Katoneng-katoneng oleh Sumpit br Ginting Makna Teks Katoneng-ketoneng untuk Sembuyak

sifatnya rahasia dan memiliki kaitan dengan dunia supernatural. Ada pula di antara teks nyanyian tersebut diciptakan berdasarkan kepada puisi-puisi yang lazim terdapat di dalam setiap kebudayaan, dengan ciri dan strukturnya yang khas. Ada pula teks nyanyian tersebut yang diciptakan secara bersama-sama dengan tujuan utama komunikasi verbal sambil bernyanyi dalam sebuah aktivitas tertentu. Misalnya lagu Rasa Sayange yang dinyanyikan dengan menggunakan pantun yang diciptakan secara spontanitas oleh setiap yang ikut di dalam nyanyian tersebut. Kajian terhadap teks nyanyian pastilah melibatkan kajian pula terhadap bahasa yang digunakan di dalam nyanyian tersebut. Kegiatan mengkaji teks nyanyian di dalam etnomusikologi berkait erat dengan disiplin linguistik dan sastra sebagai disiplin yang juga memberikan perhatian utama terhadap nyanyian dalam bentuk komunikasi verbal ini. Teks nyanyian juga mendapatkan perhatian dalam ilmu komunikasi. Bahwa teks nyanyian ini dapat dipandang sebagai salah satu bentuk komunikasi verbal yang tumbuh dan berkembang di dalam kebudayaan masyarakat pendukungnya. Demikian pula yang terjadi di dalam kasus lagu katoneng-katoneng yang menjadi fokus kajian penulis dalam tesis ini.

6.2 Katoneng-katoneng oleh Sumpit br Ginting

Seperti telah diuraikan pada bab tiga, upacara cawir metua yang menjadi fokus kajian ini dilaksanakan di Desa Lau Tawar, Kecamatan Taneh Pinem, Kabupaten Dairi. Walaupun secara administratif berada di wilayah Kabupaten Dairi, namun secara wilayah budaya, kawasan ini masuk ke dalam kebudayaan Karo Gugung. Desa Lau Tawar berjarak lebih kurang 142 kilometer dari Medan; atau berjarak lebih kurang 72 kilometer dari Kabanjahe, ibukota Kabupaten Karo. Universitas Sumatera Utara Upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem Nd Sesser dilaksanakan di Jambur Merga Silima Desa Lau Tawar. Adapun perkolong-kolong yang diundang dalam upacara Cawir Metua ini adalah Siti Aminah br Ginting atau di kalangan masyarakat umum lebih dikenal dengan Sumpit br Ginting. Perkolong-kolong Sumpit br Ginting bertempat tinggal di Kabanjahe, serta memiliki suami yang sekaligus juga adalah penggual pemain gendang tradisional Karo yang bernama Traman Tarigan. Sedangkan seperangkat pemusik tradisional yang mengiringi upacara ini terdiri dari: a Asli Sembiring penarune, b Mail Bangun penggual, c Ucan Ginting penggual, dan d Daniel Bangun simalu gung dan penganak.

6.3 Makna Teks Katoneng-ketoneng untuk Sembuyak

Nyanyian katoneng-katoneng berikut ini adalah nyanyian yang dilantunkan oleh perkolong-kolong ketika kelompok sukut, sembuyak, senina telah selesai menyampaikan kata-kata adatnya pada upacara cawir metua Ibu Cilenggemen br Pinem Nd Sesser. Dengan kata lain, bahwa perkolong-kolong melanjutkan maupun menyempurnakan kata-kata adat yang disampaikan kelompok di atas. Oh nande, nande beru pinem. Nande…. nen kami karina erlebuh dingen erdilo nande. Ija ibas warina wari sekalenda nande pinem. Enggo pulung kel pagi karina sangkep nggeluh sini tenahken kenndu la erpudung ndai. Ija ibas kam enggo nehken perpadanen ras Dibata Simada Tinuang Ndube nande. Ibas wari sisendah enggo pulung dingen landek karina si tergelar sukut, ginting mergana la ketadingen sembuyak rikut senina, senina sipemeren, siparibanen, rikut sipengalon, teman sendalanen. [Oh ibu, ibu beru Pinem. Ibu… lihat kami semua memanggil-manggilmu. Yang mana pada hari ini ibu beru Pinem. Sudah berkumpul semua sanak saudara yang engkau undang tanpa janji itu, pada saat engkau telah menghadap Tuhan Maha Pencipta. Pada hari ini, telah berkumpul dan menari saudara semarga kita, marga Ginting, tak ketinggalan saudara satu nenek, saudara sepupu, sepengambilan, serta saudara satu kelompok lainnya.] Perkolong-kolong memulai nyanyiannya dengan memposisikan diri sebagai sukut marga Ginting atau anak-anak almarhum ibu, yang seolah-olah sedang Universitas Sumatera Utara menyampaikan berita kepada almarhum Ibu beru Pinem, bahwa semua kerabatnya telah berkumpul serta telah menari sambil menyampaikan ucapan-ucapan berlangsungkawa sehubungan dengan ibu telah menghadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Meskipun istilah sangkep nggeluh dalam adat Karo mencakup makna kerabat yang lebih luas; anak beru, kalimbubu, senina—namun dalam konteks ini, kerabat yang dimaksud itu adalah saudara-saudara yang bermarga Ginting, maupun saudara- saudara lain yang memiliki kedudukan yang sama dengan mereka dalam upacara ini. Nande…, nina buah barandu e erlebuh dingen erdilo nande. Uga kel nge nen kami ndia, ngataken katandu nandangi sembuyak seninanta e nande. Bapa Ginting mergana ate kami metedeh, apai kel nge….kam leben ilebuh idilo kami. Bagem… nina buah barandu e, doah-doah didong ndu e karina. [Ibu…kata buah hatimu memanggil-manggil ini ibu. Bagaimana kami menyampaikan pesanmu kepada saudara satu nenek dan saudara semarga kita ini ibu. Bapa marga Ginting, yang kami rindukan. Yang mana kalian duluan kami panggil. Begitulah, kata buah hatimu ini, yang engkau nina bobokkan ini semua.] Perkolong-kolong melanjutkan dengan posisi sebagai sukut yang punya hajatan marga Ginting atau anak-anak almarhum ibu, untuk meminta petunjuk kepada Ibu beru Pinem maupun almarhum bapak marga Ginting, apa yang harus disampaikan kepada kerabatnya itu sehubungan dengan kematian Ibu beru Pinem ini. Istilah ilebuh atau idilo mengandung arti yang sama yakni dipanggil memanggil. Penggabungan kata-kata ilebuh idilo untuk memberikan kesan kuat dari maksud kata tersebut. Bagem anakku, bagem turang nande na, bage kel nge nindu nande. Beluh-beluh ibaba nandena, erbelas nandangi si biak bapanndu seninandu e anakku. Adi aku enggo me kap ateku malem nehken Universitas Sumatera Utara perpadanenku. Lanai lit si mesui ku ndai turang nandena, lanai aku man adap-adapenndu, lanai aku man arak-araken. Ban cakapndu man kalimbubundu, ban cakapndu man sembuyak seninanta e, bage kel nge nindu nande. [Begitulah anakku, begitulah putra ibunya, begitulah yang engkau katakan Ibu. Pandai-pandailah berkata-kata kepada bapakmu, saudaramu se marga ini anakku. Kalau aku, sudah tenang menjalani takdirku ini. Tak ada lagi rasa sakitku putra ibunya, tak perlu lagi aku kamu jagai, tak lagi perlu kamu damping. Buatlah cakapmu kepada kalimbubu kita, bikin cakapmu kepada saudara semarga kita, begitulah pesanmu Ibu.] Perkolong-kolong menjadikan dirinya sebagai sosok Ibu beru Pinem yang seolah- olah sedang memberi nasehat dan pesan kepada anak-anaknya. Enggo e, bagem dage ginting mergana sirulo, bagem dage nande tigan, bagem beru tambarmalem, gancih sambar nande beru pinem. Adi kam tading rumah, ija kari seh panggungna mantik kalimbubunta e, terbeluh kam kari, guna ngalo-ngalo kalimbubunta e kerina, Erpesukuten erpenggurun anakku permen bibina nindu nge bara nande pinem. Tare permenndu gancih sambarndu e nande. [Sudahlah, begitulah jadinya merga Ginting semua, begitulah beru Tarigan, begitulah beru Perangin-angin, pengganti Ibu beru Pinem. Kalau kamu tinggal dirumah, kapan saja kalimbubu kita datang, pandai- pandailah bersikap menyambut kalimbubu kita semuanya. Bertanya dan bergurulah anakku, menantuku, begitulah pesanmu Ibu. Kepada menantumu penggantimu ini Ibu.] Perkolong-kolong menjadi sosok sembuyaksenina melanjutkan nasehat kepada anak-anak ibu dan kepada para menantunya, agar menghormati kalimbubu mereka. Bagei…bagem ginting mergana karina sinterem la erpilih. Adi enggo ndai erbelas sembuyak seninandu e karina turang. Adi kutinggel- tinggel ken kerna kata sembuyak seninanndu e, lanai kuakap lit sikurangna, lanai lit sitading silupana, kerna kata pergegeh rikut kata pengapul siturikenna. Saja kel ngenca ginting mergana, adi lanai kel pagi rumah nandenta, rikut lanai ka rumah bapanta, kuga nina secara doni, enggo tading melumang ginting mergana. Terbeluh kel kam pagi ginting mergana, ula rubat ersenina, ula la siangkaan erturang. Maka ula kari erpenanda-nandan lanai rumah nande, lanai rumah bapa, o ginting mergana. Bagei,,,bagem nina sembuyak seninandu e, nehken kata ntah ukurna mehuli ibas kelawesen nande beru pinem e. [Jadi, begitulah semua marga Ginting yang manapun. Kalau sudah tadi berbicara saudara nenek, saudaramu se marga itu semua. Kalau Universitas Sumatera Utara ku dengarkan semua perkataam mereka, tak ada lagi kurasa yang kurang, tak ada lagi yang ketinggalan maupun terlupa, soal kata-kata pengharapan dan penghiburan yang sudah disampaikannya. Hanya saja marga Ginting, kalau tak ada lagi Ibumu, juga tak ada lagi bapakmu, kalau menurut ukuran dunia, sudah yatim piatulah marga Ginting. Pandai-pandailah nanti semua marga Ginting, jangan berkelahi sesama saudara laki-laki, jangan berselisih sesama saudara perempuan. Agar jangan nanti kelihatan bahwa Ibumu sudah tak ada lagi, bapakmu tak ada lagi, marga Ginting. Jadi, begitulah pesan saudara nenek, dan saudara semargamu ini, menyampaikan kata- katanya dengan hati yang tulus dalam rangka kematian Ibu beru Pinem.] Perkolong-kolong sebagai sosok sembuyaksenina melanjutkan pesan-pesan dan nasehatnya kepada anak-anak ibu beru Pinem. Bagem dagei.. ginting mergana si rulo, enda me kerna kata tambahen ibas sembuyak seninandu nari. Bagem nande pinem selamat jalan nande, mejuah-juah buah barandu sinterem e tadingkenndu. Ersada pagi arihna ginting mergana e, ersada pagi arih permendu e nande pinem tadingkenndu. Mejuah-juah kami kerina tadingkenndu nande… Jadi begitulah, marga Ginting semua, inilah kata tambahan dari saudara satu nenek, dan saudara semargamu. Begitulah. Ibu beru Pinem, selamat jalan Ibu, sehat sentosa semua buah hatimu kau tinggalkan. Bersatu nanti semua marga Ginting, bersatu semua menantumu ini Ibu beru Pinem sepeninggalmu. Sehat sentosa kami semua engkau tinggalkan Ibu. Sebagai penutup bagian ini, sembuyaksenina mengucapkan selamat jalan kepada Ibu beru Pinem, serta berpengharapan sehat sentosa semua keluarga yang ditinggalkannya.

6.4 Makna Teks Katoneng-Katoneng untuk Kalimbubu