Pembatasan Masalah Tinjauan Pustaka

Untuk mengkaji pokok masalah penelitian ketiga yaitu bagaimana makna teks lagu katoneng-katoneng yang dipertunjukkan dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo, maka unsur yang dibahas meliputi aspek- aspek: makna denotatif makna yang sebenarnya dari kata per kata dan kalimat per kalimat atau larik. Seterusnya, yang dikaji adalah makna-makna semiosis yang lebih dalam seperti nilai-nilai, filsafat hidup, dan aspek-aspek sejenis. Namun sebelumnya dideskripsikan juga struktur bahasa yang membangun katoneng-katoneng ini.

1.3 Pembatasan Masalah

Mengingat luasnya cakupan yang berhubungan dengan katoneng- katoneng, peneliti membatasi pembahasan kajian ini terhadap fenomena yang berlangsung pada saat penyajian katoneng-katoneng dalam konteks upacara cawir metua. Oleh karena itu, penelitian ini ini akan menganalisis tentang makna teks dan struktur melodi yang membentuk penyajiannya melalui analisis semiotik. 1.4 Tujuan dan Manfaat 1.4.1 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini, adalah: 1. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji fungsi katoneng-katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Universitas Sumatera Utara Karo, untuk memberikan pemahaman tentang konteksnya di dalam kebudayaan. 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji struktur melodi katoneng- katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo, untuk memberikan pemahaman tentang prinsip- prinsip keindahan penyajiannya. 3. Penelitian ini juga bertujuan mengkaji makna teks katoneng-katoneng yang dipertunjukkan pada upacara cawir metua di dalam kebudayaan Karo.

1.4.2 Manfaat Penelitian

Beberapa manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Penelitian ini merupakan salah satu usaha untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat Karo pada umumnya dan juga kepada para ilmuwan seni tentang fungsi, struktur melodi, dan makna teks katoneng-katoneng dalam konteks cawir metua. 2. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian ilmiah yang dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk pengembangan fungsional dan struktural penyajian katoneng-katoneng untuk masa-masa yang akan datang. 3. Penelitian ini dapat bermanfaat untuk menempatkan berbagai ragam seni pertunjukan yang mengikuti kaidah-kaidah tradisi di Universitas Sumatera Utara dalam kebudayaan Karo, yang disesuaikan pula dengan perkembangan zaman. 4. Penelitian yang kemudian ditulis dalam bentuk tesis ini dapat bermanfaat sebagai salah satu bentuk kajian yang dapat mengembangkan disiplin ilmu-ilmu seni khususnya etnomusikologi, baik untuk sumbangan teoretis maupun teknis. 5. Penelitian ini bermanfaat untuk mengungkapkan nilai-nilai kebudayaan yang terdapat di dalam pikiran masyarakat Karo secara umum, dan secara khusus di dalam pikiran seniman musik Karo, dalam konteks mempertahankan tradisinya pada era globalisasi dan perubahan zaman.

1.5 Konsep dan Teori

1.5.1 Konsep

Untuk memperjerlas makna-makna peristilahan yang penulis gunakan dan berhubungan dengan tajuk tesis ini, maka penulis akan menjelaskan konsep- konsep dan teori. Oleh karena itu dijelaskan terlebih dahulu apa itu konsep dan teori, yang penulis gunakan agar tidak terjadi pembiasan dikotomi makna. Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588. Selanjutnya yang dimaksud dengan teori adalah pendapat yang didasarkan pada penelitian dan penemuan, yang didukung oleh data dan Universitas Sumatera Utara argumentasi Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:1177. Untuk mendapatkan pengertian yang mendasar tentang istilah yang digunakan dalam penelitian ini maka diperlukan konsep. Adapun konsep-konsep yang perlu dijelaskan dalam konteks penelitian ini adalah: a katoneng-katoneng, b cawir metua, c kebudayaan, d struktur melodi, e makna teks. Seterusnya konsep tentang lima istilah di atas dapat diuraikan sebagai berikut ini.

1.5.1.1 Katoneng-katoneng

Dalam kamus bahasa Karo karangan Darwin Prints 2002 disebutkan bahwa katoneng-katoneng adalah nyanyian tradisional Karo yang berisikan nasehat, doa, dan sebagainya. Lagukatoneng-katoneng biasanya dilantunkan oleh seorang perkolong-kolong dalam upacara cawir metua kematian, mengket rumah mbaru memasuki rumah baru, dan lain sebagainya. Katoneng-katoneng berasal dari kata toneng yang artinya tenang atau damai. Dengan kata lain, bahwa katoneng-katoneng adalah sejenis lagu yang syairnya memberikan ketenangan, kedamaian, nasehat, doa, dan lain sebagainya; yang sangat menggugah perasaan orang lain ketika mendengarkannya. Dalam terminologi musik Barat, lagu katoneng-katoneng yang disajikan dalam upacara cawir metua termasuk jenis lament song, yaitu sebuah lagu yang berhubungan dengan kematian dan cenderung sedih. Universitas Sumatera Utara

1.5.1.2 Cawir metua

Dalam masyarakat Karo, meninggal dunia di usia lanjut dan semua anaknya telah menikah,dihargai sebagai prestasi tersendiri yang disebut dengan cawir metua. Kriteria cawir metua ini adalah bila semua anak-anak kandungnya sudah menikah dan telah memenuhi seluruh kewajiban adatnya. Bila ada seseorang meninggal dalam kondisi cawir, maka semua kerabat dari pihak kalimbubunya harus menyediakan ose lengkap er emas-emaspakaian adat lengkapyang terdiri dari sertali perhiasan dari sepuhen emas, bulang-bulang dan tudung kain adat uniul laki-laki dan perempuan; yang manasemuanya ini nanti akan dipakaipada saat pelaksanaan upacara oleh saudara laki-laki almarhum suami istri, anak laki-laki almarhum suami istri, serta janda almarhum kalau yang meninggal dunia laki-laki. Perhiasan dan pakaian yang indah ini, sebagai suatu tanda kehormatan dari pihak kalimbubunya kepada yang meninggal almarhum. Kematian cawir metua ini seharusnya tidak perlu ditangisi, karena kematian seperti ini dianggap mulia dan sangat dihargai.Namun demikian, pada kenyataannya kaum keluarga dan kerabat tetap saja larut dalam kesedihan pada saat-saat tertentu maupun momen-momen tertentu.Meskipun selanjutnya, kesedihan semakin berkurang dan upacara tersebut dapat berlangsung dengan penuh suka ria. Universitas Sumatera Utara

1.5.1.3 Kebudayaan

Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi budi atau akal diartikan sebagai hal- hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia Koentjaraningrat, 1982:9. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Kebudayaan dapat didefenisikan sebagai suatu sistem, dimana sistem itu terbentuk dari perilaku, baik itu perilaku badan maupun pikiran. Hal ini berkaitan erat dengan adanya gerak dari masyarakat, dimana pergerakan yang dinamis dan dalam kurun waktu tertentu akan menghasilkan sebuah tatanan ataupun sistem tersendiri dalam kumpulan masyarakat. Kebudayaan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Melville J. Herskovits dan Bronislaw Malinowski mengemukakan bahwa, “segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat itu sendiri.” Istilah untuk pendapat itu adalah cultural-determinism. Universitas Sumatera Utara

1.5.1.4 Fungsi

Kata fungsi yang digunakan dalam tajuk tesis ini merujuk kepada pengertian yang diajukan oleh Bronislaw Malinowski. Menurutnya, yang dimaksud fungsi itu intinya adalah bahwa segala aktivitas kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan suatu rangkaian dari sejumlah keinginan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh salah satu unsur kebudayaan, terjadi karena pada awalnya manusia ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Ilmu pengetahuan juga timbul karena keinginan naluri manusia untuk tahu. Namun banyak pula aktivitas kebudayaan yang terjadi karena kombinasi dari beberapa macam keinginan manusia human need itu. Dengan pengertian seperti ini, maka seorang peneliti bisa menganalisis dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. 9 Sesuai dengan pendapat Malinowski, nyanyian katoneng-katoneng pada masyarakat Karo di Sumatera Utara timbul dan berkembang karena diperlukan untuk memuaskan suatu rangkaian keinginan naluri masyarakat Karo secara umum. Lagu ini timbul dan berkembang, karena masyarakat pengamalnya ingin memuaskan keinginan nalurinya terhadap keindahan. Namun lebih jauh dari itu, 9 Lihat Koentjaraningrat ed. Sejarah Teori Antropologi I 1987:171. Abstraksi tentang fungssi yang ditawarkan oleh Malinowski berkaitan erat dengan usaha kajian etnografi dalam antropologi. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berintegrasi secara fungsional yang dikembangkan dalam kuliah-kuliahnya tentang metode-metode penelitian lapangan dalam masa penulisan buku etnografi mengenai kebudayaan masyarakat Trobiands, selanjutnya menyebabkan bahwa konsepnya mengenai fungsi sosial dari adat, tingkah laku manusia dan institusi-institusi sosial menjadi semakin mantap Koentjaraningrat, 1987:67. Universitas Sumatera Utara akan disertai dengan fungsi-fungsi lainnya, seperti integrasi masyarakat, hiburan, kontinuitas budaya, perlambangan, komunikasi, dan lainnya. A.R. Radcliffe-Brown mengemukakan bahwa fungsi sangat berkait erat dengan struktur sosial masyarakat. Bahwa struktur sosial itu hidup terus, sedangkan individu-individu dapat berganti setiap masa. Dengan demikian, Radcliffe-Brown yang melihat fungsi ini dari sudut sumbangannya dalam suatu masyarakat, mengemukakan bahwa fungsi adalah sumbangan satu bagian aktivitas kepada keseluruhan aktivitas di dalam sistem sosial masyarakatnya. Tujuan fungsi adalah untuk mencapai tingkat harmoni atau konsistensi internal. Sejalan dengan pandangan Radcliffe-Brown, lagu katoneng-katoneng dalam budaya Karo bisa dianggap sebagai bahagian dari struktur sosial masyarakat Karo. Nyanyian ini adalah salah satu bahagian aktivitas yang bisa menyumbang kepada keseluruhan aktivitas, yang pada masanya akan berfungsi bagi kelangsungan kehidupan budaya masyarakat pengamalnya yaitu masyarakat Karo. Fungsinya lebih jauh adalah untuk mencapai tingkat harmoni dan konsistensi internal. Pencapaian kondisi itu, dilatarbelakangi oleh berbagai kondisi sosial dan budaya dalam masyarakat Karo, misalnya respons terhadap kepemilikan rumah baru, pesta panen atau kerja tahun, kematian cawir metua, dan masalah-masalah lainnya. Universitas Sumatera Utara

1.5.1.5 Struktur melodi

Yang dimaksud dengan struktur melodi, adalah terdiri dari dua kata yaitu struktur dan melodi. Yang dimaksud struktur dalam tulisan ini adalah bangunan teoretis yang terdiri atas unsur-unsur yang berhubungan satu sama lain dalam satu kesatuan. Struktur ini bisa dikaitkan dengan pengertian struktur sosial atau struktur masyarakat. Begitu juga dengan struktur gedung atau bangunan. Struktur juga bermakna sebagai bangunan bisa saja bangunan musik, bangunan sejarah, bangunan tari, bangunan atom, dan lain-lain. Atau bisa juga sebagai kerangka yang membentuk bidang-bidang apa saja. Misalnya kerangka karangan, kerangka layang-layang, dan seterusnya Poerwadarminta, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005. Dalam kaitannya dengan tulisan ini, struktur yang dimaksud adalah merujuk kepada struktur melodi. Struktur ini terdiri dari unsur-unsur: tangga nada, wilayah nada, nada dasar, formula melodi, interval yang digunakan, nada yang digunakan, pola-pola kadensa, dan kontur melodi.

1.5.1.6 Makna teks

Kemudian yang dimaksud dengan teks atau lirik adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, misalnya kutipan dari Kitab Suci untuk pangkal ajaran atau alasan, serta bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dan sebagainya Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 2005. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka yang dimaksud dengan teks adalah lirik yang disajikan dalam bentuk nyanyian tradisional Karo Universitas Sumatera Utara yang disebut katoneng-katoneng. Lirik lagu ini memiliki makna-maknanya yang dapat diungkap melalui latar belakang kebudayaan Karo. Makna-makna tersebut ada yang bersifat makna sesungguhnya yaiu makna denotatif, tetapi juga mengandung makna yang lebih dalam dan holistik, yaitu makna konotatifnya. Makna-makna inilah yang kemudian dianalisis dan ditafsir dalam tesisi ini.

1.5.2 Teori

Teori yang dijadikan sebagai landasan dalam kerja ilmiah adalah suatu upaya yang dilakukan peneliti untuk menerangkan, menggambarkan, dan menganalisis suatu fenomena tertentu atau suatu pemikiran untuk menerangkan bagaimana suatu peristiwa baiik alam atau kemasyarakatan terjadi. Teori merupakan seperangkat pernyataan atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang menerangkan fenomena tertentu Lauer, 2001:35. Dalam kaitannya dengan fokus penelitian ini yaitu, analisis terhadap struktur melodi dan makna teks katoneng-katoneng dalam upacara cawir metua dalam kebudayaan Karo, maka dibutuhkan landasan teori yang tepat, sesuai dengan fenomena yang diamati. Adapun teori-teori yang digunakan dalam rangka penelitian yang kemudian dituliskan dalam bentuk tesis ini, dapat diuraikan sebagai berikut.

1.5.2.1 Teori fungsionalisme

Untuk mengkaji fungsi nyanyian katoneng-katoneng khusus pada upcara cawir metua dalam kebudayaan Karo, penulis menggunakan teori dalam disiplin Universitas Sumatera Utara antropologi yang disebut fungsionalisme. Teori ini dalam ilmu antopologi mulai dikembangkan oleh seorang pakar yang sangat penting dalam sejarah teori antropologi, yaitu Bronislaw Malinowski hidup tahun1884-1942. Malinowski lahir di Cracow, Polandia, sebagai putra keluarga bangsawan Polandia. Ayah beliau adalah seorang profesor dalam ilmu sastra Slavik. Olehkarena itu tidaklah mengherankan jikalau Malinowski mendapatkan pendidikan yang kelak memberikannya suatu kerja akademis juga. Pada tahun 1908 beliau lulus dari Fakultas Ilmu Pasti dan Alam dari Universitas Cracow. Yang menarik, selama kajiannya ia gemar membaca buku mengenai folklor dan dongeng-dongeng rakyat, sehingga ia menjadi tertarik kepada ilmu psikologi. Dia kemudian belajar psikologi kepada Profesor W. Wundt, di Leipzig, Jerman. Perhatiannya terhadap folklor menyebabkan dia membaca buku J.G. Frazer, bertajuk The Golden Bough, mengenai ilmu ghaib, yang menyebabkannya tertarik kepada ilmu etnologi. Dia melanjutkan pelajarannya ke London School of Economics. Namun karena di Perguruan Tinggi itu tidak ada ilmu folklor atau etnologi, maka dia memilih ilmu yang paling dekat kepada keduanya, yaitu ilmu sosiologi empiris. Gurunya dalam ilmu etnologi, adalah C.G. Seligman. Pada tahun 1916 dia mendapat gelar doktor dalam ilmu itu, dengan menyerahkan dua buah karangan sebagai pengganti disertasi, yaitu: a The Family among the Australian Aborigines 1913 dan b The Native of Mailu 1913. Kemudian pada tahun 1914 dia berangkat ke Pulau Trobiand di utara Kepulaun Massim, sebelah tenggara Papua Nugini, untuk melakukan penelitian. Selepas perang Universitas Sumatera Utara dunia pertama pada tahun 1918, dia pergi ke Inggris karena mendapat pekerjaan sebagai pembantu ahli di London School of Economics. Dia mulai mengembangkan suatu kerangka teori baru untuk menganalisis fungsi dari kebudayaan manusia, yang disebutnya dengan teori fungsional tetang kebudayaan, atau a functional theory of culture. Dia kemudian mengambil keputusan untuk menetap di Amerika Serikat, ketika ditawari untuk menjadi profesor antropologi di University Yale pada tahun 1942. Namun pada tahun itu juga dia meninggal dunia. Buku mengenai teori fungsional yang baru yang telah ditulisnya, diredaksi oleh muridnya, H. Cairns, dan menerbitkannya dua tahun selepas itu Malinowski, 1944. Pemikiran Malinowski mengenai syarat-syarat metode etnografi berinteraksi secara fungsional yang dikembangkannya dalam kuliahnya. Isinya adalah tentang metode-metode penelitian lapangan. Dalam masa penulisan ketiga buku etnografi mengenai kebudayaan Trobiand selanjutnya, menyebabkan konsepnya mengenai fungsi sosial adat, perilaku manusia, dan institusi-institusi sosial menjadi lebih mantap. Ia membedakan fungsi sosial dalam tiga tingkat abstraksi Kaberry, 1957:82, yaitu: 1 Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi pertama mengenai pengaruh atau kesannya terhadap adat, perilaku manusia dan institusi sosial yang lain dalam masyarakat; 2 Fungsi sosial dari suatu adat, institusi sosial, atau unsur kebudayaan pada tingkat abstraksi kedua mengenai pengaruh atau kesannya terhadap Universitas Sumatera Utara keperluan suatu adat atau institusi lain untuk mencapai maksudnya, seperti yang dikonsepsikan oleh warga masyarakat yang terlibat; 3 Fungsi sosial dari suatu adat atau institusi sosial pada tingkat abstraksi ketiga mengenai pengaruh atau kesannya terhadap keperluan mutlak untuk berlangsungnya secara terintegrasi dari suatu sistem sosial tertentu. Malinowski juga mengemukakan teori fungsional tentang kebudayaan. Kegemaran Malinowski terhadap ilmu psikologi juga tampak ketika dia mengunjungi University Yale di Amerika Serikat selama setahun, pada tahun 1935. Di sana dia bertemu dengan ahli-ahli psikologi seperti J. Dollard, yang ketika itu sedang mengembangkan serangkaian penelitian mengenai proses belajar. Menurut sarjana psikologi dari Yale itu, dasar dari proses belajar adalah tidak lain adalah ulangan-ulangan kepada reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala dari luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu keperluan naluri organisme tadi dapat dipuaskan. Teori belajar, atau learning theory, ini sangat menarik perhatian Malinowski, sehingga dipakainya untuk memberi dasar pasti bagi pemikirannya terhadap hubungan-hubungan berfungsi dari unsur-unsur sebuah kebudayaan. Seperti yang telah diuraikan di atas, ketika Malinowski julung kali menulis karangan-karangannya tentang berbagai aspek masyarakat Trobiand sebagai satu kesatuan, dia tidak sengaja mengenalkan pandangan yang baru dalam ilmu antropologi. Namun reaksi dari kalangan ilmu itu memberinya dorongan untuk mengembangkan suatu teori tentang fungsi dari unsur-unsur kebudayaan Universitas Sumatera Utara manusia. Dengan demikian, dengan menggunakan learning theory sebagai dasar, Malinowski mengembangkan teori fungsionalismenya, yang baru terbit sesudah ia meninggal dunia. Bukunya yang berjudul A Scientific Theory of Culture and Other Essays 1944. Dalam buku ini Malinowski mengembangkan teori tentang fungsi unsur-unsur kebudayaan yang sangat kompleks. Namun inti dari teori itu adalah pendirian bahwa segala kegiatan kebudayaan itu sebenarnya bermaksud memuaskan satu rangkaian keperluan naluri makhluk manusia yang berhubungan dengan seluruh kehidupannya. Kesenian sebagai contoh salah satu usur kebudayaan, terjadi karena manusia ingin memuaskan keperluan nalurinya akan keindahan. Ilmu juga timbul karena keperluan naluri manusia untuk ingin tahu. Namun banyak juga kegiatan kebudayaan terjadi karena kombinasi dari beberapa macam keperluan itu. Dengan pemahaman ini, kata Malinowski, seseorang peneliti bisa mengkaji dan menerangkan banyak masalah dalam kehidupan masyarakat dan kebudayaan manusia. Menurut penjelasan Ihromi 1987:59-61 Malinowski mengajukan sebuah orientasi teori yang dinamakan fungsionalisme, yang ditulis Malinowski dalam artikel berjudul “The Group and the Individual in Functional Analysis” dalam jurnal American Journal of Sociology, jilid 44 1939, hal. 938-964. Dalam artikel ini Malinowski beranggapan bahwa semua unsur kebudayaan bermanfaat bagi masyarakat. Dengan kata lain, pandangan fungsionalisme terhadap kebudayaan menyatakan bahwa setiap pola kelakuan telah menjadi kebiasaan. Setiap kepercayaan dan sikap yang merupakan bagian dari kebudayaan dalam Universitas Sumatera Utara suatu masyarakat, yang memenuhi beberapa fungsi mendasar dalam kebudayaan bersangkutan. Menuurut Malinowski, fungsi dari satu unsur budaya adalah kemampuannya untuk memenuhi beberapa keperluan dasar atau beberapa keperluan yang timbul dari keperluan dasar yaitu keperluan sekunder dari satu entitas kepada sebuah masyarakat. Keperluan pokok atau dasar manusia adalah seperti makanan, reproduksi melahirkan keturunan, merasa enak badan bodily comfort, keamanan, kesantaian, gerak, dan pertumbuhan. Beberapa aspek dari kebudayaan memenuhi keinginan-keinginan dasar itu. Untuk memenuhi keinginan dasar ini, maka muncul keinginan jenis kedua derived needs, keinginan sekunder yang juga harus dipenuhi oleh kebudayaan. Misalnya unsur kebudayaan yang memenuhi keinginan terhadap makanan menimbulkan keinginan sekunder yaitu keinginan untuk kerjasama dalam mengumpulkan makanan atau untuk produksi makanan. Untuk ini masyarakat mengadakan bentuk-bentuk organisasi politik dan pengawasan sosial yang akan menjamin kelangsungan kewajiban kerjasama itu. Sehingga menurut pandangan Malinowski mengenai kebudayaan, semua unsur kebudayaan akhirnya dapat dipandang sebagai hal yang memenuhi keinginan dasar para warga masyarakat. Malinowski percaya bahwa pendekatan fungsional mempunyai sebuah nilai praktis yang penting. Pengertian nilai praktis ini dapat dimanfaatkan oleh mereka yang bergaul dengan masyarakat tradisional primitif. Dia menjelaskan bahwa nilai yang praktis dari teori fungsionalisme adalah bahwa teori ini mengajar kita tentang kepentingan relatif dari berbagai kebiasaan yang beraneka Universitas Sumatera Utara ragam, bagaimana kebiasaan-kebiasaan itu tergantung satu dengan yang lainnya, bagaimana harus dihadapi oleh para penyiar agama, oleh penguasa kolonial, dan oleh mereka yang secara ekonomi mengeksploitasi perdagangan dan tenaga orang-orang masyarakat primitif Malinowski, 1927:40-41. 10 Selain Malinowski, pakar teori fungsionalisme dalam ilmu antropologi yang lain ialah Arthur Reginald Radcliffe-Brown. Seperti Malinowski, dia mendasarkan teorinya mengenai perilaku manusia pada konsep fungsionalisme. Namun berbeda dengan Malinowski, Radcliffe-Brown merasa bahwa berbagai aspek perilaku sosial, bukanlah berkembang untuk memuaskan keinginan individual, tetapi justru timbul untuk mempertahankan struktur sosial masyarakat. Struktur sosial sebuah masyarakat adalah keseluruhan jaringan dari hubungan- hubungan sosial yang ada Radcliffe-Brown, 1952. Sebuah contoh nyata pendekatan yang bersifat struktural-fungsional dari Radcliffe-Brown adalah kajiannya mengenai cara penanggulangan ketegangan sosial yang terjadi di antara orang-orang yang terikat karena faktor perkawinan, yang terdapat dalam berbagai masyarakat yang berbeda. Untuk mengurangi kemungkinan ketegangan di antara orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan karena perkahwinan, misalnya orang beripar atau berbesanan. Dia 10 Keberatan utama terhadap teori fungsionalisme Malinowski adalah bahwa teori ini tidak dapat memberi penjelasan mengenai adanya aneka ragam kebudayaan manusia. Keinginan- keinginan yang didefinisikannya, sedikit banyak bersifat universal, seperti keinginan akan makanan yang semua masyarakat harus memikirkannya kalau ingin hidup terus. Jadi teori fungsionalisme memang dapat menerangkan bahwa semua masyarakat menginginkan pengelolaan soal mendapatkan makanan, namun teori ini tidak dapat menjelaskan kepada kita mengapa setiap masyarakat berbeda pengelolaannya mengenai pengadaan makanan mereka. Dengan kata lain, teori fungsionalisme tidak menerangkan mengapa pola-pola kebudayaan tertentu timbul untuk memenuhi suatu keinginan manusia, yang sebenarnya bisa saja dipenuhi dengan cara yang lain, yang dapat dipilih dari sejumlah pilihan dan mungkin cara itu lebih mudah. Universitas Sumatera Utara menjelaskan bahwa masyarakat bisa melakukan satu dari dua cara sebagai berikut: pertama dibuat peraturan yang ketat yang tidak membuka kesempatan bertemu muka antara orang yang mempunyai hubungan ipar atau mertua seperti halnya pada suku Indian Navajo di Amerika Serikat, yang melarang seorang menantu laki-laki bertemu muka dengan mertua perempuannya. Kemudian, yang kedua, hubungan itu dianggap sebagai hubungan berkelakar seperti yang terdapat pada orang-orang Amerika kulit putih yang mengenal banyak lelucon tentang ibu mertua. Dengan begitu, konflik di antara anggota keluarga dapat dihindarkan— dan norma budaya, yaitu aturan ketat pada orang Navaho dan lelucon pada orang kulit putih Amerika, berfungsi dalam menjaga kesatuan sosial masyarakatnya. Satu masalah terbesar dari pendekatan teori fungsionalisme struktural adalah sukarnya menentukan apakah suatu kebiasaan tertentu pada kenyataannya berfungsi dalam arti membantu pemeliharaan sistem sosial masyarakat. Dalam biologi, bagaimana sumbangan dari suatu organ terhadap kesehatan tubuh manusia atau kehidupan hewan dapat dinilai dengan mencoba menghilangkan organ tersebut misalnya. Namun kita tidak bisa meniadakan sesuatu unsur kebudayaan masyarakat untuk melihat apakah unsur itu memberi jasa dalam pemeliharaan struktur masyarakatnya. Mungkin saja suatu kebiasaan tertentu tidak akan ada kaitan apa pun dengan pemeliharaan struktur masyarakat atau mungkin bahkan merugikan. Kita tidak bisa mengandaikan bahwa semua kebiasaan dalam sebuah masyarakat memang berfungsi hanya dengan melihat kenyataan bahwa masyarakat pada masa itu ada dan beraktivitas. Seandainya pun Universitas Sumatera Utara kita berhasil menilai apakah sebuah kebiasaan tertentu berfungsi, namun orientasi teoretis ini tidak akan berhasil memberikan penjelasan mengapa suatu masyarakat memilih cara pemenuhan keperluan struktural sosial yang tertentu sifatnya. Tentu saja sebuah masalah tertentu tidak semestinya dipecahkan menuurut cara tertentu namun masih diperlukan penjelasan mengapa dipilih satu cara dari sekian cara atau alternatif yang ada. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, khususnya yang mengkaji fungsi katoneng-katoneng yang digunakan pada upacara cawir metua dalam budaya Karo, maka teori fungsionalisme digunakan untuk mengkaji bagaimana fungsi tersebut memenuhi keinginan masyarakat Karo. Berdasar kepada teori fungsionalisme Malinowski, katoneng-katoneng timbul dan berkembang karena diinginkan oleh masyarakatnya, untuk menyampaikan berbagai-bagai keperluan sosial, seperti pengabsahan upacara, memberikan hiburan, menunjukkan status sosial, integrasi masyarakat dan lainnya. Katoneng-katoneng ini memiliki fungsi-fungsi sosiobudaya. Sementara menurut Radcliffe-Brown fungsi katoneng-katoneng adalah untuk memenuhi sistem sosial yang terintegrasi, yang akhirnya akan membentuk harmoni sosial. Melalui katoneng-katoneng setiap pendukungnya adalah menempatkan diri pada struktur sosial yang dibangunkan bersama-sama. Dalam lagu ini terkandung ajaran-ajaran dan norma-norma sosial adat Karo yang dipegang kukuh oleh orang Karo dari generasi ke generasi. Struktur sosial masyarakat Karo ini termasuk di dalamnya aspek hubungan rakut sitelu, di antara Universitas Sumatera Utara yang tua dan muda, begitu juga pertuturan yang disebut tutur siwaluh, serta sistem klen yang disebut merga silima.

1.5.2.2 Teori weighted scale

Dalam rangka menganalisis struktur melodi katoneng-katoneng yang digunakan dalam upacara kematian cawir metua dalam kebudayaan masyarakat Karo, penulis menggunakan teori weighted scale bobot tangga nada, yang ditawarkan oleh Malm 1977. Pada intinya teori weighted scale ini adalah bertujuan untuk menganalisis delapan unsur yang terdapat dalam melodi seuatu musik, yaitu: 1 tangga nada, 2 nada dasar, 3 interval, 4 pola-pola kadens, 5 formula melodi, 6 kontur, 7 wilayah nada, dan 8 distribusi nada. Tangga nada yang dimaksud dalam teori ini adalah nada-nada yang digunakan, termasuk juga oktaf-oktafnya dalam rangka membangun sebuah melodi. Selanjutnya yang dimaksud dengan nada dasar, adalah pusat dari tonalitas atau modalitas melodi tersebut dengan berbagai cirinya. Kemudian yang dimaksud dengan interval adalah jarak antara nada-nada dalam rangka membangun suatu melodi utuh nyanyian, yang di dalam etnomusikologi biasanya disebut dengan berbagai istilah seperti: prima murni, sekunde minor, sekunde mayor, kuart murni, kuint murni, sekata minor, sekta mayor, septim minor, septim mayor, oktaf, kuint diminished, dan lain-lainnya. Sementara itu yang dimaksud dengan pola-pola kadensa adalah beebrapa nada akhir di ujung frase-frase melodi atau juga ujung lagu tersebut. Selanjutnya Universitas Sumatera Utara yang dimaksud dengan formula melodi, adalah bagaimana komposisi melodi tersebut dibangun oleh motif, frase, dan bentuknya. Ini dapat dideskripsikan sebagai benmtuk tunggal, binari, ternari, dan seterusnya. Kemudian yang dimaksud dengan kontur adalah garis lintasan melodi baik secara umum maupun rinci, yang dapat dideskripsikan dengan istilah-istilah sseperti: pendulum, berjenang, menaik, menurun, rata, dan sejenisnya. Kemudian yang dimaksud dengan wilayah nada adalah jarak yang diukur dengan satuan laras atau sent antara nada terendah dengan nada tertinggi di dalam sebuah lagu. Selepas itu, yang dimaksud dengan distribusi nada adalah bagaimana masing-masing nada itu menyebar dan menyusun suatu melodi lagu secara utuh, biasanya dideskripsikan dengan cara kuatitatif, jumlah masing-masing nada tersebut disertai dengan jumlah durasinya. Demikian kira-kira unsur-unsur melodi yang dianalisis melalui teori weighted scale ini.

1.5.2.3 Teori semiotik

Untuk mengkaji makna teks katoneng-katoneng ini, maka penulis menggunakan teori semiotika. Pada dasarnya teori ini hendak menunjukkan bahwa manusia adalah makhluk yang senantiasa berfikir dengan tanda-tanda dan sekaligus sebagai makhluk pencipta tanda-tanda. Potensi tanda-tanda itu sendiri baik terdapat diluar diri manusia maupun pada dirinya sendiri. Apakah bahasanya lisan maupun tulisan, atau gerak-geriknya, demikian pula dengan warna, garis, bentuk, dan suara di sekitar kita semuanya dapat dikatakan tanda., sejauh itu telah Universitas Sumatera Utara diberi arti atau ditempatkan pada ruang tertentu. Dikatakan demikian, karena tidak secara begitu saja segala sesuatu langsung menunjukkan suatu tanda tertentu. Sesuatu yang masih potensial sebagai tanda tentu saja belum menunjuk pada suatu pengertian. Bahwa sesuatu itu menjadi jelas-jelas tanda hanya sejauh ketika sesuatu itu dikomunikasikan Tommy F Awuy, 2003. Dengan demikian, apa yang ingin dimaksud dengan analisis semiotik di atas ini adalah yang berhubungan dengan dimensi komunikasi. Analisis semiotik komunikasi disini bermaksud untuk mencari proses pemahaman antara pihak yang memberi tanda dan pihak yang menerima tanda, dengan tidak atau melewati sebuah medium tertentu. Semiotika atau semiologi adalah kajian terhadap tanda-tanda sign serta tanda-tanda yang di gunakan dalam prilaku manusia. Dua tukoh perintis semiotika adalah Ferdinand De Sausurre seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders filosof dari Amerika Serikat. Menurut pakar linguistik, Ferdinand De Sausurre, semiotika adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.“ Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahsasa itu sendiri dari sebuah imaji bunyi sound image atau signifier yang berhubungan dengan konsep signifed. Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dati dari 3 bagian yang saling berkaitan: 1 respresentatum, 2 pengamat interpretant, dan 3 objek. Dalam kajian kesenian kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha Universitas Sumatera Utara kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Sedangkan secara saintifik, istilah semiotika berasal dari perkataan Yunani semion. Dalam kaitannya teori semiotika untuk mengkaji teks lagu katoneng- katoneng, maka penulis menutip pendapat van Zoest 1996:11. Menurutnya di dalam sebuah teks terdapat ikon, apaila adanya persamaan suatu tanda tekstual dengan acuannya. Segalanya mempunyai kemungkinan untuk dianggap sebagai suatu tanda. Penyusunan kalimat-kalimat dalam sajak keteraturan suku kata, pengulangan fonetik, ataupun hanya wujud satu susunan tipografi tertentu adalah tanda: penanda “ini adalah sebuah sajak.” Adanya kalimat yang panjang-panjang adalah tanda. Banyaknya kata sifat, pergantian vokalisasi dalam sebuah cerita, panjang pendeknya sebuah teks, semua itu bisa dianggap sebagai tanda. Semua yang dapat diamati dan diidentifikasikan dapat menjadi tanda, baik hal yang sangat kecil seperti atom, maupun yang bersifat kompleks karena terdiri atas sejumlah besar tanda lainnyayang lebih kecil. Pada kekhasan teks hanya tampak setelah dilakukan analisis struktural yang sangat mendalam. Selanjutnya dalam rangka kerja dengan teori semiotika peneliti hendaklah menginterpretasi menafsir tanda dalam teks. Suatu gejala struktural, baik yang muncul dalam teks pada tingkatan mikrostruktural dalam kalimat atau sekuen maupun pada tingkatan makrostruktural teks yang lebih luas, selalu dapat dianggap sebagai tanda. Terpulang kepada pembuat analisis teks, untuk memutuskan apa atau apa-apa saja yang ingin dipilihnya. Selain dari itu, jika ia memutuskan menganggap tanda yang dipilihnya sebagai ikon, konsep ikonositas Universitas Sumatera Utara dapat dipakainya sebagai alat heuristis. Maksudnya alat itu memungkinkannya mengenali suatu makna yang mungkin akan tetap tersembunyi kalau alat itu tidak dipergunakan.

1.6 Tinjauan Pustaka

Untuk menghindari repetisi kajian yang sama, baik dalam waktu penelitian maupun fokus yang sama, maka perlu dilakukan serangkaian studi terdahulu. Studi ini adalah yang terkait dengan kebudayaan Karo secara umum, musik Karo, baik itu musik instrumental maupun musik vokalnya, tari Karo, sastra Karo, dan sejenisnya. Tulisan-tulisan tentang topik tersebut, sebahagian besar adalah berupa skripsi dan juga tesis di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Sastra kini menjadi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, Medan. Dalam bentuk skripsi ditulis oleh para calon sarjana etnomusikologi, dan juga tesis oleh para dosen dan calon magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, baik itu berupa kajian tekstual, musikal, upacara, oraganoligis, di antaranya adalah sebagai berikut. 1 Kumalo Tarigan, menulis skripsi sarajana pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 1985. Kumalo Tarigan, dalam skripsinya ini mengkaji tentang gendang telu sedalanen dalam konteks kebudayaan Karo. Dalam skripsi ini Kumalo Tarigan mengkaji ensambel gendang telu Universitas Sumatera Utara sendalanen Karo secara etnomusikologis dengan pendekatan fungsional dan struktural. 2 Perikuten Tarigan, juga menulis sebuah skripsi sebagai salah satu syarat dalam menyelesaikan studi pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun1986. Perikuten Tarigan mengkaji tentang gendang lima sedalanen sebagai musik Tradisi Karo. Agak berbeda dengan Kumalo Tarigan, penulis skripsi ini memfokuskan perhatian pada ensambel gendang lima sendalanen yang jumlah alat musiknya lebih besar, namun dengan akar sejarah yang sama. Kedua ensambel tersebut memiliki hubungan fungsional dan struktural. Perikuten melihat ensambel gendang lima sendalanen juga melalui pendekatan fungsional dan struktural. 3 Rini Rumiyanti, menulis sebuah skripsi sarjana pada Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU medan, tahun 1988. Beliau melakukan studi deskripsi pemakaian alat musik surdam bagi guru dalam pengobatan tradisional Karo. Skripsi ini selain melakukan pendekatan struktural juga mengkaji sistem kosmologi alam di dalam kebudayaan masyarakat Karo. 4 Jamal Karo-Karo Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1991 mengkaji tentang studi deskriptif keteng-keteng sebagai instrumen tradisional Karo. Penulis skripsi ini melakukan deskripsi organologis dan akustik terhadap alat musik keteng-keteng Karo dengan pendekatan etnomusikologis, yaitu menggunakan teori klasifikasi Curt Sachs dan Hornbostel. Pendekatan Universitas Sumatera Utara organologis yang digunakan adalah struktural dan fungsional alat-alat musik. 5 Fariana, seorang etnomusikolog lulusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 1992 melakukan penelitian berupa deskripsi peranan gendang kulcapi dalam upacara erpangir ku lau di Berastagi. Di dalam skripsi ini, Fariana mendeskripsikan upacara erpangir ku lau yang terjadi di Berastagi pada tahun 1991. Selanjutnya ia mentranskripsi beberapa lagu dalam gendang kulcapi yang digunakan dalam upacara tersebut. Sama dengan para seniornya, Fariana melakukan pendekatan fungsionalisme dan struktural. 6 Selain itu, etnomusikolog Sinar, Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1992, dalam skripsinya mengkaji tentang studi deskriptif musik vokal Gendang Keramat dalam upacara erpangir ku lau. Sinar melakukan pendekatan deskriptif terhadap upacara erpangir ku lau, dan menganalisis salah satu musik vokal yang disajikan oleh dukun di Tanah Karo yang disebut dengan Gendang Keramat. 7 Penulis budaya musikal Karo berikutnya adalah Julianus Limbeng, Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU,1994. Beliau mengkaji tentang aspek tekstual dan musikal erpola pada masyarakat Karo. Dalam skripsi ini Julianus Limbeng mengkaji makna syair yang dinyanyikan oleh penyadap enau untuk diambil niranya dalam kegiatan erpola di Tanah Karo. Teksnya penuh dengan makna-makna simbolis. Selain itu juga Julianus Limbeng Universitas Sumatera Utara mentranskripsi nyanyian erpola dan menganalisisnya dengan teori bobot tangga nada weighted scale. 8 Ivy Irawaty Daulay, menulis skripsi sarjana di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 1995. Dalam skripsinya beliau mengkaji tentang studi organologis surdam rumaris pada masyarakat Karo di Berastagi. Pada skripsinya ini Ivy Irawaty Daulay banyak melakukan deskripsi organologi dan akustik terhadap salah satu alat musik tradisional Karo yang disebut dengan surdam rumaris. 9 Perdata Peranginangin, saat menyelesaikan studi di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 1999 melakukan kajian organologis terhadap alat musik gung dan penganak pada masyarakat Karo, dengan studi kasus teknik pembuatan gung dan penganak oleh Lebut Sembiring. Skripsi ini amatlah menarik, karena biasanya mahasiswa etnomuskologi USU lebih senang mengkaji aspek musikal dan organologis alat-alat musik pembawa melodis dan ritmis. Sedangkan dalam skripsi ini, penulisnya melakukan kajian organologis terhadap alat musik yang membawa fungtuasi ritmik. Dari skripsi ini diketahui pula bahwa orang Karo masih memiliki pandai besi pembuat gung dan penganak yaitu Bapak Lebut Sembiring. 10 Penulis berikutnya adalah Popo Marince di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, tahun1999. Ia melakukan studi deskripsi dan musikologis upacara ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup pada masyarakat Karo di Desa Kutambelin Kecamatan Simpang Universitas Sumatera Utara Empat Karo. Skripsi ini sebagai mana yang termaktub pada judulnya menitikberatkan kepada kajian ritual pajuhpajuhen nini lau tungkup dengan pendekatan teori upacara dan fungsional. 11 Seterusnya, Bahtiar Tarigan, ketika menyelesaikan studinya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun1999, beliau melakukan kajian tekstual dan musikal mangmang dalam upacara perumah begu di Desa Tanah Lapang, Kecamatan Bandar, Kabupaten Langkat. Skripsi ini juga memberikan gambaran mendalam tentang bagaimana salah satu upacara tradisi Karo yang disebut perumah begu yaitu berkaitan dengan alam gaib. 12 Roy Jimny N. Sebayang, dalam menulis skripsi sarjananya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 2004, melakukan analisis tentang kendang keyboard dan hubungannya dengan perilaku sosial masyarakat Karo dalam upacara adat erdemu bayu di Kota Medan. Skripsi ini juga berisikan data etnografis tentang bagaimana perubahan kebudayaan yang terjadi dalam kebudayaan masyarakat Karo dari alam pedesaan ke alam perkotaan, dengan memfokuskan perhatian pada gendang keyboard Karo dalam salah satu upacara adatnya yaitu erdemu bayu. 13 Roberta Sinurat, yang juga warga Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2004, melakukan studi deskriptif adu perkolong-kolong pada upacara gendang guro-guro aron di Jambur Namaken and Son Medan. Universitas Sumatera Utara Skripsi ini berbentuk deskripsi perlombaan antara penyanyi tradisi Karo yang disebut perkolong-kolong dan upacara gendang guro-guro aron. Deskripsinya detil dan menarik untuk dibaca dan menambah wawasan pembaca. 14 Memasuki era dasawarsa 2010, Saidul Irfan Hutabarat, dalam rangka menyelesaikan studinya di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, 2010, menulis skripsi yang berisi tentang peranan Jasa Tarigan dalam perkembangan ensambel musik tradisi Karo. Skripsi ini memfokuskan perhatian pada biografi musikal salah seorang pemusik kenamaan Tanah Karo yaitu Jasa Tarigan. Yang paling menonjol adalah peranan Jasa Tarigan sebagai tokoh perubahan musik Karo dari masa tradisi ke masa transisi. Jasa Tarigan jugalah yang awal membawa alat musik keyboard ke dalam kehidupan musik Karo. 15 Tri Syahputra Sitepu, di Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra USU, tahun 2010, melakukan penelitian tentang studi deskriptif penggabungan alat musik kibod dengan gendang lima sedalanen pada upacara perayaan hari ulang tahun Karo Mergana Ras Anak Beruna di Cinta Damai, Kecamatan Medan Helvetia, Kota Medan. Di dalam skripsi ini Tri Syahputra Sitepu mendeskripsikan bagaimana proses penggabungan atau akulturasi antara alat musik kibod yang merupakan ikon musik modern dunia dengan ensambel tradisional Karo yaitu gendang lima sedalanen. Menurutnya terjadi adaptasi yang saling melengkapi dalam proses Universitas Sumatera Utara akulturasu tersebut. Di sisi lain, masuknya kibod adalah sebagai rangka “pemodernan” musik Karo yang tidak anti kepada perubahan zaman. 16 Selain itu, Agus Tarigan pada Prodi Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya USU, tahun 2011, melakukan penelitian yang ditulis ke dalam bentuk skripsi yaitu tentang penggunaan dan fungsi gendang keyboard dalam gendang guro-guro aron di Desa Suka Dame. Skripsi ini menurut penulis lebih menekankan kepada pendekatan fungsionalisme. Agus Tarigan menguraikan sejauh apa guna dan fungsi gendang keyboard dalam kebudayaan masyarakat Karo khususnya di Desa Suka Dame. 17 Perikuten Tarigan, yang boleh dikatakan sebagai etnomusikolog dan pengkaji budaya Karo, dalam rangka menyelesaikan studinya, menulis tesis Program Magister, Program Studi Kajian Budaya Pasca Sarjana Universitas Udayana, Denpasar, tahun 2004. Di dalam tesis ini, Perikuten Tarigan membahas tentang perubahan alat musik dalam kesenian tradisional Karo. Tesis ini berisi kajian terhadap peubahan dan kontinuitas alat musik tradisional Karo dari masa ke masa. Perikuten Tarigan melihat perubahan ini dari sisi dalam dan luar budaya Karo yang mempengaruhinya. Selain itu, Perikuten Tarigan juga melihat perubahan musik yang terjadi juga selaras dengan perubahan konsep-konsep budaya dalam masyarakat Karo. 18 Selanjutnya studi musik Karo di peringkat magister ini, dilakukan oleh Kumalo Tarigan, dan diselesaikan penulisannya tahun 2006. Dalam Universitas Sumatera Utara tesisnya Kumalo Tarigan menganalisis mangmang salah satu genre nyanyian ritual Karo, baik itu teks seni kata maupun melodinya. Di dalam tesis ini banyak diuraikan tentang praktik-praktik perdukunan di Tanah Karo yang menggunakan aspek-aspek musikal. Fungsi utama nyanyian ritual ini adalah seperti memanggil roh mendiang dukun. 19 Selain itu kajian yang juga dekat dengan focus kajian penulis adalah yang dilakukan oleh Yosherman Ginting, dalam skripsinya di Jurusan Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang berjudul Kateneng-kateneng Nyanyian Tradisional Masyarakat Karo Langkat, di Dusun Deleng Payong, Kecamatan Salapian, Kabupaten Langkat: Suatu Kajian Tekstual dan Musikologis, tahun 1995. Dalam skripsi sarjana etnomusikologi ini, Yosherman Ginting menganalisis kateneng-kateneng dalam konteks upacara mengket rumah mbaru memasuki rumah baru, khususnya di Dusun Deleng Payong Langkat. Ia mentranskripsi dan menganalisis teks serta melodi kateneng-kateneng yang utamanya dilantunkan oleh Bapak Ralinta Sitepu. 20 Kajian yang paling dekat dengan fokus kajian penulis adalah penelitian dalam rangka penulisan skripsi sarjana oleh Yunika Margaretha Ginting, tahun 2012. Judul skripsinya adalah: Analisis Struktur Musikal dan Fungsi Katoneng-katoneng dalam Upacara Cawir Metua pada Masyarakat Karo di Kecamatan Pancurbatu. Dalam skripsi ini dianalisis melodi dan teks katonengh-katoneng dalam konteks upacara cawir metua. Katoneng- Universitas Sumatera Utara katoneng tersebut disajikan oleh perkolong-kolong Ramlah Sitepu dan Jaya Ginting. 21 Tesis magister Penciptaan dan Pengkajian Seni, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara, yang bertemakan katoneng-katoneng adalah yang ditulis oleh Anton Sitepu pada tahun 2015 ini. Ia menulis tesis yang berjudul Nyanyian Katoneng-katoneng dalam Upacara Mengket Rumah pada Masyarakat Karo: Kajian Semiotik dan Musikologi. Tesis ini mengkaji katoneng-katoneng dalam konteks upcara mengeket rumah dengan dua kajian utama yaitu semiotik liriknya dan struktur musik, khusus melodinya. Dua buah skripsi yaitu Yosherman Ginting 1995 dan Yunika Martgaretha Ginting 2012, serta satu tesis magister yaitu Anton Sitepu 2015 di atas, memiliki berbagai kesamaan kajian dan tentu saja perbedaan-perbedaan dengan yang penulis lakukan. Yang dilakukan Yosherman Ginting adalah pada tahun 1995, yang telah berjarak 20 tahun dengan masa studi yang penulis lakukan. Tentu saja banyak hal yang berubah dan berbeda dalam masa sekian lama itu. Selain itu, yang dilakukan Yosherman adalah pada masyarakat Karo Jahe di wilayah Kabupaten langkat, yang sedikit banyaknya berbeda dengan yang penulis lakukan ini, terfokus di wilayah Karo Gugung. Demikian pula perkolong-kolong penyanyi yang dijadikan fokus perhatian analisis juga berbeda. Universitas Sumatera Utara Kemudian yang diteliti dan ditulis dalam bentuk skripsi sarjana oleh Yunika Margaretha Ginting tahun 2012, adalah difokuskan kepada katoneng- katoneng pada upacara cawir metua di Pancurbatu, dari sisi fungsi dan struktur musikal. Persamaan dengan yang penulis kerjakan adalah, wilayah penelitian sama-sama pada kawasan Karo Gugung. Selain itu, katoneng-katoneng yang disajikan adalah dalam konteks upacara cawir metua. Namun yang berbeda dengan yang penulis kerjakan adalah tentu saja tingkat kedalaman kajian, yaitu apa yang ditulis Yunika Ginting baru tahapan skripsi untuk sarjana, sedangkan yang penulis lakukan adalah untuk peringkat magister, yang harus lebih dalam dan holistik. Selain itu perkolong-kolong yang dijadikan kajian adalah berbeda. Demikian juga tempat dan konteks diadakannya upacara cawir metua adalah beda tempat yaitu desa yang berbeda. Demikian pula kajian fungsi yang dilakukan Yunika Ginting lebih terfokus kepada penggunaan teori fungsi dari Merriam, sedangkan penulis lebih meluaskannya yaitu selain memakai teori fungsi Merriam, juga memakai teori Radcliffe-Brown dan Malinowski. Kemudian persamaan dan perbedaan kajian penulis dengan Anton Sitepu adalah sebagai berikut. Yang pertama, adalah perbedaan konteks. Anton Sitepu mengkaji katoneng-katoneng dalam konteks upacara mengekt rumah, sama seperti yang dilakukan Yosherman Ginting. Sementara itu yang penulis kerjakan adalah dalam konteks upacara cawir metua. Seterusnya yang membedakan kajian Anton Sitepu dengan penulis adalah fokus kajian melodi pada perkolong- kolong yang berbeda. Anton Sitepu tidak mengkaji secara mendalam fungsi Universitas Sumatera Utara katoneng-katoneng ini di dalam kebudayaan Karo, dan fungsi music dalam masyarakat ini tidak menjadi pokok permasalahan penelitian belaiu. Sementara penulis sebagaimana arahan Merriam adalah menyeimbangkan kajian struktural dengan kontekstualnya. Itulah yang membedakan kajian kami. Selain dari skripsi dan tesis, maka kajian kepustakaan lainnya adalah dengan membaca dan menerapkan berbagai isi buku-buku mengenai kebudayaan, kajian teks, dan semiotik. Di antara buku-buku itu adalah seperti yang diuraiakn berikut ini. 22 Buku Teori Budaya karangan David Kaplan dan Robert A. Manners 2002. Buku ini pada pada bab ketiga Tipe-tipe Teori Budaya sub bab ketujuh memuat tentang ideologi. Kaplan menggunakan istilah ideologi dengan pengertian yang netral dan tak bersifat menilai baik-buruk. Dalam sub bab kesembilan Kaplan mengungkapkan, bahwa karena sifatnya yang subjektif itu ideologi tidak dapat kita ketahui melalui pangamatan langsung. Ideologi harus disimpulkan dari sesuatu bentuk perilaku, yakni dari apa kata orang atau dari pengamatan atas orang-orang yang berinteraksi dalam berbagai sistem sosial. Folklor Indonesia karangan James Danandjaja 1986. Buku ini memuat tentang folklor yang ada di Indonesia. Folklor Indonesia disajikan dalam bentuk hakikat folklor, penelitian folklor di Indonesia, bentuk-bentuk folklor Indonesia, folklor sebagai lisan, dan folklor bukan lisan. Penulis memfokuskan perhatian Universitas Sumatera Utara pada folklor Indonesia yang berupa nyanyian rakyat yang tertulis dalam buku ini untuk referensi tesis ini. 23 Teori Interpretasi, Memahami Teks, Penafsiran, dan Metodologinya karangan Paul Ricoeur 2012. Buku ini menekankan pentingnya interpretasi untuk dapat memahami realitas dengan segala kompleksitasnya. Buku ini juga membantu kita untuk menjelajahi makna bahasa dengan seperangkat teori interpretasi yang terangkum dalam filsafat wacana. 24 Serba-Serbi Semiotika karangan Panuti Sudjiman dan Art van Zoest 1991. Buku ini berisi ulasan-ulasan tentang apa itu semiotika terutama yang digunakan di dalam disiplin ilmu linguistik dan sastra. Di dalamnya juga diberikan contoh analisis terhadap karya-karya satrawan Indonesia seperti Chairil Anwar. 25 Semiotic for Beginners karangan Paul Cobley dan Litza Jansz 2002. Buku ini berisi tentang identifikasi para ahli semiotika yang terkemuka dan karya-karya mereka. Semiotika dalam buku ini dipaparkan dengan konsep- konsep sederhana yang sebelumnya merupakan istilah-istilah yang pelik. Buku ini penulis jadikan sebagai pijakan untuk memepelajari betapa pentingnya tanda-tanda dan sistem penandaan bagi keberadaan manusia. 26 Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya, dan Matinya Makna karangan Yasraf Amir Piliang 2012. Buku ini lebih banyak menyoroti semiotika dan post-modernisme, dalam konteks aliran pemikiran, yang juga Universitas Sumatera Utara dihubungkan dengan perkembangan teori-teori dalam dunia ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu budaya.

1.7 Metode Penelitian