44
Tabel 2.7 Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek institusional sistem perikanan Charles, 2001
Kriteria Keberlanjutan
Indikator Keberlanjutan minimum jika
Keefektivan manajemen
Tingkat keberhasilan pengelolaan negara
dan kebijakan pengaturan
Organisasi pengelolaan DKP yang ada tidak mampu mengontrol tingkat
eksploitasi dan mengatur pengguna sumberdaya
Penggunaan metode
pengelolaan tradisional local
wisdom Tingkat penggunaan
Metode pengelolaan lingkungan dan sumberdaya
tradisional local wisdom tidak digunakan
Pemanfaatan atau
pemberdayaan institusi lokal
Tingkat pemberdayaan
Pengelolaankegiatan perencanaan tidak mempertimbangkan dan
menerapkan faktor sosial kultural lokal tradisi, pengambilan keputusan
masyarakat, pengetahuan ekologi, dll
Kapasitas terpasang
Tingkat upaya kapasitas terpasang
Kapasitas terpasang dalam organisasi kurang relevan
Keberlangsungan institusi
Tingkat keuangan dan keberlangsungan
organisasi Organisasi pengelola kekurangan
dukungan finasial jangka panjang atau politik pendukung struktur
2.10 Alternatif Evaluasi Penentuan Status Keberlanjutan Perikanan
Konsep keberlanjutan dalam perikanan ini sudah mulai dapat difahami, namun sampai saat ini kita masih menghadapi kesulitan dalam
menganalisismengevaluasi keberlanjutan pembangunan perikanan itu sendiri terutama ketika dihadapkan pada permasalahan mengintegrasikan informasidata
dari keseluruhan komponen secara holistik dari berbagai aspek seperti aspek biologi, sosial, ekonomi, teknologi maupun etika Fauzi dan Anna, 2002a. Oleh
karena evaluasi keberlanjutan eksploitasi perikanan selama ini lebih difokuskan kepada penentuan status stok relatif dari spesies target dengan referensi biologi
atau pada beberapa kasus adalah referensi ekologi seperti tingkat kematian ikan, spawning biomass atau struktur umur Smith, 1993 yang diacu dalam Fauzi dan
Anna, 2002. Dengan demikian analisis yang diaplikasikan dalam berbagai studi tersebut masih bersifat parsial. Durand et al. 1996 yang diacu dalam Taryono
2003 menyatakan bahwa secara klasik ahli biologi perikanan cenderung
45
menitikberatkan pada dinamika populasi dan eksploitasi. Hubungan antara analisis biologis dengan ilmu sosial hanya terjadi pada akhir proses produksi di mana ikan
didaratkan di pelabuhan. Ahli ekonomi selanjutnya cenderung menghitung secara kuantitatif maupun kualitatif, melalui pengangkutan dan pemasaran. Hal ini
menggambarkan bahwa pengkajian keberlanjutan perikanan belum menerapkan analisis terpadu yang komprehensif terhadap berbagai dimensi yang
mempengaruhi kegiatan perikanan tersebut. Hal ini memberikan kesan seolah- olah tidak ada keterkaitan antara keberlanjutan sumberdaya dengan keberlanjutan
sosial atau keberlanjutan ekonomi. Salah satu alternatif pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian ini
untuk mengevaluasimenentukan status keberlanjutan perikanan tangkap adalah Rapfish. Pada metode ini, analisis terhadap semua dimensi dilakukan secara
bersamaan atau simultan sehingga dihasilkan suatu vektor skala. Dengan Rapfish dapat diperoleh gambaran jelas dan komprehensif mengenai kondisi sumberdaya
perikanan, khususnya perikanan di daerah penelitian sehingga akhirnya dapat dijadikan bahan untuk menentukan kebijakan yang tepat untuk mencapai
pembangunan perikanan yang berkelanjutan. Menurut Taryono 2003 berbagai hasil empiris analisis kelestarian
sumberdaya dengan aplikasi Rapfish, diantaranya telah dilakukan oleh Pitcher and Preikshot 2000, serta Fauzi dan Anna 2002a.
Hasil analisis terhadap perikanan Atlantik Utara sisi Barat dan sisi Timur menurut Alder et al. 2000 yang diacu dalam Taryono 2003 didapatkan bahwa
Perikanan Teluk Meine Amerika Serikat mempunyai indikator kelestarian sosial dan teknis yang lebih tinggi dibandingkan dengan perikanan Kanada, Inggris,
maupun Jerman. Hasil aplikasi pendekatan Rapfish pada perikanan laut di DKI Jakarta dan
pertama kali di Indonesia yang dilakukan oleh Fauzi dan Anna 2002a menunjukkan bahwa dari dua belas jenis alat tangkap yang dianalisis disimpulkan
bahwa alat tangkap pasif seperti bubu dan pancing, berdasarkan indikator kelestarian ekologi berada diantara good dan bad, tetapi secara sosial dan
ekonomi cenderung ke arah bad score. Sebaliknya pada perikanan aktif secara
46
teknologi dan ekologi mempunyai skor buruk bad score, tetapi sebaliknya secara ekonomis dan sosial cenderung ke arah baik good.
Fauzi dan Anna 2005 menyimpulkan bahwa dari sisi ekologi, alat tangkap yang beroperasi di luar teluk Jakarta cenderung memiliki skor
keberlanjutan relatif lebih rendah, sebab alat tangkap aktif cenderung menimbulkan masalah ekologi, seperti by catch, non selective, dan catch before
maturity. Sebaliknya, alat tangkap yang beroperasi di dalam teluk Jakarta cenderung pasif dan lebih bersifat selektif dan tradisional, sehingga tidak terlalu
destruktif. Namun skor keberlanjutan ekonomi antara perikanan di luar teluk dan di dalam teluk menunjukkan bahwa perikanan di dalam teluk Jakarta cenderung
memiliki skor sustainability rendah. Hasil analisis leverage untuk menguji sensitivitas atribut untuk setiap dimensi terhadap skor kelestarian perikanan
pesisir Jakarta diperoleh bahwa marketable right, employment sector dan other income mempunyai derajat kepekaan yang tinggi. Sementara pada dimensi sosial,
maka tingkat pendidikan, pengetahuan lingkungan serta fishing income mempunyai derajat yang penting dalam mempengaruhi tingkat kelestarian
sumberdaya perikanan tersebut. Sementara secara teknis teknologi atribut selective gear mendominasi atribut lainnya dalam mempengaruhi tingkat
kelestarian tersebut. Sedangkan pada dimensi etika, keterlibatan nelayan dalam penentuan kebijakan just management sangat nyata mempengaruhi nilai
kelestarian tersebut. Dengan memperhatikan berbagai teori dari berbagai referensi dan
sejumlah penelitian terdahulu dikaitkan dengan kondisi perikanan tangkap skala kecil Indonesia saat ini, dapat disimpulkan bahwa keberlanjutan perikanan
tangkap harus didukung oleh berbagai aspekdimensi keberlanjutan yaitu, keberlanjutan ekologi, ekonomi, sosial, teknologi dan hukum serta kelembagaan.
Oleh karena itu penelitian ini sangat perlu dilakukan.
3 METODE UMUM PENELITIAN
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian