maupun aset. Proyek yang diajukan harus merupakan kelanjutan dari proyek yang ada dan sudah memiliki struktur pengelolaan dasar.
Melalui seleksi yang ketat yang dilakukan oleh Sekretariat SGP PTF UNDP ini telah terpilih 25 LSM yang tersebar di wilayah Jawa, Sumatera dan Sulawesi
Tengah untuk mendapatkan dukungan dana. Besarnya jumlah dana dan rentang waktu pelaksanaan program yang dilakukan oleh LSM sangat beragam. SGPPTF
ini aktif berjalan mulai tahun 2005 – 2007.
2.1.5. Praktik Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat di Indonesia
Indonesia sebagai negara kepulauan merupakan salah satu diantara negara di dunia yang mempunyai sumber daya hutan yang besar dengan keanekaragaman
hayati yang tinggi. Bersamaan dengan meningkatnya pengetahuan mengenai sumberdaya hutan dan apresiasi mengenai manfaat sumberdaya hutan, terlihat
adanya keterkaitan dalam kerangka perkembangan sosial-budaya masyarakat bagi baik lokal maupun global. Hal ini menimbulkan paradigma baru yaitu
pengelolaan sumberdaya hutan yang lestari sustainable forest managementSFM Saat ini, perhatian publik terhadap pengelolaan hutan lestari telah
mengalami kemajuan yang pesat. Dalam kerangka itu, pengelolaan hutan berbasis masyarakat PHBM muncul sebagai salah satu alternatif model pengelolaan
hutan di Indonesia. Makna kehutanan masyarakat seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang
di lapangan. Komunitas hanya dilihat seperti sekumpulan masyarakat yang memegang teguh hukum adat atau kearifan lokal yang sudah turun temurun sejak
dulu kala. Komunitas masih dianggap mempunyai tingkat bargaining position yang rendah, kemampuan yang lemah dan tanpa adanya leverages untuk merubah
menuju kearah yang lebih baik. Kondisi seperti itu masih diperparah dengan lemahnya dukungan dan lindungan dari pemerintah.
Namun kenyataan yang sebenarnya adalah komunitas pengelola hutan telah terbukti mampu menjaga dan memelihara sumberdaya hutan yang menjadi
tumpuan hidupnya. Pengakuan atas kemampuan dan kearifan komunitas dalam mengelola sumberdaya hutannya itu telah dibuktikan dengan banyaknya hasil
kajian di berbagai lokasi dan telah lama dilakukan.
Menurut Suharjito 2000, Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat PHBM adalah sistem pengelolaan hutan yang dilakukan oleh individu atau kelompok
suatu komunitas, pada lahan negara, lahan komunal, lahan adat atau lahan milik individualrumah tangga untuk memenuhi kebutuhan individurumahtangga dan
masyarakat, serta diusahakan secara komersial ataupun sekedar untuk subsistensi. Keragaman PHBM di Indonesia menunjukkan variasi berdasarkan asal-usul
prakarsa pengelolaannya, status lahan yang dijadikan areal pengelolaan, fungsi kawasan dari lokasi lahan pengelolaan, jenis produk utama yang diusahakan, dan
kelembagaan atau organisasi sosial yang terbentuk atau dibentuk sebagai institusi pengelolaan hutan LEI, 2001.
Ada tiga dimensi institusi yang dikembangkan dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang berbasis masyarakat, yaitu pengembangan institusi
yang terkait dengan pengaturan tata kuasa dan tata guna lahan, pengembangan institusi yang terkait dengan tata produksi, dan pengembangan institusi yang
terkait dengan tata konsumsi. Upaya dan strategi pengembangan institusi di tingkat lokal ini pada dasarnya dipengaruhi oleh sedikitnya tiga hal utama yaitu
kondisi fisik dan sumberdaya alam setempat, faktor-faktor ekonomi politik pada tingkat internasional, nasional, maupun daerah, dan faktor dinamika sosial politik
lokal Tim Karsa, 2007 Dalam Tambun, W et.al 2007, yang memuat kumpulan pengalaman
pelaksanaan PHBM dan pendampingan oleh LSM yang tersebar di wilayah Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Lampung,
Jambi, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur, menjelaskan bahwa praktik-praktik pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat lokal di
Indonesia merupakan suatu kenyataan yang telah berlangsung turun temurun dari generasi ke generasi, tersebar di banyak tempat dan mampu mempertahankan
kondisi hutan sehingga dapat berfungsi dengan baik. Hal senada juga dijelaskan Suharjito 2006, yang memuat kumpulan
pendampingan oleh LSM dalam pelaksanaan PHBM yang tersebar di wilayah Jawa Barat, Jogjakarta, Jambi, Kalimantan Timur, dan Nusa Tenggara Barat,
bahwa kegiatan pendampingan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya hutan telah berlangsung cukup lama. Kegiatan pendampingan tersebut dilakukan oleh
beragam LSM maupun universitasperguruan tinggi. Kegiatan pendampingan tersebar di berbagai daerah dengan konteks sosial budaya yang berbeda-beda.
Sumberdaya hutan yang menjadi arena pergumulanpun berbeda-beda, baik fungsi utamanya: hutan produksi, hutan konservasi, hutan lindung, maupun ragam
produknya: buah-buahan, rotan, dan kayu. Pihak-pihak yang terlibat dalam pergumulan sumberdaya hutan tersebut juga beragam kepentingan.
Social Forestry SF merupakan salah satu kebijakan Pemerintah dibidang
kehutanan yang memberikan akses langsung kepada masyarakat dalam mengelola hutan dengan tujuan untuk membangkitkan ekonomi kerakyatan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa disekitar hutan. Perguliran kebijakan SF ini membuktikan bahwa pemerintah telah melakukan koreksi yang
selama ini memposisikan masyarakat sekitar hutan termarjinalkan dengan melatakkan paradigma pembangunan kehutanan berbasis pemberdayaan
masyarakat Departemen Kehutanan, 2005. Dari aspek kebijakan, akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan sudah
cukup terbuka. Selain SF, pemerintah juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan tentang Hutan Kemasyarakatan HKm, Hutan Desa, dan Hutan
Tanaman Rakyat HTR. Namun dalam implementasinya kebijakan ini kurang berjalan dengan baik, antara lain akibat belum berubahnya paradigma sebagian
besar aparat kehutanan dan para pihak terkait serta belum terbangunnya sistem pelayanan pemerintah untuk pengembangan sistem pengelolaan berbasis
masyarakat lokal tersebut. Masyarakat lokal dan kelompok-kelompok lokal lainnya sering mempunyai
kepentingan-kepentingan terhadap hutan yang saling berbeda, atau bahkan bertentangan. Kendati demikian, banyak pemrakarsa upaya partisipatif tidak peka
terhadap perbedaan-perbedaan antara kelompok, tidak mengetahui bagaimana menangani konflik, atau tidak memiliki cara untuk mendorong kerjasama. Jadi,
tantangan terbesar dalam upaya partisipatif adalah ketidakmampuan pelaksana upaya-upaya tersebut dalam menghadapi tuntunan-tuntunan yang beragam atas
hutan melalui kolaborasi Kusmanto, 2006. Dari perkembangan pendekatan partisipatif dalam pengelolaan hutan di
Indonesia, kita dapat melihat bahwa yang telah terjadi adalah proses pembelajaran
coba dan ralat trial and error antara berbagai kelompok kepentingan. Pembelajaran ini masih berlangsung sampai saat ini. Namun pembelajaran telah
terjadi, laju pembelajaran tersebut berjalan lamban dan partisipasi masih dilihat terutama sebagai cara untuk memastikan agar hutan tetap dapat dijadikan sumber
pendapatan dan kekayaan bagi mereka yang memiliki kekuasaan. Di lain pihak, praktek-praktek pengelolaan sumberdaya hutan oleh
masyarakat, meskipun dibawah tekanan-tekanan sosial politik yang tidak menguntungkan, masih bertahan dan menunjukkan kemampuannya untuk
mewujudkan kelestarian sumberdaya alam. Namun realisasi dari dorongan pergeseran tersebut belum juga terwujud dalam praktek akibat hambatan-
hambatan antara lain berupa perbedaan persepsi dan sikap pemerintah termasuk pihak akademisi yang masih relatif lebih kuat Suharjito, 2000.
Pada umumnya pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal mempunyai karakteristik ketahanan yang tinggi terhadap krisis ekonomi, sekaligus mampu
memelihara fungsi lingkungan sehingga praktik-praktik ini merupakan alternatif pengelolaan hutan di masa mendatang yang paling tepat dikembangkan tatkala
pertumbuhan penduduk terus meningkat.
2.1.6. Pengukuran Peran LSM 2.1.6.1. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja LSM