Kinerja Pelaksanaan Program PHBM

67 mempertanyakan kembali eksistensi dari LSM tersebut. Misalnya, Mitra Bentala, yang sejak awal pendampingan mengusung program konservasi yang dampaknya baru dapat dirasakan dalam jangka panjang. Pendekatan ekologis yang diterapkan oleh LSM dalam mengusung suatu program akan lebih sulit diterima oleh masyarakat dari pada pendekatan ekonomi yang dampaknya dapat dirasakan jangka pendek. Meski demikian, pendekatan ekologi sebenarnya juga berdampak pada aspek ekonomi dan sosial masyarakat setempat. Secara ideal sebaiknya juga secara bertahap didorong untuk mengembangkan sendiri tujuan perubahan yang lebih strategis dan kemudian melakukan penilaian perkembangan perubahan itu. Menurut Djohani 2003, visi dan misi sebaiknya bukan hanya milik lembaga, melainkan juga dikembangkan visi dan misi dari perspektif masyarakat, dan ini akan berbeda dari satu masyarakat dampingan dengan masyarakat dampingan lainnya.

5.1.2. Kinerja Pelaksanaan Program PHBM

Pelaksanaan program yang dilakukan oleh LSM merupakan jabaran dari misi yang nantinya akan diterjemahkan dalam kegiatan-kegiatan yang lebih operasional. Beberapa hal yang mencakup elemen program diantaranya adalah integritas program, perencanaan program, pelaksanaan program, serta monitoring dan evaluasi. Dalam penelitian ini, pengukuran LSM dilakukan terhadap 15 indikator kinerja LSM dalam melaksanakan program PHBM Tabel 10. Tabel 10. Hasil Penilaian Kinerja Elemen Program Jumlah Nilai Elemen Program No Indikator Baik Cukup Kurang Total P.1 Kebijakan tentang perencanaan program PHBM jangka panjang 4 3 2 9 P.2 Kebijakan untuk mengintegrasikan proyek UNDP dengan program lainnya 5 3 1 9 P.3 Pengalaman lembaga dalam program PHBM 2 2 5 9 P.4 Kebijakan tentang perencanaan program PHBM jangka panjang yang partisipatif 4 4 1 9 P.5 Mendokumentasikan perencanaan dari proyek UNDP secara sistematis 5 2 2 9 P.6 Pelibatan masyarakat dalam menyusun proposal proyek UNDP 4 5 0 9 P.7 Identifikasi dan akses terhadap sumber daya dan sumber dana lainnya untuk kelanjutan dari proyek UNDP 5 3 1 9 68 Jumlah Nilai Elemen Program No Indikator Baik Cukup Kurang Total P.8 Kesesuaian perencanaan program dengan proses pelaksanaan program PHBM 5 3 1 9 P.9 Pengalaman pelaksana proyek UNDP 5 3 1 9 P.10 Manfaat proyek UNDP 8 1 9 P.11 Pelibatan stakeholder dalam pelaksanaan proyek UNDP 5 4 0 9 P.12 Dampak dari pelaksanaan proyek UNDP 5 3 1 9 P.13 Mekanisme monitoring dan evaluasi yang partisipatif, baku dan berkala dalam pelaksanaan proyek UNDP 2 2 5 9 P.14 Tindak lanjut dari monev proyek UNDP 7 2 9 P.15 Hasil evaluasi pelaksanaan proyek UNDP telah dijadikan sebagai bahan pelajaran 8 1 0 9 Total 76 40 19 135 Sumber: Hasil pengolahan data Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar LSM yaitu 4 LSM telah mempunyai kebijakan tentang perencanaan program PHBM yang partisipatif paling tidak selama 3 tahun dan telah diterapkan secara konsisten. Persepsi, misalnya, dalam melakukan perencanaan program diawali dengan penjajagan kebutuhan melalui Participatory Rural Appraisal PRA untuk menentukan desain program bersama masyarakat. PRA ini juga bertujuan untuk mengenali faktor-faktor pendukung dan faktor-faktor pembatasnya, serta memetakan peran para pemangku kepentingan dalam pengelolaan hutannya. Menurut Robert Chambers dalam Djohani 2003, PRA merupakan sekumpulan pendekatan dan metode yang mendorong masyarakat pedesaan untuk turut serta meningkatkan dan menganalisis pengetahuan mereka mengenai hidup dan kondisi mereka sendiri agar mereka dapat membuat rencana dan tindakan. Dalam konteks penggunaannya, PRA kemudian menjadi metodologi pendekatan program berbasis masyarakat bottom-up methodology yang oleh kalangan LSM terus menerus dimodifikasi dan diadaptasi, serta diperkaya metode dan tekniknya, terutama penggunaan metodetekniknya, baik untuk penjajagan kebutuhan, perencanaan, monitoring dan evaluasi, maupun diskusi topikal Djohani, 2003. Namun, sejumlah 2 LSM masih belum memiliki kebijakan tentang perencanaan program PHBM dalam jangka panjang. Paramitra, misalnya, berdasarkan wawancara, mereka menyatakan bahwa perencanaan ini sebenarnya sudah ada namun masih dalam bentuk pemikiran-pemikiran di internal organisasi. 69 Pemikiran-pemikiran tentang program PHBM ini belum dapat dituangkan secara tertulis dan belum dilakukan secara partisipasi dengan masyarakat. Sebuah kebijakan LSM tentang mengintegrasikan proyek satu dengan proyek lainnya penting untuk dibuat. Sebagian besar 5 LSM menyatakan bahwa mereka memiliki kebijakan internal untuk mengintegrasikan proyek UNDP dengan proyek-proyek atau program-program lainnya. RMI dan Masta, misalnya, mempunyai sebuah kebijakan internal bahwa setiap program yang berjalan harus disesuaikan dengan rencana program yang telah dilakukan untuk kemudian diintegrasikan dengan program yang sedang berjalan. Strategi ini dilakukan dengan tujuan untuk menghindari adanya tumpang tindih adanya proyek yang dijalankan pada program dan wilayah yang sama. Selain itu, strategi ini juga bertujuan untuk melakukan percepatan pencapaian target yang pada program lain belum dilaksanakan. Keterkaitan antar program ini untuk mensinergikan kerja- kerja RMI dan sesuai dengan kebutuhan yang ada di tingkat masyarakat. Sementara itu, satu LSM menyatakan bahwa lembaganya belum memiliki sebuah kebijakan yang mengintegrasikan proyek UNDP dengan program lainnya. Hal ini disebabkan proyek UNDP merupakan satu-satunya proyek yang dilaksanakan selama periode 2005-2007. Pengalaman LSM dalam melakukan program PHBM sangat beragam. Penelitian ini menemukan bahwa sebelum adanya proyek UNDP, sebanyak 5 LSM menyatakan bahwa mereka mempunyai pengalaman bersama masyarakat terlibat dalam proyek PHBM selama 1-3 tahun pada lokasi dimana proyek tersebut dilakukan. Sebelum adanya dukungan dana dari proyek UNDP, RMI, misalnya, menjadikan Kasepuhan Cibedug merupakan lokasi belajar yang relatif baru atas permintaan masyarakat untuk dapat dilanjutkan, dimana sebelumnya merupakan dampak dari kegiatanprogram yang dilakukan RMI yang didukung oleh pihak lain. Sebagai satu rangkaian agar permintaan masyarakat untuk difasilitasi RMI dalam memperkuat ruang kelolanya, maka sebelum proyek, RMI berupaya mencari dukungan pendanaan dari lembaga donor seperti Grassroot Fund dan SPARK-VSO untuk melakukan tahapan awal program. Bahkan, Persepsi, baru mendapatkan dana dan memulai pendampingan untuk wilayah dampingan di Sukoharjo melalui proyek UNDP ini, meskipun sebelumnya telah 70 berinteraksi dengan masyarakat namun belum aktif. Hal ini dilakukan karena Persepsi melakukan perluasan scalling up program sertifikasi ekolabel setelah sebelumnya berhasil mendampingi masyarakat di wilayah Wonogiri untuk mendapatkan sertifikasi ekolabel dari LEI. Hanya sebagian kecil LSM yaitu sebanyak 2 LSM memiliki pengalaman diatas 5 tahun. Mitra Bentala dan Watala merupakan LSM yang berpengalaman kurang lebih selama 10 tahun dalam mendampingi masyarakat pada lokasi yang sama dengan proyek UNDP Tabel 11. Tabel 11. Pengalaman LSM di Lokasi Proyek dan Fokus Proyek UNDP No Nama LSM Tahun LSM Mulai Masuk ke Lokasi Fokus Proyek UNDP Periode 2005-2007 1 LSM 1 2000 Konservasi di sabuk hijau mangrove di pantai Kota Tegal 2 LSM 2 2003 Konservasi di lahan milik dan hutan lindung di Pulau Bawean 3 LSM 3 1998 Konservasi mangrove di hutan lindung di Pulau Pahawang 4 LSM 4 2005 Sertifikasi ekolabel di lahan milik di Sukoharjo 5 LSM 5 2002 Pola kemitraan di lahan milik dan hutan produksi di Malang 6 LSM 6 2002 Ekowisata di Taman Hutan Raya Wan Abdurrahman, Lampung 7 LSM 7 2004 Advokasi tanah simpen di hutan produksi di Purworejo 8 LSM 8 2003 Advokasi masyarakat adat di Taman Nasional Gunung Salak-Halimun di Jawa Barat 9 LSM 9 1995 Advokasi hutan kemasyarakatan di hutan lindung di Lampung Sumber: Hasil pengolahan data Berdasarkan wawancara dengan LSM dan masyarakat dampingannya, pengalaman di bidang konservasi memiliki tingkat kesulitan yang lebih tinggi dibanding dengan bidang pendampingan teknis dan advokasi. Bahkan, LPPSP berpendapat bahwa tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa mengembangkan kawasan sabuh hijau di pantai melalui pengembangan hutan mangrove sedemikian sulit dan membutuhkan waktu yang panjang. Menurut Kertati 2007, beberapa faktor yang mempengaruhi proses pelaksanaan program konservasi diantaranya adalah kepastian kawasan yang dijadikan lokasi proyek, sulitnya memberikan pengertian, kerelaan, dan motivasi kepada masyarakat untuk mandiri 71 di bidang konservasi, dukungan dan komitmen dari pemerintah, dan partisipasi penuh dari masyarakat untuk terlibat aktif dalam program. Pelibatan masyarakat dalam perencanaan sangat penting untuk dilakukan oleh LSM. Bentuk keterlibatan masyarakat ini beragam metode dan pendekatannya. Hal ini sangat tergantung pada program pokok yang akan diangkat, kelompok sasaran target groups yang akan dituju, serta bentuk keterlibatan masyarakat dalam proyek tersebut. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 5 LSM telah mengikutsertakan masyarakat dalam proses perencanaan proyek namun masyarakat juga belum terlibat secara aktif. Menurut Masta, salah satu kendala masyarakat belum dilibatkan secara aktif adalah masih seringkali terjadi kesenjangan pemikiran antara lembaga dan masyarakat dampingan. Selain itu juga permasalahan ketersediaan waktu yang dimiliki oleh masyarakat dampingan. Sehingga pada akhirnya lembaga mengambil inisiatif untuk meminta salah satu dari masyarakat atau tokoh desa untuk terlibat secara aktif. Lembah dan Paramitra juga menerapkan pendekatan yang sama dengan Masta. Mereka hanya melibatkan tokoh-tokoh kunci dari masyarakat untuk diajak berdiskusi dengan LSM dalam menginisiasi atau merencanakan suatu program. Perwakilan masyarakat inilah yang kemudian menjadi representasi dari masyarakat. Sementara sejumlah 4 LSM menyatakan bahwa mereka telah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan proyek secara aktif melalui pendekatan focus group discussion FGD dan PRA. Mereka berpendapat bahwa pelibatan masyarakat menjadi penting sebagai subyek inti dari proses pelaksanaan proyek. Mulai dari perencanaan bersama kebutuhan masyarakat, melakukan kajian bersama, dan melakukan dialog bersama dengan berbagai pihak untuk mendorong proses pengakuan, keberterimaan dan legitimasi dari masyarakat. LPPSP, Persepsi, RMI, dan Watala, misalnya telah melibatkan masyarakat dalam perencanaan proyeknya dalam bentuk PRA sebagai instrumen untuk menjaring program-program pokok dan permasalahan yang terjadi di masyarakat untuk kemudian dijadikan suatu program bersama. Mengutip Erickson dalam Kertati 2007 mengungkapkan bahwa partisipasi pada dasarnya mencakup dua bagian yaitu internal dan eksternal. Partisipasi secara internal berarti adanya rasa memiliki terhadap komunitas. 72 Sementara partisipasi dalam eksternal terkait dengan keterlibatan individu dengan komunitas luar. Lebih lanjut Emrich 1997 menjelaskan bahwa ada tiga alasan utama mengapa partipasi masyarakat mempunyai arti penting. Pertama, partisipasi masyarakat merupakan suatu alat untuk memperoleh informasi mengenai kondisi, kebutuhan, dan sikap masyarakat setempat, yang tanpa kehadirannya program pembangunan serta proyek-proyek akan gagal. Kedua, masyarakat akan lebih mempercayai proyek atau program pembangunan jika merasa dilibatkan dalam proses persiapan dan perencanaannya, sehingga masyarakat mempunyai rasa memiliki terhadap proyek tersebut. Ketiga, pastisipasi merupakan suatu hak demokrasi, artinya masyarakat memiliki hak untuk memberikan saran dalam menentukan jenis program yang akan dilaksanakan. Untuk itu, partisipasi masyarakat dalam suatu program yang akan dan sedang dijalankan oleh LSM merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan oleh LSM. Partisipasi ini juga berarti bahwa secara mental dan emosional, masyarakat ikut serta dalam menyumbangkan pikiran dan kemampuannya dalam mencapai tujuan serta bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut. Untuk kelanjutan program, LSM memerlukan identifikasi dan akses terhadap sumberdaya dan sumber dana. Sebagian besar LSM 5 telah mengidentifikasi sumber daya dan sumber dana serta telah memiliki akses terhadap sumber daya dan sumber dana tersebut. Hal ini berarti bahwa sebagian besar LSM telah memiliki jaringan untuk mendapatkan akses terhadap sumber daya dan sumber dana. Selain itu LSM-LSM tersebut telah mendapatkan kepastian kelanjutan dari proyek UNDP ini dari lembaga donatur yang lainnya. Sejumlah 3 LSM telah mengidentifikasi sumberdaya dan sumber dananya namun mereka belum memiliki akses terhadap sumber daya dan sumber dana tersebut. Strategi yang digunakan LSM ini adalah dengan menggunakan sumber daya dan sumberdana yang tersedia untuk pendampingan di tingkat lapang. Meskipun konsekuensinya adalah bentuk pendampingannya tidak dilakukan secara intensif melainkan secara ekstensif. 73 Dalam pelaksanaan proyek UNDP, sebagian besar LSM 5 telah sesuai dengan rencana yang diinginkan. Bahkan Persepsi dan RMI telah melampaui target yang dibuat. Persepsi telah mampu memfasilitasi masyarakat dampingannya untuk memperoleh sertifikasi ekolabel dari LEI, meskipun dalam proposal yang diajukan hanya sebatas persiapan menuju sertifikasi ekolabel. Sementara RMI telah berhasil menyusun draf 4 Surat Keputusan SK Bupati Lebak tentang Pengakuan Keberadaan Masyarakat Adat Kasepuhan Cibedug dan Kasepuhan Citorek, dari rencana semula hanya sebatas memfasilitasi masyarakat adat dalam mencapai kesepakatan bersama antar masyarakat. Dalam pelaksanaan proyeknya, sejumlah 3 LSM telah sesuai dengan rencana namun hasilnya masih belum mencapai tujuan yang diinginkan. SHK Lestari, misalnya, meskipun dalam penelitian ini termasuk kategori LSM dalam pendampingan teknis, namun pada dasarnya program pendampingan tersebut hanya dijadikan alat untuk memperoleh pengakuan dari pemerintah melalui Tahura Wan Abdurrahman di Lampung. Sampai dengan berakhirnya proyek UNDP, SHK Lestari bersama dengan masyarakat masih belum dapat mewujudkan adanya kesepakatan tertulis, seperti memorandum of understanding MoU mengenai pengelolaan kawasan ekowisata berbasis komunitas di wilayah kelola antara pemerintah dengan masyarakat yang berada di dalam kawasan Tahura tersebut. Suatu program atau proyek yang dijalankan oleh LSM dilakukan oleh staf atau pelaksana yang berpengalaman dan sesuai dengan keahliannya. Sebagian besar LSM yaitu sebanyak 5 LSM telah mempunyai pelaksana proyek atau staf yang berpengalaman dan telah memperhatikan spesialisasinya dalam program PHBM. Bila membutuhkan staf baru, proses perekrutan staf proyek dilakukan berdasarkan pada pengalaman yang dilakukan serta kesesuaian dengan minat staf. Hal ini juga mempertimbangkan keseriusan dan komitmen LSM terhadap program PHBM yang telah maupun yang sedang dijalankan. Sejumlah 3 LSM sudah mempunyai staf yang berpengalaman di bidang PHBM namun LSM tersebut belum mempertimbangkan spesialisasinya. Hal ini dilakukan karena beberapa staf telah berpengalaman dalam hal pendampingan dan fasilitasi dengan masyarakat, namun latar belakang pendidikannnya belum sesuai dengan yang diinginkan. Pengalaman ini dibentuk melalui berbagai pendekatan diantaranya 74 melalui keterlibatan aktif dan langsung bersama masyarakat, pelatihan, mengikuti secara aktif acara seminar, workshop, maupun diskusi-diskusi dengan tema PHBM. Namun satu LSM belum mempunyai staf yang berpengalaman. Hal ini disebabkan LSM tersebut belum pernah mendapatkan proyek seperti UNDP sebelumnya sehingga belum memiliki pemgalaman yang cukup dengan program PHBM. Selama ini, LSM ini hanya memperoleh bantuan dana dari pemerintah untuk program penghijauan yang sifatnya karitatif dan tidak dilakukan secara partisipatif. Selain itu, staf LSM ini juga tidak mempunyai basis pengetahuan dan pemahaman dasar atas program PHBM yang diusung. Hal ini menjadi persoalan mendasar karena pengetahuan dan pemahaman dasar menjadi dasar utama dalam melaksanakan proyek UNDP ini. Pelaksanaan proyek UNDP telah memberikan manfaat Tabel 12. Sebanyak 8 LSM menyatakan proyek UNDP telah mampu memberikan manfaat kepada hutan, masyarakat dan pemerintah. Persepsi misalnya, telah mampu mendorong masyarakat untuk mengelola hutannya secara lestari seluas 1.179 hektar yang telah sesuai dengan kaidah-kaidah kelestarian sumberdaya hutan, tata niaga kayunya lebih tertata, bagi pemerintah daerah kabupaten memiliki icon baru dari semula sebagai pemasok beras kini menjadi salah satu pemasok kayu sertifikasi serta telah dimilikinya pusat belajar koperasi hutan rakyat. Begitu juga dengan RMI. Melalui proyek UNDP ini masyarakat dampingan RMI dapat melakukan proses pengakuan secara legal dari pemerintah dan mempunyai rasa tanggung jawab yang lebih tinggi dalam mengelola sumberdaya hutannya. Selain itu, ditingkat pemerintah juga terbantu dalam proses penyusunan draft kebijakan tentang pengakuan masyarakat adat dalam bentuk peraturan daerah Perda. Proyek UNDP yang dijalankan oleh Watala juga telah mampu memberikan manfaat yang nyata bagi masyarakat, hutan, dan pemerintah. Melalui proyek UNDP ini masyarakat dampingan Watala telah berhasil memperoleh ijin definitif dari pemerintah melalui skema hutan HKm di Lampung Barat seluas 2.039,59 hektar selama 35 tahun. Hal ini berarti bahwa melalui skema HKm baik masyarakat, hutan, maupun pemerintah secara kolaboratif telah mengakui sepenuhnya peran dari masiing-masing pihak. 75 Tabel 12. Manfaat Proyek UNDP yang Dirasakan oleh Masyarakat No Nama LSM Manfaat 1 LSM 1 Penambahan pohon yang ditanam di hutan mangrove, penguatan kelembagaan, dan keterlibatan pemerintah daerah 2 LSM 2 Penambahan pohon yang ditanam di hutan milik, penguatan kelembagaan, dan keterlibatan pemerintah daerah 3 LSM 3 Penambahan pohon yang ditanam di hutan mangrove, penguatan kelembagaan, dan keterlibatan pemerintah daerah 4 LSM 4 Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan milik, penguatan kelembagaan dan keterlibatan pemerintah daerah 5 LSM 5 Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan, penguatan kelembagaan dan keterlibatan pemerintah daerah 6 LSM 6 Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan dan ekowisata, serta penguatan kelembagaan 7 LSM 7 Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan, penguatan kelembagaan, dan keterlibatan pemerintah daerah 8 LSM 8 Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan Penguatan kelembagaan dan keterlibatan pemerintah daerah 9 LSM 9 Peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengelola hutan, penguatan kelembagaan, dan keterlibatan pemerintah daerah Sumber: Hasil pengolahan data Sementara satu LSM menyatakan bahwa proyek UNDP telah memberikan manfaat kepada hutan dan masyarakatnya, namun belum memberikan manfaat bagi pemerintah. Hal ini disebabkan masyarakat bersama LSM baru mampu memperjuangkan hutan dan masyarakatnya untuk memperoleh pengakuan formal dari pemerintah. Masyarakat yang telah lama tinggal dalam kawasan hutan konservasi tersebut masih belum memperoleh kesepakatan bersama antar masyarakat dan pemerintah sampai berakhirnya proyek UNDP ini. Hal ini terjadi pada SHK Lestari di Lampung. Salah satu kendala utama adalah lokasi yang ditempati dan dikelola hutannya tersebut termasuk pada kawasan konservasi yang sulit untuk diperjuangkan. Namun masyarakat berpendapat bahwa paling tidak melalui proyek UNDP ini, posisi tawar masyarakat meningkat dihadapan pemerintah karena melalui proyek ini intensitas diskusi dan pertemuan dengan pemerintah menjadi intensif. Pelibatan para pihak stakeholder yang terkait dengan proyek UNDP penting untuk dilakukan. Sejumlah 5 LSM menyatakan bahwa proyek UNDP 76 telah melibatkan pihak-pihak yang seharusnya terlibat dalam proyek ini secara aktif, terutama pemerintah. Watala dan Masta, misalnya, sejak awal telah melibatkan pemerintah dalam menjalankan program bersama masyarakat. Pelibatan sejak awal ini dimaksudkan untuk memberikan dukungan secara penuh terhadap proyek yang akan dijalankan. Peran pemerintah bagi LSM yang berkecimpung di bidang advokasi ini sangat penting karena salah satu tujuan utama dari perjuangan mereka adalah membantu masyarakat dalam memperoleh legalitas atau pengakuan dari pemerintah. Sementara 4 LSM menyatakan bahwa mereka telah melibatkan pemerintah namun pemerintah belum terlibat secara aktif. RMI dan SHK Lestari, misalnya mengatakan bahwa para pihak yang terkait dalam proses negosiasi pengakuan masyarakat diantaranya adalah pemerintah daerah, DPRD, Taman Nasional dan Taman Hutan Raya. Namun pihak pemerintah ini belum secara aktif terlibat dalam proyek UNDP ini. Proses negosiasi ini juga dimediasi oleh beberapa pihak seperti dari Perguruan Tinggi setempat. Dinamika situasi politik yang ada juga telah membuat pasang surut keseriusan para pihak tersebut untuk mendukung proses negosiasi. Menurut Djohani 2003, dampak adalah perubahan yang terjadi pada masyarakat akibat adanya intervensi yang akan mempengaruhi suatu kondisi. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa sebagian besar LSM yaitu 5 LSM menyatakan bahwa proyek UNDP telah berdampak pada hutan, masyarakat, dan stakeholders lainnya. Persepsi, misalnya, selain hutan dan masyarakatnya, pemerintah daerah juga memperoleh dampaknya. Hal ini ditunjukkan dengan terlibatnya pemerintah daerah dalam merancang adanya program serupa untuk beberapa desa di kecamatan lain, dan juga menghubungkan antara masyarakat dengan kalangan industri pengolahan kayu yang akan menampung dan membeli kayu bersertifikasi. Dampak secara langsung masih belum dirasakan oleh masyarakat dampingan LSM yang mengusung program konservasi LPPSP, Mitra Bentala, dan Lembah. Penanaman pohon yang dilakukan di pinggir pantai untuk membuat hutan mangrove, misalnya, belum dapat dirasakan dampaknya secara langsung oleh masyarakat. Meskipun masyarakat maupun LSM menyadari bahwa perlu waktu yang cukup lama untuk menikmati hasil kerja dari proyek ini namun 77 mereka tetap optimis bahwa suatu saat nanti dampaknya akan dapat dirasakan oleh masyarakat. LSM bersama masyarakat juga sedang merencanakan mengembangkan wilayah kelola itu menjadi ekowisata maupun lokasi untuk penelitian sebagai bagian dari pengembangan gagasan ke depan. Sementara 3 LSM menyatakan bahwa proyek UNDP ini telah berdampak pada hutan dan masyarakatnya, namun belum memberikan dampak pada stakeholder secara keseluruhan. RMI, misalnya menyatakan bahwa salah satu dampak yang dirasakan oleh masyarakat dengan adanya proyek UNDP ini adalah adanya rasa tenang dari masyarakat dalam mengelola hutannya dari yang sebelumnya masih menyisakan permasalahan mendasar yaitu adanya pengakuan dari pemerintah. Meski demikian, masyarakat masih khawatir dengan kondisi sekarang ini bila bentuk legalitas dari masyarakat yang mengelola hutan di dalam Taman Nasional Gunung Halimun-Salak belum terwujud. Sehingga dampak yang dirasakan baru pada hutan dan masyarakatnya saja. Hal lain yang perlu diantisispasi adalah adanya pihak-pihak dari luar yang mencoba untuk mengusik ketenangan masyarakat dan mengganggu proses yang selama ini dilakukan. Berdasarkan wawancara dengan RMI dan masyarakat dampingan, indikasi adanya pihak luar yang mengganggu proses itu telah terjadi akhir-akhir ini. Pihak luar tersebut berusaha untuk menjarah dan mengambil kayu di kawasan hutan yang dikelola oleh masyarakat secara tidak sah illegal. Ancaman ini sekaligus dapat dijadikan sebagai tantangan bagi masyarakat adat untuk tetap mempertahankan hutannya melalui aturan-aturan hukum adat yang telah diterapkan sejak lama. Kekuatan hukum adat akan terus diuji melalui serangkaian upaya yang dilakukan oleh pihak lain yang akan mengganggu proses untuk memperoleh legalitas dari pemerintah. Menurut Djohani 2003, dalam jangka panjang, program yang dikembangkan sebaiknya bisa mencapai dampak di masyarakat berupa peningkatan kesejahteraan dalam arti luas yaitu dimensi ekonomi, sosial-budaya, politik, lingkungan dan individu. Seperti juga proses perencanaan, monitoring dan evaluasi monev merupakan bagian dari pengelolaan program. Monev merupakan kegiatan yang harus disintegrasikan dengan perencanaan sejak awal. Merencanakan monev yang diperlukan dalam pengembangan program, merupakan bagian dari 78 perencanaan yang baik. Menurut Djohani 2003, monev adalah kegiatan yang mencerminkan bagaimana suatu lembaga menjalankan proses-proses yang terbuka, setara, partisipatif, dan demokratis bersama masyarakat dan pihak-pihak yang terkait. Monev merupakan forum pengambilan keputusan bersama mengenai apa yang ingin dan akan dilakukan oleh masyarakat dalam berkegiatan dan mengembangkan program. Dalam penelitian ini, sebagian besar LSM yaitu 5 LSM menyatakan belum memiliki mekanisme monev yang partisipatif, baku dan berkala dalam pelaksanaan proyek UNDP. Kegiatan monev dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan program yang telah dimasukkan ke dalam proposal proyek. Paramitra dan SHK Lestari, misalnya, menyatakan bahwa lembaga belum mempunyai mekanisme dan alat untuk monev. Namun alat yang digunakan untuk melakukan monev adalah deskripsi kerja job describtion dan tata waktu timeline serta kegiatan-kegiatan yang direncanakan pada saat proyek berjalan. LSM yang sudah mempunyai mekanisme monev dan telah dilakukan secara konsisten sejumlah 2 LSM sementara LSM yang sudah mempunyai mekanisme monev dan belum dilakukan secara konsisten dalam pelaksanaan proyek juga sejumlah 2 LSM. Hal ini disebabkan oleh sejak awal LSM telah memiliki kesadaran dan pemahaman yang lebih baik terhadap pelaksanaan program sehingga LSM merasa membutuhkan mekanisme monev untuk dapat memberikan umpan balik terhadap proyek yang telah dijalankan, meskipun kadang masih belum diterapkan secara konsisten. Dalam pelaksanaan proyek UNDP, terdapat 2 kegiatan monev, yaitu monev yang dilakukan oleh LSM sendiri yang tertuang dalam proposal monev secara internal, dan monev yang dilakukan oleh Perkumpulan Karsa PKM yang dipilih oleh UNDP untuk melakukan monev secara independen monev oleh pihak eksternal. Monev yang dilakukan oleh PKM bersifat berkala, yaitu setiap tiga bulan triwulan, setiap enam bulan semester dan setiap tahun. Sebagian besar LSM yaitu 7 LSM menyatakan bahwa hasil monitoring dan evaluasi dari pelaksanaan proyek UNDP sudah digunakan untuk memperbaiki jalannya program. Hasil monev ini dapat digunakan sebagai perbaikan kinerja pelaksanaan proyek dan digunakan sebagai bahan pelajaran untuk tidak mengulang kesalahan yang sama. Menurut Masta dan RMI, karena proyek UNDP ini memiliki nilai 79 penting untuk memperoleh dukungan dari semua pihak, maka LSM sangat ketat dalam mempertimbangkan segala hal yang diperoleh dari hasil monev. Program- program yang diusung oleh LSM yang bersifat sensitif akan membuat pelaksanan proyek sangat responsif dalam menindaklanjuti hasil monev. Sementara 2 LSM manyatakan bahwa belum menggunakan hasil monev untuk memperbaiki jalannya proyek. Hal ini disebabkan adanya ketidakpahaman dan tidak adanya basis pengetahuan yang cukup untuk membedah dan mempelajari hasil monev sebagai sebuah saran dan masukan untuk memperbaiki jalannya proyek. Hasil dari evaluasi terhadap pelaksanaan proyek UNDP seharusnya dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pelajaran penting untuk lembaga. Sebagian besar LSM yaitu 8 LSM menyatakan bahwa hasil evaluasi dari pelaksanaan proyek sudah menunjukkan adanya pelajaran yang dapat dipetik. Proses evaluasi dilakukan untuk dijadikan lesson learned lembaga dan perencanaan proyek berikutnya. Ini tercermin dari proses-proses lanjutan yang dilakukan oleh LSM. Salah satu yang dapat dirasakan oleh Masta, misalnya adalah adanya peningkatan hubungan yang lebih baik antara LSM dan masyarakat dampingan. Menurut Djohani 2003, pada kegiatan evaluasi yang luas, penilaian dilakukan bukan hanya untuk aspek pencapaian kegiatan teknis, melainkan juga pencapaian berbagai tingkatan tujuan yaitu jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, bahkan sampai kepada penilaian visi dan misi. Program yang dijalankan oleh LSM biasanya tidak berjalan sendiri-sendiri. Program yang dijalankan bersifat meneruskan dari program sebelumnya. Sehingga untuk satu program yang dijalankan tidak dapat di-claim oleh lembaga donor bila pada saat itu memang mengalami kesuksesan. Misalnya, pada proyek UNDP ini ada beberapa LSM yang menuai kesuksesan atau sesuai dengan target yang selama ini diharapkan, misalnya Watala yang dampingannya mendapatkan ijin definitif dari Pemerintah dalam bentuk ijin HKm selama 35 tahun, Persepsi yang sukses mendampinga masyarakat mendapatkan sertifikasi ekolabel dari LEI, dan Masta yang sukses memfasilitasi mayarakat dalam kesepakatan memperoleh hak akses terhadap hutan dengan berhasilnya penandatanganan MoU antara masyarakat dengan Perhutani. 80

5.1.3. Kinerja Pengelolaan Keuangan dalam Program PHBM