Sistem Pemerintahan Tradisional GAMBARAN UMUM MASYARAKAT KARO

J.T.H. Gremers, Direktur Perkebunan Tembakau Deli Maatschappij pada saat itu. Agama Nasrani masuk melalui desa Buluh Awar, kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara.

2.4 Sistem Pemerintahan Tradisional

Seperti yang dituturkan oleh para orang tua,keadaan masyarakat Karo pada dahulu kala adalah tidak stabil. Keadaan ini disebut dengan ermusuh; yang mengandung arti berperang. Perang antara desa, antar urung, dan antar kelompok ini terjadi terus menerus dan berlangsung cukup lama. Keadaan ini membuat rakyat menderita karena hidup tanpa rasa aman. Dalam pada itu, banyak anggota masyarakat yang pergi merantau mencari ilmu-ilmu bela diri, dan kemudian kembali lagi ke desanya untuk membela desa maupun membela kelompoknya. Keadaan ini berlangsung sehingga kedatangan utusan Sultan Aceh yang dilengkapi dengan persenjataan ke Tanah Karo. Utusan Sultan Aceh selanjutnya kemudian menobatkan raja-raja atau sebayak di Karo. Raja-raja Karo yang dinobatkan ketika itu adalah sebayak Lingga; sebayak Suka; sebayak Sarinembah, sebayak Barus Jahe. Sedangkan sebayak Kutabuluh karena begitu terkenal dengan sendirinya diakui orang Karo sebagai sebayak. Tercatat dalam sejarah Karo bahwa pada akhirnya terdapat 5 lima kerajaan besar di dataran tinggi Karo. Ke lima kerajaan tersebut adalah: kerajaan Lingga yang berkedudukan di Lingga, kerajaan Barus Jaheberkedudukan di Barus Jahe, kerajaan Sarinembah di Sarinembah, kerajaan Universitas Sumatera Utara Suka berkedudukan di Suka, dan kerajaan Kutabuluh berkedudukan di Kutabuluh. Kerajaan-kerajaan tadi dipimpin oleh seorang raja atau sebayak. Sebuah kerajaan terdiri dari beberapa urung daerah yang dipimpin oleh seorang Raja Urung, sedangkan sebuah urung terdiri dari beberapa kuta desakampung yang masing-masing dipimpin oleh seorang pengulu kuta. Kerajaan Linggamempunyai 6 enam kerajaan urung, yaitu urungTelu Kuta berkedudukan di Lingga, urung Tigapancur di Tigapancur, urung Empat Teran di Naman, urung Lima Senina di Batu Karang, dan urung Tiganderket berkedudukan di Tiganderket. Kerajaan Barus Jahe mempunyai 2 dua kerajaan urung, yaitu urung Sipitu Kuta berkedudukan di Barusjahe, dan urung Sinaman Kuta berkedudukan di Sukanalu. Kerajaan Sarinembah mempunyai 4 empat kerajaan urung, yaitu urung Sepuluhpitu Kuta berkedudukan di Sarinembah, urung Perbesi di Perbesi, urung Juhar di Juhar, dan urung Kuta Bangun berkedudukan di Kuta Bangun. Kerajaan Suka mempunyai 4 empat kerajaan urung, yaituurung Suka di Suka, urung SukapiringSeberaya di Seberaya, urung Ajinembah di Ajinembah, dan urung Tongging berkedudukan di Tongging. Serta kerajaan Kuta Buluh mempunyai 2 dua kerajaan urung yaitu urung Namo Haji berkedudukan di Kutabuluh, dan urung Liang Melas di Samperaya. Sebelum kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Karo, 4 empat kerajaan di Tanah Karo kecuali kerajaan Kutabuluh, tunduk dibawah kekuasaan kerajaan Aceh. Demikian juga hal tersebut berlaku pada saat Universitas Sumatera Utara kedatangan pemerintah kolonial Belanda ke Tanah Karo pada tahun 1890. Raja berempat tertakluk di bawah kekuasaan Belanda. Sedangkan sebayak Kutabuluh tetap melakukan perlawanan terhadap Belanda, yang akhirnya sebayak tersebut ditangkap dan dibuang ke Batavia Jakarta sekarang Darwan Darwin Prinst: 1985. Ketika pendudukan Jepang di Tanah Karo pada tahun 1942, pemerintahan pribumi masih efektif, namun pengawalan administrasi dipegang oleh pemerintahan militer Jepang. Untuk wilayah Karolanden pemerintahan di kepalai pejabat militer dengan nama Gunseibu Bunsyutyo yang berkedudukan di Berastagi. Demikian juga setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia pada bulan Agustus 1945, pemerintahan pribumi Karo masih tetap diakui oleh pemerintahan pusat. Namun setelah revolusi sosial Karo pada bulan Maret 1946, pemerintahan pribumi dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI. Sekalipun kekuasaan sebayak tidak lagi eksis, namun kedudukan keluarga sebayak tetap dihormati masyarakat Karo.

2.5 Kesenian