integritas dan kredibilitas LSM itu sendiri. Menurut Ibrahim 2004, dalam program sertifikasi ini sekurang-kurangnya ada lima elemen yang harus
diperhatikan. Pertama, visi, misi, dan tujuan LSM; kedua, internal governance; ketiga
, manajemen, administrasi, dan keuangan; keempat, operasioanl program; kelima
, legitimasi dengan mengembangkan indikator dan mean of verification- nya.
Secara umum keberadaan setiap organisasi cenderung untuk melakukan pengukuran kinerja yang diharapkan untuk menjawab akuntabilitas organisasinya.
Menurut Santika 2004, pada kenyataannya paling tidak terdapat 5 lima aspek yang sangat umum untuk mengetahui kinerja dari suatu organisasi, yaitu aspek
finansial, operasi kegiatan internal, kepuasan staf, kepuasan komunitas dan shareholdersstakeholders
, dan dimensi waktu. Aspek-aspek inilah yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja dan akuntabilitas LSM di Indonesia.
Melihat dari kompleksitas permasalahan yang ada, jelas hal ini harus segera mendapatkan perhatian yang serius terutama dari kalangan LSM sendiri sebagi
pihak yang paling berkepentingan. Perlu adanya komitmen yang kuat dari pihak LSM untuk mengimplementasikan gagasan akuntabilitas dan transparansi tersebut
sehingga secara bertahap LSM dapat kembali menampilkan citra dirinya secara lebih positif.
2.1.6.2. Indikator Penilaian Kinerja LSM
Upaya LSM untuk mendapatkan pengakuan dan kepercayaan publik tidak cukup dengan menyumbang atau bekerjasama dengan konstituennya. Ada hal
yang sangat esensial bagi LSM untuk mendapatkan kepercayaan tersebut, yaitu LSM harus berusaha mempertanggungjawabkan apa yang sudah dan akan
dilakukan dengan transparan ke publik. Menurut Ibrahim 2004, ada sekurang-kurangnya enam instrumen yang
dapat digunakan untuk menjalankan akuntabilitas LSM, yaitu laporan berkala, audit publik, rapat anggota board of trustees, mekanisme konsultasi publik,
tanggap terhadap pengaduan masyarakat, dan survai pendapat umum. Lebih lanjut Kas 2005 menjelaskan bahwa ada 2 aspek penting yang
menjadi pokok perhatian dalam melakukan monitoring dan evaluasi untuk mendorong transparansi dan akuntabilitas LSM. Pertama, aspek organisasi, yang
meliputi visi dan misi, struktur organisasi, pola pengambilan keputusan, keberlanjutan program, keadilan dan kesetaraan gender, dan pengelolaan
keuangan. Kedua adalah aspek program, yang meliputi perencanaan dan pelaksanaan, monitoring dan evaluasi keberlanjutan program, serta sasaran
pertanggungjawaban. Secara lebih rinci, Tifa 2006
1
telah mengembangkan sebuah tools untuk mengukur transparansi dan akuntabilitas LSM. Tools ini berisi 6 indikator yang
dapat dijadikan sebagai elemen penilaian kinerja LSM, yaitu: 1. Elemen Visi – Misi dan Tujuan Organisasi
Visi adalah cara pandang organisasi terhadap kondisi ideal atau hasil akhir yang ingin dituju. Sedangkan misi adalah alasansebab keberadaan organisasi;
misi merupakan suatu pola dari sasaran purpose yang dapat digunakan untuk mengawali, mengevaluasi, dan merumuskan ulang seluruh kegiatan
organisasi. Rumusan misi dianggap baik bila menunjukkan cakupan kegiatan dan masyarakat dampingan.
Tujuan Goals adalah gambaran tentang apa yang ingin dicapai oleh organisasi dalam kurun waktu tertentu. Tujuan merupakan sasaran kinerja atau
hasil akhir yang berkaitan dengan kegiatan. Visi dan Misi relatif tetap selama kurun waktu tertentu. Tetapi tujuan mungkin berubah seiring waktu dan
respon terhadap kondisi lingkungan. Tujuan goals merupakan hasil potensial yang menggerakkan organisasi mendekati visi dan misinya.
Visi-Misi dan Tujuan organisasi yang baik, senantiasa mencerminkan kebutuhan masyarakat, sesuai mandat yang diberikan masyarakat terhadap
organisasi. Oleh karena itu, dalam penyusunan Visi, misi dan Tujuan organisasi, keterlibatan para pemangku kepentingan stakeholders organisasi
Board dewan pendiri, jajaran manajemen, staf, kelompok dampingan, dan masyarakat merupakan suatu keharusan.
Dengan kata lain, penyusunan Visi, Misi dan Tujuan organisasi idealnya dilakukan secara partisipatif. Dalam penyusunan secara partisipatif ini,
1
Yayasan Tifa yang diresmikan tanggal 8 Desember 2000 membawa misi untuk mengembangkan masyarakat terbuka di Indonesia, yang menghormati perbedaan, menghargai hukum, keadilan dan persamaan. Visi Yayasan Tifa adalah
terwujudnya masyarakat yang menjunjung tinggi hak-hak pribadi, terutama hak dan pandangan perempuan, kelompok minoritas dan kelompok yang tidak diuntungkan lainnya. Yayasan ini juga mendukung terciptanya pemerintahan
governance yang baik.
stakeholder yang hadir tidak sekadar terlibat secara “kehadirannya” saja,
tetapi juga terlibat secara aktif dalam perumusan V – M – T. Selain disusun secara partisipatif, penyusunan V – M – T juga harus memperhatikan
perspektif gender. Jika staf lembaga bergabung dengan lembaga sesudah proses perumusan
V – M – T, perlu adanya usaha untuk mendiseminasi V- M – T tersebut kepada staf baru. Tentu saja, rumusan yang jelas tertulis mengenai Visi, Misi
dan Tujuan harus diketahui oleh para pemangku kepentingan stakeholders organisasi.
Dengan demikian, seluruh aktivitas pemangku kepentingan stakeholders organisasi senantiasa dalam kerangka visi, misi dan tujuan yang hendak
dicapai bersama.
2. Elemen Tata Laksana Governance Tata Laksana mengacu pada tatanan organisasi dalam merumuskan dan
melaksanakan kebijakan yang menuntun pelaksanaan misi dan tujuan yang ingin dicapai. Pengambilan keputusan, kepemimpinan dan kaderisasi,
pertanggungjawaban, dan struktur organisasi merupakan elemen kunci dalam penyelenggaraan governing suatu organisasi.
Semua hal yang berkaitan dengan mekanisme dalam organisasi pengambilan keputusan, kepemimpinan dan kaderisasi, dan struktur
organisasi dilandasi kesepakatan bersama seluruh anggota organisasi boarddewan pendiri, jajaran manajemen, dan staf. Kesepakatan ini
kemudian kemudian didokumentasikan agar jelas dan dapat dijadikan pedoman yang diterapkan organisasi secara konsisten.
Pada proses pengambilan keputusan, keputusan tersebut dapat mempengaruhi kebijakan organisasi secara keseluruhan. Keterlibatan berbagai
pihak pengurus, direktur eksekutif, staf organisasi dapat mempengaruhi tingkat transparansi dan akuntabilitas proses.
3. Elemen Administrasi
Administrasi berkaitan dengan penyelenggaraan atau pengelolaan organisasi setiap hari. Hal ini meliputi pembagian kerja, sistem manajemen
informasi dan personalia. Organisasi perlu sistem pengelolaan bahkan aturan main yang baik agar
efektivitas dan efisiensi dapat terwujud. Untuk menimbulkan sense of belonging
dan keterlibatan semua anggota organisasi terhadap sistem pengelolaan, dilakukan penyusunan secara partisipatif.
4. Elemen Program
Program merupakan jabaran dari misi yang nantinya akan diterjemahkan
dalam kegiatan organisasi. Hal ini mencakup elemen integritas program, perencanaan program, pelaksanaan program dan monitoring dan evaluasi.
Program organisasi senantiasa mengacu pada visi dan misi organisasi. Keterlibatan rekan jejaring dalam perencanaan, pelaksanaan, serta monitoring
dan evaluasi program akan sangat membantu tercapainya visi dan misi organisasi. Tanpa program, organisasi tidak akan mempunyai kegiatan, karena
kegiatan merupakan terjemahan program. 5. Elemen Pengelolaan Keuangan
Pengelolaan Keuangan mengacu pada prinsip pengelolaan sumber daya
organisasi secara efisien, efektif dan akuntabel. Proses pengelolaan menganut prinsip keterbukaan, akuntabilitas Tahapan pengelolaan keuangan meliputi:
perencanaan, pelaksanaan, pertanggungjawaban, pengawasan, pembuatan informasi, penggalangan dana, dan keberlanjutan keuangan.
Keuangan dalam organisasi merupakan urat nadi organisasi karena tanpa dana uang, program tidak bisa dilakukan. Namun ingat Visi, misi dan
tujuan organisasi harus selalu dijadikan pedoman dalam perencanaan, pengelolaan, pertanggungjawaban, penggalangan dana maupun keberlanjutan
keuangan itu sendiri. Prinsip keterbukaan dan akuntabilitas harus dibudayakan Informasi keuangan bersifat terbuka, mudah diakses, diterbitkan secara
teratur, dan mutakhir. 6. Elemen Legitimasi
Legitimasi merupakan pengakuan masyarakat yang valid bahwa LSM yang bersangkutan benar-benar merupakan organisasi yang menjalankan
mandat dari masyarakat, memberi manfaat serta diakui oleh masyarakat. Legitimasi bisa dilihat dari dua elemen yaitu sosial dan hukum legal.
Untuk elemen sosial, legitimasi dapat dilihat pada bagaimana, LSM yang bersangkutan mendisseminasikan gagasan dan pemikirannya, serta pengakuan
dan dukungan dari masyarakat dalam berbagai bentuknya. Prinsip-prinsip legitimasi adalah responsibilitas cepat, tanggap, dan peka
terhadap dinamika yang berkembang di masyarakat serta aktif memfasilitasi memfasilitasi kasus-kasus publik, dan komposisi alokasi sumber daya, baik itu
sumber daya manusia ataupun anggaran harus lebih besar untuk masyarakat atau target group daripada alokasi untuk LSM itu sendiri.
Indikator-indikator penilaian kinerja ini dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam melakukan penilaian kinerja LSM. Melalui indikator ini dapat
ditentukan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk melakukan peningkatan kapasitas lembaga hingga bisa menjadi sebuah lembaga yang lebih akuntabel dan
transparan. 2.2. Kajian Penelitian Terdahulu
Berbagai program dan kegiatan yang berkaitan dengan upaya peningkatan akuntabilitas dan transparansi LSM di beberapa kota telah memicu kesadaran para
aktivis LSM lokal bahwa salah satu problem terbesar yang dihadapi mereka saat ini adalah minimnya akuntabilitas dan transparansi. Mereka mulai menyadari
bahwa problem akuntabilitas LSM ini telah menjadi sorotan mayarakat dan harus segera mendapatkan perhatian jika mereka ingin tetap eksis dalam perjuangannya
dan mendapatkan dukungan dari masyarakat. Menurut Kas 2005, berbagai survei dan analisis dilakukan berbagai pihak
sebagai upaya untuk mengetahui sejauh mana perkembangan transparansi dan akuntabilitas organisasi masyarakat sipil OMS untuk meningkatkan kinerja dan
tanggung jawabnya kepada publik. Menurut Baswir 2004, persoalan-persoalan yang dihadapi LSM
diantaranya adalah terlihat banyak yang tidak mengerti akar persoalan yang ditangani, belum benar-benar sesuai dengan prioritas aspirasi masyarakat, dan
masih bersifat funding-driven. Hal ini sejalan dengan Saidi 2004 bahwa LSM saat ini tengah menghadapi lima persoalan mendasar, yakni legitimasi politis,
akuntabilitas legal, keberlanjutan finansial, kompetensi profesionalitas, dan kredibilitas sosial.
Hasil assessment yang dilakukan oleh Mercy Corps Ibrahim, 2004, sebuah lembaga donor untuk program keuangan mikro, mengenai sejauh mana prinsip-
prinsip partisipasi, transparansi dan akuntabilitas di kalangan LSM yang menjadi mitranya menemukan beberapa hal:
1. Struktur organisasi dan kepemimpinan. Di beberapa LSM ternyata tidak
ada pemisahan antara board dan eksekutif. Beberapa organisasi menunjukkan bahwa kepemimpinan organisasi didominasi oleh satu
orang yang biasanya menjadi pendiri dari LSM tersebut. Ia biasanya menduduki jabatan sebagai ketua pengurus juga sebagai direktur
pelaksana. Kalaupun ada anggota pengurus yang lain, maka biasanya juga mereka terlibat sebagai pelaksana program, sementara staf kurang
dilibatkan dalam pengambilan keputusan di dalam organisasi. 2.
Partisipasi masyarakat. Beberapa LSM ternyata tidak pernah meminta masukan dari kalangan intended benefeciaries-nya. Sebagian lagi tidak
melibatkan masyarakat secara intensif dalam seleksi dan merancang kegiatan. Beberapa LSM hanya meminta pendapat dari tokoh-tokoh
masyarakat secara informal ketika akan merencanakan suatu proyek dan hal ini membuat masyarakat tidak cukup dilibatkan secara luas.
Seringkali LSM merancang dan kegiatan mereka hanya berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki tentang daerah tertentu atau yang
menurut mereka paling baik untuk masyarakat. Kegiatan ini akhirnya akan merupakan campur-tangan yang bersifat top-down.
3. Akuntabilitas dan transparansi. Sebagian besar LSM masih banyak
mempunyai kelemahan dalam akuntabilitas dalam arti mekanisme, prosedur dan kemampuan untuk mempertanggungjawabkan program
dan kegiatan serta dana yang diperolehnya kepada publik yang lebih luas. Sebagian LSM tidak mempunyai sistem dokumentasi dan
informasi yang jelas mengenai program yang dilaksanakan. Sebagian
tidak mempunyai prosedur-prosedur keuangan yang transparan mengenai penerimaan dan pengeluaran dana serta sistem akuntansi.
Sebagian besar LSM tidak pernah membuat laporan program dan laporan keuangan tahunan untuk dapat diketahui oleh publik yang lebih
luas. 4.
Ukuran keberhasilan. Beberapa LSM ternyata tidak mempunyai ukuran-ukuran dan kriteria mengenai keberhasilan program yang
dilakukannya. Berdasarkan penelitian National Democratic Institute NDI dalam Kas
2005 mengenai Persepsi Masyarakat terhadap Ornop, menghasilkan penemuan penting. Pertama, meskipun LSM seringkali dipersepsikan sebagai organisasi
non profit yang berkiprah dalam bidang sosial kemasyarakatan namun sebagian
besar responden yang diwawancarai beranggapan bahwa LSM-LSM saat ini lebih berfungsi sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah untuk meligitimasi
program-program pemerintah dalam rangka mendapatkan bantuan dari luar negeri. Kedua, masyarakat seringkali justru merasa skeptis terhadap program-
program yang dilakukan oleh LSM. Beberapa jenis LSM seperti LSM politik cenderung mendapatkan apresiasi yang sangat rendah. Mereka bahkan
berpendapat bahwa jenis LSM ini sepertinya tidak diperlukan mengingat fungsi pendidikan politik political education dapat dilakukan oleh media massa.
Masyarakat memiliki kekhawatiran bahwa keberadaan LSM politik justru dapat mempertajam konflik yang terjadi di masyarakat karena dapat dipergunakan untuk
kepentingan pihak-pihak tertentu. Lembaga Demos, dalam sebuah penelitiannya yang dipublikasikan pada
Majalah Tempo edisi 13 Desember 2004, memaparkan sebuah fakta menarik. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 363 responden di 29 propinsi, dari
Aceh hingga Papua, terungkap fakta bahwa meskipun partisispasi warga negara dalam organisasi independen, kelompok kewargaan dan gerakan sosial menjadi
lebih baik 72 namun hanya sekitar 58 responden yang menyatakan bahwa transparansi, akuntabilitas dan demokrasi-tidaknya OMS menjadi lebih baik
pascapemilu 1999.
Lebih lanjut ditemukan fakta bahwa apabila sikap responden tersebut kita bandingkan dengan item pertanyaan lain yang dikelompokkan sebagai sub-bagian
hak dan institusi demokrasi seperti: kebebasan berbicara, berserikat dan berorganisasi 79, kebebasan mendirikan serikat buruh 70, kesetaraan serta
emansipasi gender 63, maka permasalahan transparansi dan akuntabilitas OMS tersebut mendapatkan tingkat kepercayaan yang lebih rendah.
Survei ini menjadi semakin menarik apabila kita memperhatikan latar belakang para responden sebagai aktivis Ornop yang bekerja dalam gerakan-
gerakan advokasi masyarakat. Sekilas hasil survei tersebut telah menunjukkan munculnya kesadaran dari kalangan LSM sendiri mengenai perlunya self-critism
terhadap kinerja mereka selama ini. Survei yang dilakukan oleh PIRAC pada tahun 2004 dengan responden
sebanyak 2.500 orang dalam Prihatna 2005, diantaranya menemukan beberapa hal. LSM belum mendapatkan dukungan yang cukup besar dari masyarakat
dalam hal pendanaan, meskipun sebanyak 75 responden mengaku pernah mendengar kata LSM. Beberapa alasan yang dikemukakan oleh masyarakat
adalah mengapa tidak mau menyumbang ke LSM diantaranya adalah karena tidak tertarik pada program yang dijalankan 13, tidak merasakan manfaat dari
program yang dijalankan oleh LSM 22, dan sebagian besar lagi mengatakan karena LSM tidak pernah meminta dana dari masyarakat.
Penelitian yang dilakukan oleh Bayunanda 2008 tentang kinerja Lembaga Ekolabel Indonesia LEI, sebuah LSM yang bergerak di bidang lingkungan,
dengan menggunakan ukuran kinerja balanced score card BSC menemukan bahwa hasil pembobotan perspektif pelanggan mendapat bobot 27,
pembelajaran dan pertumbuhan 26, finansial 25 dan proses internal 22. Dari pengukuran indeks rata-rata kinerja organisasi mendapatkan angka 96.1
atau masuk ke dalam performance range yang tidak baik. Diantara keempat perspektif balanced scorecard, LEI perlu memperbaiki kinerjanya pada perspektif
finansial, pertumbuhan dan pembelajaran, dan pelanggan. Untuk perspektif proses internal kinerja lembaga paling baik di bandingkan 3 aspek yang lain hal ini
merupakan modal.
Berdasarkan Alimaturahim 2002, suatu kegiatan pembangunan yang dikelola oleh Ornop maupun OMS pada hakekatnya dituntut agar dapat
memberikan kepuasan politik political satisfaction kepada empat kelompok utama yang terkait, yaitu: 1 masyarakat yang menerima manfaat beneficiaries
atau kelompok sasaran target groups serta pihak-pihak yang berkepentingan stakeholders; 2 pihak penyandang dana atau lembaga donor; 3 pemerintah
selaku administratur pembangunan; dan 4 para pengelola pembangunan itu sendiri OrnopOMS.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Kerangka Pemikiran Penelitian
Permasalahan mendasar yang terjadi di dunia kehutanan diantaranya adalah kerusakan sumberdaya hutan yang tinggi sementara kapasitas masyarakat yang
tinggal di dalam dan di sekitar hutan masih rendah. Salah satu penyebab adanya kerusakan hutan yang begitu tinggi salah satunya disebabkan oleh kegagalan
kebijakan kehutanan yang tidak berpihak pada masyarakat dan juga tidak berpihak pada kelestaraian sumberdaya hutannya itu sendiri. Kondisi ini kemudian
memunculkan banyak inisiatif dalam pengelolaan hutan khususnya pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat.
Beberapa tahun terakhir telah terjadi perubahan paradigma pengelolaan hutan yang dilakukan oleh masyarakat. Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat
PHBMcommunity-based forest management menjadi salah satu pilihan dalam sebuah sistem pengelolaan hutan yang berbasis masyarakat menuju pengelolaan
hutan yang lestari. Seiring dengan perubahan tersebut, banyak LSM yang terlibat aktif dan intensif dalam mendampingi masyarakat menuju pengelolaan hutan yang
berbasis masyarakat. Pengembangan kapasitas dan penguatan kelembagaan masyarakat di sekitar hutan telah menjadi agenda utama dari banyak LSM
Kehutanan. Pemerintah juga telah mengeluarkan sejumlah kebijakan yang berhubungan
dengan PHBM. Kebijakan yang telah dikeluarkan diantaranya adalah Peraturan Menteri Kehutanan Permenhut No. P.26Menhut-II2005 tentang Pemanfaatan
Hutan Hak, Permenhut No. P.23Menhut-II2007 tentang Hutan Tanaman Rakyat, Permenhut No. P.37Menhut-II2007 tentang Hutan Kemasyarakatan, dan terbaru
adalah Permenhut No. P.49Menhut-II2007 tentang Hutan Desa. Kebijakan pemerintah ini sebagai upaya untuk memberikan ruang bagi masyarakat untuk
memperoleh hak-haknya dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Meskipun dalam pelaksanaannnya masih menemui kendala, termasuk belum tersedianya petunjuk
pelaksanaan dan petunjuk teknisnya. Selain kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat, dibeberapa lokasi,
misalnya di Propinsi Jambi, pemerintah daerah juga mengeluarkan sejumlah