Respon Masyarakat pada Isu Konservasi

BAB VI RESPON MASYARAKAT TERHADAP PELAKSANAAN PROGRAM PHBM

6.1. Respon Masyarakat pada Isu Konservasi

Hasil FGD dan wawancara dengan masyarakat dampingan LSM dapat disimpulkan bahwa pengalaman melakukan kegiatan atau program di bidang konservasi memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan bidang pendampingan teknis dan advokasi. Hal ini disebabkan ukuran keberhasilan terhadap program yang bersifat konservasi baru dapat dipetik dalam hitungan jangka panjang. Sementara masyarakat lebih menginginkan adanya program yang bersifat jangka pendek dan dapat segera dinikmati hasilnya. Kegiatan rehabilitasi lahan melalui penanaman pohon yang ditanam pada kawasan hutan mangrove, hutan milik maupun hutan negara merupakan suatu program yang hasilnya baru dapat dinikmati dalam jangka waktu yang relatif lama yaitu minimal 5 tahun ke depan. Kegiatan yang mengusung isu konservasi ini kemudian berimplikasi terhadap keberhasilan dan kelancaran programnya. Kasus penanaman pohon di hutan mangrove di Jawa Tengah, misalnya, dari sisi program cukup bagus karena berupaya untuk memperbaiki lingkungan dan kesejahteraan masyarakat melalui pembuatan tambak ikan. Namun dalam pelaksanaannya, seringkali masyarakat tidak dilibatkan secara penuh dalam menyusun, melaksanakan dan memonitor program tersebut. Masyarakat lebih banyak dipekerjakan sebagai pekerja upahan sehingga belum tercipta rasa memiliki terhadap program tersebut. Kesulitan memberikan pemahaman terhadap program yang mengusung isu konservasi ini memang berimplikasi juga terhadap kejenuhan masyarakat dampingan. Kasus di Lampung, misalnya, LSM telah mendampingi masyarakat selama kurang lebih 10 tahun dan selalu konsisten dalam mengusung program konservasi. Pada satu sisi, fokus pendampingan memang diperlukan untuk jangka waktu tertentu. Namun fokus pendampingan yang tidak berujung dan sulit diukur akan membuat masyarakat merasa bosan dan menjenuhkan. Salah satu indikasi adanya kejenuhan di tingkat masyarakat misalnya yang terjadi adalah sulitnya masyarakat diajak untuk bekerja bersama dalam melakukan program. Namun bila program yang dijalankan tersebut merupakan program yang memang menjadi kebutuhan masyarakat, biasanya masyarakat akan dapat menerima dengan baik dan lebih mudah untuk diajak bekerja sama. Hal ini sejalan dengan pendapat Kertati 2007 bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan program konservasi diantaranya adalah kepastian kawasan yang dijadikan lokasi proyek, sulitnya memberikan pengertian, sifat kerelaan yang muncul ketika diminta untuk terlibat dalam suatu program, dan munculnya motivasi dari masyarakat untuk mandiri di bidang konservasi, dukungan dan komitmen dari pemerintah, dan partisipasi penuh dari masyarakat untuk terlibat aktif dalam program. Ukuran keberhasilan lainnya yang sulit diukur adalah penguatan kelembagaan di tingkat masyarakat. Penguatan kelembagaan ini mencerminkan seberapa kuat kelembagaan yang telah dibangun masyarakat bersama LSM dapat memberikan pengaruh dalam pengambilan keputusannya baik di tingkat lokal maupun di tingkat regional. Kasus di Jawa Tengah, misalnya, masyarakat bersama dengan LSM membentuk Paguyuban Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Komunitas PSBK di masing-masing desa yang menjadi dampingan LSM. Sementara di Lampung, bersama dengan LSM, masyarakat membentuk Badan Pengelola Daerah Perlindungan Mangrove BPDPM di masing-masing desa yang menjadi fokus program. Sejauh ini kelembagaan ini masih belum berjalan optimal dan masih terlihat menggantungkan pada peran LSM sebagai lembaga pendampingnya. Kemandirian sebuah kelompok masyarakat yang terbentuk melalui sebuah kesepakatan bersama dan dilakukan secara partisipatif akan dapat mendorong efektifitas kelembagaan tersebut. Gagasan dan pelaksanaan serta keberlanjutan dari kelembagaan masyarakat harus didorong berdasarkan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Proses-proses pembentukan dari kelembagaan masyarakat tersebut juga merupakan respon positif dari masyarakat sendiri sehingga masyarakat sebagai pelaku utama mampu untuk menjaga, mempertahankan bahkan dapat meningkatkan posisi serta peran kelembagaan masyarakat itu sendiri. Ketergantungan pendampingan yang dilakukan oleh LSM justru akan menjadi permasalahan yang serius apabila hal ini tidak diantisipasi sejak diawal. Ketergantungan ini akan menimbulkan dampak yang lebih besar ke depannya karena tidak selamanya LSM akan berada pada lokasi dampingan tersebut. LSM sendiri juga harus mempunyai strategi untuk membuat masyarakat tidak bergantung pada LSM. Program-program yang telah lama dijalankan pada suatu lokasi dengan isu dan fokus yang sama mestinya diarahkan untuk membuat kemandirian bagi masyarakat untuk mengelolanya sendiri. Selain rehabilitasi lahan, program yang dijalankan juga berupaya meningkatkan pendapatan masyarakat melalui kegiatan budidaya ternak dan tambak. Kegiatan ini bertujuan untuk menjadi income generating bagi masyarakat yang menjalankannya. Hal ini dilakukan agar selain program rehabilitasi lahan yang berorientasi jangka panjang, masyarakat juga dapat memperoleh hasil ekonomi lainnya dalam jangka pendek melalui budidaya ternak dan ikan. Meskipun kegiatan ini bukan merupakan kegiatan utama namun dirasa mampu memberikan perhatian dan daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Apabila pola ini dilakukan maka keberlanjutan program dari yang telah dijalankan saat ini menjadi fokus perhatian baik oleh masyarakat maupun LSM.

6.2. Respon Masyarakat pada Isu Pendampingan Teknis