Tujuan Upacara Cawir Metua Proses Upacara Cawir Metua

dianggap mulia dan sangat dihargai. Acara pemakamannya disebut dengan istilah nurun disertai dengan gendang pengiring dan para kaum kerabat larut menari bersama dengan mengelilingi jenazah.

3.4 Tujuan Upacara Cawir Metua

Dalam konteks kebudayaan karo tujuan dilakukannya upacara adat-istiadat cawir metua adalah sebagai ikon kehormatan dari pihak kalimbubu yang meninggal kepada yang meninggal. Dalam acara ini diserahkan hutang adat. Ini merupakan sebuah kewajiban yang harus diberikan kepada pihak kalimbubu. Jenis penamaan uang adat ini berbeda untuk setiap jenis upacaranya. Dalam upacara cawir metua, utang adat yang merupakan kewajiban yang harus diberikan kepada pihak sukut adalah maneh-maneh. Terdiri dari bulang-bulang uis gatip, kain adat, sekin parang, dan bantuan beberapa uang yang jumlahnya ditentukan berdasarkan hasil musyawarah atau runggu, dan besarnya uang ini bisa bertambah sesuai dengan permintaan dari pihak kalimbubu.

3.5 Proses Upacara Cawir Metua

Menurut Sarjani Tarigan dahulu kala dalam kehidupan masyarakat Karo, jikalau ada orang meninggal dunia, maka aktivitas kultuiral pertama yang dilakukan adalah memandikannya, membuat putar di kening dan pipinya kuning, kaki pada ibu jari, dan ikat kalaki. Sejalan dengan hal itu, maka semua sangkep nggeluh kerabat terutama sembuyak, kalimbubu, dan anak beru dipanggil untuk melakukan runggu musyawarah tentang hari penguburan, undangan untuk Universitas Sumatera Utara sangkep nggeluh, patong kerja baban simate, dan lain-lain. Seperti deskripsi inilah proses yang dilakukan apabila ada orang yang meninggal dunia sebelum masuknya pengaruh agama Kristen. Secara umum aktivitas yang berkaitan dengan upacara adat adat-istiadat cawir metua di dalam kebudayaan masyarakat Karo dilaksanakan selama tiga hari. Namun demikian ada juga di antara warga etnik Karo yang melaksanakan upacara cawir metua ini selama dua hari saja. Aktivitas upacara cawir metua tersebut mencakup kegiatan-kegiatan berupa: persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan upacara adat ini. Dalam konteks penelitian ini, penulis meneliti upacara yang pelaksanaannya dilakukan sepanjang tiga hari dengan focus perhatian kepada upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem Nd Sesser pada tanggal 12,13, 14 Februari 2012. Ibu ini adalah ibu kandung penulis sendiri, yang telah berjasa dalam mendidik anak-anaknya untuk menjadi orang Karo yang berguna bagi nusa dan bangsa. Banyak kenangan kehidupan ndan filsafat ibunda penulis ini yang menjadi sumber kehidupan filsafat hidup penulis, yang menjadi daya dorong dalam mengisi kehidupan ini, terutama untuk menjadikan diri penulis menjadi manusia yang bermanfaat kepada semua orang, dan juga patuh dan taat kepada perintah Tuhan. Upacara Cawir Metua di bawah ini dilaksanakan di Desa Lau Tawar, Kecamatan Taneh Pinem, Kabupaten Dairi. Walaupun secara administratif berada di wilayah Kabupaten Dairi, namun secara wilayah budaya, kawasan ini masuk ke dalam kebudayaan Karo Gugung. Desa Lau Tawar berjarak lebih kurang 142 Universitas Sumatera Utara kilometer dari Medan; atau berjarak lebih kurang 72 kilometer dari Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo. Pada saat dilaksanakannya penelitian ini Desa Lau Tawar dihuni oleh 400 kepala keluarga, yang dapat dirinci 85 persen di antaranya adalah oleh suku Karo, serta sisanya terdiri dari suku Pakpak-Dairi, Toba, dan Jawa. Penduduk Lau Tawar ini sebagian besar hidup dengan bercocok tanam di ladang. Upacara cawir metua ini dilakukan dalam konteks upacara cawir metua saat meninggalnya ibu Cilenggemen br Pinem Nande Sesser. Ibu Cilenggemen ini memiliki 5 lima orang anak yang semuanya sudah menikah. Kelima-limanya dpaat dirinci sebagai berikut’ 1 Anak pertama bernama Sesser br Ginting sudah meninggal dunia; 2 anak kedua bernama Usaha Ginting penulis sendiri; 3 anak ketiga bernama Kartini br Ginting; 4 anak keempat Cahaya br Ginting; serta 5 anak kelima bernama Japet Ginting anak bungsu. Jadi dengan demikian secara realitasnya Ibu Cilenggemen br Pinem ini meninggal dalam keadaan cawir metua. Kematian cawir metua ini adalah sebagai sebuah rahmat dari Tuhan terhadap keluarga yang ditinggalkannya. Upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem Nd Sesser dilaksanakan di Jambur Merga Silima Desa Lau Tawar. Adapun perkolong-kolong yang diundang dalam upacara Cawir Metua ini adalah Siti Aminah br Ginting atau di kalangan masyarakat umum lebih dikenal dengan Sumpit br Ginting. Perkolong- kolong Sumpit br Ginting bertempat tinggal di Kabanjahe, serta memiliki suami yang sekaligus juga adalah penggual pemain gendang tradisional Karo yang bernama Traman Tarigan. Sedangkan seperangkat pemusik tradisional yang Universitas Sumatera Utara mengiringi upacara ini terdiri dari: Asli Sembiring penarune, Mail Bangun penggual, Ucan Ginting penggual, dan Daniel Bangun simalu gung dan penganak. Upacara dilaksanakan selama tiga hari. Setiap harinya dilakukan upacara yang berbeda namun menjadi satu rangkaian atau satau kesatuan yang disebut dengan upacara cawir metua. Dalam konteks budaya Karo, upacara ini dilakukan baik menurut adat dan juga agama yang dianut oleh yang meninggal tersebut, dalam hal ini adalah Kristen. Kedua-duanya dapat saja muncul di sana-sini pada bahagian demi bahagian upacara tersebut. I Hari Pertama, pada mayarakat Karo di Desa Lau Tawar, Tanah Pinem Dairi dan sekitamya, apabila warganya ada yang meninggal dunia, maka selanjutnya pihak keluarga atau kerabat yang meninggal dunia tadi, yang terdiri dari anak beru, senina, dan kalimbubunya biasanya dalam masa yang secepat- cepatnya menyelenggarakanm runggu, yaitu musyawarah dengan pihak sukut keluarga yang meninggal dan yang menjadi tuan rumah upacara yang dimaksud. Apabila ketiga pihak seperti yang tersebut di atas, yaitu: anak beru, senaina, dan kalimbubu belum lengkap, maka runggu biasanya belum bisa dilaksanakan. Dengan alas an untuk segera dilakukannya musyawarah ini, maka pihak anak beru secepat mungkin memberitahukan kembali tentang kemalangan berupa kematian ini kepada semua anggota ketiga pihak kerabat dalam institusi adat Karo ini. Selepas saja semua pihak berkumpul, maka kegiatan berupa runggu musyawarah dilaksanakan untuk membicarakan sebuah topic adat utama yaitu tentang Universitas Sumatera Utara bagaimana persiapan-persiapan dalam menyelenggarakan upacara cawir metua kepada salah satu kerabat mereka yang meninggal dunia tersebut. Biasanya materi musyawarah yang lebih detil dibicarakan dalam institusi adat ini secara lisan. Di antara yang dimusyawarahkan mereka para kerabat yang meninggal ini adalah: a waktul atau hari penguburan, b kerabat dan warga masyarakat yang diundang, c detil upacara yang dilakukan, d peralatan upacara yang perlu dipersiapkan, e dan semua hal yang berkaitan dengan upacara cawir metua ini. Dalam studi ini, pada saat melakukan studi lapangan, pada hari pertama ini keluarga dari mendiang Ibu Cilenggemen br Pinem yang meninggal hanya melakukan runggu untuk membicarakan bagaimana, apa saja yang perlu dipersiapkan, siapa bertugas sebagai apa, serta siapa-siapa saja baik itu anggota kerabat maupun masyarakat yang perlu diundang dalam konteks upacara adat cawir metua ini. Ketika dilakukan musyawarah atau runggu tersebut, sebelumnya jasad Ibu Cilenggemen br Pinem sudah ditempatkan di dalam keranda di dalam rumahnya. Setiap kerabat atau masyarakat yang ingin melayatnya bisa melihat jenazah ini, dan biasanya mengirimkan doa kepada mendiang, agar ditempatkan di sisi Tuhan dengan tempat yang sebaik-baiknya, dan segala amalnya di dunia semasa hidup diterima Tuhan pula. Selanjutnya tiba hari kedua, dalam proses upacara cawir metua ini. II Hari kedua, aktivitas upacara pada hari kedua ini terutama dilakukan oleh anak beru yaitu berupa membagi undangan kepada keluarga dan teman untuk menghadiri upacara. Selain itu kegiatan yang dilakukan kerabat adalah Universitas Sumatera Utara mempersiapkan seluruh peralatan untuk upacara cawir metua yang dibutuhan selama berlangsungnya puncak acara adat keesokan harinya. Secara garis besar semua undangan yang dikelompokkan dalam kekerabatan terdiri dari: kalimbubu, senina, dan anak beru. Ketiga kelompok kerabat ini, dalam konteks kebudayaan Karo pada umumnya dan fungsional pula dalam upacara cawir metua, dapat dirinci lagi secara kategorial sebagai berikut ini. a Dari pihak kalimbubu, didukung oleh unsur-unsurnya, yaitu: i Kalimbubu bena-bena, ii Kalimbubu taneh, iii Kalimbubu simada dareh, iv Kalimbubu i perdemui, v Puang kalimbubu, vi Kalimbubu senina, vii Kalimbubu sepengalon, serta viii 30 Teman -teman satu kampung atau teman satu lokasi pekerjaan. b Dari pihak senina, didukung oleh unsure-unsurnya seperti direntang berikut: i Senina, ii Sembuyak, iii Senina sipemeren, iv Senina siparibanen, dan v Senina sipengalon. Universitas Sumatera Utara c Dari pihak anak beru, didukung oleh unsur-unsurnya seperti direntang berikut ini. i Anak beru tua, ii Anak beru jabu, iii Anak beru langkip, dan iv Anak beru menteri. Kemudian alat-alat dan kelengkapan yang dipersiapkan adalah mulai dari pakaian adat ose, utang adat, peralatan musik, peti jenajah, makanan, dan tempat penguburan. Jikalau pihak sukut tersebut adalah orang yang ekonominya termasuk “orang berada,” maka untuk melengkapi pertunjukan musik, diundanglah perkolong-kolong untuk bertugas secara budaya yaitu menyanyikan katoneng- katoneng. Dalam penulisan ini peneliti memilih upacara yang menggunakan katoneng-katoneng, sesuai pokok masalah dalam tesis ini untuk mengkaji struktur music dan makna teks katoneng-krrtoneng yang terdapat dalam upacara cawir metua. Setelah semuanya selesai dipersiapkan, pada malam hari kedua dilakukan musyawarah runggu kembali setelah semua yang terlibat dalam pelaksanaan upacara ini makan malam. Pada musyawarah ini yang paling pokok adalah dibicarakan hal-hal yang berkaitan dengan penetapan hutang adat dan acara perlandek menari. Dalam upacara cawir metuaini, ada urutan-urutan yang melakukan landek menari. Selanjutnya diadakan gendang adat yang dalam kaitannya gendang adat ini dipercayai atau dipandang sebagai gendang erjaga-jaga gendang yang berfungsi Universitas Sumatera Utara untuk membuat pendukung upacara tetap terbangun menjaga jenazah. Dalam gendang adat ini atau gendang erjaga-jaga ini ada urutan siapa saja yang melakukan landek. Dalam pengamatan penulis urutan itu adalah sebagai berikut: 1. Pihak keluarga sukut yang kemalangan, termasuk penulis ikut melakukan landek ini, sebagai anak kandung, 2. Pihak sembuyak orang-orang sekitar daerah dan luar daerah yang tidak ada hubungan darah dengan kerabat yang meninggal, 3- Kepala desa, kepala rukun warga, dan rukun tetanggam juatetangga-tetangga serta teman-teman akrab, 4. Pihak kalimbubu, 5. Pihak puang kalimbubu, 6. Pihak anak beru yang terdiri dari empat marga, dan 7. Pihak anak beru menteri yang terdiri dari lima marga. Hari kedua ini, merupakan aktivitas yang berasal dari hasil musyawarah di hari pertama. Selanjutnya diadakan musyawarah kembali untuk membicarakan persiapan yang dilakukan dalam menyambut puncak upacara di hari ketiga. Untuk itu semua yang tergolong dalam sistem kekerabatan setelah musyawarah kedua ini, maka dilanjutkan dengan gendang erjaga-jaga, yang artinya menjaga yang meninggal sampai tiba hari ketiga. III Hari Ketiga, merupakan puncak acara upacara adat cawir metua yang dimaksud. Pada hari ketiga ini sebelumnya dimulainya acara adat cawir metua, terlebih dahulu dilakukan acara doa dari pihak gereja. Selesai acara berdoa secara Kristiani ini, maka upacara dilanjutkan dengan ngukati makan pagi. Universitas Sumatera Utara Setelah selesai acara makan, pihak sukut beserta keluarga yang termasuk ke dalam sistem kekerabatan mengadakan runggu kembali. Tema utama yang dibicarakan dalam musyawarah ini adalah mengenai pengangkatan jenazah dari rumah kediaman jenazahselamah ini beserta keluarga intinya, ke jambur yang sudah ditetapkan dan siapa saja bertugas mengangkat jenazah dan kemudian menempatkan posisi jenazah sesampainya di jambur. Gambar 3.1: Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting Sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng . Sumber: dokumentasi penulis Universitas Sumatera Utara Berdasarkan dari hasil musyawarah tersebut, maka diputuskan secara adat pengangkatan jenazah ke jambur. Kalimbubu mangangkat bagian kepala. Disertai dengan pihak anak beru mengangkat bagian kaki dan badan jenazah. Bersamaan dengan pengangkatan jenazah Ibu Cilengemen br Pine mini, maka semua pihak yang hadir, dan memiliki keluangan waktu turut mengiringi prosesi pengantaran jenazah sampai ke jambur. Gambar 3.2: Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng Diiringi Landek Sumber: dokumentasi penulis Universitas Sumatera Utara Selepas saja jenazah sampai di jambur dan diletakkan pada posisi yang telah ditentukan, maka dalam rangkaian upacara cawir metua ini, dilakukan acara adat, maka pemimpin upacara dari pihak anak beru memanggil para peserta upacara, melalui perangkat pengeras suara, yaitu mikrofon dan pengeras audio. Setelah pemimpin upacara meminta kepada para pemusik si erjabaten untuk memainkan gendang sarune sebagai indeks bahwa upacara adat akan segera dimulai sambil memanggil kembali para sangkep nggeluh segenap kerabat untuk datang ke jambur agar upacara adat puncak cawir metua tersebut dimulai. Adapun iringan gendangnya disebut gendang pengangkat dan gendang siarak-araki. Seiring dengan musik gendang terus berjalan, maka salah seorang anak beru singerana, memohon kepada si erjabatan sebutan pemusik agar gendang yang bertajuk Rose dan Tudungan dimainkan. Kemudian pihak kerabat menari landek dengan komposisi fungsionalnya adalah: l Pada saat Gendang Rose dipertunjukkan,maka pihak kerabat yang menari adalah semua pihak kerabat yang sedang mengalami kemalangan; 2 pada saat Gendang Tudungen dipertunjukkan, maka yang melakukan landek adalah anak perana atau singuda-nguda muda-mudi. Kedua repertoar gendang tersebut dipertunjukkan dengan tujuan kultural agar semua pihak kerabat bersiap-siap untuk melaksanakan tugasnya masing- masing. Setelah selesai pertunjukan Gendang musik dan tari Rose dan Gendang Tudungen ditujukan kepada dilaksanakan, maka anak beru singerana kembali memberitahu kepada pihak sukut bahwa telah meninggal salah seorang dari kalimbubunya. Pemberihuan ini merupakan bagian dari pelaksanaan upacara adat cawir metua. Universitas Sumatera Utara Pemberitahuan yang disampaikan anak beru singerana kemudian dilanjutkan oleh salah seorang pihak keluarga yang kemalangan yaitu senina saudara perempuan dari jenazah. Tema dan isi dari pemberitahuan ini adalah bahwa pada hari itu telah berkumpul semua pihak kerabat untuk menyelesaikan hutang adat. Selanjutnya diminta pula kepada semua pihak agar tidak ada yang menaruh rasa dendam ataupun marah kepada yang meninggal, supaya arwah yang meninggal diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa Allah Bapa, Tuhan Yesus, dan Roh Kudus. Pemberitahuan secara adat tersebut, dalam konteks kebudayaan Karo lazim disebut dengan kata pengalo-ngalo. Selepas itu, dengan selesainya kata pengalo- ngalo, maka kata-kata ini diikuti dengan pertunjukan gendang pengalo-ngalo yang mengiringi perkolong-kolong, yang menyanyikan lagu katoneng-katoneng. Selepas rangkaian tersebut, maka kegiatan berikutnya dalam rangkaian upacara adat cawir metua ini adalah pertunjukan gendang adat. Repertoar ini juga melibatkan pertunjukan landek dari pihak kalimbubu, puang kalimbubu, sukut, senina, anak beru, serta anak beru menteri.. Gendang adat tersebut menandakan bahwa acara adat yang ditujukan kepada suhut keluarga yang sedang mengalami kemalangan. Pada saat ini juga diadakan acara musyawarah khusus yang membicarakan masalah hutang-hutang adat kerabat kepada kalimbubu yang disebut dengan pedalen maneh-maneh. Setelah pemberian maneh-maneh kepada kalimbubu selesai, maka dipertunjukan pua Gendang Perang-perang. Gendang ini diikuti dengan kegiatan landek oleh pihak kalimbubu bersama denga puang kalimbubu. Bersamaan Universitas Sumatera Utara dengan dengan kegiatan pertunjukan budaya ini, maka kalimbubu membawa kain kafan dari tempat mereka landek sambil menuju tempat peti jenazah. Kemudian kain kafan tersebut diselempangkan ke atas jasad jenazah. Sejalan dengan berlangsungnya pertunjukan Gendang Perang-perong, maka perkolong-kolong kembali lagi mengungkapkan teks-teks penghibur kepada pihak sukut dan kerabat dalam bentuk nyanyian yang disebut katoneng-katoneng. Selepas saja pihak kalimbubu selesai melakukan landek, maka acara berikutnya diberikan kepada pihak anak beru untuk landek bersama anak beru menteri. Dalam landek ini, anak beru dan anak beru menetri membawa kain kafan dari tempat dia landek, dan perlahan-lahan menuju tempat peti jenazah. Sesudah sampai di depan jasad jenazah, maka kain kafan itu diselempangkan ke atas jenazah. Dalam landek ini perkalong-kolong berperan kembali untuk mempersembahkan nyanyian yang penuh nilai-nilai filsafat dan budaya dalam bentuk lagu katoneng-kotoneng. Universitas Sumatera Utara Gambar 3.3: Foto Kelompok Kalimbubu Laki-laki Sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting Sumber: dokumentasi penulis Rangkaian acara ini diakhiri dengan pertunjukan Gendang Sirang-sirang oleh si erjabaten sebagai tanda perpisahan. Gendang ini juga mengiringi katoneng- katoneng, dan gendang inilah yang disebut dengan “puncak acara adat” dalam upacara cawir metua. Kemudian selepas itu, pihak sukut beserta keluarga yang kemalangan mengoleskan air yang telah diramu dengan jeruk purut ke bagian permukaan kuku jari-jari kedua kaki jenazah. Setelah itu acara diserahkan kepada pihak gereja sampai ke penguburan yang dalam adat Karo disebut upacara pemakaman nurun. Pada saat ini nyanyian yang digunakan bukan katoneng- katoneng tetapi genre yang disebut nganggukken tangis. Universitas Sumatera Utara Gambar 3.4: Kelompok Kalimbubu Perempuan sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting Sumber: dokumentasi penulis Universitas Sumatera Utara Gambar 3.5: Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan kata Pengalo-ngalo Penyambutan kepada Sangkep Nggeluh Kerabat Adat. umber: dokumentasi penulis Gambar 3.6: Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo kepada Sangkep Nggeluh Sumber: dokumentasi penulis Universitas Sumatera Utara Dengan melihat uraian di atas, maka secara umum struktur urutan acara adat cawir metua dalam kebudayaan Karo pada umumnya, yang berlangsung adalah sebagai berikut ini. 1. Sukut berangkat dari rumah dan disambut oleh anak berunya di jambur, 2. Nangketken ose memakaikan ose kepada sukut, 3. Landek kempu seluruh cucu dari yang meninggal dunia menari berpasangan 4. Landek adat sukut, 5. Landek adat sembuyak, 6. Landek adat siparibanen, sipemeren, 7. Memberikan kata pengapul atau kata teman meriah, 8. Acara nggalari utang adat, 9. Landek adat tegun sipemeren, siparibanen, puang nupuang, 10. Landek adat tegun kalimbubu, 11. Landek adat tegun senina, 12. landek adat kalimbubu, dan 13. Landek adat anak beru. Walaupun demikian adanya, dalam upacara cawir metua ini urutan yang bisa disatukan pelaksanaannya dilakukan oleh keluarga untuk mempersingkat waktu, yang dalam hal ini tentu saja, tidak mengurangi rasa hormat terhadap upacara adat. Urutan itu adalah setelah sampai ke jambur, maka acara selanjutnya dipandu oleh pemimpin upacara untuk meminta kepada si erjabaten memainkan Gendang Rose, kemudian memanggil sukut untuk melakukan landek. Setelah itu Universitas Sumatera Utara lalu dilanjutkan landek oleh senina, setelah itu teman meriah yang dilanjutkan galari utang adat. Sesudahnya landek kembali tegun kalimbubu dan ditutup dengan kegiatan landek dari tegun anak beru untuk menutup rangkain upacara ini. Dalam pelaksanaannya setelah setiap kelompok ini selesai landek, maka berikutnya selalu dipertunjukkan nyanyian katoneng-katoneng. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PENGGUNAAN DAN FUNGSI