Setelah itu, manusia menjalani masa tuanya. Kemudian mengisi hari- harinya sebagai manusia lanjut usia. Walau kematian bias saja terjadi di seluruh
daur hidup manusia, namun biasanya secara manusiawi, mati kalau bias adalah pada masa tua ini, selepas masa produktif. Demikian juga yang terjadi pada orang
Karo.
3.2 Kematian dalam Konsep Tradisional Karo
Kematian adalah proses berpisahnya roh dengan jasad manusia. Karena pada saat hidup kedua unsure ini menyatu dalam kesatuan tubuh manusia. Proses
berpisahnya antara roh dan jasad ini, biasanya disebabkan oleh berbagai faktor, baik itu fisiologis maupun alam.
Dalam kebudayaan masyarakat Karo, kematian yang dianggap paling ideal adalah kematian yang disebut dengan cawir metua. Namun demikian, tidak selalu
pula kematian seseorang itu sampai ke dalam tahap cawir metua. Dalam konteks ini, masyarakat Karo membagi tingkatan kematian berdasarkan usia dan keadaan
keturunannya, ke dalam tiga jenis, seperti uraian berikut ini. i
Cawir metua, yaitu apabila yang meninggal telah berusi lanjut, kemudian telah memiliki anak, cucu, cicit, bahkan cacah, serta syarat
yang harus dipenuhi semua anaknya sudah berumah tangga. ii
Tabah-tabah galuh, yaitu kematian seseorang yang usianya belum sampai ke dalam tahap usia lanjut, tetapi semua anak-anaknya sudah
berumah tangga atau berkeluarga, yang dalam bahasa Karo disebut dengan sai utang.
Universitas Sumatera Utara
iii Mate nguda, apabila usia yang meninggal dunia ini relative masih muda, boleh jadi belum berumah tangga, atau sudah berumah tangga,
namun belum kesemua anak-anaknya berumah tangga. Kategori yang kedua, di samping berdasarkan usia dan anak-anak yang
ditinggalkannya, maka orang-orang Karo membagi kematian berdasarkan penyebab kematian itu pula. Dalam kategori ini, dijumpai Sembilan jenis kematian dalam
persepsi masyarakat Karo, seperti yang diuraikan berikut ini. 1
Batara guru, yaitu janin meninggal dalam kandungan, karena faktor- faktor fisiologis, baik dari janin itu sendiri atau juga faktor ibundanya
yang lemah di saat ia berada di dalam rahim. 2
Guru batara atau sabutara, yaitu seorang janin yang meninggal dunia dan belum dikenal jenis kelaminnya, janin ini meninggal dalam
keadaan prematur. 3
Bitara guru, yaitu seorang bayi yang meninggal dunia selepas ia lahir, ia meninggal beberapa saat sesudah kelahirannya di dunia ini.
4 Mate lenga ripen, yaitu seseorang anak yang meninggal dunia
sebelum tumbuh giginya. Anak ini meninggal bias saja sejak dalam kandungan atau meninggal beberapa saat sesudah kelahirannya.
Penguburan terhadapnya dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi oleh orang tuanya tanpa melibatkan sangkep nggeluh.
5 Mate nca ripen, yaitu seseorang anak yang meninggal setelah tumbuh
giginya. Biasanya upacara penguburannya melibatkan sangkep nggeluh.
Universitas Sumatera Utara
6 Mate anak perana atau singuda-nguda, di kawasan Karo Jahe disebut
dengan mate ndahi nini, yaitu kematian seseorang anak manusia yang telah sampai ke dalam keadaan perjaka atau gadis.
7 Sirang sere, yaitu kematian seorang wanita pada saat ia melahirkan
anaknya. 8
Kayat-kayaten, yaitu seseorang yang meninggal dunia, disebabkan oleh dirinya sakit-sakitan.
9 Mate sadawari yaitu sesorang yang meninggal akibat dari kecelakaan
yang tidak diduga-duga. Dari jenis kematian-kematian di atas, dalam pelaksanaan adat-istiadatnya
kadang-kadang memiliki berbagai perlengkapan khusus, namun dari sisi music dan tari gendang dalam upacara kematian ini hamper sama. Berbagai perlengkapan
khusus ini, misalnya untuk kematian seseorang yang mencapai derajat perjaka atau gadis, pada alat kelamin laki-laki ditutup oleh seruas bambu—di sisi lain pada alat
kelamin mayat wanita gadis ini dimasukkan tongkol jagung. Dalam persepsi tradisional masyaraat Karo, kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berbeda,
maka roh yang meninggal dunia tersebut dipanggil dengan sebutan yang berbeda- beda pula. Kategori kematian dalam masyarakat Karo ini dapat digambarkan pada
Bagan 3.1.
3.3 Pengertian Cawir Metua