritis 2.1.1. Karakteristik LSM Istilah LSM di Indonesia sesungguhnya adalah pengganti istilah non- govermental organization NGO atau Ornop. Menurut Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik 2004, istilah ini diperkenalkan pada awal tahun 1980-an, karena istilah NGO dapat menimbulkan kesan dan interpretasi sebagai antipemerintah, sesuatu yang tidak disukai rezim Orde Baru pada waktu itu. Istilah LSM menunjuk pada beberapa bentuk organisasi atau kelompok dalam masyarakat yang secara hukum bukan merupakan bagian dari pemerintah non- goverment dan bekerja tidak untuk mencari keuntungan non-profit. Menurut Eldridge 2006, terdapat tiga model pendekatan yang dilakukan oleh Ornop Indonesia dalam rangka menjali hubungan dengan pemerintah. Pertama, high-level partnership: grassroots development. Ornop ini menekankan kerjasama dalam program-program pembangunan pemerintah seraya berusaha memperngaruhi rancangan maupun implementasi program-program ini agar bergerak ke arahyang lebih partisipatoris serta menyentuh dan melibatkan akar rumput. Kedua, high level politics: grassroots mobilization. Ornop ini mempunyai kecenderungan untuk aktif dalam kegaitan politik. Ketiga, empowerment at the grassroots . Ornop yang memusatkan perhatian pada usaha peningkatan kesadaran dan pemberdayaan masyarakat, terutama di tingkat akar rumput. Menurut Tim Fasilitasi LP3ES untuk Kode Etik 2004, merujuk pada kegiatan-kegiatan yang dilakukannya, maka Ornop dapat dibagi menjadi tiga tipe, yaitu: 1 Ornopyang terlibat dalam kegiatan amal charity, 2 Ornop yang bergerak dalam bidang kegiatan yang berorientasi pada perubahan dan pembangunan serta pengembangan masyarakat, 3 Ornop yang tidak hanya bergerak dalam pelayanan masyarakat, tetapi juga melakukan pembelaan advokasi. Mengutip Salamon dan Anheier, Hadiwinata 2003 mendefinisikan LSM mempunyai ciri-ciri sebagai berikut: 1 Formal, artinya secara organisasi bersifat permanen, mempunyai kantor dengan seperangkat aturan dan prosedur; 2 Swasta, artinya kelembagaan yang berada di luar atau terpisah dari pemerintah; 3 Tidak mencari keuntungan, yaitu tidak memberikan keuntungan profit kepada direktur atau pengurusnya; 4 Menjalankan organisasinya sendiri self- governing , yaitu tidak dikontrol oleh pihak luar; 5 Sukarela voluntary, yaitu menjalankan derajat kesukarelaan tertentu; 6 Nonreligius, artinya tidak mempromosikan ajaran agama; dan 7 Nonpolitik, yaitu tidak ikut dalam pencalonan di pemilu Lebih lanjut menurut Fakih 1996, Ornop dapat digolongkan menjadi tiga tipologi, yaitu: 1 Tipe konformis. Ornop ini bekerja berdasarkan paradigma bantuan karikatif yang berorientasi pada proyek dan bekerja sebagai organisasi yang menyesuaikan diri dengan sistem dan struktur yang ada; 2 Tipe reformis. Ornop ini bekerja didasarkan pada ideologi modernisasi dan developmentalism serta menekankan pada partisipasi rakyat dalam pembangunan; 3 Tipe transformatif. Ornop ini berusaha menemukan paradigma alternatif yang akan mengubah struktur dan suprastruktur yang menindas rakyat serta membuka kemungkinan bagi rakyat untuk mewujudkan potensi kemanusiaannya. Wirasapoetra 2004 menjelaskan bahwa ada beberapa pendorong tumbuhnya LSM di Kalimantan Timur berdasarkan pengamatan selama 20 tahun terakhir ini. Pertama, LSM yang tumbuh atas dasar kepedualian terhadap kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang memperoleh perlakukan tidak adil oleh rezim Orde Baru. Kedua, LSM yang tumbuh atas dasar kepedulian terhadap kondisi masyarakat dan alam, atau sebagai tindak lanjut dari program terdahulu yang menghasilkan ikatan kerjasama antar pesertanya. Ketiga, LSM yang tumbuh atas dasar hasil kolaborasi beberapa LSM untuk menangani masalah secara spesifik. Studi yang dilakukan oleh Rochman 2002 menyimpulkan bahwa strategi advokasi LSM Indonesia umumnya berkisar pada tiga hal, yaitu: 1 memilih pengadilan sebagai arena politik; 2 menargetkan pada perubahan peraturanUU; dan 3 menggali dukungan advokasi internasional. Strategi ini ditempuh agar mendapatkan cara yang lebih aman dan efektif. Bagi LSM, advokasi politik, seperti melalui DPR, dipandang terlalu riskan dan tidak berguna karena DPR dikuasai pemerintah juga. Karena itu, advokasi lebih banyak dilakukan lewat bantuan media massa dan lewat pertemuan-pertemuan publik. Advokasi juga dilakukan melalui jaringan-jaringan yang ada maupun lewat pembentukan koalisi- koalisi. Karakteristik LSM yang beragam ini juga diikuti dengan beragamnya pola dan metodologi pendampingan, isu-isu yang diangkat dan dikembangkan serta sebaran program yang dijalankan. Keberagaman ini akan sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, budaya, politik, dan lingkungan di masing-masing wilayah.

2.1.2. Sejarah Perkembangan LSM di Indonesia

Tradisi untuk membangun organisasi masyarakat untuk membantu dan mendorong penyelesaian krisis di masyarakat dimulai pada abad ke-17 di Inggris. Aktor-aktor utamanya berasal dari kalangan agama dan kalangan swasta profesional. Tradisi ini menguat pada saat perang dunia ke satu dan kedua pada awal abad ke-20, dengan lahirnya berbagai LSM internasional di Eropa untuk penanggulangan krisis akibat perang, seperti kelaparan, kemiskinan, pengungsi, pelarian politik, dan kekerasan yang dilakukan oleh negara kepada masyarakat Korten, 1993. Menurut Malik 2004 di Indonesia, kelahiran dari beberapa organisasi dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat atau populer disebut LSM pada tahun 1970-an dilihat dari krisis yang terjadi pada negara Indonesia, kemiskinan, kerusakan lingkungan, pelarian politik, kekerasan oleh negara, pada dasarnya tidak berbeda dengan sejarah kelahiran LSM Internasional. Pada tahun 1970-an, pembangunan di Indonesia terus melaju dengan cepat, dan dampak positifnya perkembangan ekonomi pun meningkat. Namun, pembangunan ternyata juga menimbulkan dampak negatif, terutama meningkatnya kemiskinan, represi terhadap hak-hak asasi manusi, dan perusakan lingkungan hidup. Upaya untuk menanggulangi dampak negatif kemudian melahirkan lembaga-lembaga swadaya masyarakat atau LSM yang semula dikenal sebagai Organisasi Non Pemerintah atau Ornop SMERU, 2002. Istilah Ornop adalah terjemahan dari Non-Governmental Organization atau NGO Sejak tahun 1990-an, perkembangan LSM di Indonesia sangat luar biasa, bagai jamur di musim hujan. Namun tidak ada data yang pasti berapa jumlah LSM di Indonesia SMERU, 2000. Namun Malik 2004 mencatat bahwa pada awal tahun 1990-an, LSM di Indonesia mengalami puncak perkembangannya yang berjumlah 13.500. Menurut Ibrahim 2004, jatuhnya rezim otoriter Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 sebagai akibat dari krisis ekonomi yang sangat parah, yang kemudian diikuti dengan proses transisi menuju demokrasi telah membawa perubahan-perubahan antara lain berupa pertumbuhan yang sangat lura biasa dari organisasi dan kelompok-kelompok dalam masyarakat yang disebut dengan organisasi masyarakat sipil OMS. Jumlah LSM sebagai komponen yang paling visible dan vocal dari Organisasi Masyarakat Sipil OMS yang hanya beberapa ribu, di masa Orde Baru telah meningkat menjadi puluhan ribu. Berdasarkan Halim 2000, menjamurnya LSM merupakan respon atas lambatnya pemerintah dan lembaga-lembaga komersial mengantisipasi dinamika perubahan sosial kemasyarakatan. Kelambanan pemerintah dalam konteks ini, bukanlah disebabkan oleh lemahnya kemampuan teknis dan dana operasional, tetapi lebih pada lemahnya pemihakan negara pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan esensial komunitas rakyat. Tumbuh dan menjamurnya LSM di era Reformasi merupakan fenomena yang menarik untk dicermati. Menurut Abidin 2004, pertumbuhan LSM itu di satu sisi bisa diangap sebagai simbol kebangkitan masyarakat sipil dalam memperjuangkan kepentingan dan hak-haknya. Masyarakat mulai kritis dan mampu menampilkan wacana tandingan terhadap wacana dan kebijakan yang disodorkan oleh negara. Melalui organisasi yang didirikannya, salah satunya berbentuk LSM, masyarakat mampu tampil sebagai elemen di luar struktur formal kenegaraan yang turut menjadi pihak yang melakukan kontrol terhadap proses kebijakan publik. Selain itu organisasi juga berperan sebagai lembaga non-partisan yang memiliki peluang untuk menjadi kelompok penengah. Namun di sisi lain, berbagai penyelewengan dan perilaku miring sebagian LSM telah menodai reputasi lembaga nirlaba lainnya. Mereka menilai perilaku miring itu sebagai ancaman besar terhadap eksistensi lembaga nirlaba yang mengandalkan kepercayaan publik dalam menjalankan program dan organisasinya. Dengan diberlakukannya UU Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan mulai tanggal 6 Agustus 2002 maka diharapkan dalam jangka panjang akan berdampak kepada pengelolaan sektor nirlaba yang didasarkan kepada prinsip-prinsip good governance . Meskipun UU ini belum diimplementasikan secara penuh, namun UU ini akan mempunyai dampak yang luas terhadap governance sektor nirlaba di Indonesia, termasuk LSM. Hal ini mengingat bahwa, menurut Ibrahim 2004 lebih dari 95 LSM di Indonesia berbadan hukum yayasan dan sedikit sekali yang mempunyai badan hukum perkumpulan. Sayangnya, pemberlakuan UU ini tertunda karena mendapatkan banyak penolakan dari kalangan LSM sendiri. Penolakan ini terjadi karena sebagian besar aktivis LSM menilai UU ini telah menempatkan LSM dalam posisi canggung, ketat dan intervensif, kurang cocok dengan peran dan fungsi ideal LSM. Menurut Abidin 2004, UU ini juga dinilai bisa membuhun ribuan yayasan kecil yang berada di daerah-daerah, yang secara riil memang melakukan kegiatan penyantunan dan pemberdayaan masyarakat. Dengan keluarnya UU tersebut, disamping menghadapi persoalan tentang citra dan jati dirinya sendiri, LSM saat ini juga menghadapi dilema status hukum yang berimplikasi pada hubungannya dengan negara. Menyikapi berbagai fenomena diatas, beberapa aktivis LSM berpendapat bahwa persoalan akuntabilitas dan transparansi sudah selayaknya diangkat menjadi agenda bersama dan urgent untuk diperbincangkan. Fenomena-fenomena itulah yang mendorong beberapa LSM berikhtiar meningkatkan akuntabilitas dan transparansi lembaganya dan LSM secara umum. Mereka memandang, hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada ternyata belum cukup mengatur dan mengatasi persoalan tersebut. Karenanya, beberapa LSM dan jaringan LSM tengah mencoba menggagas program dan kajian yang bertujuan mengningkatkan internal governance LSM dan meningkatkan kredibilitas di kalangan konstituen di sis lain. Mereka berpendapat LSM perlu mengatur dirinya sendiri melalui mekanisme pengaturan diri atau self-regulation mechanism. Perkembangan ini kiranya menarik untuk dicermati dan dikaji lebih dalam karena berkaitan dengan perkembangan wacana good governance. Tidak hanya pemerintah dan kelompok bisnis saja yang dituntut untuk menerapkan good government dan good corporate governance, namun keberadaan sebuah komunitas good non-govermental organization sebagai elemen penting dalam tubuh civil society menjadi sangat penting dalam menyangga keberlangsungan proses transisi demokrasi di Indonesia.

2.1.3. Strategi Penggalangan Dana

Saat ini banyak LSM di Indonesia yang pendanaannya masih bergantung pada pihak asing. LSM tersebut sangat sulit melepaskan diri dari bantuan lembaga donor. Ketergantungan LSM pada pihak asing tersebut tidak baik jika berlangsung secara terus-menerus dan permanen. Ketergantungan ini tidak hanya dapat mengubah style LSM, akan tetapi, juga bisa mengubah paradigma dan orientasi, bahkan mungkin juga ideologi perjuangan LSM. Penelitian yang dilakukan oleh Rustam Ibrahim 2000 pada 25 Organisasi Sumberdaya Masyarakat Sipil OSMS menemukan bahwa mayoritas lembaga nirlaba masih mengandalkan sumber bantuan luar negeri yang mencapai 65, dan sumber dalam negeri 35. Secara lebih rinci, sumber dalam negeri ini terutama adalah hasil usaha sendiri 33, sumbangan perusahaan dan dana abadi masing- masing 17, donasi individu menyumbang 14, sisanya dalam jumlah yang kecil bersumber dari pemerintah 5, sumbangan ornop 3, dan sumber lainnya 11. Lembaga nirlaba yang beruntung, akan mendapatkan dana dalam jumlah besar selama bertahun-tahun dari satu atau dua sumber dana, dapat terlena seolah- olah dana akan tersedia terus menerus. Akibatnya, ketika sumber dana utama menghentikan bantuan maka lembaga ini dapat secara tiba-tiba dalam kondisi kritis karena tidak menyiapkan kondisi finansial yang lebih mapan. Sumber dana yang tidak bervariasi dapat menjerumuskan lembaga nirlaba Widjajanti, 2006 Sebagai contoh, betapa kini YLBHI mengalami kesulitan pendanaan yang luar biasa setelah enam tahun bergantung pada pihak asing. Sejak 1994 YLBHI mendapat bantuan dana dari luar negeri, khususnya dari Belanda Novib, Belgia, dan Kanada. Bantuan itu digunakan untuk operasional YLBHI setiap bulan minimal Rp 900 juta untuk overhead dan operasionalisasi program. Setahun YLBHI membutuhkan dana lebih kurang Rp 10 Milyar. Kini setelah YLBHI tidak menerima bantuan terutama dari Novib, YLBHI kemudian mengalami kesulitan untuk membayar gaji para karyawan dan operasionalisasi program. Karena itu, mulai diupayakan penggalangan dana publik. Namun, ternyata tidak mudah menggalang dana publik, sebab publik pun pasti menuntut akuntabilitas dan transparansi pembukuan. Ironinya, LSM yang memposisikan diri untuk menjalankan fungsi kontrol terhadap lembaga pemerintahan, namun selama ini tidak ada mekanisme kontrol publik atas pembukuan LSM itu sendiri Kompas, 26 April 2007. Menurut Abidin 2004, sebagian besar LSM yang beradvokasi menggalang dana fundraising, khususnya dana lokal, adalah pekerjaan yang sulit. Sebagian kalangan aktivis LSM berpendapat bahwa penggalangan dana lokal mustahil dilakukan karena kapasitas menyumbang masyarakat terbilang kecil. Selain itu, mereka berpandangan bahwa masyarakat cenderung menyumbang program atau kegiatan yang bersifat karikatif atau penyantunan. Ini bisa dilihat dari melimpahnya dukungan pendanaan kepada lembaga yang bergerak dibidang pengentasan kemiskinan, penyantunan anak yatim piatu dan jompo, atau membantu korban bencana. Sementara lembaga sosial yang bergerak di bidang penegakan hukum dan HAM, penyelamatan lingkungan, advokasi kebijakan publik, pemberdayaan perempuan, dan bidang-bidang advokasi lainnya kurang mendapatkan dukungan. Mengingat minimnya dukungan pendanaan dari sumber daya lokal, LSM yang bergerak di bidang advokasi lebih suka menggalang dana dari lembaga donor internasional. Upaya ini dalam jangka pendek memang bisa menyelesaikan persoalan pendanaan yang dihadapi LSM. Namun, dalam jangka panjang pola pendanaan semacam ini juga akan menimbulkan masalah baru. Selain menciptakan ketergantungan, dana asing dinilai mematikan kreatifitas LSM, dan menjauhkan mereka dari konstituennya. Karena mudahnya mendapatkan dukungan dari lembaga donor, LSM lebih suka meminta dukungan kepada lembaga donor ketimbang menggalangya dari masyarakat. Akibatnya, berbagai program dan agenda perubahan yang diusung oleh LSM tidak banyak didukung oleh publik dan dinilai sebagai agenda lembaga donor asing Abidin, 2004. Hal ini sejalan dengan Kuswardono 2004, yang mengatakan bahwa di sisi penerima dana, persoalan pendanaan adalah persoalan yang genting dan cenderung kronis. Dalam keberadaannya yang lebih dari 30 tahun, ornop-ornop di Indonesia, terutama golongan yang biasa disebut dengan LSM, amat bergantung pada dana negara-negara Utara. Menurut Widjajanti 2006, strategi mobilisasi sumber daya sangat beragam. Ketersediaan sumber dana yang beragam memerlukan kreatifitas strategi untuk menggalangnya. Kreatifitas yang terhambat tidak akan menghantar lembaga ke berbagai sumber daya yang dapat diakses. Banyak lembaga nirlaba masih tergantung pada lembaga dana. Sumber lain kerap kali sulit dijangkau, memerlukan lebih banyak kerja keras, dan sering kali memberikan dalam jumlah dan waktu erbatas. Akibatnya lembaga dana masih menjadi sumber utama dari hidupnya lembaga nirlaba. Gagasan untuk menciptakan dana sendiri melalui unit usaha bukan tidak populer di kalangan aktivis LSM, namun isu ini masih menjadi perdebatan. Secara teknis banyak LSM yang tidak terbiasa mengelola usaha yang komersial atau profit oriented. Namun dalam kenyataannya, beberapa organisasi mengelola unit usahanya secara profesional dalam badan usaha yang komersial dan merekrut tenaga-tenaga ahli di bidangnya. Sementara beberapa organisasi lain juga membuat unit usaha, namun pengelolaannya masih dilakukan secara semi profesional dan melibatkan pengurus maupun staf lembaga yang notabene nirlaba Saidi, 2004a. Hasil survei di sebelas kota dan studi kasus di 18 lembaga sosial yang dilakukan oleh PIRAC Saidi, 2004b menemukan bahwa LSM pada umumnya belum mendapatkan dukungan dana dari masyarakat umum. Ini nampaknya berkaitan dengan motif 98 responden menyatakan dilandasi agama, tetapi juga soal kepercayaan trust, dengan angka responden yang menyatakannya mencapai 46. Sebaliknya, alasan masyarakat menolak sumbangan, sekitar 51 berkaitan dengan ketidakpercayaan, terutama kepada penggalang danafund raiser 34, organisasinya 9, maupun kegiatanmisi organisasi yang bersangkutan 8. Menurut Saidi 2004a, program kerja yang disusun dengan baik dan logis akan meringankan persoalan klasik tapi pelik bagi lembaga nirlaba seperti LSM dan yayasan yaitu pendanaan. Pengelola lembaga harus mampu menyusun rencana program yang baik dan logis sehingga dapat dipahami secara baik oleh pelaksana dan donor. Program yang koheren dan logis akan meyakinkan donor untuk mendukungnya. Dengan menerapkan prinsip-prinsip penyusunan program yang terstruktur dan logis, LSM dan yayasan dapat lebih mudah mengakses lembaga donor. Dengan demikian, LSM dan yayasan dapat mendiversifikasi donor sehingga tidak tergantung pada satu lembaga pemberi dana saja. Selama ini tidak jarang dijumpai kesulitan LSM mengakses donor, karena program yang disusun tidak dapat dipahami dengan baik Saidi, 2004a. Untuk itu, LSM perlu memiliki manajemen finansial yang sehat dan staf yang handal menjalankan program agar dapat menarik kepercayaan dari para pendukungnya. Kepercayaan itu harus dibuktikan dengan keberhasilan program dan laporan finansial yang dapat dipertanggungjawabkan. Hanya program yang menunjukkan kemajuan dan perubahan pada kelompok sasaran, serta laporan finansial yang memenuhi standar akuntabilitas dan transparansi akan memiliki kesempatan untuk terus menambah dukungannya. Tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi maka reputasi lembaga akan dipertanyakan sehingga kemungkinan mengakses sumber dana dan sumber daya lainnya akan sulit. 2.1.4. Perkembangan Lembaga Donor di Indonesia 2.1.4.1. Gambaran Umum Lembaga Donor di Indonesia Dalam pengembangan LSM menuju lembaga yang mandiri dalam memperjuangkan visi dan misi yang sudah menjadi komitmen dalam lembaga, sangat memerlukan pola pengembangan lembaga agar lembaga bisa tetap eksis. Eksistensi ini tidak serta merta berdiri sendiri, namun jalinan kerja sama maupun hubungan dengan lembaga lain, khususnya lembaga donor sangat diperlukan. Hal ini sangat disadari bersama karena sebagian besar LSM yang ada di Indonesia masih banyak yang menggantungkan lembaganya pada lembaga donor, baik lembaga donor nasional maupun lembaga donor internasional. Ada lima kategori lembaga donor asing yang memberikan bantuannya kepada LSM Indonesia. Pertama, donor bilateral, yaitu lembaga pemerintah- pemerintah lura negeri yang menyalurkan bantuannya kepada LSM baik melalui pemerintah Indonesia atau langsung kepada LSM bersangkutan. Kedua, yayasan- yayasan internasional. Ketiga, LSM-LSM internasional yang memperoleh dananya dari pemerintah atau publik di negaranya masing-masing kemudian melakukan aktivitas di Indonesia bekerja sama dengan LSM Indonesia. Keempat, lembaga-lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Indonesia, dan sebagainya yang memberikan pinjaman kepada pemerintah Indonesia kemudian mengontrakkan kepada LSM untuk program pengembangan masyarakat. Kelima, lembaga-lembaga pembangunan internasional yang bernaung dibawah PBB seperti UNDP, UNICEF, dan lain-lain Ibrahim, 2004. Menurut Kuswardono 2004, terdapat tiga tipe donor internasional. Pertama organisasi donor sukarela yang memiliki karakter, 1 aktif memperjuangkan penghapusan kemiskinan struktural, 2 sebagai kontraktor pelayanan umum, 3 sebagai penyandang dana bagi organisasi-organisasi di negara Dunia Ketiga. Kedua, organisasi donor privat yang didirikan oleh perusahaan-perusahaan atau kaum elit Utara yang memiliki semangat filantropi yang tinggi. Ketiga, organisasi donor atau agensi pemerintah untuk bantuan luar negeri. Organisasi ini memperoleh dana langsung dari pemerintah suatu negara untuk didistribusikan sebagai hibah kepada negara penerima demi kepentingan pembangunan. Dalam Direktori Funding Agency 2006, Yapim mencatat terdapat 295 lembaga donor yang beroperasi di Asia, termasuk 90 lembaga donor yang berada di Indonesia. LP3ES 2001 mencatat terdapat sekitar 40 organisasi donor luar negeri beroperasi dan membiayai proyek-proyek di Indonesia, dan beberapa lainnya tidak langsung maupun tidak membiayai proyek dari luar Indonesia. Menurut Sumarto 2003, tidak kurang dari 11 lembaga internasional penting yang memiliki program besar berkaitan dengan isu-isu partisipasi dan good governance di Indonesia. Selain World Bank Bank Dunia dan ADB, dapat disebtukan UNDP, USAID – termasuk di dalamnya CSSP, dan NRM-GTZ, CIDA, JICA, DFID, British Council, Ford Foundation, dan Tifa Foundation. Sedangkan ornop-ornop internasional yang memiliki program partisipasi dan good governance yang cukup penting di Indonesia saat ini adalah NDI, Pact, CARE, dan The Asia Foundation. Selama dua dekade terakhir, sudah lebih dari 1 milyar dolar AS yang diinvestasikan lebih dari 40 donor dalam bantuan pembangunan kehutanan Indonesia. Akan tetapi, faktanya manajemen dan tata kelola kehutanan tetap buruk. Kerusakan hutan masih terus berlanjut sampai detik ini Kompas, 22 Februari 2007. Sementara setiap tahun, Bank Dunia membagi-bagi rata-rata 22,5 milyar dolar AS bantuan pembangunan kepada penguasa korup dan untuk berbagai proyek besar yang merusak lingkungan dan memperlebar kesenjangan sosial Hadar, 2004. Sejak tahun 1955, Asia Foundation juga telah bermitra dengan berbagai lembaga pemerintah, organisasi masyarakat sipil dan sektor swasta. Selama lebih dari lima dekade, Asia Foundation ikut berkontribusi menjawab kebutuhan Indonesia melalu serangkaian program seperti reformasi ekonomi, pengentasan kemiskinan, pendidikan, serta dukungan pada masyarakat sipil yang kuat dan dinamis. Asia Foundation saat ini mengelola dana hibah dan bantuan teknis sebesar 60 juta dolar AS The Asia Foundation, 2008. Menurut GEF SGP 2007, distribusi dana dampingan untuk inisiatif masyarakat secara keseluruhan mencapai lebih dari 3,6 juta dolar AS untuk mendukung 221 proyek berbasis komunitas di seluruh Indonesia. Program ini juga memobilitasi dana pendamping sebesar 2,8 juta dolar AS, berupa kontribusi masyarakat dan kemitraan dengan donor lain. Dana hibah yang diberikan sebagai dukunag berkisar antara 2.000 hingga 50.000 dolar AS dengan masa program 2 – 24 bulan dengan rata-rata dana hibah 25.000 dolar AS per proyek. Program ini memproriritaskan kemitraan langsung dengan organisasi berbasis komunitas dan organisasi non pemerintah pendamping masyarakat. Donatur dan pemerintah lebih berminat mendukung LSM yang mengadakan campur tangan dalam pemberian bantuan peringanan dan kesejahteraan yang secara langsung menghilangkan penderitaan daripada mendukung LSM yang berupaya mengadakan perubahan struktural mendasar Korten, 2001. Menurut Ibrahim 2004, terdapat sekurang-kurangnya empat alasan penting mengapa lembaga donor mau bekerja sama dengan kalangan LSM. Pertama, lembaga donor sangat mendukung pelayanan yang efektif dan efisien, dimana kalangan LSM kadang-kadang dipandang lebih efektif dan efesien dalam penggunaan dana dibandingkan dengan pemerintah. Kedua, unsur-unsur layanan yang diberikan LSM, di samping program pengembangan masyarakat, juga mencakup pembangunan infrastruktur sosial dan politik dalam bentuk advokasi untuk kepentingan rakyat. Ketiga, LSM mendukung pengembangan civil society dengan memperjuangkan demokrasi, HAM, dan sebagainya. Keempat, LSM mendukung upaya perubahan kebijakan. Lembaga donor yang berasal dari berbagai negara dengan keragaman kepedulian melalui berbagai program yang dimiliki dimaksudkan untuk membantu membuka jalan bagi berbagai kelompok masyarakat dalam mencari peluang untuk mengembangkan kegiatannya.

2.1.4.2. SGP PTF UNDP sebagai Lembaga Donor

Berdasarkan dokumen Pemangilan Proposal SGP PTF, 2005, pada awal tahun 2005, Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa United Nations Development Programme UNDP yang didukung oleh Komisis Eropa European Commission EC dengan penanggungjawab kegiatan adalah SEARCA SEAMEO Regional Center for Graduate Study and Research in Agriculture menyelenggarakan program Pendanaan Kecil untuk Menunjang Pelestarian Hutan Tropis di Indonesia Small Grants Programme for Operations to Promote Tropical Forest SGPPTF di Indonesia. Sekretariat SGPPTF kemudian mengundang para mitra yang bergerak di bidang penguatan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat untuk terlibat dalam program SGPPTF. SGPPTF bertujuan mempromosikan pengelolaan hutan secara berkelanjutan melalui kemitraan langsung dengan stakeholders lokal di wilayah- wilayah yang telah ditentukan. SGPPTF berpandangan untuk berkontribusi pada pembangunan berkelanjutan secara keseluruhan, memberdayakan individu dan komunitas dalam mengelola hutan dan kehutanan, menghasilkan manfaat yang adil dari barang dan jasa kehutanan yang dihasilkan dengan mempertimbangkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan. Para mitra yang layak mengajukan proposal adalah komunitas yang bergantung pada hutan termasuk komunitas adat dan traditional, lembaga swadaya masyarakat, organisasi rakyat dan usaha kecil berbasis masyarakat yang bekerja untuk dan dengan komunitas adat dan hutan. Mitra dapat mengajukan proposal atau konsep proposal yang menangani aktifitas-aktifitas layak sebagai berikut: ƒ Pengembangan inisiatif alternatif dan kehidupan berkelanjutan, pengembangan kapasitas dan keahlian komunitas yang akan secara signifikan mengurangi tekanan pada sumber daya hutan; ƒ Membangun kapasitas dan jaringan kerja pemangku kepentingan para komunitas untuk pengelolaan yang ramah komunitas sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lain; dan ƒ Menunjang kemantapan hak pemanfaatanpenggunaan lahan dan sumber daya alam lain, dan dengan demikian memperbaiki akses penggunaanpemanfaatan sumber daya alam lestari. Aktifitas-aktifitas tersebut di atas harus mempunyai tema umum kehidupan berkelanjutan dari komunitas yang bergantung pada hutan termasuk komunitas adat dan orang asli. Tema spesifik meliputi Pengelolaan Sumberdaya Hutan Berbasis Komunitas Secara Terpadu, Membangun Prakondisi bagi terciptanya lingkungan hidup yang berkelanjutan dan Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan. Rentang pendanaan dari jumlah minimum sebesar € 20.000 sekitar dua ratus Juta Rupiah hingga jumlah maksimum sebesar €100,000 sekitar 1 Milyar Rupiah bagi setiap proyek untuk periode 2 tahun 2005 – 2007. Jumlah yang diajukan harus secara jelas menggambarkan tujuan dan pencapaian dalam periode waktu tersebut. SGP PTF akan mendanai 80 dari biaya total proyek dan 20 dari dana harus dilengkapi oleh mitra pengaju proposal dalam bentuk dana maupun aset. Proyek yang diajukan harus merupakan kelanjutan dari proyek yang ada dan sudah memiliki struktur pengelolaan dasar. Melalui seleksi yang ketat yang dilakukan oleh Sekretariat SGP PTF UNDP ini telah terpilih 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah untuk mendapatkan dukungan dana. Besarnya jumlah dana dan rentang waktu pelaksanaan program yang dilakukan oleh LSM sangat beragam. SGPPTF ini aktif berjalan mulai tahun 2005 – 2007.

2.1.5. Praktik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia

Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan salah satu diantara negara di dunia yang mempunyai sumber daya hutan yang besar dengan keanekaragaman hayati yang tinggi. Bersamaan dengan meningkatnya pengetahuan mengenai sumberdaya hutan dan apresiasi mengenai manfaat sumberdaya hutan, terlihat adanya keterkaitan dalam kerangka perkembangan sosial-budaya masyarakat bagi baik lokal maupun global. Hal ini menimbulkan paradigma baru yaitu pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari sustainable forest managementSFM Saat ini, perhatian publik terhadap pengelolaan hutan lestari telah mengalami kemajuan yang pesat. Dalam kerangka itu, pengelolaan hutan berbasis masyarakat PHBM muncul sebagai salah satu alternatif model pengelolaan hutan di Indonesia. Makna kehutanan masyarakat seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang di lapangan. Komunitas hanya dilihat seperti sekumpulan masyarakat yang memegang teguh hukum adat atau kearifan lokal yang sudah turun temurun sejak dulu kala. Komunitas masih dianggap mempunyai tingkat bargaining position yang rendah, kemampuan yang lemah dan tanpa adanya leverages untuk merubah menuju kearah yang lebih baik. Kondisi seperti itu masih diperparah dengan lemahnya dukungan dan lindungan dari pemerintah. Namun kenyataan yang sebenarnya adalah komunitas pengelola hutan telah terbukti mampu menjaga dan memelihara sumberdaya hutan yang menjadi tumpuan hidupnya. Pengakuan atas kemampuan dan kearifan komunitas dalam mengelola sumberdaya hutannya itu telah dibuktikan dengan banyaknya hasil kajian di berbagai lokasi dan telah lama dilakukan. Menurut Suharjito 2000, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok suatu komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik individualrumah tangga untuk memenuhi kebutuhan individurumahtangga dan masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun sekedar untuk subsistensi. Keragaman PHBM di Indonesia menunjukkan variasi berdasarkan asal-usul prakarsa pengelolaannya, status lahan yang dijadikan areal pengelolaan, fungsi kawasan dari lokasi lahan pengelolaan, jenis produk utama yang diusahakan, dan kelembagaan atau organisasi sosial yang terbentuk atau dibentuk sebagai institusi pengelolaan hutan LEI, 2001. Ada tiga dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berbasis masyarakat, yaitu pengembangan institusi yang terkait dengan pengaturan tata kuasa dan tata guna lahan, pengembangan institusi yang terkait dengan tata produksi, dan pengembangan institusi yang terkait dengan tata konsumsi. Upaya dan strategi pengembangan institusi di tingkat lokal ini pada dasarnya dipengaruhi oleh sedikitnya tiga hal utama yaitu kondisi fisik dan sumberdaya alam setempat, faktor-faktor ekonomi politik pada tingkat internasional, nasional, maupun daerah, dan faktor dinamika sosial politik lokal Tim Karsa, 2007 Dalam Tambun, W et.al 2007, yang memuat kumpulan pengalaman pelaksanaan PHBM dan pendampingan oleh LSM yang tersebar di wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung, Jambi, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur, menjelaskan bahwa praktik-praktik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di Indonesia merupakan suatu kenyataan yang telah berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, tersebar di banyak tempat dan mampu mempertahankan kondisi hutan sehingga dapat berfungsi dengan baik. Hal senada juga dijelaskan Suharjito 2006, yang memuat kumpulan pendampingan oleh LSM dalam pelaksanaan PHBM yang tersebar di wilayah Jawa Barat, Jogjakarta, Jambi, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat, bahwa kegiatan pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan telah berlangsung cukup lama. Kegiatan pendampingan tersebut dilakukan oleh beragam LSM maupun universitasperguruan tinggi. Kegiatan pendampingan tersebar di berbagai daerah dengan konteks sosial budaya yang berbeda-beda. Sumberdaya hutan yang menjadi arena pergumulanpun berbeda-beda, baik fungsi utamanya: hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung, maupun ragam produknya: buah-buahan, rotan, dan kayu. Pihak-pihak yang terlibat dalam pergumulan sumberdaya hutan tersebut juga beragam kepentingan. Social Forestry SF merupakan salah satu kebijakan Pemerintah dibidang kehutanan yang memberikan akses langsung kepada masyarakat dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa disekitar hutan. Perguliran kebijakan SF ini membuktikan bahwa pemerintah telah melakukan koreksi yang selama ini memposisikan masyarakat sekitar hutan termarjinalkan dengan melatakkan paradigma pembangunan kehutanan berbasis pemberdayaan masyarakat Departemen Kehutanan, 2005. Dari aspek kebijakan, akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan sudah cukup terbuka. Selain SF, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan HKm, Hutan Desa, dan Hutan Tanaman Rakyat HTR. Namun dalam implementasinya kebijakan ini kurang berjalan dengan baik, antara lain akibat belum berubahnya paradigma sebagian besar aparat kehutanan dan para pihak terkait serta belum terbangunnya sistem pelayanan pemerintah untuk pengembangan sistem pengelolaan berbasis masyarakat lokal tersebut. Masyarakat lokal dan kelompok-kelompok lokal lainnya sering mempunyai kepentingan-kepentingan terhadap hutan yang saling berbeda, atau bahkan bertentangan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka terhadap perbedaan-perbedaan antara kelompok, tidak mengetahui bagaimana menangani konflik, atau tidak memiliki cara untuk mendorong kerjasama. Jadi, tantangan terbesar dalam upaya partisipatif adalah ketidakmampuan pelaksana upaya-upaya tersebut dalam menghadapi tuntunan-tuntunan yang beragam atas hutan melalui kolaborasi Kusmanto, 2006. Dari perkembangan pendekatan partisipatif dalam pengelolaan hutan di Indonesia, kita dapat melihat bahwa yang telah terjadi adalah proses pembelajaran coba dan ralat trial and error antara berbagai kelompok kepentingan. Pembelajaran ini masih berlangsung sampai saat ini. Namun pembelajaran telah terjadi, laju pembelajaran tersebut berjalan lamban dan partisipasi masih dilihat terutama sebagai cara untuk memastikan agar hutan tetap dapat dijadikan sumber pendapatan dan kekayaan bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Di lain pihak, praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh masyarakat, meskipun dibawah tekanan-tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan, masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk mewujudkan kelestarian sumberdaya alam. Namun realisasi dari dorongan pergeseran tersebut belum juga terwujud dalam praktek akibat hambatan- hambatan antara lain berupa perbedaan persepsi dan sikap pemerintah termasuk pihak akademisi yang masih relatif lebih kuat Suharjito, 2000. Pada umumnya pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal mempunyai karakteristik ketahanan yang tinggi terhadap krisis ekonomi, sekaligus mampu memelihara fungsi lingkungan sehingga praktik-praktik ini merupakan alternatif pengelolaan hutan di masa mendatang yang paling tepat dikembangkan tatkala pertumbuhan penduduk terus meningkat. 2.1.6. Pengukuran Peran LSM 2.1.6.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja LSM Kinerja suatu organisasi secara periodik perlu di evaluasi secara menyeluruh. Maksud dari evaluasi tersebut adalah untuk mendapatkan informasi penting sebagai umpan balik apakah organisasi telah menjalankan strateginya atau belum sehingga masuk sebagai kontrol dari seluruh proses pelaksanaannya implementation control. Implementasi strategi terjadi dalam tahapan-tahapan, program-program, investasi dan inisiatif yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Dalam menjalankan suatu strategi para manager mengkonversikan rencana-rencana garis besar menjadi langkah-langkah kongkrit dengan menjalankan program-program tertentu, menempatkan dan menyesuaikan personel dengan kebutuhannya, serta mengalokasikan sumberdaya. Menurut Yuwono, et al. 2006, pengukuran kinerja adalah tindakan pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivias dalam rantai nilai yang ada pada perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik dimana perusahaan memerlukan penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan pengendalian. Menurut Gaspersz 2005 pengukuran merupakan suatu cara memantau dan menelusuri kemajuan-tujuan-tujuan strategis. Berdasarkan Ibrahim 2004, kalangan donor menilai bahwa LSM akan dinilai dari empat hal yang masing-masing tidak bisa diabaikan dan saling berkaitan, yaitu dari aspek manajemen teknis, legitimasi, akuntabilitas dan transparansi LSM. Untuk itu, ada sekurang-kurangnya empat faktor penting untuk dapat dikembangkan oleh kalangan LSM adalah: 1. Internal governance. Faktor ini mencakup aspek pengambilan keputusan, perbedaan dan pembagian peran antara pengurus dengan badan pelaksna, pertanggungjawaban kepada konstituen, dan kejelasan mengenai visi, misi dan tujuan LSM. 2. Akuntabilitas. Akuntabilitas ini tidak hanya terhadap pemerintah tetapi juga terhadap publik yang lebih luas. Selama ini LSM hanya berusaha untuk akuntabel terhadap donor yang memberikan bantuan pendanaan bagi mereka dalam bentuk naratif dan keuangan proyek. Sudah saatnya LSM mengembangkan mekanisme akuntabilitas kepada publik yang lebih luas. 3. Pengembangan hubungan antar LSM. LSM harus melakukan pengembangan hubungan yang intensif baik dengan sesama LSM mapun dengan kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi beneficiaries program-program LSM selama ini. 4. Management LSM. Hal ini menyangkut perencanaan strategis, manajemen program, manajemen keuangan serta pengembangan SDM. Ada tiga indikator yang dapat dijadikan ukuran apakah LSM mempunyai legitimasi. Pertama, pengakuan, apakah LSM diakui keberadaannya oleh pemerintah atau pihak lain yang melibatkannya dalam proses penyusunan kebijakan. Kedua, pembenaran, apakah kegiatan-kegiatan LSM mendapat sambutan dari masyarakat dengan memberikan dukungan moral. Ketiga, dukungan, apakah LSM memperoleh bantuan berupa dana, tenaga, dan sebagainya dari masyarakat maupun pihak-pihak lainnya Ibrahim, 2004. Sementara itu ada tiga sumber legitimasi bagi LSM. Pertama, legitimasi moral, yang menyangkut kesesuaian antara apa yang dilakukan oleh LSM dengan nilai-nilai norma. Kedua, legitimasi hukum, merupakan pengakuan dari negara akan keberadaan LSM serat dukungan berupa regulasi bagi LSM dalam melaksanakan kegiatannya. Ketiga, legitimasi sosial, berupa pengakuan dari masyarakat kepada LSM karena dianggap bermanfaat bagi masyarakat Ibrahim, 2004. Secara umum keberadaan setiap organisasi cenderung untuk melakukan pengukuran kinerja yang diharapkan untuk menjawab akuntabilitas organisasinya. Menurut Santika 2004, pada kenyataannya paling tidak terdapat 5 lima aspek yang sangat umum untuk mengetahui kinerja dari suatu organisasi, yaitu aspek finansial, operasi kegiatan internal, kepuasan staf, kepuasan komunitas dan shareholdersstakeholders , dan dimensi waktu. Aspek-aspek inilah yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dan akuntabilitas LSM di Indonesia. Sejumlah LSM telah melakukan inisiatif untuk mengembangkan program akreditasi dan sertifikasi LSM. Salah satu tujuannya adalah untuk menjamin integritas dan kredibilitas LSM itu sendiri. Menurut Ibrahim 2004, dalam program sertifikasi ini sekurang-kurangnya ada lima elemen yang harus diperhatikan. Pertama, visi, misi, dan tujuan LSM; kedua, internal governance; ketiga , manajemen, administrasi, dan keuangan; keempat, operasioanl program; kelima , legitimasi dengan mengembangkan indikator dan mean of verification- nya. Secara umum keberadaan setiap organisasi cenderung untuk melakukan pengukuran kinerja yang diharapkan untuk menjawab akuntabilitas organisasinya. Menurut Santika 2004, pada kenyataannya paling tidak terdapat 5 lima aspek yang sangat umum untuk mengetahui kinerja dari suatu organisasi, yaitu aspek finansial, operasi kegiatan internal, kepuasan staf, kepuasan komunitas dan shareholdersstakeholders , dan dimensi waktu. Aspek-aspek inilah yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dan akuntabilitas LSM di Indonesia. Melihat dari kompleksitas permasalahan yang ada, jelas hal ini harus segera mendapatkan perhatian yang serius terutama dari kalangan LSM sendiri sebagi pihak yang paling berkepentingan. Perlu adanya komitmen yang kuat dari pihak LSM untuk mengimplementasikan gagasan akuntabilitas dan transparansi tersebut sehingga secara bertahap LSM dapat kembali menampilkan citra dirinya secara lebih positif.

2.1.6.2. Indikator Penilaian Kinerja LSM

Upaya LSM untuk mendapatkan pengakuan dan kepercayaan publik tidak cukup dengan menyumbang atau bekerjasama dengan konstituennya. Ada hal yang sangat esensial bagi LSM untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, yaitu LSM harus berusaha mempertanggungjawabkan apa yang sudah dan akan dilakukan dengan transparan ke publik. Menurut Ibrahim 2004, ada sekurang-kurangnya enam instrumen yang dapat digunakan untuk menjalankan akuntabilitas LSM, yaitu laporan berkala, audit publik, rapat anggota board of trustees, mekanisme konsultasi publik, tanggap terhadap pengaduan masyarakat, dan survai pendapat umum. Lebih lanjut Kas 2005 menjelaskan bahwa ada 2 aspek penting yang menjadi pokok perhatian dalam melakukan monitoring dan evaluasi untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas LSM. Pertama, aspek organisasi, yang meliputi visi dan misi, struktur organisasi, pola pengambilan keputusan, keberlanjutan program, keadilan dan kesetaraan gender, dan pengelolaan keuangan. Kedua adalah aspek program, yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan, monitoring dan evaluasi keberlanjutan program, serta sasaran pertanggungjawaban. Secara lebih rinci, Tifa 2006 1 telah mengembangkan sebuah tools untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas LSM. Tools ini berisi 6 indikator yang dapat dijadikan sebagai elemen penilaian kinerja LSM, yaitu: 1. Elemen Visi – Misi dan Tujuan Organisasi Visi adalah cara pandang organisasi terhadap kondisi ideal atau hasil akhir yang ingin dituju. Sedangkan misi adalah alasansebab keberadaan organisasi; misi merupakan suatu pola dari sasaran purpose yang dapat digunakan untuk mengawali, mengevaluasi, dan merumuskan ulang seluruh kegiatan organisasi. Rumusan misi dianggap baik bila menunjukkan cakupan kegiatan dan masyarakat dampingan. Tujuan Goals adalah gambaran tentang apa yang ingin dicapai oleh organisasi dalam kurun waktu tertentu. Tujuan merupakan sasaran kinerja atau hasil akhir yang berkaitan dengan kegiatan. Visi dan Misi relatif tetap selama kurun waktu tertentu. Tetapi tujuan mungkin berubah seiring waktu dan respon terhadap kondisi lingkungan. Tujuan goals merupakan hasil potensial yang menggerakkan organisasi mendekati visi dan misinya. Visi-Misi dan Tujuan organisasi yang baik, senantiasa mencerminkan kebutuhan masyarakat, sesuai mandat yang diberikan masyarakat terhadap organisasi. Oleh karena itu, dalam penyusunan Visi, misi dan Tujuan organisasi, keterlibatan para pemangku kepentingan stakeholders organisasi Board dewan pendiri, jajaran manajemen, staf, kelompok dampingan, dan masyarakat merupakan suatu keharusan. Dengan kata lain, penyusunan Visi, Misi dan Tujuan organisasi idealnya dilakukan secara partisipatif. Dalam penyusunan secara partisipatif ini, 1 Yayasan Tifa yang diresmikan tanggal 8 Desember 2000 membawa misi untuk mengembangkan masyarakat terbuka di Indonesia, yang menghormati perbedaan, menghargai hukum, keadilan dan persamaan. Visi Yayasan Tifa adalah terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi hak-hak pribadi, terutama hak dan pandangan perempuan, kelompok minoritas dan kelompok yang tidak diuntungkan lainnya. Yayasan ini juga mendukung terciptanya pemerintahan governance yang baik. stakeholder yang hadir tidak sekadar terlibat secara “kehadirannya” saja, tetapi juga terlibat secara aktif dalam perumusan V – M – T. Selain disusun secara partisipatif, penyusunan V – M – T juga harus memperhatikan perspektif gender. Jika staf lembaga bergabung dengan lembaga sesudah proses perumusan V – M – T, perlu adanya usaha untuk mendiseminasi V- M – T tersebut kepada staf baru. Tentu saja, rumusan yang jelas tertulis mengenai Visi, Misi dan Tujuan harus diketahui oleh para pemangku kepentingan stakeholders organisasi. Dengan demikian, seluruh aktivitas pemangku kepentingan stakeholders organisasi senantiasa dalam kerangka visi, misi dan tujuan yang hendak dicapai bersama. 2. Elemen Tata Laksana Governance Tata Laksana mengacu pada tatanan organisasi dalam merumuskan dan melaksanakan kebijakan yang menuntun pelaksanaan misi dan tujuan yang ingin dicapai. Pengambilan keputusan, kepemimpinan dan kaderisasi, pertanggungjawaban, dan struktur organisasi merupakan elemen kunci dalam penyelenggaraan governing suatu organisasi. Semua hal yang berkaitan dengan mekanisme dalam organisasi pengambilan keputusan, kepemimpinan dan kaderisasi, dan struktur organisasi dilandasi kesepakatan bersama seluruh anggota organisasi boarddewan pendiri, jajaran manajemen, dan staf. Kesepakatan ini kemudian kemudian didokumentasikan agar jelas dan dapat dijadikan pedoman yang diterapkan organisasi secara konsisten. Pada proses pengambilan keputusan, keputusan tersebut dapat mempengaruhi kebijakan organisasi secara keseluruhan. Keterlibatan berbagai pihak pengurus, direktur eksekutif, staf organisasi dapat mempengaruhi tingkat transparansi dan akuntabilitas proses. 3. Elemen Administrasi Administrasi berkaitan dengan penyelenggaraan atau pengelolaan organisasi setiap hari. Hal ini meliputi pembagian kerja, sistem manajemen informasi dan personalia. Organisasi perlu sistem pengelolaan bahkan aturan main yang baik agar efektivitas dan efisiensi dapat terwujud. Untuk menimbulkan sense of belonging dan keterlibatan semua anggota organisasi terhadap sistem pengelolaan, dilakukan penyusunan secara partisipatif. 4. Elemen Program Program merupakan jabaran dari misi yang nantinya akan diterjemahkan dalam kegiatan organisasi. Hal ini mencakup elemen integritas program, perencanaan program, pelaksanaan program dan monitoring dan evaluasi. Program organisasi senantiasa mengacu pada visi dan misi organisasi. Keterlibatan rekan jejaring dalam perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring dan evaluasi program akan sangat membantu tercapainya visi dan misi organisasi. Tanpa program, organisasi tidak akan mempunyai kegiatan, karena kegiatan merupakan terjemahan program. 5. Elemen Pengelolaan Keuangan Pengelolaan Keuangan mengacu pada prinsip pengelolaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif dan akuntabel. Proses pengelolaan menganut prinsip keterbukaan, akuntabilitas Tahapan pengelolaan keuangan meliputi: perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, pengawasan, pembuatan informasi, penggalangan dana, dan keberlanjutan keuangan. Keuangan dalam organisasi merupakan urat nadi organisasi karena tanpa dana uang, program tidak bisa dilakukan. Namun ingat Visi, misi dan tujuan organisasi harus selalu dijadikan pedoman dalam perencanaan, pengelolaan, pertanggungjawaban, penggalangan dana maupun keberlanjutan keuangan itu sendiri. Prinsip keterbukaan dan akuntabilitas harus dibudayakan Informasi keuangan bersifat terbuka, mudah diakses, diterbitkan secara teratur, dan mutakhir. 6. Elemen Legitimasi Legitimasi merupakan pengakuan masyarakat yang valid bahwa LSM yang bersangkutan benar-benar merupakan organisasi yang menjalankan mandat dari masyarakat, memberi manfaat serta diakui oleh masyarakat. Legitimasi bisa dilihat dari dua elemen yaitu sosial dan hukum legal. Untuk elemen sosial, legitimasi dapat dilihat pada bagaimana, LSM yang bersangkutan mendisseminasikan gagasan dan pemikirannya, serta pengakuan dan dukungan dari masyarakat dalam berbagai bentuknya. Prinsip-prinsip legitimasi adalah responsibilitas cepat, tanggap, dan peka terhadap dinamika yang berkembang di masyarakat serta aktif memfasilitasi memfasilitasi kasus-kasus publik, dan komposisi alokasi sumber daya, baik itu sumber daya manusia ataupun anggaran harus lebih besar untuk masyarakat atau target group daripada alokasi untuk LSM itu sendiri. Indikator-indikator penilaian kinerja ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam melakukan penilaian kinerja LSM. Melalui indikator ini dapat ditentukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan peningkatan kapasitas lembaga hingga bisa menjadi sebuah lembaga yang lebih akuntabel dan transparan. 2.2. Kajian Penelitian Terdahulu Berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan upaya peningkatan akuntabilitas dan transparansi LSM di beberapa kota telah memicu kesadaran para aktivis LSM lokal bahwa salah satu problem terbesar yang dihadapi mereka saat ini adalah minimnya akuntabilitas dan transparansi. Mereka mulai menyadari bahwa problem akuntabilitas LSM ini telah menjadi sorotan mayarakat dan harus segera mendapatkan perhatian jika mereka ingin tetap eksis dalam perjuangannya dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Menurut Kas 2005, berbagai survei dan analisis dilakukan berbagai pihak sebagai upaya untuk mengetahui sejauh mana perkembangan transparansi dan akuntabilitas organisasi masyarakat sipil OMS untuk meningkatkan kinerja dan tanggung jawabnya kepada publik. Menurut Baswir 2004, persoalan-persoalan yang dihadapi LSM diantaranya adalah terlihat banyak yang tidak mengerti akar persoalan yang ditangani, belum benar-benar sesuai dengan prioritas aspirasi masyarakat, dan masih bersifat funding-driven. Hal ini sejalan dengan Saidi 2004 bahwa LSM saat ini tengah menghadapi lima persoalan mendasar, yakni legitimasi politis, akuntabilitas legal, keberlanjutan finansial, kompetensi profesionalitas, dan kredibilitas sosial. Hasil assessment yang dilakukan oleh Mercy Corps Ibrahim, 2004, sebuah lembaga donor untuk program keuangan mikro, mengenai sejauh mana prinsip- prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas di kalangan LSM yang menjadi mitranya menemukan beberapa hal: 1. Struktur organisasi dan kepemimpinan. Di beberapa LSM ternyata tidak ada pemisahan antara board dan eksekutif. Beberapa organisasi menunjukkan bahwa kepemimpinan organisasi didominasi oleh satu orang yang biasanya menjadi pendiri dari LSM tersebut. Ia biasanya menduduki jabatan sebagai ketua pengurus juga sebagai direktur pelaksana. Kalaupun ada anggota pengurus yang lain, maka biasanya juga mereka terlibat sebagai pelaksana program, sementara staf kurang dilibatkan dalam pengambilan keputusan di dalam organisasi. 2. Partisipasi masyarakat. Beberapa LSM ternyata tidak pernah meminta masukan dari kalangan intended benefeciaries-nya. Sebagian lagi tidak melibatkan masyarakat secara intensif dalam seleksi dan merancang kegiatan. Beberapa LSM hanya meminta pendapat dari tokoh-tokoh masyarakat secara informal ketika akan merencanakan suatu proyek dan hal ini membuat masyarakat tidak cukup dilibatkan secara luas. Seringkali LSM merancang dan kegiatan mereka hanya berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki tentang daerah tertentu atau yang menurut mereka paling baik untuk masyarakat. Kegiatan ini akhirnya akan merupakan campur-tangan yang bersifat top-down. 3. Akuntabilitas dan transparansi. Sebagian besar LSM masih banyak mempunyai kelemahan dalam akuntabilitas dalam arti mekanisme, prosedur dan kemampuan untuk mempertanggungjawabkan program dan kegiatan serta dana yang diperolehnya kepada publik yang lebih luas. Sebagian LSM tidak mempunyai sistem dokumentasi dan informasi yang jelas mengenai program yang dilaksanakan. Sebagian tidak mempunyai prosedur-prosedur keuangan yang transparan mengenai penerimaan dan pengeluaran dana serta sistem akuntansi. Sebagian besar LSM tidak pernah membuat laporan program dan laporan keuangan tahunan untuk dapat diketahui oleh publik yang lebih luas. 4. Ukuran keberhasilan. Beberapa LSM ternyata tidak mempunyai ukuran-ukuran dan kriteria mengenai keberhasilan program yang dilakukannya. Berdasarkan penelitian National Democratic Institute NDI dalam Kas 2005 mengenai Persepsi Masyarakat terhadap Ornop, menghasilkan penemuan penting. Pertama, meskipun LSM seringkali dipersepsikan sebagai organisasi non profit yang berkiprah dalam bidang sosial kemasyarakatan namun sebagian besar responden yang diwawancarai beranggapan bahwa LSM-LSM saat ini lebih berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah untuk meligitimasi program-program pemerintah dalam rangka mendapatkan bantuan dari luar negeri. Kedua, masyarakat seringkali justru merasa skeptis terhadap program- program yang dilakukan oleh LSM. Beberapa jenis LSM seperti LSM politik cenderung mendapatkan apresiasi yang sangat rendah. Mereka bahkan berpendapat bahwa jenis LSM ini sepertinya tidak diperlukan mengingat fungsi pendidikan politik political education dapat dilakukan oleh media massa. Masyarakat memiliki kekhawatiran bahwa keberadaan LSM politik justru dapat mempertajam konflik yang terjadi di masyarakat karena dapat dipergunakan untuk kepentingan pihak-pihak tertentu. Lembaga Demos, dalam sebuah penelitiannya yang dipublikasikan pada Majalah Tempo edisi 13 Desember 2004, memaparkan sebuah fakta menarik. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 363 responden di 29 propinsi, dari Aceh hingga Papua, terungkap fakta bahwa meskipun partisispasi warga negara dalam organisasi independen, kelompok kewargaan dan gerakan sosial menjadi lebih baik 72 namun hanya sekitar 58 responden yang menyatakan bahwa transparansi, akuntabilitas dan demokrasi-tidaknya OMS menjadi lebih baik pascapemilu 1999. Lebih lanjut ditemukan fakta bahwa apabila sikap responden tersebut kita bandingkan dengan item pertanyaan lain yang dikelompokkan sebagai sub-bagian hak dan institusi demokrasi seperti: kebebasan berbicara, berserikat dan berorganisasi 79, kebebasan mendirikan serikat buruh 70, kesetaraan serta emansipasi gender 63, maka permasalahan transparansi dan akuntabilitas OMS tersebut mendapatkan tingkat kepercayaan yang lebih rendah. Survei ini menjadi semakin menarik apabila kita memperhatikan latar belakang para responden sebagai aktivis Ornop yang bekerja dalam gerakan- gerakan advokasi masyarakat. Sekilas hasil survei tersebut telah menunjukkan munculnya kesadaran dari kalangan LSM sendiri mengenai perlunya self-critism terhadap kinerja mereka selama ini. Survei yang dilakukan oleh PIRAC pada tahun 2004 dengan responden sebanyak 2.500 orang dalam Prihatna 2005, diantaranya menemukan beberapa hal. LSM belum mendapatkan dukungan yang cukup besar dari masyarakat dalam hal pendanaan, meskipun sebanyak 75 responden mengaku pernah mendengar kata LSM. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh masyarakat adalah mengapa tidak mau menyumbang ke LSM diantaranya adalah karena tidak tertarik pada program yang dijalankan 13, tidak merasakan manfaat dari program yang dijalankan oleh LSM 22, dan sebagian besar lagi mengatakan karena LSM tidak pernah meminta dana dari masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh Bayunanda 2008 tentang kinerja Lembaga Ekolabel Indonesia LEI, sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan, dengan menggunakan ukuran kinerja balanced score card BSC menemukan bahwa hasil pembobotan perspektif pelanggan mendapat bobot 27, pembelajaran dan pertumbuhan 26, finansial 25 dan proses internal 22. Dari pengukuran indeks rata-rata kinerja organisasi mendapatkan angka 96.1 atau masuk ke dalam performance range yang tidak baik. Diantara keempat perspektif balanced scorecard, LEI perlu memperbaiki kinerjanya pada perspektif finansial, pertumbuhan dan pembelajaran, dan pelanggan. Untuk perspektif proses internal kinerja lembaga paling baik di bandingkan 3 aspek yang lain hal ini merupakan modal. Berdasarkan Alimaturahim 2002, suatu kegiatan pembangunan yang dikelola oleh Ornop maupun OMS pada hakekatnya dituntut agar dapat memberikan kepuasan politik political satisfaction kepada empat kelompok utama yang terkait, yaitu: 1 masyarakat yang menerima manfaat beneficiaries atau kelompok sasaran target groups serta pihak-pihak yang berkepentingan stakeholders; 2 pihak penyandang dana atau lembaga donor; 3 pemerintah selaku administratur pembangunan; dan 4 para pengelola pembangunan itu sendiri OrnopOMS. BAB III METODE PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

Permasalahan mendasar yang terjadi di dunia kehutanan diantaranya adalah kerusakan sumberdaya hutan yang tinggi sementara kapasitas masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar hutan masih rendah. Salah satu penyebab adanya kerusakan hutan yang begitu tinggi salah satunya disebabkan oleh kegagalan kebijakan kehutanan yang tidak berpihak pada masyarakat dan juga tidak berpihak pada kelestaraian sumberdaya hutannya itu sendiri. Kondisi ini kemudian memunculkan banyak inisiatif dalam pengelolaan hutan khususnya pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBMcommunity-based forest management menjadi salah satu pilihan dalam sebuah sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat menuju pengelolaan hutan yang lestari. Seiring dengan perubahan tersebut, banyak LSM yang terlibat aktif dan intensif dalam mendampingi masyarakat menuju pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat. Pengembangan kapasitas dan penguatan kelembagaan masyarakat di sekitar hutan telah menjadi agenda utama dari banyak LSM Kehutanan. Pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang berhubungan dengan PHBM. Kebijakan yang telah dikeluarkan diantaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut No. P.26Menhut-II2005 tentang Pemanfaatan Hutan Hak, Permenhut No. P.23Menhut-II2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat, Permenhut No. P.37Menhut-II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, dan terbaru adalah Permenhut No. P.49Menhut-II2007 tentang Hutan Desa. Kebijakan pemerintah ini sebagai upaya untuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk memperoleh hak-haknya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Meskipun dalam pelaksanaannnya masih menemui kendala, termasuk belum tersedianya petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Selain kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, dibeberapa lokasi, misalnya di Propinsi Jambi, pemerintah daerah juga mengeluarkan sejumlah peraturan desa Perdes maupun peraturan daerah Perda dan Surat Keputusan SK Bupati untuk memberikan sejumlah hak-hak masyarakat dalam mengelola sumberdaya hutannya yang memang telah terbukti mampu menjaga hutannya. Di sisi lain, banyak LSM Kehutanan yang bergerak dalam bidang pengembangan PHBM yang bersentuhan langsung dengan suatu kawasan hutan, mempunyai keragaman program, metodologi, sebaran wilayah yang luas dan pendekatan yang berbeda-beda pula. Pada dasarnya program yang dijalankan oleh LSM Kehutanan ini yang bertujuan untuk mengembangkan institusi lokal pada tingkat masyarakat dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan secara adil dan berkelanjutan. Program yang dilakukan oleh LSM ini mendapatkan banyak dukungan dana dari lembaga donor, khususnya lembaga donor dari luar negeri. Bentuk dukungan yang diberikan lembaga donatur dalam program community forestry diantaranya adalah program pemberdayaan masyarakat dan program pengembangan kemitraan partnership. Salah satu lembaga donor yang menjadi fokus dari penelitian ini adalah SGPPTF UNDP yang berjalan mulai tahun 2005 – 2007. Melalui program ini telah diberikan sejumlah dana kepada 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi Tengah. Tema utama SGPPTF ini adalah pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang terpadu. Program pengembangan masyarakat community empowerment dalam bentuk program pengembangan PHBM yang dilakukan oleh LSM Kehutanan diharapkan akan mampu meningkatkan kapasitas dan keahlian masyarakat pengelola hutan. Pengembangan PHBM ini juga diharapkan secara signifikan dapat mengurangi tekanan dan kerusakan terhadap fungsi-fungsi kelestarian sumber daya hutan yang memegang peranan sangat penting dalam kehidupan masyarakat. Selain itu juga untuk membangun kapasitas dan jejaring network diantara pemangku kepentingan stakeholders untuk mencapai pengelolaan hutan yang ramah lingkungan dan berkelanjutan sehingga keterkaitan pada pemangku kepentingan lain dapat memenuhi kebutuhan dasar dan jasa-jasa lainnya. Namun disisi lain, kadang beberapa program yang dilakukan oleh LSM Kehutanan belum sepenuhnya sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Dalam penyusunan proposal dan mekanisme monitoring dan evaluasi program misalnya, terkadang masyarakat tidak dilibatkan dari awal sehingga terjadi lackgap antara kebutuhan masyarakat dan kepentingan LSM Kehutanan itu sendiri. Terkadang masyarakat hanya dijadikan sebagai alat justifikasi untuk memperoleh dukungan finansial dari lembaga donor. Untuk itu, yang patut diperhatikan adalah bahwa seluruh program yang diusung oleh LSM Kehutanan seharusnya merupakan program yang memang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat. Ini berarti bahwa selama rangkaian proses kegiatan dalam suatu program selalu melibatkan peran aktif dari masyarakat sebagai penerima manfaat beneficiaries, mulai dari analisis sosial, penyusunan proposal, sampai dengan monitoring dan evaluasi program. Rangkaian kegiatan ini berkaitan dengan keberlanjutan program yang akan memberikan dampak langsung terhadap masyarakat. Apabila program yang dilakukan LSM telah sesuai dengan kebutuhan masyarakat maka diharapkan masyarakat akan mampu mengelola hasil program itu sendiri tanpa adanya ketergantungan pendanaan dari lembaga pendampingnya maupun dari lembaga donor funding agency. Upaya LSM untuk mendapatkan pengakuan dan kepercayaan publik tidak cukup dengan menyumbang pada atau bekerjasama dengan konstituennya. Ada hal lain yang sangat esensial bagi LSM untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, yaitu LSM harus berusaha mempertanggungjawabkan apa yang sudah dan akan dilakukan dengan transparan ke publik. Upaya ini dilakukan dalam rangka menuju pengelolaan hutan yang lestari dan kapasitas masyarakat meningkat. Dalam penelitian ini, indikator-indikator penilaian kinerja yang dikembangkan oleh Yayasan Tifa 2006 akan dijadikan sebagai acuan dalam melakukan penilaian kinerja LSM. Ukuran kinerja akan menilai 6 elemen utama, yaitu elemen Visi dan Misi, elemen Program, elemen Tata Laksana, elemen Administrasi, elemen Keuangan, dan elemen Legitimasi. Melalui indikator ini dapat ditentukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan peningkatan kapasitas lembaga hingga bisa menjadi sebuah lembaga yang yang mempunyai kinerja lebih baik. Untuk melihat peran LSM dalam program PHBM terkait dengan pendekatan dengan masyarakat, dilakukan metode analisis pengembangan institusi lokal Afiff, 2007. Ada empat dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan PHBM, yaitu: 1 pengaturan tata kuasa dan tata guna lahan, 2 pengaturan tata produksi, dan 3 pengaturan tata konsumsi. Untuk itu, penelitian ini mempunyai nilai penting dalam merumuskan pengembangan strategi dan program LSM Kehutanan dalam pengembangan PHBM di Indonesia melalui penilaian peran LSM sebagai lembaga yang bersentuhan langsung dengan masyarakat dan hutannya. Karena peran LSM sangat penting dalam konteks pendampingan dan advokasi, maka bila kinerja LSM baik dan selalu meningkat maka harapannya akan menuju tujuan utama yaitu pengelolaan sumberdaya hutan berbasis masyarakat yang lestari dan masyarakat sejahtera. Pada Gambar 1 dapat dilihat kerangka pemikiran penelitian penilaian kinerja LSM dalam program PHBM. Gambar 1. Kerangka Pemikiran Penelitian

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian