2.2 Sistem Kekerabatan
Setiap suku bangsa mempunyai sistem kekerabatan sendiri dan merupakan ciri khas dari setiap suku bangsa. Setiap upacara adat tidak terlepas
dari sistem kekerabatan yang ada. Begitu juga dengan suku Batak Karo yang juga memiliki sistem kekerabatan sendiri. Kerabat kade-kade memiliki
pengertian yang sangat luas, baik atas dasar hubungan darah maupun hubungan yang disebabkan oleh terjadinya sebuah pernikahan, sehingga terjadilah
hubungan kekerabatan baik antara pihak wanita dan pihak pria yang menikah. Menurut Pritchard 1986:154 tiap-tiap masyarakat, walaupun dalam
bentuk yang sederhana sekali, akan dapat menemui suatu bentuk kehidupan keluarga, pengakuan mengenai ikatan kekeluargaan, sistem ekonomi dan
politik, status sosial, ibadah agama, cara menyelesaikan konflik dan hukuman terhadap penjahat dan lain-lain disamping kebudayaan material, suatu kumpulan
pengerahuan mengenai alam semesta, teknik dan tradisi. Demikian halnya dengan masyarakat Karo memiliki memiliki sistem kekerabatan yang
diwariskan secara turun-temurun yang mencakup bentuk ikatan kekeluargaan, sistem sosial dan politik, penyelesaian konflik, dan berbagai hal yang terkait
dengan sistem kekerabatan. Setiap individu pada masyarakat Karo baik yang bermukim di
kawasan kabupaten Karo maupun di luar kabupaten Karo kendati telah membaur dengan etnik lain di sekitarnya, pada umumnya mengetahui sistem
kekerabatan yang berlaku yang menjadi pedoman dari sistem kekerabatan. Paling tidak setiap individu mengetahui posisi dirinya sebagai salah satu dari
kelompok merga istilah kelompok klen bagi masyarakat Karo.
Universitas Sumatera Utara
Kelompok merga tersebut terdiri dari lima merga induk yaitu, 1 Karo-karo. 2 Ginting, 3 Tarigan, 4 Sembiring, dan 5 Perangin-angin,.
Kelima merga induk ini disebut, merga silima. Setiap merga terdiri dari cabang- cabang merga. Istilah merga merupakan sebutan pada laki-laki, dan beru untuk
perempuan. Kelima-lima merga dalam peradaban masyarakat karo tersebut dibentuk oleh merga-merga kecilnya, yang sepenuhnya dapat dilihat pada Tabel
2.1 berikut ini. Tabel 2.2:
Induk Merga dan Sub Merga dalam Konteks Merga Silima
Induk Merga Sub Merga
I. Ginting
1. Ajar Tambun
2. Babo
3. Beras
4. Capah
5. Garamata
6. Gurupatih
7. Jadibata
8. Jawak
9. Juhar
10. Manik
11. Munte
12. Pase
13. Seragih
14. Sinusinga
15. Sugihen
16. Suka
17. Tumangger
II. Karo-Karo
1. Barus 2. Bukit
3. Gurusinga 4. Jung
5. Kaban 6. Kacaribu
7. Karosekali 8. Kemit
9. Ketaren 10. Purba
11. Samura 12. Sinubulan
13. Sinuhaji 14. Sinukaban
15. Sinuraya
Universitas Sumatera Utara
16. Sinulingga 17. Sitepu
18. Surbakti
III. Perangin-angin 1. Bangun
2. Benjerang 3. Kacinambun
4. Keliat 5. Laksa
6. Mano 7. Namohaji
8. Pencawan 9. Penggarun
10. Perbesi 11. Pinem
12. Sebayang 13. Singarimbun
14. Sinurat 15. Sukatendel
16. Tanjung 17. Ulujandi
18. Uwir
IV. Sembiring 1.
Brahmana 2.
Bunuhaji 3.
Busuk 4.
Colia 5.
Depari 6.
Gurukinayan 7.
Keling 8.
Keloko 9.
Kembaren 10.
Maha 11.
Meliala 12.
Muham 13.
Pandebayang 14.
Pandia 15.
Pelawi 16.
Sinukapar 17.
Sinulaki 18.
Sinupayung 19.
Tekang V. Tarigan
1. Bondong 2. Gana-gana
3. Gerneng 4. Gersang
5. Jompang 6. Pekan
7. Purba 8. Sibero
9. Silangit 10. Tambak
11. Tambun
Universitas Sumatera Utara
12. Tegur 13. Tua
Sumber: informasi yang diperoleh dari para narasumber 2014
Selanjutnya, hubungan yang lebih luas dari perwujudan merga-merga pada masyarakat Karo adalah rakut sitelu ikat yang tiga. Rakut sitelu ini mirip
dengan pengertian dalihan natolu pada masyarakat Batak Toba dan Mandailing- Angkola. Rakut sitelu pada masyarakat Karo merupakan suatu istilah untuk
menyatakan sistem kekerabatan yang saling mengikat antara sesama anggota masyarakat. Sistem tersebut didapat melalui kelahiran dan perkawinan. Rakut
sitelu dapat dipandang sebagai pembagian kelompok berdasarkan adat istiadat Karo.
Adapun kelompok-kelompok tersebut adalah a senina, b anak beru, dan c kalimbubu. Dari penjelasan tersebut dapat dikatakan bahwa masyarakat
Karo masing-masing sadar dan mengetahui poisisinya dalam sistem kekerabatan dalam adat-istiadat Karo dalam kaitannya antara merga silima dengan rakut
sitelu. Sehingga dalam pelaksanaan sebuah upacara adat masing-masing individu keluarga telah mengetahui posisinya sebagai bagian dari upacara
tersebut. Pemahaman mengenai sistem kekerabatan ini oleh masing-masing
individu terutama pada usia yang beranjak dewasa pada masyarakat Karo, didapat dari para orang tua yang kesehariannya cenderung menjelaskan sistem
kekerabatan tersebut kepada generasi yang lebih muda pada berbagai kesempatan, misalnya ketika berkumpul di warung sambil minum kopi, atau di
celah pembicaraan lainnya. Kalangan orang tua pada masyarakat Karo pada
Universitas Sumatera Utara
umumnya khawatir dan malu jika anaknya atau generasi yang lebih muda tidak memahami sistem kekerabatan. Oleh karena itu selalu disarankan agar para
remaja yang menjelang dewasa supaya rajin mendengar cerita-cerita orang tua yang menyangkut nasihat dan sistem kekerabatan.
Bahwa orang tua akan merasa malu jika anaknya tidak memahami sistem kekerabatan yang menyangkut merga silima dan rakut sitelu. Jika hal
ini tidak diwariskan secara lebih dini, maka dikhawatirkan generasi penerus tidak memahami dengan jelas tentang merga silima dan rakut sitelu yang
penerapannya sangat jelas terlihat pada berbagai upacara adat dimana setiap keluarga harus memahami posisinya apakah ia berada pada kelompok senina,
anak beru, atau kalimbubu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa di kalangan orang tua pada
masyarakat Karo pada umumnya merasa khawatir jika anak-anak mereka sebagai generasi penerus, tidak tahu atau tidak memahami sistem kekerabatan
masyarakat Karo sebagai sebuah identitas yaitu, mengetahui posisi klennya dalam konteks merga silima, dan posisinya saat pelaksanaan sebuah ritual adat
dalam pemahaman rakut sitelu. Selain merga dan beru, setiap individu dalam etnik Karo juga
sekaligus mewarisi beru dari ibu kandungnya yang disebut dengan bere-bere atau bebere. Dengan demikian sistem kekerabatan pada etnik Karo mengikuti
garis-garis keturunan merga ayah dan beru ibu sekaligus. Dengan demikian etnik Karo tidak murni menganut sistem patrineal garis keturunan ayah
melainkan parental bilatreral yang merupakan percampuran dari sistem
Universitas Sumatera Utara
patrineal dan matrilineal yaitu menarik garis keturunan ayah dan garis keturunan ibu sekaligus Bangun, 1989.
Sistem kekerabatan masyarakat Karo juga mengenal istilah rakut sitelu atau daliken sitelu, yang mengandung pengertian adanya tiga unsur kelengkapan
hidup dalam suatu keluarga luas. Adapun ketiga unsur dalam sistem kekerabatan masyarakat Karo tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.
1. Senina, adalah hubungan bersaudara antara orang-orang yang berasal
dari satu merga clan yang sama tetapi tupang atau sub merga yang berbeda. Contohnya: Ginting Suka dengan Ginting Jawak. Tetapi di samping itu
hubungan seseorang dengan orang lain dapat menjadi senina atau ersenina sekalipun clan atau merga berbeda, hal itu karena: isterinya adik beradik;
suaminya adik beradik; ataupun ibunya adik beradik. 2.
Anak beru, adalah kelompokgolongan penerima anak dara atau wife
taker. Kelompok anakberu mempunyai kedudukan penting sebagai pembawa kerukunan dan kedamaian dalam keluarga kalimbubu. Dalam pelaksanaan
upacara-upacara adat anak beru yang memegang peranan sangat penting, baik menyangkut menyiapkan keperluan-keperluan pelaksanaan upacara adat,
melakukan musyawarah dan pembicaraan-pembicaraan mengenai pelaksanaan upacara adat, sampai kepada pertanggungjawaban pelaksanaan upacara adat.
Dalam pelaksanaan upacara adat, salah seorang anak beru bertugas sebagai protokol; yang tugasnya lebih luas daripada tugas juru acara di dalam sesebuah
acara yang bersifat formal. 3.
Kalimbubu, adalah pihak pemberi anak dara; merupakan kelompok yang harus dihormati. Karena unsur kalimbubu dianggap sebagai sumber
Universitas Sumatera Utara
kehidupan dan berkat. Masyarakat Karo menyebut kalimbubu sebagai dibata ni idah yang secara harafiah mengandungi pengertian tuhan yang nampak. Di
dalam pelaksanaan adat, kalimbubu merupakan pihak yang selalu menjadi penggurun yang dimintai pendapatnya, yang diikuti. Apabila pihak kalimbubu
melihat ada sesuatu yang berlaku tidak sepatutnya, maka kalimbubu berhak ngembarisa meluruskannya, memperbaikinya.
Rakut si telu dalam ego adalah senina saudara kandung atau saudara semerga, kalimbubu saudara laki-laki dari ibu, anak beru saudara perempuan
dari ayah. Dengan demikian, setiap ego orang Karo akan mempunyai senina, kalimbubu, dan anak beru. Selanjutnya, dalam suatu kegiatan adat atau upacara
adat ketiga unsur rakut si telu tersebut mengacu kepada orang yang melaksanakan kegiatan adat yang dikenal dengan istilah sukut. Sukut juga dapat
disebut sebagai ego, namun dalam satu kegiatan adat, sukut tidak hanya satu orang atau satu ego merupakan keluarga, dan sukut juga terdiri dari dua
kelompok. Sebagai contoh dalam adat perkawinan, yang menjadi sukut adalah ayah ibu dan saudara kandung ayah kedua penganten laki-laki dan wanita, dan
dalam upacara tersebut terdapat dua sukut yakni sukut sinereh kelompok pengantin wanita dan sukut si empo kelompok pengantin laki-laki. Jadi, rakut
si telu dalam upacara adat mengacu pada kedua hal tersebut di atas. Jadi ketiga unsur dalam rakut si telu bermuara pada dua hal yakni pada diri atau ego dan
kelompok dalam satu upacara adat yang disebut sukut. Berdasarkan uraian singkat diatas dapat dikatakan bahwa, setiap orang
dalam masyarakat Karo memiliki kerabat sebagai senina, kalimbubu, dan anak beru secara permanen dalam keluarga karena peran tersebut lahir dari
Universitas Sumatera Utara
hubungan darah. Selanjutnya, setiap orang Karo juga secara otomatis mempunyai peran sebagai senina, kalimbubu, dan anak beru dari orang
kerabatnya. Jadi rakut si telu dalam masyarakat karo berfungsi sebagai melingkar sirkular. Sistem kekerabatan yang tercakup dalam rakut si telu
tersebut selanjutnya berkembang menjadi delapan sub kekerabatan yang di sebut dengan tutur si waluh kedudukan yang delapan yaitu: 1 puang
kalimbubu, 2 kalimbubu, 3 senina, 4 senina siparibanen, 5 senina sipemeren, 6 senina sipengalon sedalanen, 7 anak beru, dan 8 anak beru
menteri. Jika merga dan beru disandingkan atau dicantumkan sekaligus di
belakang nama bere-bere tidak pernah dicantumkan. Kendati demikian bere- bere juga berperan penting dalam sistem kekerabatan pada etnik Karo. Setiap
perkenalan ertutur antara sesame etnik Karo senantiasa menanyakan dan menyebut mergaberu dan bere-bere.
Dalam kehidupan masyarakat Karo ada beberapa prinsip atau dasar yang merupakan landasan kehidupan adat yang disebut dengan, palas kegeluhen
ibas adat. Landasan ini menggambarkan karakteristik kehidupan masayarakat Karo yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari yang mencakup aspek-aspek
adat.
Universitas Sumatera Utara
Bagan 2.1: Hubungan Rakut Sitelu, Merga Silima, dan
Tutur Siwaluh dalam Kebudayaan Karo
Sistem kekerabatan etnik Karo dan sistem interaksi sosial yang dibangun berdasarkan filsafat yang dianut suku Karo seperti diuraikan di atas,
juga diterapkan nilai-nilainya di dalam pelaksanaan upacara erpangir ku lau. Upacara ini tetap berlandas pada system kekerabatan. Mereka juga berbahasa
Karo dan menerapkan tutur siwaluh bagi sesama pengikut upacara dan pemusik. Dengan demikian, upacara ini berdasar pada sistem kekerabatan etnik Karo,
yang terus mereka pertahankan sampai saat ini.
Universitas Sumatera Utara
2.3 Sistem Kepercayaan