Seni ukir Penggunaan pada Upacara Mengket Rumah Mbaru

berkenaan, antara lain: Beru Patimar dan PawangTernaler, Panglima Cimpa Gabor-gabor, Gosing si Aji Bonar, Beru Rengga Kuning dan lain sebagainya. Di dalam konteks katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolong- kolong, termasuk dalam konteks upacara kematian cawir metua, maka bahasa yang digunakan para perkolong-kolong biasanya adalah bahasa Karo yang dikategorikan secara adat sebagai cakap lumat bahasa halus. Artinya di dalam bahasa yang dinyanyikan perkolong-kolong tersebut mempunyai diksi tertentu dan tata aturan mengikuti sastra lisan Karo, yang penuh dengan nilai-nilai dan makna kebudayaannya.

2.5.2 Seni ukir

Meskipun tradisi seni ukir dan patung di Tanah Karo sudah sangat lama hidup, namun perkembangannya tidak seperti yang diharapkan; khususnya seni patungnya. Hanya beberapa orang Karo saat ini yang menekuni hidupnya dalam bidang berkenaan diatas. Di antaranya yang masih hidup boleh dicatatkan disini, adalah : Pauzi Ginting di Lingga, Joker Barus di Barusjahe, Kora Sembiring di Seberaya, Bangun Tarigan di Kabanjahe, A.G. Sitepu di Medan, dan lainnya. Mereka yang dicatatkan disini hanya seorang saja yang menekuni bidang seni patung; yaitu A.G. Sitepu, selebihnya menggeluti seni ukir. Seni ukir tradisional Karo memiliki berbagai bentuk, yaitu berupa ragam hias dan benda-benda kerajinan. Beberapa dari jenis-jenis ragam hias yang terdapat di Karo, antara lain : Tapak Raja Sulaiman, Pengeretret, Embun Sikawiten, Keret-keret Ketadu, Anjak-Anjak beru Ginting dan lain sebagainya Universitas Sumatera Utara A.G. Sitepu: 1980. Jenis ukiran berkenaan dapat ditemukan pada alat-alat upacara, perkakas rumah tangga, alat-alat musik, hiasan dinding, Ayorumah siwaluh jabu 2 Sedangkan seni patung pada orang Karo disebutgana-gana. Patung yang sangat terkenal di Tanah Karo adalah gana-gana saringitgit. Bentuk gana-gana saringgitgit sangat menyeramkan sehingga orang yang menciptakannya pun menjadi takut melihatnya. Namun, dari penelusuran yang penulis sudah lakukan, seni patung Karo saat ini sudah tidak ditemukan lagi; baik itu di museum-museum pemerintah dan swasta, maupun di toko-toko yang menjual cenderamata dan benda-benda antik Karo. dinding muka rumah adat Karo dan lain sebagainya. Berupa benda-benda kerajinan antara lain adalah piso tumbuk lada pisau khas Karo, sertaliperhiasan yang terbuat dari perak, kalakati penjabat alat untuk membelah pinang dan lain sebagainya. 2.5.3 Seni musik 2.5.3.1 Pengertian musik Musik pada masyarakat Karo diartikan sebagai gendang.Musik yang berkembang di kalangan kaum muda disebut dengan gendang si medanak musik anak muda.Musik yang saat ini popular di tengah-tengah masyarakat dikatakan dengan gendang si gundari musik yang popular sekarang ini. Sedangkan musik tradisional Karo yang menggunakan sarune serunai sebagai 2 Rumah si waluh jabu mengandungi erti rumah yang di dalamnya terdapat lapan ruang. Rumah jenis ini masih boleh dijumpai di beberapa desa Karo, diantaranya: desa Lingga, desa Dokan, desa Peceren, dan lain sebagainya. Universitas Sumatera Utara alat musik melodisnya disebut dengan gendang telu sendalanen lima sada perarih atau yang saat ini lebih dikenal dengan sebutan gendang sarune.

2.5.3.2 Jenis-jenis musik

Secara umum musik tradisional Karo berdasarkan sumber bunyinya dibagi atas dua bagian, yaitu musik vocal dan musik instrumental.Musik vocal adalah musik yang dihasilkan dari suara atau mulut manusia, sedangkan musik instrumental adalah musik yang dihasilkan oleh alat-alat musik tertentu.

2.5.3.2.1 Musik vokal

Ada berbagai jenis musik vocal yang berkembang pada masyarakat Karo hingga saat ini.Dalam penyajiannya, musik vokal tersebut ada yang diiringi dengan alat musik tertentu, namun ada pula yang dimainkan tanpa iringan musik. Musik vocal yang diiringi dengan alat musik tertentu diantaranya adalah: kateneng-kateneng yaitu nyanyian yang dibawakan oleh perkolong-kolong penyanyi dan penari professional Karo dalam sebuah acara adat; ende-enden yaitu nyanyian yang dinyanyikan oleh seseorang laki-laki atau perempuan dalam sebuah acara. Sedangkan musik vocal tanpa diiringi alat musik adalah: mangmang yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang guru dukun pada pelaksanaan sebuah upacara ritual; nendong yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang guru dukun dalam sebuah proses pengobatan seseorang yang Universitas Sumatera Utara sedang sakit; didong doah yaitu nyanyian yang dibawakan oleh seorang perempuan dalam sebuah adat perkawinan; dan lain sebagainya 3 .

2.5.3.2.2 Musik instrumental

Musik instrumental Karo dihasilkan oleh alat musik solo tunggal maupun alat-alat musik yang tergabung dalam ensambel musik tertentu. Musik instrumental yang dimainkan dengan solo instrument, diantaranya: lebuh-lebuh; dilantunkan oleh surdam alat musik tiup side blow; penganjak kuda si tajur; dimainkan oleh kulcapi kecapi Karo, pingko-pingko; yang dimainkan dengan solo oleh alat musik belobat alat musik tiup end blow, dan lain sebagainya.Musik instrumental yang dibawakan oleh ensambel tertentu biasanya tidak dinyanyikan tetapi hanya ditarikan, maupun hanya sekedar dilantunkan.Gendang perang 4 kali adalah musik yang hanya dilantunkan tanpa dinyanyikan maupun ditarikan.Gendang lima serangke lima serangkai adalah musik instrumental yang hanya ditarikan oleh penari khusus biasanya oleh muda-mudi dengan cara berpasang-pasangan, dan lain sebagainya.

2.5.3.3 Ensembel Musik Tradisional Karo 2.5.4.4.1 Gendang

Lima Sendalanen Gendang Telu Sendalanen Lima Sada Perarih, yang sering juga disebut gendang sarune, merupakan ensambel musik yang paling dikenal dalam khasanah musik tradisional Karo. Istilah gendang pada kasus ini dapat diartikan dengan alat musik, limaberarti jumlah kuantitatif sebanyak lima buah, dan 3 Dalam beberapa kasus, nyanyian didong doah juga tak jarang disisipkan musik sebagai iringannya.Hal itu terjadi atas inisiatif pemusik saja. Universitas Sumatera Utara sedalanen berarti sejalan. Dengan demikian gendang lima sedalanen mengandung pengertian lima buah alat musik, yaitu: sarune, gendang singanaki, gendang singindungi, penganak, dan gung. Gambar 2.2: Penarune Sumber: Perikuten Tarigan 2008:53 Masing-masing alat musik ini dimainkan oleh seorang pemain, dengan sebutan panarune untuk pemain sarune, penggual untuk sebutan pemain gendang singanaki dan gendang singindungi. Lebih spesifik lagi, pemain gendang singanaki disebut penggual singanaki dan pemain gendang singindungi disebut penggual singindungi.Orang yang memainkan penganak Universitas Sumatera Utara disebut simalu penganak, dan orang yang memainkan gung disebut simalu gung.Namun, pada saat sekarang ini, alat musik penganak dan gung sudah biasa dimainkan oleh hanya seorang pemain, dan sebutannya adalah simalu gung. Gambar 2.3: Pemain Musik Gendang Lima Sidalanen Sumber: Perikuten Tarigan 2005: 56 Ketika mereka bermain musik dalam satu upacara adat Karo, sebutan kepada mereka menjadi satu yaitu si erjabaten, yang artinya secara harfiah adalah orang yang memiliki jabatan.Sebutan penggual dan panarune tetap melekat pada diri mereka sepanjang mereka masih beraktivitas dalam bidang musik, sementara sebutan si erjabaten biasanya hanya muncul ketika mereka Universitas Sumatera Utara bermain dalam satu konteks upacara adat Karo. Ensembel Gendang Telu Sendalanen Lima Sada Perarih atau biasa juga disebut Gendang Lima Sendalanen terdiri dari: i Sarune, merupakan alat musik tiup yang memiliki lidah ganda double reed aerophone.Tabung alat musik ini berbentuk konis, mirip dengan alat musik obo oboe. Panjang sarune lebih kurang 30 cm. Instrumen ini terdiri dari lima bagian alat yang dapat dipisah-pisahkan serta terbuat dari bahan yang berbeda pula yaitu: anak-anak sarune, tongkeh, ampang-ampang, batang sarune, dan gundal. Anak-anak sarune reeds terbuat dari dua helai kecil daun kelapa yang telah dikeringkan.Kedua helai daun kelapa itu diikatkan pada katir pipa kecil yang terbuat dari perak sebagai penghubung anak-anak sarune kepada bagian berikutnya.Tongkeh terbuat dari timah, bentuknya seperti pipa kecil yang berfungsi sebagai penghubung antara anak-anak sarune dengan batang sarune.Ampang-ampang yakni sebuah lempengan berbentuk bundar yang terbuat dari kulit binatang baning trenggiling diletakkan di tengah tongkeh.Ampang-ampang ini berfungsi sebagai penahan bibir pemain sarune ketika sedang meniup alat tersebut.Batang sarune terbuat dari kayu selantam, yang harus dibentuk menjadi konis, dan bagian dalamnya juga dilobangi agar bentuknya menjadi konis juga. Pada batang sarune inilah terdapat lobang-lobang sebanyak delapan buah.Gundal juga terbuat dari kayu selantam yang berada pada bagian bawah sarune. Gundal ini merupakan corong bell pada bagian ujung sarune. Perlu ditambahkan, ampang-ampang, anak-anak sarune, dan tongkeh biasanya dihubungkan satu sama lainnya dengan tali kecil pengikat agar bagian-bagian Universitas Sumatera Utara tersebut tidak tercecer atau terpisah maupun hilang karena ukurannya kecil- kecil. Gambar 2.4: Sarune sumber: dokumentasi penulis, 2014 ii Gendang Singanaki dan Gendang Singindungi, Gendang singanaki dan gendang singindungi merupakan dua alat musik pukul yang memiliki membran yang terbuat dari kulit napuh sejenis kancil, pada kedua sisi alat musik yang berbentuk konis ganda doble headed double conical drums. Sisi depanatas atau bagian yang dipukul disebut babah gendang, sisi belakangbawah tidak dipukul disebut pantil gendang. Dibandingkan dengan alat musik gendang drum yang terdapat di Sumatera Utara, kedua gendang Karo memiliki ukuranyang kecil, panjangnya sekitar 44 cm, diameter babah Universitas Sumatera Utara gendang 5 cm, diameter pantil gendang 4 cm. Kedua alat musik tersebut memiliki kesamaan dari sisi: bahan, bentuk, ukuran, dan cara pembuatannya. Berbeda dengan gendang singindungi, pada gendang singanaki terdapat lagi sebuah gendang kecil, yang disebut gerantung panjang 11,5 cm posisinya biasanya diikat pada bahagian tengah gendang singanaki dengan menggunakan tali yang terbuat dari kulit lembu, sedangkan pada gendang singindungi tidak memiliki anak gerantung. Gendang singindungi dapat menghasilkan bunyi naik turun melalui teknik permainan tertentu, sedangkan bunyi gendang singanaki tidak bisa naik turun.Kedua alat musik ini terbuat dari pohon nangka, yang lobang atau rongga bagian dalamnya dibentuk mengikuti konstruksi bagian luar alat musik tersebut.Kulit yang direntangkan di kedua sisi muka alat musik tersebut berasal dari kulit napuh, sejenis kancil, yang kulitnya terlebih dahulu dikeringkan dan diperhalus. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.5: Gendang Singindungi sumber: dokumentasi penulis 2014 Gambar 2.6: Gendang Singanaki sumber: dokumentasi penulis 2014 Universitas Sumatera Utara Pada bagian luar dari ujung ke ujung alat musik ini dililitkan tali yang terbuat dari kulit lembu.Tali yang dililitkan di seluruh badan gendang tersebut berfungsi untuk mengencangkan kulit gendang. Masing-masing gendang memiliki dua palu-palu gendang atau alat pukul sepanjang 14 cm. Kedua-dua palu gendang singanaki, dan satu palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang sama kecilnya, sementara itu satu lagi palu-palu gendang singindungi memiliki ukuran yang lebih besar dari yang lainnya. iii Penganak dan Gung, Penganak dan gung memiliki persamaan dari segi konstruksi bentuk, yakni sama seperti gong yang memiliki pencu yang umumnya terdapat pada kebudayaan musik nusantara. Perbedaannya adalah dari segi ukuran diameter kedua alat yang demikian kontras.Gung memiliki ukuran yang besar diameter 68,5 cm, dan penganak memiliki ukuran yang kecil diameter 16 cm. Gung dan penganak ini berbahan dasar kuningan.Palu-palu gung dan penganak terbuat dari kayu, namun palu-palu gungyang bersentuhan langsung dengan pencu kedua alat musik ini adalah bagian kayu yang telah dilapisi dengan karet. Adapun fungsi karet yang dililitkan pada kayu pemukul adalah untuk menghasilkan nada yang lebih lembut, sedang apabila tanpa karet pembungkus bunyi yang terdengar akan kasar dan nada yang dikeluarkannya lebih tinggi. Universitas Sumatera Utara Gambar 2.7: Penganak dan Palu-palu Sumber: www.karosiadi.com Universitas Sumatera Utara Gambar 2.8: Gung dan Palu-palu Sumber: www.karosiadi.com Universitas Sumatera Utara

2.5.3.3.2 Gendang Telu Sendalanen

Gendang Kulcapi biasa juga disebut dengan Gendang telu sedalanen juga merupakan ensambel musik tradisionalyang terdapat dalam kebudayaan musik Karo. Gendang telu sedalanenmemiliki pengertian tiga alat musik yang sejalan, dimainkan secarabersama-sama dalam sebuah ensambel.Ketiga alat musik tersebut adalah kulcapi, keteng-keteng,dan mangkok.Adakalanya kulcapi, sebagai pembawa melodi dalamgendang telu sedalanen dapat pula diganti dengan instrumen belobat,sehingga istilah gendang telu sedalanen tersebut sering disebutberdasarkan nama alat musik pembawa melodi, yaitu gendang kulcapiatau gendang belobat.Gendang kulcapi berarti kulcapi sebagai pembawamelodi, dan gendang belobat berarti belobat sebagai pembawa melodi. Instrumen pengiring dalam gendang telu sedalanen atau gendangkulcapigendang belobat adalah tetap, yaitu: keteng-keteng dan mangkok.Masing-masing alat musik dimainkan oleh seorang pemain dengansebutan: perkulcapi untuk pemain kulcapi, parbalobat untuk pemainbalobat, simalu keteng-keteng untuk pemain keteng-keteng, dan simalumangkok untuk pemain mangkok. Apabila musisi gendang telu sedalanenini bermain dalam suatu konteks upacara maka sebutan untuk mereka jugaadalah si erjabaten, namun dalam kehidupan sehari-hari hanya pemainkulcapi dan balobat yang biasanya tetap mendapat sebutan yakniperkulcapi dan perbalobat, sementara itu pemain keteng-keteng danmangkok biasanya tidak mempunyai sebutan tertentu.Pola Universitas Sumatera Utara permainankeempat alat musik tersebut walaupun tidak sempurna atau lengkap,senantiasa akan muncul dalam permainan keteng-keteng.

2.5.3.3.3 Solo Instrumen

Selain alat-alat musik yang termasuk dalam kedua ensambel yang telah diuraikan di atas, masih terdapat lagi beberapa alat musik tradisional Karo yang dimainkan secara individual solo tanpa disertai atau diiringi dengan alat musik yang lain non-ensembel.Alat musik solo individual tersebut adalah kulcapi, balobat, surdam, embal-embal, empi-empi, murbab, genggong, dan tambur. 1 Kulcapi, alat musik kulcapi yang dimaksud dalam alat musik solo ini sama dengan kulcapi yang telah diuraikan dalam kedua jenis ensambel musik tradisional di atas, namun perannya dalam kebudayaan musik Karo lebih dari satu yakni dapat dimainkan dalam ensambel, dan dapat juga dimainkan secara solo tunggal. Perbedaannya adalah konteks penyajian.Kulcapi sebagai alat musik solo biasa digunakan sebagai hiburan pribadi, maupun dihadapan sekelompok kecil pendengar yang tidak memiliki konteks tertentu. Sebagai alat musik pribadi, kulcapi memiliki komposisi-komposisi tersendiri yang berisi tentang ceritera- cerita rakyat, seperti cerita penganjak kuda sitajur, cerita perkatimbung beru tarigan, tangis-tangis seberaya, tangis-tangis guru, dan beberapa cerita lainnya.Masing-masing ceritera tersebut dimainkan melalui melodi Kulcapi.Jika didengarkan oleh sekelompok orang sebagai hiburan, kadangkadang timbul pertanyaan dari pendengar tentang arti melodi yang sedang dibawakan oleh perkulcapi karena mereka tidak mengerti.Perkulcapi biasanya akan menjelaskan Universitas Sumatera Utara cerita dari melodi yang sedang ia mainkan sambil mengulangi melodi tersebut, sehingga pendengar akan semakin mengerti dengan melodi-melodi yang dimainkan perkulcapi. 2 Belobat block flute sebagai instrumen solo juga merupakan alat musik yang sama dengan belobat yang terdapat dalam gendang belobat. Perbedaannya adalah konteks penyajian.Balobat sebagai instrumen solo digunakan sebagai hiburan pribadi ketika sedang mengembalakan ternak di padang rumput, ketika seseorang sedang menjaga padi di sawah atau di ladang. 3 Surdam alat musik tiup yang terbuat dari bambu.Alat musik surdam ditiup dari belakang dengan ruas bambu yang terbuka endblown flute.Secara konstruksi dan tehnik memainkan, surdam memiliki kemiripan dengan saluang pada musik tradisional Minangkabau atau shakuhachi pada musik tradisional Jepang.Surdam dimainkan dengan teknik yang khusus.Alat musik surdam biasanya dimainkan pada malam hari ketika suasana sepi. 4 Embal-embal dan empi-empi, kedua alat musik ini sebenarnya merupakan alat musik yang hanya biasa ditemukan di sawah atau ladang ketika padi sedang menguning.Keduanya dimainkan atau digunakan sebagai alat musik hiburan pribadi di sawah atau di ladang ketika menjaga padi dari gangguan burung.Embal-embal aerophone, single reed terbuat dari satu ruas bambu yang dibuat lobang-lobang penghasil nada.Sebagai alat musik tiup, lidah reed embal-embal dibuat dari badan alat musik sendiri. Empi-empi aerophone, multiple reeds terbuat dari batang padi yang telah mulai menguning. Lidah reed dari empi-empi dibuat dari batang padi itu sendiri, dengan cara memecahkan sebagian kecil dari salah satu ujung batang Universitas Sumatera Utara padi yang memiliki ruas. Akibat terpecahnya ruas batang padi menjadi beberapa bagian tidak terpisah maka ketika ditiup bagian yang terpecah tersebut akan menimbulkan bunyi. Sebagian yang tidak terpecah kemudian dibuat lobang- lobang untuk menghasilkan nada yang berbeda.Biasanya empi-empi mempunyai empat buah lobang nada.Untuk saat sekarang, embal-embal dan empi-empi sudah semakin jarang ditemukandimainkan oleh masyarakat Karo, khususnya orang Karo yang berada di daerah pedesaan. 5 Murbab dan genggong, alat musik murbab atau murdab merupakan alat musik gesek menyerupai rebab pada alat musik tradisional Jawa atau biola pada musik klasik Barat.Murbab terdiri dari dua senar, sedangkan resonatornya terbuat dari tempurung kelapa.Alat musik murbab dahulu dipergunakan sebagai alat musik solo dan dimainkan dihadapan beberapa orang sebagai hiburan.Alat musik ini kemungkinan besar telah hilang dari kebudayaan musik Karo. Genggong adalah alat musik yang terbuat dari besi, dan dibunyikan dengan menggunakan mulut sebagai resonator.Selain sebagai resonator, mulut juga berfungsi untuk mengubah tinggi rendahnya nada yang diinginkan. Pada waktu dulu, genggong dipergunakan oleh anakperana perjaka untuk memanggil singuda-nguda gadis pujaan hatinya pada malam hari agar keluar dari rumah, sehingga mereka bisa memadu kasih asmara. Biasanya, seorang anakperana memainkan genggong dengan lagu tertentu yang telah dimengerti oleh kekasihnya, sehingga dia akan keluar dari rumah. Universitas Sumatera Utara

2.5.4 Seni tari

Tari dalam bahasa Karo disebut landek. Kemampuan landek sangat diharapkan oleh setiap orang Karo. Karena dalam lingkaran hidup orang Karo dimulai sejak ianya sudah menjadi anak perana-singuda-nguda pemuda- pemudisampai ianya nanti jadi tua-tua orang tua, landek merupakan sebuah keharusan yang dilakukan dalam aktivitas adat dan budaya.Tari pada masyarakat Karo dalam penggunaannya dapat dibedakan atas tiga bagian, yaitu sebagai berikut.

2.5.4.1 Tari berkaitan dengan adat

Tari yang berkaitan dengan adat adalah tari yang merupakan bagian dari suatu upacara adat. Upacara yang dimaksudkan adalah pesta memasuki rumah baru, pesta perkawinan, upacara kematian dan lain sebagainya. Tarian adat bersifat komunal, dalam arti ianya melibatkan berbagai pihak. Pihak-pihak yang terlibat dalam tarian adat adalah kelompok sangkep nggeluh anak beru, senina, kalimbubu, teman meriah kawan baik, perangkat desa kepala desa dan stafnya, dan kelompok sukut pemilik hajatan, tuan rumah. Kelompok-kelompok tersebut di atas secara bergiliran menari bersama- sama dengan kelompok sukut. Contohnya: kelompok kalimbubudengan sukut; kelompok perangkat desa dengan sukut, dan seterusnya. Masing-masing kelompok menari dalam posisi petala-tala berhadap-hadapan. Bagi kelompok sukut tarian itu merupakan tari pengalo-ngalo penyambutan atau penghormatan atas kehadiran tamu-tamu adat. Sedangkan bagi kelompok tamu adat, tarian ini merupakan aktifitas pembuka sebelum mereka Universitas Sumatera Utara menyampaikan kata-kata adat berisikan ucapan selamat, pesan dan nasihat kepada kelompok sukut. Pola gerakan tari tamu adat pada umumnya sama dengan pola gerakan tari sukut. Tarian pengalo-ngalo mempunyai pola yang sederhana dan tetap. Pola itu terus diulang-ulang sepanjang acara sampai kelompok tersebut selesai menyampaikan kata-kata adat. Ketika seseorang hendak menyampaikan kata- kata adat, ianya tidak menari tetapi hanya berdiri sambil berbicara. Pola gerakan tarian laki-laki pada umumnya adalah merupakan pola ragam dasar tari Karo. Pola tari laki-lakitersebut terdiri dari: 1. Kedua tangan di muka sejajar bahu dengan telapak tangan mengarah ke langit. 2. Kedua tangan di muka sejajar bahu, telapak tangan mengarah ke muka kepada lawan menari; dan kemudian setiap penggantian pola selalu dilakukan. 3. Petik yaitu posisi tangan mengepal di muka dada. 4. Tangan kiri di atas bahu dengan posisi telapak tangan mengarah langit, sedangkan tangan kanan sejajar pinggul. Sedangkan pola gerakan tarian perempuan pada acara adat adalah sebagai berikut. 1. Kedua tangan di muka sejajar bahu dengan posisi telapak tangan mengarahkepada lawan menari. 2. Kedua tangan sejajar dengan pinggul sedangkan telapak tangan mengarah ke lantai bawah. Universitas Sumatera Utara 3. Setiap pergantian pola dilakukan petik yaitu tangan menyilang di muka perutpusat. 4. Kedua tangan sejajar pinggul dengan telapak tangan mengarah ke langit. Gerakan tari laki-laki maupun perempuan selalu disesuaikan dengan buku gendang tempo musik. Kelompok laki-laki pada umumnya dapat melakukan gerakan tangan sejauh jangkauan kedua belah tangannya. Sedangkan kelompok perempuan melakukan gerakan tangan hanya selebar tubuhnya. 2.545.2 Tari berkaitan dengan ritual keagamaan Upacara yang berkaitan dengan ritual yang dilakonkan oleh guru sibaso dukun, adalah berdasarkan tuntunan ilmu atau roh penuntunnya. Karena ketika seorang guru sibaso dukun memimpin upacara, ianya memanggil jinhujungnya junjungannya untuk “masuk” ke dalam dirinya, sehingga menjadi trance kemasukan. Dengan demikian, pada upacara ritual terjadi proses transformasi perubahan terhadap sosok seorang guru sibaso. Perubahan itu memunculkan dua wujud pribadi yang berbeda dalam dirinya; wujud pertama adalah pribadi dirinya sendiri, sedangkan wujud kedua adalah pribadi junjungannya. Ciri-ciri fisik yang dapat terlihat dari proses trance kemasukan adalah muka seorang guru sibaso akan menjadi pucat atau kemerahan ketika “orang lain” masuk ke dalam dirinya. Seorang guru sibaso pada umumnya adalah seorang perempuan yang sudah tua kira-kira berumur 55- 65 tahun. Saat ini tidak ada seorang pun laki- laki menjadi guru sibaso. Peran laki-laki pada upacara ritual Karo adalah Universitas Sumatera Utara sebagai guru permangmang; yaitu seorang guru yang melakukan pengobatan dengan cara ermangmang menyanyikan mantera-mantera. Pada penampilan pertama, pola gerakan tari guru sibaso adalah pola landek sada tan tari dengan satu tangan; yaitu: 1. Tangan kanan pada posisi di bawah pinggul, tangan kiri bertumpu pada pinggul, sedangkan posisi tubuh diagonal ke arah kanan. 2. Tangan kanan sejajar perutpusat, tangan kiri bertumpu pada pinggul, sedangkan posisi tubuh diagonal ke arah kiri. 3. Tangan kanan sejajar pinggul, tangan kiri bertumpu pada pinggul, sedangkan posisi tubuh diagonal ke arah kanan. 4. Tangan kanan sejajar dada, posisi tangan kiri tetap, sedangkan posisi tubuh diagonal ke arah kiri. 5. Tangan kanan sejajar bahu, tangan kiri tetap, sedangkan posisi tubuh diagonal menghadap kanan. 6. Tangan kanan sejajar matakuping, tangan kiri tetap, sedangkan posisi tubuh diagonal menghadap ke arah kiri. 7. Tangan kanan diatas kepala, posisi tangan kiri tetap, posisi tubuh diagonalmenghadap ke arah kanan. 8. Pucuk; jari tangan kanan membentuk sayap burung merak bertumpu pada kening, posisi tangan kiri tetap, posisi tubuh diagonal menghadap ke arah kiri. 9. Tangan kanan pada posisi di atas bahu dengan telapak tangan mengarah ke atas, tangan kiri tetap, posisi tubuh diagonal menghadap ke arah kanan. Universitas Sumatera Utara Posisi kedua belah tangan dipertahankan untuk beberapa waktu, sedangkan posisi tubuh bergerak kearah kiri dan kanan dalam hitungan genap hitungan dua, empat, atau delapan ketukan.

2.5.4.3 Tari berkaitan dengan hiburan

Tari Karo yang sifatnya hiburan dimainkan oleh dua atau lebih muda- mudi dengan cara berpasang-pasangan. Pasangan seseorang dengan lainnya seharusnya dihindarkan erturang mudi-mudi yang berasal mergaberu ataupun sub mergaberu yang sama. Karena keadaan demikian dianggap rebu sumbang, pantang oleh orang Karo. Hal itu berhubungan dengan adanya larangan perkawinan satu mergaberu pada orang Karo. Tari-tarian hiburan lain yang sangat digemari oleh masyarakat Karo, antara lain; ndikar tari pencak silat; yang dibawakan laki-lakiatau perempuan dengan cara berpasang-pasangan, adu perkolong-kolong tarian yang dibawakan oleh sepasang penari dan penyanyi profesional Karo, gundala- gundala drama tari topeng Karo yang dimainkan dengan lima orang pemain laki-laki, teater tradisional Karo perlanja sira tari pemikul garam yang lebih dikenal dengan tari mondong-mondong yang dimainkan oleh empat orang pemain laki-laki, dan lain sebagainya. Tari hiburan Karo lainnya adalah: tari pecat-pecat seberaya, tari lima serangke, tari piso surit, tari roti manis, tari terang bulan, dan lain sebagainya. Tari-tarian jenis ini pada umumnya sudah mempunyai komposisi yang baku; dengan kata lain bahwa koreografinya telah tersusun dengan tetap. Universitas Sumatera Utara Sesuai dengan perkembangan zaman, di kalangan generasi muda Karo juga dikembangkan tari-tari kontemporer yang berjiwa dan semangat kekinian disertai dengan unsur-unsur tradisional. Tari-tari kontemporer yang dikembangkan dari kebudayaan tari tradisional Karo ini umumnya adalah untuk kepentingan eksplorasi estetika dari para seniman muda Karo, baik itu di Tanah karo sendiri atau juga di kota-kota besar terutama di ibukota Provinsi Sumatera Utara Medan ini. Tari kontemporer ini biasanya memiliki pendukung yang terbatas di kalangan pencinta tari kontemporer. Sebaliknya tari tradisi hidup dan berkembang di dlaam masyarakat tradisi yang juga mengalami perubahan-perubahan kebudayaan di sana-sini. Baik tari kontemporer maupun tradisi ini memiliki perannya sendiri di tengah-tengah kehidupan masyarakat Karo. Dengan uraian-uraian berupa gambaran umum masyarakat Karo dan kebudayaannya tersebut di atas, maka dapat dilihat dengan jelas bahwa masyarakat Karo membagi wilayah budayanya kepada dua kategori yaitu Karo Gugung dan Karo Jahe. Secara umum Karo Gugung berada di kawasan dataran tinggi, terutama di Pegunungan Bukit Barisan dan sekitarnya yang dihuni oleh masyarakat Karo selama berabad-abad, sementara Karo Jahe berada di wilayah pesisir timur Provinsi Sumatera Utara terutama di Langkat, Deli, Serdang, sampai ke Serdang Bedagai. Namun terjadi juga persebaran etnik Karo ke seluruh penjuru Nusantara ini bahkan sampai ke Eropa. Kebudayaan masyarakat Karo terdiri dari sistem religi, baik itu yang disebut Pemena, dan juga agama-agama besar yang datang ke wilayah ini, seperti Kristen Protestan, Katholik, dan Islam. Kesemua religi ini dianut oleh Universitas Sumatera Utara masyarakat Karo sebagai bahagian dari kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Kuasa dan diharapkan dapat menentramkan dan mengatur kehidupan mereka baik di dunia maupun akhirat. Orang Karo juga memiliki ciri khas di dalam bahasa, yaitu dengan menggunakan bahasa Karo. Di samping itu, orang-orang Karo juga memiliki sistem kekerabatan yang khas yang terkodifikasi di dalam tiga konsep kekerabatan yaitu: rakut sitelu, merga silima, dan tutur siwaluh. Mereka juga memiliki sistem pemerintahan tradisional. Kemudian orang-orang Karo ini memiliki kesenian-kesenian yang mengekspresikan kebudayaanya secara umum. Di antara kesenian Karo itu adalah, seni sastra dengan berbagai genrenya, seni musik, dan seni tari. Dari uraian secara umum mengenai geografi dan kebudayaannya, orang-orang Karo di manapun berada terus-menerus mengekalkan berbagai kegiatan dan nilai-nilai tradisi mereka yang salah satunya adalah dilakukan di dalam upacara cawir metua. Di dalam upacara ini biasanya selalu disertakan lagu tradisional yang disebut dengan katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh penyanyi tradisional Karo yang disebut dengan perkolong-kolong. Dengan demikian, walau terjadi perubahan zaman, orang-orang Karo tetap memelihara tradisinya sebagai bahagian yang tidak terpisahkan dari penguatan identitas kebudayaan mereka dalam situasi apa pun dan dalam masa mana pun. Universitas Sumatera Utara

BAB III DESKRIPSI UPACARA

CAWIR METUA SERTA PENGGUNAAN GENDANG DAN KATONENG-KATONENG

3.1 Siklus Hidup Manusia dalam Konsep Kebudayaan Karo

Dalam kebudayaan Karo, manusia dipandang menjadi satu kesatuan dengan alam yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam era animism dan dinamisme Tuhan ini disebut dengan Dibata, kemudian setelah masuknya agama Kristen Protestan maupun Katholik dikonsepkan dalam trinitas yaitu Allah Bapa, Tuhan Yesus, dan Roh Kudus--dan Islam menyebutnya dengan Allah. Tuhan menciptakan manusia termasuk orang-orang kalak Karo dimulai dari alam kandungan ibu. Ketika masih berada di alam kandungan ini, orang Karo berharap kelak janin tersebut menjadi manusia Karo yang sempurna. Kemudian ketika telah berada di dalam kandungan selama lebih kurang Sembilan bulan, maka ia lahir di dunia ini. Pada saat kelahiran ini, dalam budaya Karo diadakan upacara menyambut kelahiran bayi. Kemudian tumbuh dan berkembanglah bayi tersebut, menjadi remaja, dan kemudian dewasa. Pada saat ini, orientasi berikutnya adalah mencari jodoh atau pasangan hidup, yang kemudian meneruskan generasi manusia Karo. Dalam konteks memilih jodoh ini, orang Karo dapat menggunakan institusi adat seperti pada acara menanam padi bersama, atau pesta panen kerja tahun, kegiatan guro-guro aron, dan lain-lainnya. Universitas Sumatera Utara Demikian seterusnya dia orang yang telah diberkati secara religi dan adat, membina rumah tangga. Kemudian mereka juga akan meneruskan generasi keturunannya. Kemudian keduanya bergaul dan bersosialisasi di dalam masyarakat. Mereka yang dianggap berhasil di dalam masyarakat ini adalah apabila memiliki keturunan, kemudian disertai pula dengan tingkat perekonomian yang baik, begitu juga dengan berbagai jabatan social, dan aspek-aspek lain yang menjadikannya manusia yang dipandang sempurna di dalam kebudayaan Karo. Seterusnya, sebagai hukum alam dari Tuhan, yang memang tidak dapat dihindari manusia adalah kematian. Pada umumnya, di seluruh dunia ini, kematian merupakan peristiwa yang berdimensi kehilangan yang selalu diekspresikan dengan kesedihan, dan duka cita yang mendalam. Namun dalam beberapa kelompok masyarakat, misalnya dalam budaya Batak Toba, Simalungun, Pakpak, dan Karo, ada jenis kematian yang dirayakan dengan cara suka cita, yaitu seseorang yang meninggal dunia, telah memiliki anak, dan kesemua anaknya berhasil secara sosial di dunia ini. Upacara seperti ini disebut saur matua dalam masyarakat Batak Toba, sayur matua di Simalungun, dan cawir metua di dalam kebudayaan Karo. Sebelum membahas mengenai kematian cawir metua dan proses pelaksanaan upacaranya, serta penggunaan katoneng-katoneng yang dinyanyian oleh perkolong-kolong, alangkah baiknya jika daur hidup manusia ini, dipandang dari disiplin biologi. Dalam biologi, organisme makhluk hidup menjalani daur hidup life cycle, suatu proses yang menandai perkembangan suatu organisme sejak memulai hidupnya di bumi sampai bereproduksi untuk mempertahankan keberadaan jenisnya. Proses tersebut merupakan suatu perputaran daur atau siklus Universitas Sumatera Utara karena akan kembali pada titik awal mulanya. Dalam daur hidup terlihat perubahan bentuk luar morfologi yang menandai fase perkembangan suatu individu. Sebagai contohnya, daur hidup manusia dimulai dari zigot di dalam rahim ibu, lalu dilahirkan, kemudian mengalami perkembangan dari bayi, anak-anak, remaja, hingga dewasa. Tahap dewasa adalah tahap ketika individu siap secara biologis untuk bereproduksi. Namun demikian, daur hidup tidak selalu sederhana. Perubahan pada aspek morfologi yang sangat nyata dan genetik sering dijumpai pada kelompok organisme tertentu, yang sering kali diikuti dengan kebutuhan lingkungan hidup yang jauh berbeda. Daur hidup berbagai hewan parasit dapat menjadi contohnya. Metamorfosis pada serangga merupakan daur hidup yang menunjukkan perubahan bentuk luar dan lingkungan hidup. Pergiliran keturunan pada tumbuhan, alga, dan cendawan merupakan daur hidup yang disertai dengan perubahan morfologi, bilangan genom, dan kadang-kadang lingkungan hidupnya pula. Perkembangan pada manusia diawali melalui proses pembuahan. Proses pembuahan yaitu pertemuan antara sel telur yang berasal dari perempuan ibu dengan sel sperma yang berasal dari pria ayah. Inti sel sperma akan bergabungmelebur dengan inti sel telur dan terbentuk sebuah sel baru yang disebut zigot. Zigot ini akan senantiasa membelah diri menjadi 2 sel, 4 sel, 8 sel, 16 sel, 32 sel, dan seterusnya. Zigot yang telah membelah menjadi banyak sel tadi akan berkembang menjadi embrio, kemudian menjadi janin dalam rahim ibu. Lamanya waktu janin tumbuh dan berkambang di dalam rahim ibu, dari mulai proses pembuahan hingga kelahiran adalah kurang lebih 9 bulan. Universitas Sumatera Utara Perkembangan janin selama di dalam rahim dibagi dalam tiga tahapan. Lamanya waktu pada setiap tahapan adalah tiga bulan. 1 trimester pertama, tiga bulan pertama embrio berkembang menjadi janin yang panjangnya kurang lebih 5,5 cm. Janin sudah berbentuk seperti manusia walaupun ukuran kepalanya sangat besar. Di akhir tiga bulan pertama ini janin juga sudah mulai dapat menggerakkan tangan dan kakinya. 2 Trimester kedua, pada tiga bulan kedua, janin sudah semakin berkembang dan panjangnya sudah mencapai kurang lebih 19 cm. Tangan dan kakinya telah berkembang bahkan jari-jari tangan dan kaki sudah mulai terbentuk, muka tumbuh memanjang. Pada tiga bulan kedua ini detak jantung janin juga sudah mulai bisa dideteksi. Gerakan janin juga mulai aktif. 3 Trimester ketiga, pada tiga bulan ketiga terjadi pertumbuhan ukuran janin sangat cepat. Ukuran tubuh sudah proporsional seperti bayi. Karena ukuran tubuhnya semakin besar, janin tidak terlalu leluasa bergerak di dalam rahim. Menjelang kelahiran bayi pada umumnya sudah mencapai panjang sekitar 50 cm. Berikutnya janin akan lahir ke dunia dan disebutlah dengan sebutan bayi. Janin menerima semua zat hara dan oksigen dari pasokan darah ibunya. Tetapi, darah janin itu tak pernah langsung bercampur dengan darah ibunya. Janin membuat darah sendiri dan berhubungan dengan darah ibunya melalui plasenta. Plasenta menghubungkan dinding rahim ibu dengan tali pusar bayi. Melalui plasenta inilah ibu dan janin mempertukarkan zat haramakanan, gas-gas dan sisa buangan. Universitas Sumatera Utara Masa setelah kelahiran: 1 masa balita dan anak-anak, pada saat dilahirkan, seorang bayi sesungguhnya telah memiliki organ dan sistem organ sebagaimana orang dewasa, namun organ-organ tersebut belum matang. Misalnya, bayi mempunyai kaki namun belum bisa berjalan dan mempunyai tangan namun belum dapat memegang dengan baik. Seiring dengan bertambahnya usia, organ-organ pada bayi juga akan berkembang. Pada usia 1 atau 2 tahun, bayi akan mulai belajar berjalan dan mengendalikan fungsi anggota tubuh lainnya seperti tangan, kepala, mulut.Organ- organ tersebut akan semakin matang pada saat usia anak-anak. Pada saat usia masuk sekolah sekitar usia 5 tahun, perkembangan organ anak biasanya sudah cukup matang, kecuali organ reproduksi. 2 Masa remaja atau pubertas, masa ini adalah masa saat organ-organ reproduksi mencapai kematangannya. Masa pubertas bisanya dimulai saat berusia 8 hingga 10 tahun dan berakhir lebih kurang di usia 15 hingga 16 tahun. Perubahan fisik yang terjadi Perubahan fisik yang terjadi merupakan tanda kematangan organ- organ reproduksi. Pada umumnya, organ reproduksi anak perempuan lebih cepat matang dibandingkan organ reproduksi anak laki-laki. Kemudian hidup manusia diteruskan ke dalam masa perkawinan, dengan berbagai proses fisik dan sosial dengan lingkungannya. Masa ini umumnya manusia dikatakan telah dewasa dan siap melakukan reproduksi keturunannya. Dalam masa- masa ini manusia juga berada dalam usia produktif baik sebagai orang tua dan juga sebagai manusia dalam konteks ekonomis. Universitas Sumatera Utara Setelah itu, manusia menjalani masa tuanya. Kemudian mengisi hari- harinya sebagai manusia lanjut usia. Walau kematian bias saja terjadi di seluruh daur hidup manusia, namun biasanya secara manusiawi, mati kalau bias adalah pada masa tua ini, selepas masa produktif. Demikian juga yang terjadi pada orang Karo.

3.2 Kematian dalam Konsep Tradisional Karo

Kematian adalah proses berpisahnya roh dengan jasad manusia. Karena pada saat hidup kedua unsure ini menyatu dalam kesatuan tubuh manusia. Proses berpisahnya antara roh dan jasad ini, biasanya disebabkan oleh berbagai faktor, baik itu fisiologis maupun alam. Dalam kebudayaan masyarakat Karo, kematian yang dianggap paling ideal adalah kematian yang disebut dengan cawir metua. Namun demikian, tidak selalu pula kematian seseorang itu sampai ke dalam tahap cawir metua. Dalam konteks ini, masyarakat Karo membagi tingkatan kematian berdasarkan usia dan keadaan keturunannya, ke dalam tiga jenis, seperti uraian berikut ini. i Cawir metua, yaitu apabila yang meninggal telah berusi lanjut, kemudian telah memiliki anak, cucu, cicit, bahkan cacah, serta syarat yang harus dipenuhi semua anaknya sudah berumah tangga. ii Tabah-tabah galuh, yaitu kematian seseorang yang usianya belum sampai ke dalam tahap usia lanjut, tetapi semua anak-anaknya sudah berumah tangga atau berkeluarga, yang dalam bahasa Karo disebut dengan sai utang. Universitas Sumatera Utara iii Mate nguda, apabila usia yang meninggal dunia ini relative masih muda, boleh jadi belum berumah tangga, atau sudah berumah tangga, namun belum kesemua anak-anaknya berumah tangga. Kategori yang kedua, di samping berdasarkan usia dan anak-anak yang ditinggalkannya, maka orang-orang Karo membagi kematian berdasarkan penyebab kematian itu pula. Dalam kategori ini, dijumpai Sembilan jenis kematian dalam persepsi masyarakat Karo, seperti yang diuraikan berikut ini. 1 Batara guru, yaitu janin meninggal dalam kandungan, karena faktor- faktor fisiologis, baik dari janin itu sendiri atau juga faktor ibundanya yang lemah di saat ia berada di dalam rahim. 2 Guru batara atau sabutara, yaitu seorang janin yang meninggal dunia dan belum dikenal jenis kelaminnya, janin ini meninggal dalam keadaan prematur. 3 Bitara guru, yaitu seorang bayi yang meninggal dunia selepas ia lahir, ia meninggal beberapa saat sesudah kelahirannya di dunia ini. 4 Mate lenga ripen, yaitu seseorang anak yang meninggal dunia sebelum tumbuh giginya. Anak ini meninggal bias saja sejak dalam kandungan atau meninggal beberapa saat sesudah kelahirannya. Penguburan terhadapnya dilakukan secara diam-diam dan tersembunyi oleh orang tuanya tanpa melibatkan sangkep nggeluh. 5 Mate nca ripen, yaitu seseorang anak yang meninggal setelah tumbuh giginya. Biasanya upacara penguburannya melibatkan sangkep nggeluh. Universitas Sumatera Utara 6 Mate anak perana atau singuda-nguda, di kawasan Karo Jahe disebut dengan mate ndahi nini, yaitu kematian seseorang anak manusia yang telah sampai ke dalam keadaan perjaka atau gadis. 7 Sirang sere, yaitu kematian seorang wanita pada saat ia melahirkan anaknya. 8 Kayat-kayaten, yaitu seseorang yang meninggal dunia, disebabkan oleh dirinya sakit-sakitan. 9 Mate sadawari yaitu sesorang yang meninggal akibat dari kecelakaan yang tidak diduga-duga. Dari jenis kematian-kematian di atas, dalam pelaksanaan adat-istiadatnya kadang-kadang memiliki berbagai perlengkapan khusus, namun dari sisi music dan tari gendang dalam upacara kematian ini hamper sama. Berbagai perlengkapan khusus ini, misalnya untuk kematian seseorang yang mencapai derajat perjaka atau gadis, pada alat kelamin laki-laki ditutup oleh seruas bambu—di sisi lain pada alat kelamin mayat wanita gadis ini dimasukkan tongkol jagung. Dalam persepsi tradisional masyaraat Karo, kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berbeda, maka roh yang meninggal dunia tersebut dipanggil dengan sebutan yang berbeda- beda pula. Kategori kematian dalam masyarakat Karo ini dapat digambarkan pada Bagan 3.1.

3.3 Pengertian Cawir Metua

Pada kebudayaan masyarakat Karo upacara kematian secara umum disbeut dengan kerja nurun atau kerja simate-mate. Kemudian selain itu, ada tiga jenis Universitas Sumatera Utara kematian dalam konsep adat masyarakat Karo, yang biasanya didasarkan kepada status sosial selam ia masih hidup, yaitu: a cawir metuah, b tabah-tabah galuh, dan c mate nguda. Yang dimaksud dengan upacara cawir metua adalah jika yang meninggal dunia sudah lanjut usianya dan telah memiliki anak dan cucu dari semua anak-anaknya. Tidak ada kepastian tertentu usia berapa tahunkah seseorang yang meninggal itu dapat dikategorikan sebagai cawir metua. Berbeda dengan jenis kematian yang lain, kematian cawir metua ini banyak yang tidak ditangisi, karena pada dasarnya kaum kerabat tidak menunjukkan kesedihan, malah sebaliknya bersuka ria. Alasan di balik sikap seperti ini adalah bagi mereka telah puas memberikan kasih dan sayangnya selama yang telah meninggal dunia tersebut masih hidup. Kematian yang seperti ini dipandang mulia dan sangat dihargai. Acara pemakamannya disebut dengan istilah nurun yang disertai dengan music dan tarian dan para kerabat serta yang hadir turut menari bersama. Universitas Sumatera Utara Bagan 3.1 Daur Hidup dan jenis Kematian dalam Persepsi Kebudayaan Karo Universitas Sumatera Utara Dengan keberadaanya yang seperti itu, cawir metua adalah upacara seseorang yang meninggal yang sudah lanjut usianya dan semua anak-anakanya baik lelaki atau perempuan sudah berumah tangga. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa syarat yang paling utama untuk seseroang yang meninggal cawir metua ada dua, yaitu semua anak dari yang meninggal dunia tersebut telah berkeluarga, dan kedua telah lanjut usianya. Karena jenis kematian yang penulis teliti adalah cawir metua, maka terlebih dahulu penulis akan menjelaskan tentang cawir metua tersebut. Biasanya jenis kematian yang tergolong ke dalam kelompok cawir metuo adalah orang yang meninggal dalam kondisi lanjut usia dimana anak-anaknya sudah berumah tangga dan sudah memiliki cucu laki-laki dan cucu perempuan. Pada waktu sakit, biasanya di sinilah kesempatan anak-anaknya untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada orang tua tersebut. Mereka menyuapi orangtua tersebut dan setelah makan, biasanya orang tua tersebut memberikan nasihat, ajaran dan berkat kepada anak- anaknya tersebut. Kadangkala, dalam kesempatan ini orangtua tersebut menyerahkanharta dan kekayaan yang dimilikinya. Ketika ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya pihak mertua dari istri anak-anaknya yang laki-laki harus menyediakan ose yaitu menyediakan pakaian adat lengkap untuk dikenakan oleh saudara laki-laki serta anak laki-laki beserta istri serta janda almarhum kalau yang meninggal dunia laki-laki. Pakaian ini sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal almarhum. Jenis kematian cqvvir metua ini ditangisi para kaum kerabat menunjukkan kesedihan sebagai sebuah perpisahan. Kematian seperti ini, Universitas Sumatera Utara dianggap mulia dan sangat dihargai. Acara pemakamannya disebut dengan istilah nurun disertai dengan gendang pengiring dan para kaum kerabat larut menari bersama dengan mengelilingi jenazah.

3.4 Tujuan Upacara Cawir Metua

Dalam konteks kebudayaan karo tujuan dilakukannya upacara adat-istiadat cawir metua adalah sebagai ikon kehormatan dari pihak kalimbubu yang meninggal kepada yang meninggal. Dalam acara ini diserahkan hutang adat. Ini merupakan sebuah kewajiban yang harus diberikan kepada pihak kalimbubu. Jenis penamaan uang adat ini berbeda untuk setiap jenis upacaranya. Dalam upacara cawir metua, utang adat yang merupakan kewajiban yang harus diberikan kepada pihak sukut adalah maneh-maneh. Terdiri dari bulang-bulang uis gatip, kain adat, sekin parang, dan bantuan beberapa uang yang jumlahnya ditentukan berdasarkan hasil musyawarah atau runggu, dan besarnya uang ini bisa bertambah sesuai dengan permintaan dari pihak kalimbubu.

3.5 Proses Upacara Cawir Metua

Menurut Sarjani Tarigan dahulu kala dalam kehidupan masyarakat Karo, jikalau ada orang meninggal dunia, maka aktivitas kultuiral pertama yang dilakukan adalah memandikannya, membuat putar di kening dan pipinya kuning, kaki pada ibu jari, dan ikat kalaki. Sejalan dengan hal itu, maka semua sangkep nggeluh kerabat terutama sembuyak, kalimbubu, dan anak beru dipanggil untuk melakukan runggu musyawarah tentang hari penguburan, undangan untuk Universitas Sumatera Utara sangkep nggeluh, patong kerja baban simate, dan lain-lain. Seperti deskripsi inilah proses yang dilakukan apabila ada orang yang meninggal dunia sebelum masuknya pengaruh agama Kristen. Secara umum aktivitas yang berkaitan dengan upacara adat adat-istiadat cawir metua di dalam kebudayaan masyarakat Karo dilaksanakan selama tiga hari. Namun demikian ada juga di antara warga etnik Karo yang melaksanakan upacara cawir metua ini selama dua hari saja. Aktivitas upacara cawir metua tersebut mencakup kegiatan-kegiatan berupa: persiapan, pelaksanaan, dan pasca pelaksanaan upacara adat ini. Dalam konteks penelitian ini, penulis meneliti upacara yang pelaksanaannya dilakukan sepanjang tiga hari dengan focus perhatian kepada upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem Nd Sesser pada tanggal 12,13, 14 Februari 2012. Ibu ini adalah ibu kandung penulis sendiri, yang telah berjasa dalam mendidik anak-anaknya untuk menjadi orang Karo yang berguna bagi nusa dan bangsa. Banyak kenangan kehidupan ndan filsafat ibunda penulis ini yang menjadi sumber kehidupan filsafat hidup penulis, yang menjadi daya dorong dalam mengisi kehidupan ini, terutama untuk menjadikan diri penulis menjadi manusia yang bermanfaat kepada semua orang, dan juga patuh dan taat kepada perintah Tuhan. Upacara Cawir Metua di bawah ini dilaksanakan di Desa Lau Tawar, Kecamatan Taneh Pinem, Kabupaten Dairi. Walaupun secara administratif berada di wilayah Kabupaten Dairi, namun secara wilayah budaya, kawasan ini masuk ke dalam kebudayaan Karo Gugung. Desa Lau Tawar berjarak lebih kurang 142 Universitas Sumatera Utara kilometer dari Medan; atau berjarak lebih kurang 72 kilometer dari Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo. Pada saat dilaksanakannya penelitian ini Desa Lau Tawar dihuni oleh 400 kepala keluarga, yang dapat dirinci 85 persen di antaranya adalah oleh suku Karo, serta sisanya terdiri dari suku Pakpak-Dairi, Toba, dan Jawa. Penduduk Lau Tawar ini sebagian besar hidup dengan bercocok tanam di ladang. Upacara cawir metua ini dilakukan dalam konteks upacara cawir metua saat meninggalnya ibu Cilenggemen br Pinem Nande Sesser. Ibu Cilenggemen ini memiliki 5 lima orang anak yang semuanya sudah menikah. Kelima-limanya dpaat dirinci sebagai berikut’ 1 Anak pertama bernama Sesser br Ginting sudah meninggal dunia; 2 anak kedua bernama Usaha Ginting penulis sendiri; 3 anak ketiga bernama Kartini br Ginting; 4 anak keempat Cahaya br Ginting; serta 5 anak kelima bernama Japet Ginting anak bungsu. Jadi dengan demikian secara realitasnya Ibu Cilenggemen br Pinem ini meninggal dalam keadaan cawir metua. Kematian cawir metua ini adalah sebagai sebuah rahmat dari Tuhan terhadap keluarga yang ditinggalkannya. Upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem Nd Sesser dilaksanakan di Jambur Merga Silima Desa Lau Tawar. Adapun perkolong-kolong yang diundang dalam upacara Cawir Metua ini adalah Siti Aminah br Ginting atau di kalangan masyarakat umum lebih dikenal dengan Sumpit br Ginting. Perkolong- kolong Sumpit br Ginting bertempat tinggal di Kabanjahe, serta memiliki suami yang sekaligus juga adalah penggual pemain gendang tradisional Karo yang bernama Traman Tarigan. Sedangkan seperangkat pemusik tradisional yang Universitas Sumatera Utara mengiringi upacara ini terdiri dari: Asli Sembiring penarune, Mail Bangun penggual, Ucan Ginting penggual, dan Daniel Bangun simalu gung dan penganak. Upacara dilaksanakan selama tiga hari. Setiap harinya dilakukan upacara yang berbeda namun menjadi satu rangkaian atau satau kesatuan yang disebut dengan upacara cawir metua. Dalam konteks budaya Karo, upacara ini dilakukan baik menurut adat dan juga agama yang dianut oleh yang meninggal tersebut, dalam hal ini adalah Kristen. Kedua-duanya dapat saja muncul di sana-sini pada bahagian demi bahagian upacara tersebut. I Hari Pertama, pada mayarakat Karo di Desa Lau Tawar, Tanah Pinem Dairi dan sekitamya, apabila warganya ada yang meninggal dunia, maka selanjutnya pihak keluarga atau kerabat yang meninggal dunia tadi, yang terdiri dari anak beru, senina, dan kalimbubunya biasanya dalam masa yang secepat- cepatnya menyelenggarakanm runggu, yaitu musyawarah dengan pihak sukut keluarga yang meninggal dan yang menjadi tuan rumah upacara yang dimaksud. Apabila ketiga pihak seperti yang tersebut di atas, yaitu: anak beru, senaina, dan kalimbubu belum lengkap, maka runggu biasanya belum bisa dilaksanakan. Dengan alas an untuk segera dilakukannya musyawarah ini, maka pihak anak beru secepat mungkin memberitahukan kembali tentang kemalangan berupa kematian ini kepada semua anggota ketiga pihak kerabat dalam institusi adat Karo ini. Selepas saja semua pihak berkumpul, maka kegiatan berupa runggu musyawarah dilaksanakan untuk membicarakan sebuah topic adat utama yaitu tentang Universitas Sumatera Utara bagaimana persiapan-persiapan dalam menyelenggarakan upacara cawir metua kepada salah satu kerabat mereka yang meninggal dunia tersebut. Biasanya materi musyawarah yang lebih detil dibicarakan dalam institusi adat ini secara lisan. Di antara yang dimusyawarahkan mereka para kerabat yang meninggal ini adalah: a waktul atau hari penguburan, b kerabat dan warga masyarakat yang diundang, c detil upacara yang dilakukan, d peralatan upacara yang perlu dipersiapkan, e dan semua hal yang berkaitan dengan upacara cawir metua ini. Dalam studi ini, pada saat melakukan studi lapangan, pada hari pertama ini keluarga dari mendiang Ibu Cilenggemen br Pinem yang meninggal hanya melakukan runggu untuk membicarakan bagaimana, apa saja yang perlu dipersiapkan, siapa bertugas sebagai apa, serta siapa-siapa saja baik itu anggota kerabat maupun masyarakat yang perlu diundang dalam konteks upacara adat cawir metua ini. Ketika dilakukan musyawarah atau runggu tersebut, sebelumnya jasad Ibu Cilenggemen br Pinem sudah ditempatkan di dalam keranda di dalam rumahnya. Setiap kerabat atau masyarakat yang ingin melayatnya bisa melihat jenazah ini, dan biasanya mengirimkan doa kepada mendiang, agar ditempatkan di sisi Tuhan dengan tempat yang sebaik-baiknya, dan segala amalnya di dunia semasa hidup diterima Tuhan pula. Selanjutnya tiba hari kedua, dalam proses upacara cawir metua ini. II Hari kedua, aktivitas upacara pada hari kedua ini terutama dilakukan oleh anak beru yaitu berupa membagi undangan kepada keluarga dan teman untuk menghadiri upacara. Selain itu kegiatan yang dilakukan kerabat adalah Universitas Sumatera Utara mempersiapkan seluruh peralatan untuk upacara cawir metua yang dibutuhan selama berlangsungnya puncak acara adat keesokan harinya. Secara garis besar semua undangan yang dikelompokkan dalam kekerabatan terdiri dari: kalimbubu, senina, dan anak beru. Ketiga kelompok kerabat ini, dalam konteks kebudayaan Karo pada umumnya dan fungsional pula dalam upacara cawir metua, dapat dirinci lagi secara kategorial sebagai berikut ini. a Dari pihak kalimbubu, didukung oleh unsur-unsurnya, yaitu: i Kalimbubu bena-bena, ii Kalimbubu taneh, iii Kalimbubu simada dareh, iv Kalimbubu i perdemui, v Puang kalimbubu, vi Kalimbubu senina, vii Kalimbubu sepengalon, serta viii 30 Teman -teman satu kampung atau teman satu lokasi pekerjaan. b Dari pihak senina, didukung oleh unsure-unsurnya seperti direntang berikut: i Senina, ii Sembuyak, iii Senina sipemeren, iv Senina siparibanen, dan v Senina sipengalon. Universitas Sumatera Utara c Dari pihak anak beru, didukung oleh unsur-unsurnya seperti direntang berikut ini. i Anak beru tua, ii Anak beru jabu, iii Anak beru langkip, dan iv Anak beru menteri. Kemudian alat-alat dan kelengkapan yang dipersiapkan adalah mulai dari pakaian adat ose, utang adat, peralatan musik, peti jenajah, makanan, dan tempat penguburan. Jikalau pihak sukut tersebut adalah orang yang ekonominya termasuk “orang berada,” maka untuk melengkapi pertunjukan musik, diundanglah perkolong-kolong untuk bertugas secara budaya yaitu menyanyikan katoneng- katoneng. Dalam penulisan ini peneliti memilih upacara yang menggunakan katoneng-katoneng, sesuai pokok masalah dalam tesis ini untuk mengkaji struktur music dan makna teks katoneng-krrtoneng yang terdapat dalam upacara cawir metua. Setelah semuanya selesai dipersiapkan, pada malam hari kedua dilakukan musyawarah runggu kembali setelah semua yang terlibat dalam pelaksanaan upacara ini makan malam. Pada musyawarah ini yang paling pokok adalah dibicarakan hal-hal yang berkaitan dengan penetapan hutang adat dan acara perlandek menari. Dalam upacara cawir metuaini, ada urutan-urutan yang melakukan landek menari. Selanjutnya diadakan gendang adat yang dalam kaitannya gendang adat ini dipercayai atau dipandang sebagai gendang erjaga-jaga gendang yang berfungsi Universitas Sumatera Utara untuk membuat pendukung upacara tetap terbangun menjaga jenazah. Dalam gendang adat ini atau gendang erjaga-jaga ini ada urutan siapa saja yang melakukan landek. Dalam pengamatan penulis urutan itu adalah sebagai berikut: 1. Pihak keluarga sukut yang kemalangan, termasuk penulis ikut melakukan landek ini, sebagai anak kandung, 2. Pihak sembuyak orang-orang sekitar daerah dan luar daerah yang tidak ada hubungan darah dengan kerabat yang meninggal, 3- Kepala desa, kepala rukun warga, dan rukun tetanggam juatetangga-tetangga serta teman-teman akrab, 4. Pihak kalimbubu, 5. Pihak puang kalimbubu, 6. Pihak anak beru yang terdiri dari empat marga, dan 7. Pihak anak beru menteri yang terdiri dari lima marga. Hari kedua ini, merupakan aktivitas yang berasal dari hasil musyawarah di hari pertama. Selanjutnya diadakan musyawarah kembali untuk membicarakan persiapan yang dilakukan dalam menyambut puncak upacara di hari ketiga. Untuk itu semua yang tergolong dalam sistem kekerabatan setelah musyawarah kedua ini, maka dilanjutkan dengan gendang erjaga-jaga, yang artinya menjaga yang meninggal sampai tiba hari ketiga. III Hari Ketiga, merupakan puncak acara upacara adat cawir metua yang dimaksud. Pada hari ketiga ini sebelumnya dimulainya acara adat cawir metua, terlebih dahulu dilakukan acara doa dari pihak gereja. Selesai acara berdoa secara Kristiani ini, maka upacara dilanjutkan dengan ngukati makan pagi. Universitas Sumatera Utara Setelah selesai acara makan, pihak sukut beserta keluarga yang termasuk ke dalam sistem kekerabatan mengadakan runggu kembali. Tema utama yang dibicarakan dalam musyawarah ini adalah mengenai pengangkatan jenazah dari rumah kediaman jenazahselamah ini beserta keluarga intinya, ke jambur yang sudah ditetapkan dan siapa saja bertugas mengangkat jenazah dan kemudian menempatkan posisi jenazah sesampainya di jambur. Gambar 3.1: Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting Sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng . Sumber: dokumentasi penulis Universitas Sumatera Utara Berdasarkan dari hasil musyawarah tersebut, maka diputuskan secara adat pengangkatan jenazah ke jambur. Kalimbubu mangangkat bagian kepala. Disertai dengan pihak anak beru mengangkat bagian kaki dan badan jenazah. Bersamaan dengan pengangkatan jenazah Ibu Cilengemen br Pine mini, maka semua pihak yang hadir, dan memiliki keluangan waktu turut mengiringi prosesi pengantaran jenazah sampai ke jambur. Gambar 3.2: Foto Perkolong-kolong Sumpit br Ginting sedang Melantunkan Nyanyian Katoneng-katoneng Diiringi Landek Sumber: dokumentasi penulis Universitas Sumatera Utara Selepas saja jenazah sampai di jambur dan diletakkan pada posisi yang telah ditentukan, maka dalam rangkaian upacara cawir metua ini, dilakukan acara adat, maka pemimpin upacara dari pihak anak beru memanggil para peserta upacara, melalui perangkat pengeras suara, yaitu mikrofon dan pengeras audio. Setelah pemimpin upacara meminta kepada para pemusik si erjabaten untuk memainkan gendang sarune sebagai indeks bahwa upacara adat akan segera dimulai sambil memanggil kembali para sangkep nggeluh segenap kerabat untuk datang ke jambur agar upacara adat puncak cawir metua tersebut dimulai. Adapun iringan gendangnya disebut gendang pengangkat dan gendang siarak-araki. Seiring dengan musik gendang terus berjalan, maka salah seorang anak beru singerana, memohon kepada si erjabatan sebutan pemusik agar gendang yang bertajuk Rose dan Tudungan dimainkan. Kemudian pihak kerabat menari landek dengan komposisi fungsionalnya adalah: l Pada saat Gendang Rose dipertunjukkan,maka pihak kerabat yang menari adalah semua pihak kerabat yang sedang mengalami kemalangan; 2 pada saat Gendang Tudungen dipertunjukkan, maka yang melakukan landek adalah anak perana atau singuda-nguda muda-mudi. Kedua repertoar gendang tersebut dipertunjukkan dengan tujuan kultural agar semua pihak kerabat bersiap-siap untuk melaksanakan tugasnya masing- masing. Setelah selesai pertunjukan Gendang musik dan tari Rose dan Gendang Tudungen ditujukan kepada dilaksanakan, maka anak beru singerana kembali memberitahu kepada pihak sukut bahwa telah meninggal salah seorang dari kalimbubunya. Pemberihuan ini merupakan bagian dari pelaksanaan upacara adat cawir metua. Universitas Sumatera Utara Pemberitahuan yang disampaikan anak beru singerana kemudian dilanjutkan oleh salah seorang pihak keluarga yang kemalangan yaitu senina saudara perempuan dari jenazah. Tema dan isi dari pemberitahuan ini adalah bahwa pada hari itu telah berkumpul semua pihak kerabat untuk menyelesaikan hutang adat. Selanjutnya diminta pula kepada semua pihak agar tidak ada yang menaruh rasa dendam ataupun marah kepada yang meninggal, supaya arwah yang meninggal diterima di sisi Tuhan Yang Maha Kuasa Allah Bapa, Tuhan Yesus, dan Roh Kudus. Pemberitahuan secara adat tersebut, dalam konteks kebudayaan Karo lazim disebut dengan kata pengalo-ngalo. Selepas itu, dengan selesainya kata pengalo- ngalo, maka kata-kata ini diikuti dengan pertunjukan gendang pengalo-ngalo yang mengiringi perkolong-kolong, yang menyanyikan lagu katoneng-katoneng. Selepas rangkaian tersebut, maka kegiatan berikutnya dalam rangkaian upacara adat cawir metua ini adalah pertunjukan gendang adat. Repertoar ini juga melibatkan pertunjukan landek dari pihak kalimbubu, puang kalimbubu, sukut, senina, anak beru, serta anak beru menteri.. Gendang adat tersebut menandakan bahwa acara adat yang ditujukan kepada suhut keluarga yang sedang mengalami kemalangan. Pada saat ini juga diadakan acara musyawarah khusus yang membicarakan masalah hutang-hutang adat kerabat kepada kalimbubu yang disebut dengan pedalen maneh-maneh. Setelah pemberian maneh-maneh kepada kalimbubu selesai, maka dipertunjukan pua Gendang Perang-perang. Gendang ini diikuti dengan kegiatan landek oleh pihak kalimbubu bersama denga puang kalimbubu. Bersamaan Universitas Sumatera Utara dengan dengan kegiatan pertunjukan budaya ini, maka kalimbubu membawa kain kafan dari tempat mereka landek sambil menuju tempat peti jenazah. Kemudian kain kafan tersebut diselempangkan ke atas jasad jenazah. Sejalan dengan berlangsungnya pertunjukan Gendang Perang-perong, maka perkolong-kolong kembali lagi mengungkapkan teks-teks penghibur kepada pihak sukut dan kerabat dalam bentuk nyanyian yang disebut katoneng-katoneng. Selepas saja pihak kalimbubu selesai melakukan landek, maka acara berikutnya diberikan kepada pihak anak beru untuk landek bersama anak beru menteri. Dalam landek ini, anak beru dan anak beru menetri membawa kain kafan dari tempat dia landek, dan perlahan-lahan menuju tempat peti jenazah. Sesudah sampai di depan jasad jenazah, maka kain kafan itu diselempangkan ke atas jenazah. Dalam landek ini perkalong-kolong berperan kembali untuk mempersembahkan nyanyian yang penuh nilai-nilai filsafat dan budaya dalam bentuk lagu katoneng-kotoneng. Universitas Sumatera Utara Gambar 3.3: Foto Kelompok Kalimbubu Laki-laki Sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting Sumber: dokumentasi penulis Rangkaian acara ini diakhiri dengan pertunjukan Gendang Sirang-sirang oleh si erjabaten sebagai tanda perpisahan. Gendang ini juga mengiringi katoneng- katoneng, dan gendang inilah yang disebut dengan “puncak acara adat” dalam upacara cawir metua. Kemudian selepas itu, pihak sukut beserta keluarga yang kemalangan mengoleskan air yang telah diramu dengan jeruk purut ke bagian permukaan kuku jari-jari kedua kaki jenazah. Setelah itu acara diserahkan kepada pihak gereja sampai ke penguburan yang dalam adat Karo disebut upacara pemakaman nurun. Pada saat ini nyanyian yang digunakan bukan katoneng- katoneng tetapi genre yang disebut nganggukken tangis. Universitas Sumatera Utara Gambar 3.4: Kelompok Kalimbubu Perempuan sedang Menyampaikan Pesan dan Kata-kata Penghiburan kepada Sukut Merga Ginting Sumber: dokumentasi penulis Universitas Sumatera Utara Gambar 3.5: Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan kata Pengalo-ngalo Penyambutan kepada Sangkep Nggeluh Kerabat Adat. umber: dokumentasi penulis Gambar 3.6: Foto Sukut Merga Ginting Menyampaikan Kata Pengalo-ngalo kepada Sangkep Nggeluh Sumber: dokumentasi penulis Universitas Sumatera Utara Dengan melihat uraian di atas, maka secara umum struktur urutan acara adat cawir metua dalam kebudayaan Karo pada umumnya, yang berlangsung adalah sebagai berikut ini. 1. Sukut berangkat dari rumah dan disambut oleh anak berunya di jambur, 2. Nangketken ose memakaikan ose kepada sukut, 3. Landek kempu seluruh cucu dari yang meninggal dunia menari berpasangan 4. Landek adat sukut, 5. Landek adat sembuyak, 6. Landek adat siparibanen, sipemeren, 7. Memberikan kata pengapul atau kata teman meriah, 8. Acara nggalari utang adat, 9. Landek adat tegun sipemeren, siparibanen, puang nupuang, 10. Landek adat tegun kalimbubu, 11. Landek adat tegun senina, 12. landek adat kalimbubu, dan 13. Landek adat anak beru. Walaupun demikian adanya, dalam upacara cawir metua ini urutan yang bisa disatukan pelaksanaannya dilakukan oleh keluarga untuk mempersingkat waktu, yang dalam hal ini tentu saja, tidak mengurangi rasa hormat terhadap upacara adat. Urutan itu adalah setelah sampai ke jambur, maka acara selanjutnya dipandu oleh pemimpin upacara untuk meminta kepada si erjabaten memainkan Gendang Rose, kemudian memanggil sukut untuk melakukan landek. Setelah itu Universitas Sumatera Utara lalu dilanjutkan landek oleh senina, setelah itu teman meriah yang dilanjutkan galari utang adat. Sesudahnya landek kembali tegun kalimbubu dan ditutup dengan kegiatan landek dari tegun anak beru untuk menutup rangkain upacara ini. Dalam pelaksanaannya setelah setiap kelompok ini selesai landek, maka berikutnya selalu dipertunjukkan nyanyian katoneng-katoneng. Universitas Sumatera Utara

BAB IV PENGGUNAAN DAN FUNGSI

KATONENG-KATONENG Dalam Bab IV ini kajian difokuskan pada masalah fungsi katoneng- katoneng dalam upacara cawir metua pada kebudayaan Karo. Adapun kajian terhadap guna dan fungsi ini adalah berdasarkan kepada teori fungsionalisme seperti yang telah diuraikan pada Bab I. Kemudian penulis dengan berdasar kepada teori fungsionalisme, mengkaji fungsi komunikasi, khususnya yang terdapat dalam nyanyian katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan Karo di Sumatera Utara. Pengertian fungsi ini adalah menurut Merriam 1964 harus dibedakan ke dalam dua terminologi yaitu penggunaan dan fungsi. Adapun penggunaan katoneng-katoneng dalam budaya masyarakat Karo di Sumatera Utara, biasanya digunakan dalam konteks adat-istiadat terutama upacara, mengket rumah mbaru memasuki rumah baru, cawir metua upacara kematian kerabat yang telah mencapai derajat kematian tertinggi yaitu memiliki usia lanjut, serta memeiliki keturunan baik satu, dua, tiga, atau empat generasi ke bawah, dan kesemua anaknya ini telah berumah tangga, pesta tahun, guro-guro aron, dan lainnya. Universitas Sumatera Utara

4.1 Pengertian Penggunaan dan Fungsi

Menurut Bronislaw Malinowski, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh dari salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena mula-mula manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam human need itu. Dengan konsep ini seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. 1 Selaras dengan pendapat Malinowski, lagu katoneng-katoneng dalam kebudayaan etnik Karo di Sumatera Utara timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Karo pada umumnya. Nyanyian katoneng-katoneng ini timbul, karena masyarakat pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu, akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, komunikasi, kontinuitas budaya, pembelajaran nilai-nilai, 1 Lihat Koentjaraningrat ed. Sejarah Teori Antropologi I 1987:171. Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi semakin mantap Koentjaraningrat, 1987:67. Universitas Sumatera Utara merileksasi ketegangan karena seorang kerabatnya meninggal dunia, mengekspresikan perasaan sedih dan sekaligus gembira, dan l;ain-lainnya. A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakatnya. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap waktu. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal, seperti yang diuraikan Radcliffe-Brown berikut ini. By the definition here offered ‘function’ is the contribution which a partial activity makes of the total activity of which it is a part. The function of a perticular social usage is the contribution of it makes to the total social life as the functioning of the total social system. Such a view implies that a social system ... has a certain kind of unity, which we may speak of as a functional unity. We may define it as a condition in which all parts of the social system work together with a sufficient degree of harmony or internal consistency, i.e., without producing persistent conflicts can neither be resolved not regulated 1952:181. Sejalan pula dengan pandangan Radcliffe-Brown, katoneng-katongeng dalam kebudayaan Karo, bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat karo. Seni pertunjukan budaya Karo ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas masyarakat, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya dalam hal ini masyarakat Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk Universitas Sumatera Utara mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat karo, misalnya lingkungan yang heterogen secara etnik di Sumatera Utara, penguatan identitas dan kumpulan etnik Karo, masalah perubahan kebudayaan, transmisi nilai-nilai religi baru yang merubah nilai-nilai religi lama, dan masalah-masalah sosial dan kebudayaan lainnya. Soedarsono yang melihat fungsi seni, terutama dari hubungan praktis dan integratifnya, mereduksi tiga fungsi utama seni pertunjukan, yaitu: 1 untuk kepentingan sosial atau sarana upacara; 2 sebagai ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan 3 sebagai penyajian estetik 1995. Selaras dengan pendapat Soedarsono lagu katoneng-katoneng dalam kebudayaan Karo, mempunyai fungsi sosial, ungkapan perasaan pribadi yang dapat menghibur diri dan penyajian estetika. Dengan tetap bertolak dari teori fungsi, yang kemudian mencoba menerapkannya dalam disiplin etnomusikologi, lebih lanjut secara tegas Merriam membedakan pengertian fungsi ini dalam dua istilah, yaitu penggunaan dan fungsi. Menurutnya, membedakan pengertian penggunaan dan fungsi adalah sangat penting. Para pakar etnomusikologi etnomusikolog pada masa lampau tidak begitu teliti terhadap perbedaan ini dua istilah ini. Jika kita berbicara tentang penggunaan musik, maka kita menunjuk kepada keebiasaan the ways musik dipergunakan dalam masyarakat, sebagai praktik yang biasa dilakukan, atau sebagai bahagian dari pelaksanaan adat istiadat, baik ditinjau dari aktivitas itu sendiri maupun kaitannya dengan aktivitas-aktivitas lain 1964:210. Lebih jauh Universitas Sumatera Utara Merriam menjelaskan perbedaan pengertian antara penggunaan dan fungsi sebagai berikut. Music is used in certain situations and becomes a part of them, but it may or may not also have a deeper function. If the lover uses song to w[h]o his love, the function of such music may be analyzed as the continuity and perpetuation of the biological group. When the supplicant uses music to the approach his god, he is employing a particular mechanism in conjunction with other mechanism as such as dance, prayer, organized ritual, and ceremonial acts. The function of music, on the other hand, is enseparable here from the function of religion which may perhaps be interpreted as the establishment of a sense of security vis-á-vis the universe. “Use” them, refers to the situation in which music is employed in human action; “function” concerns the reason for its employment and particularly the broader purpose which it serves 1964:210. Dari kutipan paragraph di atas terlihat bahwa Merriam membedakan pengertian penggunaan dan fungsi musik berdasarkan kepada tahap dan pengaruhnya dalam sebuah masyarakat. Musik dipergunakan dalam situasi tertentu dan menjadi bahagian situasi itu. Penggunaan bisa atau tidak bisa menjadi fungsi yang lebih dalam. Merriam memberikan contoh, jika seeorang menggunakan nyanyian yang ditujukan untuk kekasihnya, maka fungsi musik seperti itu bisa dianalisis sebagai perwujudan dari kontinuitas dan kesinambungan keturunan manusia—[yaitu untuk memenuhi kehendak biologis bercinta, kawin dan berumah tangga dan pada akhirnya menjaga kesinambungan keturunan manusia]. Jika seseorang menggunakan musik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan, maka mekanisme tersebut behubungan dengan mekanisme lain, seperti menari, berdoa, mengorganisasikan ritual, dan kegiatan-kegiatan upacara. “Penggunaan” menunjukkan situasi musik yang dipakai dalam kegiatan manusia; Universitas Sumatera Utara sedangkan “fungsi” berkaitan dengan alasan mengapa si pemakai melakukan, dan terutama tujuan-tujuan yang lebih jauh dari sekedar apa yang dapat dilayani oleh peristiwa muskal tersebut. Dengan demikian, selaras dengan pendapat Merriam, menurut penulis penggunaan lebih berkaitan dengan sisi praktis, sedangkan fungsi lebih berkaitan dengan sisi integrasi dan konsistensi internal budaya, dan lebih bersifat konseptual dan abstrak. Berkaitan dengan guna dan fungsi katoneng-katoneng dalam kebudayaan Karo ini mencakup berbagai aktivitas sosial budaya. Simak kajian yang penulis lakukan seperti berikut ini.

4.2 Penggunaan Katoneng-katoneng dalam Budaya Karo

Berdasarkan pengamatan penulis sebagai orang dalam, penggunaan katoneng-katoneng di dalam kebudayaan Karo, umumnya berkait erat dengan upacara “keberhasilan” orang Karo dalam mengisi kehidupannya ini. Keberhasilan tersebut ditandai dengan panen yang berhasil, kemudian memperoleh rezeki misalnya rumah yang baru yang dikurniakan Tuhan kepada mereka, termasuk juga keberhasilan seorang mendiang selama hidupnya, yang secara adat diukur dengan memiliki anak, cucu, cicit dan seterusnya, semua anaknya telah menikah membentuk rumah tangga, sebagai pelanjut dirinya. Penggunaan katoneng-katoneng dalam kebudayaan Karo di Sumatera Utara mencakup berbagai aktivitas, seperti: memeriahkan suasana pertunjukan guro-guro aron dalam rangkaian kerja tahun, memeriahkan upacara mengket rumah mbaru memasuki rumah baru, memeriahkan upacara cawir metua mati Universitas Sumatera Utara dalam kedudukan yang sempurna menurut adat Karo, dan lain-lainnya. Dengan melihat penggunaan katoneng-katoneng yang seperti ini, jelaslah bahwa katoneng-katoneng memiliki nilai-nilai penghiburan dalam suasana keberkahan dan sukacitas. Dari guna yang seperti ini tentu saja nilai-nilai yang terkandung di dalam katoneng-katoneng adalah nilai-nilai orientasi kepada tujuan hidup orang Karo untuk menjadi orang yang berhasil dalam dunia maupun akhirat, dan berorientasi kepada kemajuan peradaban.

4.2.1 Penggunaan pada Upacara Mengket Rumah Mbaru

Dalam kebudayaan Karo di Sumatera Utara, jika seseorang diberi rejeki berupa rumah tempat kediaman baru, maka ia akan melakukan upacara bersyukur yang disebut mengket rumah mbaru masuk ke rumah baru, ada juga yang menyebutnya mengket rumah saja. Peristiwa ini memiliki latar belakang kebudayaan yang panjang. Di dalamnya terkandung nilai-nilai filosofis, tentang pentingnya bersyukur kepada Tuhan Yang maha Kuasa atas segala rejeki yang telah diberikan kepada seseorang itu. Sel;ain itu, rasa syukur ini juga disertai dengan nilai-nilai kebersamaan sosial. Dengan melakukan upacara ini, maka pihak-pihak kerabat dan masyarakat yang terlibat dalam acara tersebut terus membina hubungan social yang baik, denganm cara berkomunikasi, bertukar pendapat, dan saling memberikan cerita-cerita pengalaman hidup mereka masing-masing. Dengan demikian terjalinlah hubungan social dan emosi dari semua yang terlibat di dalam upacara tersebut. Selain itu, nilai lainnya adalah membentuk setiap orang yang terlibat di dalam upacara ini untuk mencintai, Universitas Sumatera Utara menghayati, dan mengamalkan budaya Karo sebagai bagian dari identitas kebudayaan mereka, yang penting bagi mengisi kehidupan di dunia ini. Selain itu, melalui upacar ini tersemai nilai-nilai integrasi sosial, baik itu untuk kalangan orang dalam sendiri dan juga masyarakat yang multikultural di Sumatera Utara atau Indonesia secara umumnya. Rumah adalah tempat setiap keluarga, baik itu keluarga inti yang terdiri dari suami, istri, dan anak-anaknya tinggal dan menjadi tempat untuk beraktivitas keluarga—maupun keluarga batih atau extended family, yang terdiri dari keluarga inti ditambah para kerabat dekatnya. Dimulai dari rumah inilah kepribadian setiap orang dibentuk, dan setiap orang mengembangkan karakternya masing-masing. Dalam konsep tradisional Karo, keluarga yang baik akan menghasilkan manusia-manusia yang baik dan unggul. Dengan demikian, jika sebuah keluarga memiliki rumah baru, maka ia tanpa disuruh oleh siapapun tergerak hatinya untuk melakukan upacara, sebagai ekspresi rasa syukur dan sekaligus juga sebagai cara membagi kebahagian dengan orang lain. Dalam upacara mengket rumah mbaru ini, benda-benda upacara terdiri dari: buluh-buluh simelias gelar, yaitu kumpulan dedaunan yang dipandang memiliki makna kultural khas membawa kebaikan. Di antaranya adalah: bulung jabi-jabi daun pokok beringin, bulung besi-besi, bulung sangke sempilet, bulung arimas, bulung kalinjuhang, bulung ambattuah, bulung batang teguh, dan bulung simbara bayak. Kesemua daun ini ditempatkan di keempat sudut dapur rumah baru tadi bersamaan dengan pemasangan daliken tungku di dapur. Universitas Sumatera Utara Pada kegiatan upacara mengket rumah mbaru ini, secara budaya selalu melibatkan katoneng-katoneng yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong. Peristiwa cultural dan musikal ini juga diiringi oleh ensambel gendang lima sidalanen. Tidak lupa juga kegiatan tersebut melibatkan tari-tarian dari pihak kerabat sukut, baik itu kalimbubu, senina, maupun anak beru. Kegiatan ini sebagaimana halnya kegiatan upacara cawir metua, juga melibatkan aspek adat dan juga sistem religi. Begitu juga dengan segala persiapannya yang selalu ditandai dengan sistem musyawarah runggu. Adapun upacara mengket rumah mbaru ini tahapan-tahapannya adalah: a liturgi gereja bagi yang beragama Kristen, atau doa bagi yang beragama Islam. Kemudian b majekken daliken yang disertai dengan pemakaian ose. Seterusnya c aktivitas man cimpa dan makan dem makan nasi dengan lauk yang lengkap. d acara prosesi atau arak-arakan, e acara perlandek menari; dan f acara man makan bersama. Secara umum upacara mengket rumah mbaru dilakukan di dalam rumah dan kemudian dilanjutkan di jambur loosd. Lauk yang disediakan adalah berupa daging lembu, babi, dan juga ayam. Pihak rakut sitelu memakai ose yaitu pakaian adat Karo. Beberapa minggu sebelum dilakukannya upacara mengket rumah mbaru ini, maka pihak sukut yang punya hajat mengadakan musyawarah runggu keluarga dengan kerabat dekatnya sangkep nggeluh. Adapun aspek yang dimusyawarahkan adalah tentang pelaksanaan upacara kerja, persiapan Universitas Sumatera Utara upacaranya, dan berkaitan pula dengan konsumsi yang disediakan untuk keperluan upacara tersebut. Dalam kegiatan upacara ini, adat istiadat yang pertama kali dilakukan adalah ndalanken luah kalimbubu. Pemakaian ensambel musik gendang lima sidalanen dalam upacara mengket rumah mbaru ini memang tidak mutlak, tetapi sangat lazim dilakukan. Bagaimanapun dalam hal ini katoneng-katoneng adalah indeks dari upacara mengket rumah mbaru ini di dalam konteks kebudayaan Karo. Selain itu secara kekerabatan dan untuk integrasi sosialnya, maka semua pihak dalam rakut sitelu mengadakan kegiatan menari perlandek, yang urutannya ditentukan dalam adat ini. Selain itu, dalam upacara mengket rumah mbaru ini juga melibatkan pidato berupa nasihat dari unsur-unsur rakut sitelu tersebut. Dalam kebudayaan karo, saling memberikan nasihat ini memang menjadi kebiasaan di kalangan mereka. Saling menasihati ini akan memberikan arah yang baik bagi melakukan kontinuitas kebudayaan Karo.

4.2.2 Penggunaan pada upacara cawir metua