20
penemuan baru potensi sumberdaya perikanan laut dan perluasan daerah penangkapan ikan. Meskipun demikian, daerah penangkapan perikanan rakyat
yang merupakan ciri dominan perikanan Indonesia tetap terkonsentrasi di wilayah pesisirpantai.
Armada perikanan rakyat tersebut mengandalkan teknologi kapalperahu yang ukurannya kurang dari 30 GT Tabel 2.1. Dengan demikian terlihat jelas
bahwa perikanan rakyat tersebut mengandalkan sumberdaya ikan di perairan yang relatif sempit dan dieksploitasi oleh relatif banyak nelayan.
Tabel 2.1 Profil perikanan di Indonesia berdasarkan komposisi kapal ikan, 1992- 2002
T a h u n Satuan : Unit Rincian
1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002
Perahu Tanpa Motor
229.377 247.745
245.436 245.162 252.561 228.919 223.490 241.517 230.867
241.714 219.079 PerahuKapal
Motor 129.529
141.753 150.699 159.481 166.846 173.185 189.212 214.413
218.691 226.807 241.219
Motor Tempel
77.779 82.217 87.749 94.024
96.955 95.022
102.125 124.043 121.022 120.054
130.185 Kapal Motor
51.750 59.536 62.950 65.457
69.891 78.163
87.087 90.370 97.669 106.753
111.034 5 Gt
37.913 43.396 45.331 48.855
51.327 55.814
58.448 57.768 65.897 70.925
74.292 5-10 Gt
7.936 9.791 9.604 9.562
10.312 13.440
15.898 18.850 19.460 22.641
20.208 10-20 Gt
3.156 2.812 3.376 2.789
3.074 3.587
5.575 6.792 5.599 6.005
5.866 20-30 Gt
984 1.558 1.688 1.519
1.500 1.941
3.204 3.439 2.974 3.008
3.382 30-50 Gt
1.049 1.170 1.869 1.682
1.626 1.818
2.166 1.516 1.543 781
2.685 50-100 Gt
208 351 567 687
1.535 1.110
1.112 1.038 1.129 1.602
2.430 100-200 Gt
184 213 340 253
354 393
519 756 741 1.295
1.612 200 Gt
320 245 175 120
163 60
165 211 326 495
559 Jumlah
358.906 389.498
396.135 404.643 419.407 402.104 412.702 455.930 449.558
468.521 460.298 Sumber : Statistik perikanan tangkap Indonesia 2004
Keterangan : Kapal Motor di atas 30 GT = 0,4 1992 menjadi 1,6 2002 dari seluruh armada perikanan
2.2 Kondisi Umum Nelayan Indonesia
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004, nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Kelompok ini pula yang mendominasi pemukiman di wilayah pesisir di seluruh Indonesia.
Dari sisi sumberdaya, wilayah pantai merupakan kawasan yang memiliki sumberdaya alam paling kaya dan merupakan bagian paling produktif diantara
21
seluruh perairan bahari bahkan menurut Mulyana 1999 wilayah pesisir atau pantai menghasilkan sebagian besar 80 produksi perikanan dunia. Walaupun
demikian masyarakat nelayan di beberapa wilayah di Indonesia masih tergolong masyarakat miskin bahkan secara ekonomi dianggap kelompok dengan
opportunity cost yang rendah. Pendapat lain yang lebih menyedihkan adalah seperti diungkapkan oleh Subade and Abdulllah 1993 yaitu bahwa nelayan tetap
tinggal pada industri perikanan karena rendahnya opportunity cost mereka. Oleh
karenanya hampir seluruh kegiatan di wilayah ini menarik dipelajari dan diteliti termasuk kegiatan perikanan yang sebagian besar dilakukan di wilayah ini.
Dalam berbagai hal yang berkaitan dengan badan legal seperti perbankan, nelayan tidak mudah memperoleh akses yang diharapkannya karena ada penilaian
rendahnya opportunity cost dari para nelayan. Opportunity cost nelayan adalah kemungkinan atau alternatif kegiatan atau kegiatan ekonomi lain yang terbaik
yang dapat diperoleh selain menangkap ikan. Dengan kata lain opportunity cost adalah kemungkinan lain yang bisa dikerjakan nelayan bila saja mereka tidak
menangkap ikan. Bila opportunity cost rendah maka nelayan cenderung tetap melaksanakan kegiatannya meskipun kegiatan tersebut tidak lagi menguntungkan
dan tidak efisien. Ada lagi yang mengatakan bahwa opportunity cost nelayan khususnya di negara berkembang, sangat kecil dan cenderung mendekati nihil.
Bila demikian maka nelayan tidak punya pilihan sebagai mata pencahariannya. Dengan demikian nelayan tetap bekerja sebagai nelayan karena hanya itu yang
bisa dikerjakan. Panayotou 1982 mengatakan bahwa nelayan tetap mau tinggal dalam
kemiskinan karena kehendaknya untuk menjalani kehidupan itu preference for a particular way of life. Pendapat Panayotou 1982 ini dijelaskan oleh Subade
dan Abdullah 1993 dengan menekankan bahwa nelayan lebih senang memiliki kepuasan hidup yang bisa diperolehnya dari menangkap ikan dan bukan berlaku
sebagai pelaku yang semata-mata berorientasi pada peningkatan pendapatan. Karena way of life yang demikian maka apapun yang terjadi dengan keadaannya
tidak dianggap sebagai masalah baginya. Way of life sangat sukar dirubah. Karena itu meskipun menurut pandangan orang lain hidup dalam kemiskinan, bagi
22
nelayan itu bukan kemiskinan dan bisa saja mereka merasa bahagia dengan kehidupannya.
Smith 1979 dan Anderson 1979 menyimpulkan bahwa kekakuan aset perikanan fixity and rigidity of fishing assets adalah alasan utama nelayan tetap
terperangkap dalam kemiskinan dan sepertinya tidak ada upaya mereka untuk keluar dari kemiskinan. Kapal dan alat penangkap ikan sulit untuk dilikuidasi
atau diubah bentuk dan fungsinya untuk digunakan bagi kepentingan lain. Akibatnya pada saat produktivitas rendah, nelayan tidak mampu untuk mengalih
fungsikan atau melikuidasi aset tersebut. Oleh karena itu walaupun rendah produktivitasnya, nelayan tetap melakukan operasi penangkapan ikan yang
mungkin tidak efisien secara ekonomis.
Perikanan tangkap skala kecil di Indonesia adalah kontributor terbesar terhadap produksi perikanan. Bahkan sekitar 85 tenaga yang bergerak di sektor
penangkapan ikan masih merupakan nelayan tradisional dan sangat jauh tertinggal dari nelayan negara lain Widiyanto et al., 2002. Lebih lanjut dikatakan bahwa
salah satu titik strategis dari penyebab utama kemiskinan dan ketidakberdayaan nelayan adalah lemahnya kemampuan manajemen usaha. Hal ini juga terjadi
karena rendahnya pendidikan dan penguasaan ketrampilan bidang perikanan. Oleh karena itu pemberdayaan sumberdaya perikanan laut sudah semestinya
dilakukan melalui pendekatan dengan nelayan, antara lain dengan melakukan pemberdayaan kepada kelompok nelayan kecil agar mereka dapat
mengorganisasikan kegiatan usahanya. Walaupun nelayan skala kecil menjadi kontributor terbesar dalam produksi
perikanan tangkap, namun nelayan masih selalu diidentikkan dengan kemiskinan Elfindri 2002. Kemiskinan yang merupakan indikator ketidakberdayaan
masyarakat nelayan disebabkan oleh tiga hal utama yaitu kemiskinan struktural, kemiskinan super-struktural dan kemiskinan kultural Nikijuluw, 2001.
Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena pengaruh faktor atau variabel eksternal diluar individu nelayan yaitu struktur
sosial ekonomi masyarakat, ketersediaan insentif atau disinsentif pembangunan, ketersediaan fasilitas pembangunan, ketersediaan teknologi dan ketersediaan
sumberdaya pembangunan khususnya sumberdaya alam. Hubungan antara
23
variabel-variabel ini dengan kemiskinan umumnya bersifat terbalik. Artinya semakin tinggi intensitas, volume dan kualitas variabel-variabel ini maka
kemiskinan semakin berkurang. Khusus untuk variabel struktur sosial ekonomi, hubungannya dengan kemiskinan lebih sulit ditentukan. Keadaan sosial ekonomi
masyarakat yang terjadi disekitar atau dilingkup nelayan menentukan kemiskinan dan kesejahteraan mereka.
Kemiskinan super-struktural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel-variabel kebijakan makro yang tidak begitu kuat berpihak pada
pembangunan nelayan. Variabel-variabel tersebut diantaranya kebijakan fiskal, kebijakan moneter, ketersediaan hukum dan perundang-undangan, kebijakan
pemerintahan yang diimplementasikan dalam proyek dan program pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini sangat sulit diatasi bila tidak ada keinginan dan
kemauan secara tulus dari pemerintah untuk mengatasinya. Kesulitan tersebut juga disebabkan karena kompetisi antar sektor, antar daerah, antar institusi
sehingga menimbulkan ketimpangan dan kesenjangan pembangunan. Kemiskinan super-struktural ini hanya bisa di atasi apabila pemerintah pusat dan daerah
memiliki komitmen khusus bagi kepentingan masyarakat miskin, dengan kata lain perlu dilakukan affirmative actions.
Kemiskinan kultural adalah kemiskinan yang disebabkan karena variabel- variabel yang melekat, inheren dan menjadi gaya hidup tertentu. Akibatnya sulit
untuk individu bersangkutan keluar dari kemiskinan itu karena tidak disadari atau tidak diketahui oleh individu yang bersangkutan. Variabel-variabel kemiskinan
kultural adalah tingkat pendidikan, pengetahuan, adat, budaya, kepercayaan, kesetiaan pada pandangan-pandangan tertentu serta ketaatan pada panutan.
Kemiskinan kultural ini sulit di atasi terutama karena pengaruh panutan patron baik yang bersifat formal, informal, maupun asli dan sangat menentukan
keberhasilan upaya-upaya pengentasan kemiskinan kultural Nikijuluw, 2001. Seperti yang dinyatakan Shari 1990 dan Mashuri 1993 bahwa faktor penyebab
utama kemiskinan nelayan yang dapat dikategorikan kultural adalah masa kerja yang terbatas dan tidak pasti, nilai produksi dibagi bersama terutama nelayan
buruh. Selain itu, keluarga nelayan juga memiliki mutu modal manusia yang
relatif rendah Saedan, 1999; Elfindri, 2001.
24
2.3 Karakteristik Perikanan Tangkap Skala Kecil