Latar Belakang Keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil (kasus perikanan pantai di Serang dan Tegal)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perikanan adalah salah satu sektor yang diandalkan untuk pembangunan masa depan Indonesia, karena dapat memberikan dampak ekonomi kepada sebagian penduduk Indonesia. Selain itu, produk perikanan adalah bahan makanan penting masyarakat pada umumnya, sehingga sektor perikanan menjadi salah satu sumber pendapatan negara di samping menjadi sumber mata pencaharian sebagian besar masyarakat di kawasan pantai terutama nelayan. Atas dasar pertimbangan ini perikanan perlu dipertahankan berkelanjutannya. Perikanan tangkap adalah kegiatan yang sangat tergantung pada ketersediaan dan daya dukung sumberdaya ikan dan lingkungannya. Keberlanjutan perikanan memerlukan pengelolaan sumberdaya ikan yang tepat, yaitu pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mempertimbangkan keberlanjutan sumberdaya ikan. Dalam konteks pembangunan perikanan berkelanjutan, Charles 1994 dan Charles 2001 mengatakan bahwa keberlanjutan harus dilihat secara lengkap, tidak sekedar tingkat penangkapan perikanan tangkap atau biomas, tetapi aspek- aspek lain perikanan, seperti ekosistem, struktur sosial dan ekonomi, komunitas nelayan dan pengelolaan kelembagaannya. Dengan demikian keberlanjutan perikanan tangkap harus dilihat dari empat aspek keberlanjutan, yaitu aspek keberlanjutan ekologi memelihara keberlanjutan stokbiomass dan meningkatkan kapasitas dan kualitas ekosistem, keberlanjutan sosio-ekonomi kesejahteraan pelaku perikanan pada tingkat individu, keberlanjutan komunitas keberlanjutan kesejahteraan komunitas dan keberlanjutan kelembagaan pemeliharaan aspek finansial dan administrasi yang sehat. Kegiatan perikanan yang hanya mengutamakan salah satu aspek dan mengabaikan aspek lainnya, akan menimbulkan ketimpangan dan akan mengakibatkan ketidakberlanjutan perikanan itu sendiri. Kenyataan pada beberapa dekade terakhir yaitu pemanfaatan sumberdaya alam lingkungan yang terfokus untuk pembangunan atau ekonomi dengan menguras sumberdaya alam tanpa mempertimbangkan 2 keberlanjutan sumberdaya dan tidak memperhatikan aspek sosial karena dipacu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi semata, telah menimbulkan berbagai ketimpangan, seperti pencemaran, degradasi lingkungan bahkan penurunan stok sumberdaya ikan serta merebaknya berbagai persoalan sosial seperti konflik sosial antar nelayan karena perebutan sumberdaya yang semakin terbatas Fauzi, 2004. Kondisi tersebut akan berakhir pada pendapatan yang semakin menurun dan nelayan terperangkap pada kemiskinan. Situasi ini dikenal dengan sebutan Malthusian Overfishing Nikijuluw, 2005. Hal ini bertentangan dengan paradigma pembangunan berkelanjutan yang bertujuan untuk kesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan Purba, 2002 dan Fauzi, 2004. Keberlanjutan perikanan juga sangat dipengaruhi oleh teknologi yang digunakan dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan. Dalam kontek pengelolaan perikanan, teknologi yang digunakan biasanya berkaitan dengan upaya meningkatkan produktivitas dan meningkatkan efisiensi. Industri perikanan tangkap yang berorientasi komersial biasanya menggunakan alat tangkap yang sangat produktif dalam upaya penangkapannya walaupun kurang memperhatikan kelestarian sumberdaya, misal penggunaan pukat harimau yang sangat efektif dalam menangkap udang. Tingkat efektivitas yang dimiliki teknologi pukat harimau terbukti telah menimbulkan dampak ekologi dan sosial apabila dioperasikan pada daerah yang tidak tepat. Oleh karena itu kegiatan perikanan tangkap memerlukan teknologi yang tepat karena penggunaan teknologi dapat menentukan keberlanjutan perikanan. Secara khusus, teknologi akan menentukan keberlanjutan ekologi. Menurut Fauzi dan Buchary 2002 bahwa praktek perikanan yang unsustainable melalui destructive fishing practice di Indonesia, menimbulkan kerugian negara mencapai US 386.000tahun atau 4 kali lebih besar dari manfaat yang diterima. Demikian juga yang terjadi terhadap 40.000 nelayan Atlantik Canada yang kehilangan pekerjaan karena penurunan drastis stok ikan cod di perairan Barat Daya Atlantik pada tahun 1990. Dari kasus-kasus tersebut di atas sangat jelas bahwa sebagai modal kerja, teknologi juga akan menentukan apakah pendapatan dan keuntungan dari usaha perikanan tangkap akan mendukung kesejahteraan komunitas secara berkelanjutan. Pasaribu 1994 menyatakan bahwa ada empat faktor penting 3 dalam teknologi penangkapan ikan yaitu jenis kapal, ukuran kapal, jenis alat tangkap yang digunakan dan tingkat keahlian yang dimiliki. Hasil dan mutu ikan dipengaruhi oleh cara penangkapan, alat tangkap, daerah penangkapan, musim dan penanganan pasca panen. Teknologi penanganan pasca panen sangat menentukan kualitas ikan yang akhirnya akan berpengaruh langsung terhadap harga. Menurut Monintja et al. 2002, bahwa alat tangkap sebagai komponen teknologi yang dijadikan standar perbandingan untuk kepentingan keberlanjutan perikanan harus memenuhi beberapa kriteria yaitu: 1 penerapan teknologi penangkapan ikan yang ramah lingkungan, 2 jumlah hasil tangkapan tidak melebihi jumlah tangkapan yang diperbolehkan, 3 kegiatan usaha harus menguntungkan, 4 investasi rendah, 5 penggunaan bahan bakar minyak rendah dan 6 memenuhi ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Kesteven 1973 pengembangan perikanan harus mempertimbangkan bio-technico-socio-economic approach yaitu secara biologi tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya ikan, secara teknis alat tangkap harus efektif untuk dioperasikan, secara sosial alat tangkap harus dapat diterima oleh masyarakat nelayan, secara ekonomi alat tangkap tersebut harus menguntungkan. Berbagai pertimbangan tersebut di atas dimaksudkan agar pemanfaatan sumberdaya ikan dapat mendukung terwujudnya perikanan yang berkelanjutan. Di samping itu, pengelolaan perikanan juga harus mengacu pada konsep pengelolaan perikanan yang bertanggung jawab seperti dituangkan dalam Code of Conduct for Responsible Fisheries FAO, 1995. Saat ini, perikanan tangkap nasional masih dicirikan oleh perikanan tangkap skala kecil. Hal ini terlihat dari komposisi armada perikanan tangkap di Indonesia yang masih didominasi oleh usaha perikanan tangkap skala kecil yaitu sekitar 85, dan hanya sekitar 15 di lakukan oleh usaha perikanan skala yang lebih besar Ditjen Perikanan Tangkap, 2004. Sampai dengan tahun 2003 struktur armada perikanan tangkap didominasi oleh perahu tanpa motor 50, berikutnya perahu motor tempel 26 dan kapal motor 24. Dari 24 kapal motor yang ada didominasi oleh kapal motor berukuran 5 GT yaitu sekitar 72, sekitar 14 kapal motor berukuran 5 – 10 GT dan selebihnya kapal motor dengan ukuran 4 bervariasi dari 10 sampai dengan di atas 200 GT. Proporsi armada perikanan berukuran 5 GT tersebut memberikan gambaran bahwa perikanan skala kecil berperan besar dalam perikanan nasional. Perikanan tangkap skala kecil secara umum memiliki ciri-ciri teknologi tertentu. Ciri-ciri tersebut dapat berupa ukuran kapal atau jenis alat tangkap yang dimiliki oleh nelayan setempat. Keragaan ukuran kapal dan alat tangkap menunjukkan spesifikasi berbeda antara daerah satu dengan lainnya. Sebagai contoh nelayan di Jawa Tengah terkonsentrasi pada jenis kapal berukuran kecil 5 – 10 GT atau kurang dari 5 GT, di mana ukuran kapal 10 GT umumnya menggunakan alat tangkap payang dan trammel net, ukuran kapal 10-20 GT menggunakan Cantrang, dan di atas 20 GT lazim menggunakan purse seine dan gill net. Di Sumatera Utara, untuk ukuran kapal di bawah 10 GT alat tangkap dominan adalah jaring dan pancing, ukuran kapal 10-20 GT menggunakan pukat langgar Rachman et al., 2000. Ada berbagai cara untuk membedakan skala perikanan tangkap. Menurut Smith 1983, dasar perbedaan tersebut mencakup perikanan skala kecil atau skala besar, perikanan pantai atau lepas pantai, artisanal atau komersial. Penggolongan jenis skala perikanan tersebut hingga saat ini masih menjadi perdebatan mengingat dimensinya yang cukup luas. Sering kali pengelompokkan juga dilakukan berdasarkan pada ukuran kapal atau besarnya tenaga, tipe alat tangkap dan jarak daerah penangkapan dari pantai. Di Indonesia skala usaha perikanan dibedakan atas ukuran kapal dan berdasarkan kapal bertenaga mesin atau tidak, di Filipina nelayan yang menggunakan kapal di atas 3 GT diklasifikasikan sebagai nelayan komersial, di Hongkong dan Singapura membedakannya berdasarkan inshore dan offshore fisheries. Thailand membedakannya berdasarkan tipe alat tangkap yang digunakan. Sementara Malaysia membedakannya berdasarkan bobot kapal, tipe alat tangkap yang digunakan dan area penangkapan Smith, 1983. Perikanan tangkap di Indonesia yang masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil memerlukan pengelolaan yang komprehensif agar kegiatan perikanan ini dapat berkelanjutan. Dengan memperhatikan karakteristik perikanan Pantai Utara Jawa Tengah khususnya kegiatan perikanan tangkap di Kabupaten Tegal dan perairan pantai Pasauran Kabupaten Serang serta adanya konsep 5 penilaian keberlanjutan perikanan yang lebih komprehensif, maka perlu untuk melihat bagaimana interaksi antar aspek keberlanjutan. Aspek-aspek tersebut adalah aspek ekologi, ekonomi, teknologi, sosial dan etik. Kelima aspek keberlanjutan itu dapat dijadikan satu patokan untuk melihat status keberlanjutan suatu kawasan perairan sehingga dapat dijadikan sebagai rujukan dalam menyusun kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan atau keberlanjutan perikanan tangkap di kawasan tersebut. Penelitian ini perlu dan sangat penting dilakukan mengingat perikanan tangkap di Indonesia masih didominasi oleh perikanan tangkap skala kecil. Di samping itu, penilaian atribut-atribut pada masing-masing dimensi keberlanjutan untuk perikanan skala kecil yang berbeda karakteristiknya belum pernah dilakukan di Indonesia. Dalam disertasi ini dilakukan evaluasi keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil di dua lokasi penelitian yang berbeda dengan metode multi variabel yang disebut multidimensional scaling MDS. Metode ini relatif baru dikembangkan dan dikenal dengan nama Rapfish Rapid Appraisal for Fisheries. Beberapa contoh penggunaan Rapfish di Indonesia adalah Fauzi dan Anna 2002a, Taryono 2003, Masydzulhak 2004, Susilo 2003. Metode Rapfish ini dapat dikembangkan dan diberi labelnama sesuai dengan fokus kajiannya. Susilo 2003 dengan metode Rapfish membuat indeks sustainability pembangunan pulau-pulau kecil dan dinamai dengan RAPSMILE Rapid Appraisal of Small Islands Development. Metode multidimensional scaling yang digunakan untuk menentukan status keberlanjutan perikanan tangkap skala kecil ini akan dinamai RAPSMALLFISH Rapid Appraisal of Small Scale Fisheries.

1.2 Perumusan Masalah