Kondisi hukum kelembagaan perikanan tangkap

242 Nilai indeks keberlanjutan perikanan skala kecil pada metode Rapfish untuk Bab 9 ini adalah sama seperti yang telah disajikan pada Bab sebelumnya yaitu dengan menggunakan reference dari bad buruk sampai good baik dalam selang 0-100. Selang indeks keberlanjutan tersebut yaitu selang 0-25 dalam status buruk, selang 26-50 dalam status kurang, selang 51-75 dalam status cukup dan selang 76-100 dalam status baik.

9.3 Hasil Penelitian

9.3.1 Kondisi hukum kelembagaan perikanan tangkap

Sebenarnya secara nasional sudah terbit berbagai kebijakan baik yang bersifat nasional maupun yang bersifat implementatif di daerah. Kebijakan yang bersifat umum dan mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap meliputi UU No 9 tahun 1985 tentang Perikanan, UU No. 5 Tahun 1983 tentang ZEEI, UU No. 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi Konvensi Kebijakan Laut Internasioanl Tahun 1982, UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, dan Perpu No. 4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia. Dalam UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap tersebut diatur dalam 25 pasal dan 29 ayat. Demikian juga dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap lebih dijelaskan lagi dengan tersedianya ketentuan yang mengatur peradilan perikanan secara formal. Hal ini mengindikasikan bahwa pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap telah mendapatkan perhatian besar dari pemerintah. Selain kebijakan umum diatas, terdapat dua kebijakan umum yang berbentuk Keputusan Presiden Keppres, yaitu 1 Keppres No. 85 Tahun 1982 tentang Penggunaan Pukat Udang; 2 Keppres No. 39 Tahun 1980 tentang Penghapusan Jaring Trawl. Selanjutnya kebijakan yang berfungsi sebagai kebijakan pelaksanaan dari UU sudah diatur secara jelas dalam empat Peraturan Pemerintah PP, dimana tiga diantaranya mengatur mengenai usaha perikanan. Keempat PP tersebut adalah PP No. 15 Tahun 1984 tentang Pengelolaan Sumber Kekayaan Hayati di ZEEI, PP No. 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan, PP No. 46 Tahun 1993 tentang Perubahan PP No. 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan, PP No. 54 Tahun 2002 tentang Usaha Perikanan. 243 Kebijakan pelaksanaan juga tersedia dalam bentuk yang bejumlah 30 buah Keputusan Menteri SK Menteri dan satu Keputusan Direktur Jenderal, dimana tersedia satu kebijakan pelaksanaan yang secara langsung berkaitan dengan kelestaria sumber daya perikanan. Di sisi lain, ada indikasi bahwa kebijakan daerah yang mengatur pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap di lokasi penelitian belum dirumuskan sejak berlakunya UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan dan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah. Kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan tangkap hingga saat ini masih mengacu pada peraturan daerah Perda Jawa Tengah No.6 tahun 1978. Seperti tertuang dalam FAO-CCRF 1995 yang diacu oleh Suseno 2004 memasuki periode desentralistik baik di tingkat nasional maupun daerah, pemerintah belum menyediakan 11 aspek kebijakan yaitu : 1 Pemulihan sumber daya yang terancam kepunahan, 2 Pencegahan pencemaran lingkungan, 3 Pengaturan upaya penangkapan, 4 Pengaturan jenis da ukuran ikan yang boleh ditangkap, 5 Pengaturan musim penangkapan, 6 Pengaturan zonasi dan jalur penangkapan, 7 Partisipasi nelayan, 8 Identifikasi stakeholders, 9 Kelembagaan, 10 Pembangunan prasarana perikanan, dan 11 Pengaturan pendidikan pelatihan dan penyuluhan. Kegiatan perikanan di kedua lokasi penelitian yaitu Kabupaten Serang dan Kabupaten Tegal seperti terlepas dari berbagai aturan dan kebijakan tersebut di atas. Misalnya, komunitas nelayan di Pasauran tidak ada ketergantungan terhadap hukum dan kelembagaan formal dalam pengelolaan usahanya. Hasil wawancara di lapangan bahwa mereka memilih tokoh masyarakat yang ada atau cukup sesama nelayan dalam berdiskusi tentang pengelolaan perikanan. Tokoh tersebut adalah ketua rukunkelompok nelayan yang secara kebetulan menjadi tokoh pemuda. Ketua rukun nelayan tersebut cukup berpengaruh dalam pertemuan-pertemuan mengenai usaha perikanan. Ketergantungan terbesar justru pada aspek pemasaran 244 hasil tangkapan yang sangat dominan menentukan tingkat pendapatannya yang saat ini didominasi oleh peran bakul ikan di TPI. Sementara itu, lembaga formal yang selama ini diharapkan dapat membantu menyelesaikan permasalahan pengamanan laut seperti Polairud, dianggap besar pengaruhnya ketika sudah terjadi konflik sosial antar nelayan seperti yang terjadi pada tahun 2002. Persoalan pengawasan pengelolaan sumberdaya ikan belum dilakukan oleh lembaga formal yang ada. Di sisi lain nelayan juga merasakan kurangnya ketersediaan personil pengawas dan penegak hukum yang dapat membantu keberlanjutan sumberdaya ikan di Pasauran. Nelayan di Pasauran memiliki kesadaran tinggi terhadap adanya perubahan lingkungan perairan di sekitarnya, misalnya mereka sangat menyayangkan terjadinya reklamasi pantai untuk pembangunan hotel di sekitar TPI Pasauran karena menambah derasnya arus dan ombak yang menerpa pantai sekitar TPI, selain dapat menimbulkan kerusakan habitat pantai dan kemungkinan akan terjadinya limbah yang dapat merusak kelestarian sumberdaya ikan. Lembaga pemerintahan yang paling diandalkan adalah Dinas Kelautan dan Perikanan. Institusi tersebut, sangat diharapkan dapat memfasilitasi keberlanjutan usaha perikanan terutama ketika nilai jual ikan sangat murah. Saat ini baru terasa manfaatnya dengan tersedianya TPI di Pasauran. Peran lain yang sangat diharapkan terutama dalam melindungi nasib para nelayan dari kehancuran usahanya yang berasal dari lemahnya penerapanpenegakkan hukum terhadap hal- hal yang dapat merusak lingkungan, beroperasinya kapal pendatang yang melebihi daya dukung lingkungan carrying capacity dan beroperasinya jaring gardan trawl di sekitar pantai Pasauran. Demikian juga dengan keberadaan HNSI sebagai satu-satunya institusi nelayan belum terasa peranannya dalam kegiatan usaha perikanan di Pasauran. Hal serupa juga terjadi di Kabupaten Tegal; nelayan sangat mengharapkan peran lembaga formal dalam menegakkan hukum yang berpihak kepada nelayan kecil. Kerusakan sumberdaya perikanan di pesisir pantai Tegal di duga karena beroperasinya jaring arad yang jumlahnya tidak sedikit di samping pelanggaran zona penangkapan pukat cantrang dan purse seine mini yang seharusnya menangkap ikan di zona 6 mil keatas zona I b kadang-kadang masuk di zona 245 pantai yang jaraknya kurang dari 6 mil bahkan kurang dari 3 mil dari pantai. Operator jaring arad saat ini berasal dari Muarareja yaitu suatu kawasan pantai yang berbatasan dengan Kabupaten Brebes. Komunitas nelayan jaring arad di Muarareja pada tahun 2004 mencapai 356 unit dan pada pertengahan tahun 2005 yang beroperasi sekitar 225 unit. Di samping itu, nelayan jaring arad juga datang dari luar daerah Tegal yaitu dari Kabupaten Brebes dengan jumlah yang lebih besar. Walaupun sejak tahun 1980 dengan Keppres 391980 pengoperasian Trawl telah dilarang, namun kenyataannya nelayan pengguna jaring arad dari dua wilayah tersebut juga sering masuk di pantai perairan Tegal walaupun secara diam-diam dan menimbulkan konflik dengan nelayan yang bukan pengguna jaring arad. Kejadian tersebut di atas sudah berlangsung lama, namun sampai saat ini belum ada penyelesaian secara tuntas. Nelayan bukan pengguna jaring arad, sangat menghawatirkan beroperasinya jaring arad di perairan pantai Suradadi, Munjung Agung dan sekitarnya karena dinilai sangat merusak terbukti dengan tertangkapnya habitat dasar seperti rajungan, tiga waja termasuk ikan-ikan lain yang masih berukuran kecilbelum dewasa. Ketidaktegasan penegakan hukum terbukti telah menimbulkan konflik sosial antar nelayan di perairan Suradadi, Pemalang dan sekitarnya. Kejadian ini berulang kali dengan frekuensi yang sangat tinggi.

9.3.2 Kondisi hukum kelembagaan dalam atribut Rapfish