Nyanyian Katoneng-katoneng Dalam Konteks Kerja Mengket Rumah: Kajian Semiotik dan Musikologi

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kebudayaan musikal masyarakat Karo, selain alat musik dalam bentuk ensambel dan non–ensambel terdapat juga musik vokal. Musik vokal dalam masyarakat Karo terdiri dari tangis-tangis, io-io, didong-doah,mang-mang dan

katoneng-katoneng.

Tangis-tangis berasal dari kata tangis yang artinya menangis. Tangis-tangis merupakan nyanyian yang dinyanyikan ketika salah satu anggota keluarga meninggal dunia. Nyanyian biasanya berisikan kisah kehidupan orang yang meninggal tersebut, bagaimana hubungan persaudaraan dan kebiasaan yang selama ini terjalin, ketika masih hidup, dan bagaimana sedihnya anggota keluarga lain yang ditinggalkannya. Siapa saja boleh melakukan tangis-tangis. Bisa keluarga dekat maupun jauh, laki-laki atau perempuan, tua maupun muda.

Didong-doah merupakan nyanyian tidur yang diperuntukkan bagi anak (lullaby). Nyanyian ini dilakukan ketika anak menjelang tidur atau akan menidurkan anak. Bisa dilakukan pada saat Ibu atau ayahnya sambil menggendong atau sambil mengayunkan anak atau anak berada ditempat tidurnya. Nyanyian ini berisikan tentang ajaran kehidupan dan harapan-harapan orangtuanya.


(2)

Mang-mang merupakan mantra-mantra yang dinyanyikan. Mang-mang

biasanya dinyanyikan oleh para guru sibaso (dukun) untuk memanggil roh untuk kebutuhan penyembuhan atau menabalkan sesuatu.

Katoneng-katoneng merupakan nyanyian yang berisikan tentang turi-turin

nasihat kehidupan, pujian, harapan, dan doa. Musik vokal jenis katoneng-katoneng

biasanya diiringi oleh ensambel gendang sarune. Musik vokal ini biasanya dapat dijumpai pada upacara perkawinan tradisi Karo, upacara gendang guru-guru aron, dan lain sebagainya.

Katoneng-katoneng adalah salah satu jenis nyanyian pada masyarakat Karo. Isi teks sarat dengan kehidupan yang meliputi harapan, doa-doa dan pesan-pesan moral. Teks mengandung nilai-nilai adat yang mencakup sistim kekerabatan, norma-norma sosial, pendidikan dan juga aspek religi yang sarat dengan aspek semiotik.

Katoneng-katoneng disebut juga nyanyian adat karena lebih sering disajikan dalam konteks upacara adat, baik suka cita maupun duka cita. Upacara adat yang bersifat suka cita antara lain, perkawinan, Memasuki rumah baru, Guro-guro Aron ( pesta Rakyat yang dilakoni muda-mudi selepas menanam ataupun selepas menuai hasil panen padi), sedangkan upacara duka cita adalah upacara kematian.

Katoneng-katoneng diiringi oleh Gendang lima Sendalanen atau biasa juga disebut Gendang Sarune. Ensambel ini terdiri dari sebuah Sarune ( aerophone- double reed – conis), dua buah gendang terdiri dari gendang indung ( membranophone- conis) yang membawa ritem variabel, gendang singanaki ( membranophone- conis) yang membawa ritem konstan, penganak ( Idiophone) dan


(3)

gung ( idiophone). Dalam perkembangannya peranan ensambel Gendang Lima Sendalanen ini sudah digantikan oleh Keyboard. Bunyi sarune, gendang singindungi, singanaki, penganak maupun gung diimitasi oleh bunyi yang sudah ada didalam perangkat keyboard. Dalam perkembangan selanjutnya, Keyboard dengan teknologi yang semakin canggih mampu meniru bunyi dan ritem dari permainan gendang lima sendalanen.

Katoneng-katoneng dinyanyikan oleh seorang penyanyi profesional Karo yang disebut perkolong-kolong. Perkolong-kolong boleh seorang pria maupun wanita. Biasanya seorang perkolong-kolong yang sudah profesional sudah beranjak dewasa, berumur 18 tahun hingga ada yang berumur 65 tahun ( masih dalam kondisi prima secara fisik). Melalui perkolong-kolong disampaikanlah maksud dan tujuan diselenggarakannya pesta, sehingga seluruh situasi dan kondisi keluarga yang menyelenggarakan pesta dapat diketahui oleh orang yang hadir dalam pesta tersebut. Hal ini disebabkan tugas dan fungsi Perkolong-kolong sebagai memperpanjang “lidah” dari keluarga yang menyelenggarakan pesta tersebut lewat nyanyian yang disebut katoneng-katoneng. Dengan kata lain perkolong-kolong identik dengan nyanyian katoneng-katoneng.

Pada saat sekarang ini sudah sangat jarang sekali sebuah pesta suka cita maupun duka cita menghadirkan seorang perkolong-kolong. Dengan demikian nyanyian katoneng-katoneng pun sudang jarang didengar. Ini adalah salah satu faktor dimana eksistensi nyanyian katoneng-katoneng mulai menurun. Dengan


(4)

jarangnya nyanyian katoneng-katoneng diperdengarkan kepada masyarakat ( yang empunya tradisi ) maka nyanyian katoneng-katoneng suatu ketika akan mati.

1.2 Rumusan Masalah

Nyanyian katoneng-katoneng dalam penelitian ini adalah seni pertunjukkan tradisi, khususnya didalam sebuah upacara( kerja ) di tengah masyarakat yang mengalami perubahan dari waktu ke waktu dan masih bertahan di masyarakat. Didalam rumusan masalah, maka ada dua bentuk pertanyaan yang diangakat sebagai berikut:

1. Bagaimana kedudukan nyanyian katoneng-katoneng dalam upacara kerja mengket rumah pada masyarakat Karo. Dan bagaimana pula fungsi dan kegunaannya di dalam upacara tersebut. Apa kerja (upacara) menurut konsep masyarakat Karo, khususnya upacara kerja mengket rumah.

2. Bagaimana cara masyarakat pendukungnya mempelajari nyanyian ini? dan mengapa nyanyian ini dinyanyikan oleh perkolong-kolong?

3. Bagaimana kajian semiotik mengungkap makna simbolis dari teks nyanyian ini, dan bagaimana teks nyanyian ini dibangun secara musikal berdasarkan isi dan strukturnya ?

4. Bagaimana struktur dan penggarapan melodi nyanyian ini dibangun? Konsep apa yang dituangkan dalam menggarap nyanyian ini ?


(5)

Berdasarkan pada latar belakang dan rumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan dan manfaat utama dari penelitian ini adalah untuk memperoleh pengetahuan tentang

katoneng-katoneng baik secara tekstual, kontekstual, maupun musikal sebagai salah satu ekspresi kultural masyarakat Karo.

Adapun tujuan lain dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Untuk memperoleh deskripsi konseptual dari masyarakat pendukung budaya ini terhadap eksistensi katoneng-katoneng.

2. Untuk mengetahui mengapa nyanyian ini dikategorikan sebagai nyanyian adat dan untuk memperoleh informasi yang seluas-luasnya tentang cara atau metode yang digunakan oleh masyarakat dalam mempelajari nyanyian ini. 3. Untuk mengungkap makna simbolis dari teks nyanyian ini melalui kajian

semiotik, dan bagaimana teks nyanyian ini dibangun berdasarkan isi dan strukturnya.

4. Untuk mengungkap struktur melodi nyanyian ini dibangun berdasarkan kajian musikologi.

Hasil penelitian dapat bermanfaat sebagai: Menambah khasanah pengetahuan tentang nyanyian katoneng-katoneng yang bersentuhan dengan faktor-faktor sosial dan budaya.

1. Memberikan kontribusi terhadap pelaku seni dalam mengembangkan nyanyian


(6)

2. Sumbangsih bagi Pengembangan ilmu-ilmu seni seperti etnomusikologi, Semiotik, sosiologi, dan pengkajian budaya, yang bertitik tolak dari hasil-hasil penelitian lapangan.

1.4 Tinjauan Pustaka

Selain nara sumber sebagai salah satu dari sumber data maka penulis juga mempelajari dari bahan tertulis dengan tujuan untuk mencari kesesuaian antara teori yang akan digunakan dengan permasalahan yang akan diteliti, serta untuk menjaga keorisinalitasan/ keaslian hasil penelitian. Artinya bahwa kajian yang dilakukan penulis bukanlah plagiarisme/plagiat dari penelitian lain. Oleh sebab itu, peneliti mencantumkan semua sumber yang digunakan sebagai bahan referensi dalam studi ini. Studi kepustakaan/literatur yang penulis lakukan di antaranya mengkaji sumber data yang berupa tulisan hasil karya ilmiah, hasil seminar, jurnal penelitian, laporan penelitian, artikel dan lain-lain.

Beberapa sumber bacaan terdahulu yang dikaji oleh peneliti, yang temanya tentang musik vokal tradisional seperti mangmang ditulis oleh Sondang ( 1992),

nendong ditulis oleh Nurkariana ( 1993), gendang raleng-raleng keramat ditulis oleh Sinar (1992), dan didong doah ditulis oleh Rumondang Siahaan. Masing-masing musik vokal ini ditulis dalam bentuk skripsi sarjana pada jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Selain itu beberapa buku yang mendukung tulisan ini seperti Karo dari Zaman ke Zaman yang ditulis oleh Brahma Putro, diterbitkan oleh Ulih Saber. Adat Istiadat Karo, yang ditulis oleh P. Tambun. Kesenian Kebudayaan Tradisional Karo ditulis oleh P. Sitepu. Mengenal


(7)

Kebudayaan Karo, ditulis oleh Bujur Sitepu.Sejarah dan Kebudayaan Karo ditulis oleh Darwan dan Darwin Prinst. Deskriptif Musik Vokal Katoneng-katoneng Dalam Konteks Kerja Mengket Rumah Pada Masyarakat Karo, yakni Skripsi Sarjana (S1) Jurusan Etnomusikologi Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara yang ditulis oleh Anton Sitepu yaitu penulis sendiri.

1.5 Kerangka Konsep

Konsep adalah rancangan ide atau pengertian yang diabstrakan dari peristiwa kongkret (Poerwadarminta dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, 2005:588).

1.5.1 Tentang Adat Istiadat

Adat istiadat adalah segala dalil dan ajaran mengenai bagaimana orang bertingkah laku dalam masyarakat. Rumusannya sangat abstrak, karena itu memerlukan usaha untuk memahami dan merincinya lebih lanjut. Adat dalam pengertian ini berfungsi sebagai dasar pembanguan hukum adat positif yang lain . Adat istiadat yang lebih nyata yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari (Mohammad Daud Ali, 1999: 196).

Istilah adat istiadat seringkali diganti dengan adat kebiasaan, namun pada dasarnya artinya tetap sama, jika mendengar kata adat istiadat biasanya aktivitas individu dalam suatu masyarakat dan aktivitas selalu berulang dalam jangka waktu tertentu.


(8)

Menurut Soleman B. Taneko (1987: 12),adat istiadat dalam ilmu hukum ada perbedaan antara adat istiadat dan hukum adat. Suatu adat istiadat yang hidup (menjadi tradisi) dalam masyarakat dapat berubah dan diakui sebagai peraturan hukum (hukum adat). Pandangan bahwa agama memberi pengaruh dalam proses terwujudnya hukum adat, pada dasarnya bertentangan dengan konsepsi yang diberikan oleh Van den Berg yang dengan teori reception in complex menurut pandangan adat istiadat suatu tradisi dan kebiasaan nenek moyang kita yang sampai sekarang masih dipertahankan untuk mengenang nenek moyang kita juga sebagai keanekaragaman budaya.

Istilah adat istiadat seringkali diganti dengan adat kebiasaan, namun pada dasarnya artinya tetap sama. Jika mendengar kata adat istiadat biasanya aktivitas individu dalam suatu masyarakat dan aktivitas ini selalu berulang kembali dalam jangka waktu tertentu (bisa harian, mingguan, bulanan, tahunan dan seterusnya), sehingga membentuk suatu pola tertentu. Adat istiadat berbeda satu tempat dengan tempat yang lain, demikian pula adat di suatu tempat.

Adat istiadat yang mempunyai akibat hukum dinamakan hukum adat.

Adat istiadat juga mempunyai akibat -akibat apabila dilanggar oleh masyarakat,dimana adat istiadat tersebut berlaku. Adat istiadat tersebut bersifat tidak tertulis dan terpelihara turun temurun, sehingga mengakar dalam masyarakat, meskipun adat tersebut tercemar oleh kepercayaan (ajaran) nenek moyang, yaitu

Animisme dan Dinamisme serta agama yang lain. Dengan demikian adat tersebut akan mempengaruhi bentuk keyakinan sebagian masyarakat yang mempercampur adukan dengan agama Islam (Iman Sudiyat, 1982: 33).


(9)

Adat istiadat suatu masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat yang bersangkutan. Biasanya diikuti atau diwujudkan oleh banyak orang. Dapat disimpulkan bahwa adat istiadat adalah aktivitas prilaku-prilaku, tindakan -tindakan individu satu terhadap yang lain yang kemudian menimbulkan reaksi, sehingga menghasilkan suatu interaksi sosial. Perilaku dan tindakan manusia pada dasarnya adalah gerak tumbuh manusia.

Pada masyarakat Karo adat dan hukum adat dipergunakan secara

bersamaan. Adat dan hukum adat mempunyai ikatan dan pengaruh yang kuat, pengaruhnya serta daya ikatnya yang sangat kuat bergantung kepada masyarakat hukum adat itu, terutama berpangkal tolak dari perasaan keadilan yang ilahirkannya, atau diberikannya.

Adat istiadat yang mengandung makna hukum memiliki fungsi pengatur, penertib dan pengaman kehidupan masyarakat. Penegak keadilan, juga sebagai penggerak dan pendorong pembangunan, dan perubahan menuju masyarakat yang dicita-citakan. Hal lainnya yang menjadi pendorong sebagai pendorong, penertib adalah faktor penjamin keseimbangan dan keserasian yang dinamis dalam masyarakat yang mengalami perubahan cepat.

Daliken si telua (sangkep nggeluh) adalah aktor penggerak adat istiadat masyarakat Karo. Hubungan daliken si telu dengan pengendalian sosial jelas. Di dalam "tubuh" daliken si telu ada dua unsur, unsur pertama adalah sistem masyarakat yang bersifat terbuka. Ini berhubungan dengan manusia sebagai subyek dan obyek. Unsur yang kedua adalah psiko budaya. Ini berhubungan dengan nilai, alat untuk mengendalikan, alat untuk mengikat aktor yang tiga tersebut.


(10)

Menurut Singarimbun (1962) segala kegiatan sosial pada masa lalu baik itu yang berkaitan dengan politik, hukum, ekonomi, ritual dan lainlain, selalu iselesaikan bersendi kepada kekerabatan. Faktor keamanan adalah suatu masalah yang serius masa itu, hal ini karena kekuasaan politik yang umumnya bergandengan dengan penjagaan keamanan, masih terpecah belah. Di dalam jaringan-jaringan kekerabatan, hal ini memegang peranan yang menentukan, baik di dalam keselamatan individu maupun keselamatan kampung sebagai suatu persekutuan hidup yang terpenting. Jaringan-jaringan kekerabatan yang dimaksud ini juga melalui saluran-saluran tri tunggal, daliken si telu (anakberu senina dan kalimbubu) bersama penghulu desa mempunyai peranan masing-masing di dalam melaksanakan, memerintah dan hukum di dalam arti luas. Diantara mereka terjalin suatu hubungan masing-masing dengan fungsinya, sehingga terbentuklah suatu jaringan fungsi yang harmonis. Pada daliken si telu inilah terletak azas gotong royong dan musyawarah dalam arti kata yang se dalam-dalamnya

1.5.2 Tentang Masyarakat

Masyarakat dalam istilah bahasa Inggris adalah society yang berasal dari kata Latin socius yang berarti (kawan). Istilah masyarakat berasal Dari kata bahasa Arab

syaraka yang berarti (ikut serta dan berpartisipasi). Masyarakat adalah sekumpulan manusia yang saling bergaul, dalam istilah ilmiah adalah saling berinteraksi. Suatu kesatuan manusia dapat mempunyai prasarana melalui warga- warganya dapat saling berinteraksi. Definisi lain, masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu, dan


(11)

yang terikat oleh suatu rasa identitas bersama. Kontinuitas merupakan kesatuan masyarakat yang memiliki keempat ciri yaitu: 1) Interaksi antar warga-warganya, 2). Adat istiadat, 3) Kontinuitas waktu, 4) Rasa identitas kuat yang mengikat semua warga (Koentjaraningrat, 2009: 115-118).

Semua warga masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama,hidup bersama dapat diartikan sama dengan hidup dalam suatu tatanan pergaulan dan keadaan ini akan tercipta apabila manusia melakukan hubungan, Mac lver dan Page(dalam Soerjono Soekanto 2006: 22) , memaparkan bahwa masyarakat adalah suatu sistem dari kebiasaan, tata cara, 19 dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok, penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebiasaan -kebiasaan manusia.Masyarakat merupakan suatu bentuk kehidupan bersama untuk jangka waktu yang cukup lama sehingga menghasilkan suatu adat istiadat,menurut Ralph Linton (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22) masyarakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama ,sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas- batas yang dirumuskan dengan jelas sedangkan masyarakat menurut Selo Soemardjan (dalam Soerjono Soekanto, 2006: 22) adalah orang-orang yang hidup bersama yang menghasilkan kebudayaan dan mereka mempunyai kesamaan wilayah, identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.

Menurut Emile Durkheim (dalam Soleman B. Taneko, 1984: 11) bahwa masyarakat merupakan suatu kenyataan yang obyektif secara mandiri, bebas dari individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya.


(12)

Masyarakat sebagai sekumpulan manusia didalamnya ada beberapa unsur yang mencakup. Adapununsur-unsur tersebut adalah:

1. Masyarakat merupakan manusia yang hidup bersama; 2.Bercampur untuk waktu yang cukup lama;

3.Mereka sadar bahwa mereka merupakan suatu kesatuan; 4. Mereka merupakan suatu sistem hidup bersama.

Menurut Emile Durkheim (dalam Djuretnaa Imam Muhni, 1994: 29-31) keseluruhan ilmu pengetahuan tentang masyarakat harus didasari pada prinsip-prinsip fundamental yaitu realitas sosial dan kenyataan sosial. Kenyataan sosial diartikan sebagai gejala kekuatan sosial didalam bermasyarakat. Masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antar manusia. Hukum adat memandang masyarakat sebagai suatu jenis hidup bersama dimana manusia memandang sesamanya manusia sebagai tujuan bersama. Sistem kehidupan bersama menimbulkan kebudayaan karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat satu dengan yang lainnya (Soerjono Soekanto, 2006: 22).

Beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan masyarakat memiliki arti ikut serta atau berpartisipasi, sedangkan dalam bahasa Inggris disebut society.Bisa dikatakan bahwa masyarakat adalah sekumpulan manusia yang berinteraksi dalam suatu hubungan sosial. Mereka mempunyai kesamaan budaya, wilayah, dan identitas, mempunyai kebiasaan, tradisi, sikap, dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan.


(13)

Sehubungan dengan pendapat para ahli tentang masyarakat, maka masyarakat karo yang mendiami satu kesamaan budaya yakni, berdiam disatu wilayah yaitu tanah karo, mempunyai identitas yakni merga silima (marga) dan diikat oleh rasa kebersamaan dalam sebuah sistem dalam hubungan kekeluargaan yakni rakut sitelu/ sangkep nggeluh, dan tutur siwaluh.

1.5.3 Katoneng-katoneng

Istilah katoneng-katoneng dalam bahasa Karo berasal dari kata toneng yang berarti tenang, damai dan sejahtera. Pengertian itu jelas tergambar dalam teks

katoneng-katoneng. Kata toneng yang dibumbuhi awalan ‘ ka’ sehingga menjadi

katoneng tidak merubah arti toneng. Tetapi penulis lebih cendrung beranggapan kata ‘ka’ memberi petunjuk bahwa kata toneng yang telah berubah menjadi katoneng

berada dalam pengertian lagu/ nyanyian ( musik vokal ).

Katoneng-katoneng adalah salah satu jenis tradisi musik vokal pada masyarakat Karo. Biasanya dinyanyikan dalam upacara adat yang bersifat gembira/ suka cita maupun duka cita. Katoneng-katoneng disebut juga nyanyian adat karena hanya dipakai dan disajikan dalam konteks upacara adat. Namun ada beberapa

katoneng-katoneng yang sudah direkam diatas pita kaset (komersial) seperti

katoneng-katoneng merga silima yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong Malem Pagi Ginting dengan Normin beru Karo. Katoneng-katoneng mengungsi yang dinyanyikan oleh perkolong-kolong yang sama.

Pada umumnya katoneng-katoneng dinyanyikan oleh seorang pria maupun seorang wanita secara solo. Penyanyinya disebut dengan perkolong-kolong.


(14)

Katoneng-katoneng dapat juga dinyanyikan oleh guru sibaso atau guru perdewal-dewal yaitu seorang dukun wanita yang biasanya menyembuhkan orang sakit karena gangguan roh jahat.

Di dalam penyajiannya katoneng-katoneng diiringi oleh alat musik tradisional Karo yaitu gendang lima sendalanen atau disebut juga dengan gendang sarune.

Mengacu kepada makna teks secara keseluruhan, katoneng-katoneng

mengandung nilai-nilai adat yang mencakup sistim kekerabatan, norma-norma sosial, aspek edukatif dan aspek religi. Hal ini jelas tergambar dari teks yang mengungkapkan rasa syukur, doa-doa, harapan-harapan maupun nasehat-nasehat. Namun pada kenyataannya, ditemui sejumlah katoneng-katoneng sifatnya mengisahkan suatu peristiwa, misalnya katoneng-katoneng yang menceritakan tentang peperangan melawan penjajah, menceritakan pengungsian pada masa penjajahan, menceritakan silsilah marga-marga.

Secara umum teks katoneng-katoneng terbagi atas tiga bagian berdasarkan strukturnya, yaitu: (1) pembukaan, (2) isi dan (3) penutup.

1.5.4 Kajian Semiotik

Kajian semiotik nyanyian katoneng-katoneng mencakup dua bagian besar yaitu, analisis terhadap teks dan artinya. Kedua hal tersebut berhubungan dengan aspek linguistik. Analisis tekstual meliputi struktur dan isinya. Sedangkan analisis arti teks berhubungan dengan aspek semantik. Analisis struktur teks pada umumnya dapat dibagi kedalam tiga bagian berdasarkan isi dan fungsinya. Bagian itu antara lain pembukaan, isi dan penutup. Sedangkan analisis terhadap isi teks adalah


(15)

merupakan bagian dari struktur teks yang akan memaparkan tema atau ide yang terkandung dalam sebuah teks katoneng-ketoneng. Dari analisis isi teks inilah akan terungkap situasi maupun kondisi dari kebudayaan masyarakat pemilik nyanyian tradisional tersebut.

Analisis terhadap arti teks katoneng-katoneng, mengarah kepada aspek semantik. Kemudian hal lain yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Bagaimana jumlah suku kata dalam bahasa mempengaruhi rentangan melodi pada tiap-tiap frasanya.

Dari segi tekstualnya penulis menterjemahkan katoneng-katoneng secara bebas dari bahasa Karo kedalam bahasa Indonesia. Tentu saja terjemahan bebas ini mempunyai kelemahan-kelemahan karena banyak kata-kata maupun idiom dalam bahasa Karo sukar diterjemahkan secara langsung kedalam bahasa Indonesia. Namun penulis berusaha mencari padanan kata yang sesuai dengan arti sebenarnya. Selanjutnya akan dianalisis penggunaan maupun fungsi katoneng-katoneng. Begitu juga aspek bahasanya yang meliputi diksi dan majas serta struktur teksnya.

1.6 Landasan Teori

Ada beberapa teori yang penulis gunakan landasan penelitian, diantaranya adalah teori kebudayaan dan teori upacara, teori semiotik dan teori musik.


(16)

1.6.1 Teori kebudayaan

Dalam ruang lingkup kebudayaan, manusia akan mengembangkan hidup individual dan sosialnya guna memenuhi martabatnya sebagai manusia. Demikian Maran (2000: 21-22) mengatakan sebagai ciptaan manusia, kebudayaan adalah dunia khas manusia. Kebudayaanlah yang membedakan manusia dengan hewan.

Selanjutnya para ahli antropologi budaya di Indonesia berpendapat, kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta buddhi/buddhayah yang berarti ’budi’ atau ’akal’. Menurut Robert H. Lowie, kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat-istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan karena kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal (Maran, 2000: 26).

Selanjutnya, Maran (2000: 28-29) mengatakan kebudayaan merupakan susunan dari dua komponen besar yakni kebudayaan material dan kebudayaan non-material. Yang dimaksud dengan kebudayaan material adalah kebudayaan yang menghasilkan segalam macam objek fisik buatan manusia, sedangkan kebudayaan non-material menghasilkan objek tak berwujud seperti kepercayaan (kognitif), norma adat (normatif), tanda dan bahasa (simbolik).

Komponen kognitif merupakan sistem kebudayaan untuk mengembangkan pengetahuan dan kepercayaan yang terjadi di sekitar manusia. Pengetahuan ialah koleksi ide yang dapat diterjemahkan sebagai suatu teknologi yang dipakai untuk


(17)

mengontrol kehidupan, lingkungan alam dan menyelesaikan masalah sosial. Kepercayaan ialah kumpulan ide-ide yang subjektif seperti kepercayaan akan Tuhan.

Komponen normatif merupakan sistem kebudayaan yang bersifat menilai bagaimana manusia harus bertindak. Termasuk juga batasan-batasan apa dapat diperbuat dan apa yang tidak dapat diperbuat. Apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap tidak baik. Apa yang dianggap penting dan apa yang dianggap tidak penting. Sistem kebudayaan yang berisikan peraturan-peraturan mengenai nilai sosial namun tidak universal atau diterima di seluruh wilayah yang memiliki sistem kebudayaan. Sistem kebudayaan ini bersifat regional, hanya berlaku bagi masyarakat yang menganut sistem kebudayaan yang sama.

Komponen simbolik merupakan sistem kebudayaan yang bersifat simbolis seperti bahasa, isyarat, bunyi nyanyian, dan lain sebagainya. Sistem kebudayaan ini biasanya digunakan untuk mengajarkan sistem kebudayaan sebelumnya kepada generasi masyarakat penganut kebudayaan tersebut berikutnya.

1.6.2 Teori Upacara

Upacara adalah serangkaian tindakan atau perbuatan yang terikat pada aturan tertentu berdasarkan adat istiadat, agama, dan kepercayaan. Jenis upacara dalam kehidupan masyarakat antara lain: upacara penguburan, upacara perkawinan, dan upacara pengukuhan kepala suku.

Upacara adat salah satu cara menelusuri jejak sejarah masyarakat Indonesia pada masa lalu dapat kita jumpai pada upacara-upacara adat merupakan warisan nenek moyang kita. Selain melalui mitologi dan legenda, cara yang dapat dilakukan


(18)

untuk mengenal kesadaran sejarah pada masyarakat yang belum mengenal tulisan yaitu melalui upacara. Upacara pada umumnya memiliki nilai sakral oleh masyarakat pendukung kebudayaan tersebut (Wahyudi Pantja Sunjata, 1997: 1).

Upacara adat tradisional adalah peraturan hidup sehari-hari ketentuan yang mengatur tingkah anggota masyarakat dalam segala aspek kehidupan manusia. Pengertian adat adalah tingkah laku dalam suatu masyarakat (sudah, sedang, akan) diadakan. Wahyudi Pantja Sunjata (1997: 2), mengatakan upacara tradisional merupakan bagian yang integral dari tradisi masyarakat pendukungnya dan kelestariannya, hidupnya dimungkinkan oleh fungsi bagi kehidupan masyarakat pendukungnya.

Penyelenggaraan upacara tradisional itu sangat penting artinya bagi pembinaan sosial budaya warga masyarakat yang bersangkutan. Norma-norma dan nilai-nilai budaya itu secara simbolis ditampilkan melalui peragaan dalam bentuk upacara yang dilakukan oleh seluruh masyarakat pendukungnya.Pelaksanaan upacara adat tradisional termasuk dalam golongan adat yang tidak mempunyai akibat hukum, hanya saja apabila tidak dilakukan oleh masyarakat maka timbul rasa kekhawatiran akan terjadi sesuatu yang menimpa dirinya. Upacara adat adalah upacara yang dilakukan secara turuntemurun yang berlaku di suatu daerah. Dengan demikian, setiap daerah memiliki upacara adat sendiri-sendiri, seperti upacara perkawinan, upacara labuhan. Upacara adat yang dilakukan di daerah sebenarnya juga tidak lepas dari unsur sejarah.


(19)

Menurut Koentjaraningrat ada beberapa unsur yang terkait dengan pelaksanaan upacara adat diantaranya adalah:

a. Tempat berlangsungnya upacara

Tempat yang digunakan untuk melaksanakan suatu upacara biasanya adalah tempat keramat atau bersifat sakral/suci , tidak setiap orang dapat mengunjungi tempat itu. Tempat tersebut hanya digunakan oleh orang-orang yang berkepentingan saja, dalam hal ini adalah orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara seperti pemimpin upacara.

b. Saat berlangsungnya upacara/waktu pelaksanaan

Waktu pelaksanaan upacara adalah saat-saat tertentu yang dirasakan tepat untuk melangsungkan upacara. Dalam upacara rutin yang diselenggarakan setiap tahun biasanya ada patokan dari waktu pelaksanaan upacara yang lampau.

c. Benda-benda atau alat dalam upacara

Benda-benda atau alat dalam pelaksanaan upacara adalah sesuatu yang harus ada macam sesaji yang berfungsi sebagai alat dalam pelaksanaan upacara adat tersebut.


(20)

Orang-orang yang terlibat dalam pelaksanaan upacara adalah mereka yang bertindak sebagai pemimpin jalanya upacara dan beberapa orang yang paham dalam ritual upacara adat (Koentjaraningrat, 1967: 241)

Unsur-unsur diatas merupakan kewajiban, oleh karena itu dalam setiap melaksanakan upacara, keempat unsur diatas harus disertakan. Didalam unsur-unsur tersebut, terdapat beberapa unsur perbuatan yang terkait dengan pelaksanaan upacara adat.

Beberapa perbuatan yang berkenaan pada saat berlangsungnya upacara seringkali dilakukan. Mereka menganggap bahwa perbuatan tersebut sudah menjadi kebiasaan dan memang perlu dilakukan. Adapun, kegiatan tersebut diantaranya adalah:

a. Bersesaji

Bersesaji adalah perbuatan-perbuatan untuk menyajikan makan, benda-benda, dan sebagainya yang ditujukan kepada dewa-dewa, ruh-ruh nenek moyang, atau makhluk halus. Hal ini dianggap menjadi suatu perbuatan kebiasaan, dan dianggap seolah-olah suatu aktivitas yang secara otomatis akan menghasilkan apa yang dimaksud.

b. Berdoa

Berdoa adalah suatu unsur yang banyak terdapat dalam berbagai upacara. Biasanya diiringi dengan gerak -gerak dan sikap-sikap tumbuh yang pada dasarnya


(21)

merupakan sikap dan gerak menghormat serta merendahkan diri terhadap para leluhur, para dewata, ataupun terhadap Tuhan.

c. Makan bersama

Makan bersama merupakan suatu unsur yang amat penting dan selalu dilaksanakan dalam banyak upacara.

d. Berprosesi

Berprosesi atau berpawai juga merupakan suatu perbuatan yang amat

umum dalam banyak religi di dunia . Pada prosesi sering dibawa benda-benda keramat seperti patung dewa-dewa, lambang-lambang, totem benda-benda yang sakti dan sebagainya, dengan maksud supaya kesaktian yang memancar dari benda-benda itu bisa memberi pengaruh kepada keadaan sekitar tempat tinggal manusia, dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui pawai itu. Upacara ini sering juga mempunyai maksud yang pada dasarnya sama tetapi dilakukan dengan cara yang lain yaitu mengusir makhluk halus, hantu dan segala kekuatan yang menyebabkan penyakit serta bencana dari sekitar tempat tinggal manusia.

e. Berpuasa

Berpuasa sebagai suatu perbuatan keagamaan yang ada dalam hampir semua religi dan agama diseluruh dunia, tidak membutuhkan suatu uraian yang panjang


(22)

lebar. Dasar pikiran yang ada dibelakang perbuatan ini bisa macam-macam, misalnya membersihkan diri atau menguatkan batin pelaku.

f. Bersemedi

Adalah macam perbuatan serba religi yang bertujuan memusatkan perhatian si pelaku kepada maksudnya atau kepada hal-hal yang suci (Koentjaraningrat, 1967: 257).

Rangkaian kegiatan adat di atas merupakan unsur pokok di dalam melaksanakan upacara tradisional. Oleh karena itu, pada saat upacara tradisionaldilangsungkan akan terdiri dari beberapa rangkaian kegiatanyang telah disebutkan di atas. Namun tidak semua kegiatan secara terperinci dilakukan pada saat pelaksanaan upacara tradisional. Ada yang terdiri dari semua kegiatan yang telah disebutkan di atas tetapi ada pula yang hanya melakukan beberapa dari kegiatan tersebut karena disesuaikan dengan kebutuhan pada saat pelaksanaan upacara tradisional.

2. Tujuan upacara adat tradisional

Maksud dan tujuan penyelenggaraan upacara sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta para leluhur yang telah melimpahkan karunianya. Pelaksanaan upacara tradisional dilakukan sebagai wujud penghormatan atas budaya warisan nenek moyang yang turun temurun harus dilestarikan. Tanpa adanya usaha pelestarian dari masyarakat,maka budaya nenek moyang yang berupa upacara tradisional


(23)

itu akan punah dan tinggal cerita. Sangat disayangkan apabila hal ini terjadi mengingat dizaman sekarang negeri ini mengalami krisis moral yang sebenarnya dapat kita cegah dengan pelestarian upacara tradisional. Pelaksanaan upacara tradisional dapat memupuk rasa persaudaraan dan menumbuhkan nilai-nilai luhur yang penting bagi masyarakat dan bangsa Indosnesia.

Tujuan umum dari upacara adat adalah untuk membentuk individu dan masyarakat yang berbudi pekerti luhur. Secara khusus, upacara adat dilakukan sebagai wujud penghormatan dan penghargaan kepada yang ghaib. Adanya rasa cinta, hormat, dan bakti adalah pendorong bagi manusia untuk melakukan berbagai perbuatan yang bertujuan mencari hubungan dengan dunia ghaib (Koentjaraningrat, 1967: 240). Upacara tradisional dimaksudkan untuk mencapai kehidupan yang tentram dan sejahtera, diberi kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup. Selain itu, upacara tradisional juga dimaksudkan untuk menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan, dijauhkan dari alapetaka yang dikhawatirkan akan menimpa masyarakat apabila tidak dilaksanakan (Koentjaraningrat, 1967: 241).

Penyelenggaraan upacara tradisional ditujukan sebagai media untuk memperlancar komunikasi antar warga agar terjalin rasa persatuan dan kesatuan. Dalam upacara itu juga terkandung nilai-nilai luhur yang sebenarnya ditujukan untuk menuntun masyarakat agar menjadi pribadi yang beradab dan berbudaya, sehingga generasi penerus bangsa yang baik untuk mewujudkan stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.Dalam semua hubungan itu, maka keseimbangan antara hak dan kewaji


(24)

ban harus dijunjung tinggi. Artinya berupaya mengenal hak dan menikmatinya secara wajar, mengetahui kewajibannya dalam menunaikan sebaik-baiknya. Keseimbangan, terutama antara hak dan kewajiban merupakan inti dari harmoni (Koentjaraningrat dalam Budiono Herusatoto, 1984: 100) .

1.6.3 Teori Semiotik

Untuk mengkaji struktur pertujukan nyanyian katoneng-katoneng, penulis mempergunakan teori semiotik. Pendekatan untuk mengkaji seni, salah satunya mengambil teori semiotika dalam rangka usaha untuk memahami bagaimana makna diciptakan dan dikomunikasikan melalui sistem simbol yang membangun sebuah peristiwa seni.

Menurut Encylopedia Brittanica (2007) pengertian semiotika itu adalah seperti yang dijabarkan berikut ini.

Semiotic also called Semiology, the study of signs and sign-using behaviour. It was defined by one of its founders, the Swiss linguist Ferdinand de Saussure, as the study of “the life of signs within society.” Although the word was used in this sense in the 17th century by the English philosopher John Locke, the idea of semiotics as an interdisciplinary mode for examining phenomena in different fields emerged only in the late 19th and early 20th centuries with the independent work of Saussure and of the American philosopher Charles Sanders Peirce.

Peirce's seminal work in the field was anchored in pragmatism and logic. He defined a sign as “something which stands to somebody for something,” and one of his major contributions to semiotics was the categorization of signs into three main types: (1) an icon, which resembles its referent (such as a road sign for falling rocks); (2) an index, which is associated with its referent (as smoke is a sign of fire); and (3) a symbol, which is related to its referent only by convention (as with words or traffic signals). Peirce also demonstrated that a sign can


(25)

never have a definite meaning, for the meaning must be continuously qualified.

Saussure treated language as a sign-system, and his work in linguistics has supplied the concepts and methods that semioticians apply to sign-systems other than language. One such basic semiotic concept is Saussure's distinction between the two inseparable components of a sign: the signifier, which in language is a set of speech sounds or marks on a page, and the signified, which is the concept or idea behind the sign. Saussure also distinguished parole, or actual individual utterances, from langue, the underlying system of conventions that makes such utterances understandable; it is this underlying langue that most interests semioticians.

This interest in the structure behind the use of particular signs links semiotics with the methods of structuralism (q.v.), which seeks to analyze these relations. Saussure's theories are thus also considered fundamental to structuralism (especially structural linguistics) and to poststructuralism.

Modem semioticians have applied Peirce and Saussure's principles to a variety of fields, including aesthetics, anthropology, psychoanalysis, communi-cations, and semantics. Among the most influential of these thinkers are the French scholars Claude Lévi-Strauss, Jacques Lacan, Michel Foucault, Jacques Derrida, Roland Barthes, and Julia Kristeva.

Dua tokoh perintis semiotik adalah Ferdinand de Saussure seorang ahli bahasa dari Swiss dan Charles Sanders Peirce, seorang filosof dari Amerika Serikat. Saussure melihat bahasa sebagai sistem yang membuat lambang bahasa itu terdiri dari sebuah imaji bunyi (sound image) atau signifier yang berhubungan dengan konsep (signified). Setiap bahasa mempunyai lambang bunyi tersendiri.

Peirce juga menginterpretasikan bahasa sebagai sistem lambang, tetapi terdiri dari tiga bagian yang saling berkaitan: (1) representatum, (2) pengamat

(interpretant), dan (3) objek. Dalam kajian kesenian berarti kita harus memperhitungkan peranan seniman pelaku dan penonton sebagai pengamat dari lambang-lambang dan usaha kita untuk memahami proses pertunjukan atau proses penciptaan. Peirce membedakan lambang-lambang ke dalam tiga kategori: ikon,


(26)

indeks, dan simbol. Apabila lambang itu menyerupai yang dilambangkan seperti foto, maka disebut ikon. Jika lambang itu menunjukkan akan adanya sesuatu seperti timbulnya asap akan diikuti api, disebut indeks. Jika lambang tidak menyerupai yang dilambangkan, seperti burung garuda melambangkan negara Republik Indonesia, maka disebut dengan simbol.

Semiotik atau semiologi adalah kajian teradap tanda-tanda (sign) serta tanda-tanda yang digunakan dalam perilaku manusia. Definisi yang sama pula dikemukakan oleh salah seorang pendiri teori semiotik, yaitu pakar linguistik dari Swiss Ferdinand de Sausure. Menurutnya semiotik adalah kajian mengenai “kehidupan tanda-tanda dengan masyarakat yang menggunakan tanda-tanda itu.” Meskipun kata-kata ini telah dipergunakan oleh filosof Inggris abad ke-17 yaitu John Locke, gagasan semiotik sebagai sebuah modus interdisiplin ilmu, dengan berbagai contoh fenomena yang berbeda dalam berbagai lapangan studi, baru muncul ke permukaan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20, ketika munculnya karya-karya Sausurre dan karya-karya-karya-karya seorang filosof Amerika Serikat, Charles Sanders Peirce.

Dalam karya awal Peirce di lapangan semiotik ini, ia menumpukan perhatian kepada pragmatisme dan logika. Ia mendefinisikan tanda sebagai “sesuatu yang mendukung seseorang untuk sesuatu yang lain.” Salah satu sumbangannya yang besar bagi semiotik adalah pengkategoriannya mengenai tanda-tanda ke dalam tiga tipe, yaitu: (a) ikon, yang disejajarkan dengan referennya (misalnya jalan raya adalah tanda untuk jatuhnya bebatuan); (b) indeks, yang disamakan dengan referennya (asap adalah tanda adanya api) dan (c) simbol, yang berkaitan dengan referentnya


(27)

dengan cara penemuan (seperti dengan kata-kata atau signal trafik). Ketiga aspek tanda ini penulis gunakan untuk mengkaji teks katoneng-katoneng.

Untuk lebih memperinci teori semiotik ini maka penulis mendeskripsikan empat teori semiotik yang digunakan untuk mengkaji makna teks katoneng-katoneng. Keempat teori semiotik itu adalah: (1) semiotik Peirce, (2) semiotik Saussure, (3) semiotik Barthes, dan (4) semiotik Halliday.

(1). Semiotik Charles Sanders Peirce

Peirce mengemukakan teori segi tiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari tiga elemen utama, yakni tanda (sign), object, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (merepresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Peirce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda (Santosa, 1993:10) dan (Pudentia, 2008:323)

Tabel 1.1 Segitiga Makna Objek


(28)

Menurut Peirce (Santosa,1993:10) pemahaman akan struktur semiosis menjadi dasar yang tidak dapat ditiadakan bagi penafsir dalam upaya mengembangkan pragmatisme. Seorang penafsir adalah yang berkedudukan sebagai peneliti, pengamat, dan pengkaji objek yang dipahaminya. Dalam mengkaji objek yang dipahaminya, seorang penafsir yang jeli dan cermat, segala sesuatunya akan dilihat dari tiga jalur logika, yaitu hubungan penalaran dengan jenis penandanya, hubungan kenyataan dengan jenis dasarnya, dan hubungan pikiran dengan jenis petandanya seperti yang tertera dalam bagan 1.2 dan bagan 1.3 berikut.

Tabel 1.2: Pembagian Tanda Ground/ representamen:

tanda itu sendiri sebagai perwujudan gejala umum.

Objek/ referent: yaitu apa yang diacu.

Interpretant: tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima.

Qualisign: terbentuk oleh suatu kualitas yang merupakan suatu tanda, misalnya: “keras” suara sebagai tanda, warna hijau.

Ikon: tanda yang

penanda dan petandanya ada kemiripan. Misalnya: foto, peta.

Rheme: tanda suatu

kemungkinan atau konsep, yaitu yang memungkinkan menafsirkan berdasarkan pilihan, misalnya: “mata merah” bisa baru menangis, tapi bisa juga yang lain.

Sinsign/tokens: terbentuk melalui realitas fisik. Misalnya : rambu lalu lintas.

Index: hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misalnya: asap dan api.

Dicent sign: tanda sebagai fakta/ pernyataan deskriptif eksistensi aktual suatu objek, mis : tanda larangan parkir adalah kenyataan tidak boleh parkir.

Legisign: Hukum atau kaidah yang berupa tanda. Setiap tanda

Symbol: hubungan tanda dan objek karena

kesepakatan / suatu

Argument: tanda suatu aturan, yang langsung memberikan alasan, mis : gelang akar


(29)

konvensional adalah legisign, misalnya: suara wasit dalam

pelanggaran.

tanda yang penanda atau petandanya arbitrer konvensional. Misalnya: bendera, kata-kata.

bahar dengan alasan kesehatan.

Sumber: Erni Yunita (2011).

Tabel 1.3: Hubungan Tanda

Sumber: Erni Yunita (2011)

Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk sebuah tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda, ketika tanda itu digunakan orang saat berkomunikasi. Model tanda yang dikemukakan Peirce adalah trikotomis atau triadik, dan tidak memiliki ciri-ciri struktural sama sekali. Prinsip dasarnya adalah bahwa tanda bersifat representatif


(30)

yaitu tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain. Proses pemaknaan tanda pada Peirce mengikuti hubungan antara tiga titik yaitu Representamen (R), Object

(O), dan Interpretant (I). (R) adalah bagian tanda yang dapat dipersepsi secara fisik atau mental, yang merujuk pada sesuatu yang diwakili oleh (O), kemudian (I) adalah bagian dari proses yang menafsikan hubungan antara (R) dan (O).

Contoh apabila di tepi pantai seseorang melihat bendera merah (R), maka dalam kognisinya ia merujuk pada “larangan untuk berenang” (O), selanjutnya ia menafsirkan bahwa “adalah berbahaya untuk berenang di situ” (I). Tanda seperti itu disebut lambang yakni hubungan antara R dan O bersifat konvensional.

(2). Semiotik Ferdinand de Saussure

Teori semiotik ini dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (1857-1913). Dalam teori ini semiotik dibagi menjadi dua bagian (dikotomi) yaitu penanda (signifier) dan pertanda (signified). Penanda dilihat sebagai bentuk atau wujud fisik dapat dikenal melalui wujud karya arsitektur atau seni rupa. Sedang pertanda dilihat sebagai makna yang terungkap melalui konsep, fungsi dan/atau nilai-nlai yang terkandung di dalam karya arsitektur. Eksistensi semiotik Saussure adalah relasi antara penanda dan petanda berdasarkan konvensi, biasa disebut dengan signifikasi. Semiotik signifikasi adalah sistem tanda yang mempelajari relasi elemen tanda dalam sebuah sistem berdasarkan aturan atau konvensi tertentu. Kesepakatan sosial diperlukan untuk dapat memaknai tanda tersebut (Culler, 1996:7). Bagan berikut tentang tanda (sign) yang dikemukakan oleh Ferdinand de Saussure (dalam Djajasudarma, 1993:23).


(31)

Tabel 1.4: Tentang Tanda

Signifiant (signifier) “yang menandai” (citra bunyi) misalnya: pohon [p o h o n]

Signe Signifie (signified) “yang ditandai” (pengertian atau kesan makna yang ada dalam pikiran).

Contoh:

Hubungan antara signifiant dan signifie bersifat arbitrer atau sembarang saja. Dengan kata lain, tanda bahasa (signe linguistique atau signe) bersifat arbitrer. Pengertian pohon tidak ada hubungannya dengan urutan bunyi t-a-n-g-k-a-l di dalam bahasa Sunda atau w-i-t di dalam bahasa Jawa. Signifiant bersifat linear, unsur-unsurnya membentuk satu rangkaian (unsur yang satu mengikuti unsur lainnya).

Tabel 1.5:

Tentang Hubungan Tanda

tangkal Pohon


(32)

--- signification ---

Menurut Saussure (Chaer, 2003:348), tanda terdiri dari: (a) bunyi-bunyian dan gambar, yang disebut signifier atau penanda, dan (b) konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified. Dalam berkomunikasi, seseorang menggunakan tanda untuk mengirim makna tentang objek dan orang lain akan menginterpretasikan tanda tersebut. Objek bagi Saussure disebut referent. Hampir serupa dengan Peirce yang mengistilahkan interpretant untuk signified dan object untuk signifier, bedanya Saussure memaknai “objek” sebagai referent dan menyebutkannya sebagai unsur tambahan dalam proses penandaan. Contoh, ketika orang menyebut kata “anjing” (signifier) dengan nada mengumpat maka hal tersebut merupakan tanda kesialan (signified). Begitulah, menurut Saussure, “Signifier dan signified merupakan kesatuan, tidak dapat dipisahkan, seperti dua sisi dari sehelai kertas.”

Bahasa merupakan sistem tanda, di mana setiap tanda yang ada terdiri dari dua bagian yaitu signifier dan signified. Signifier merupakan konsep, ide, atau

Sign/symbol


(33)

gagasan. Sementara signified adalah kata-kata atau tulisan yang menyampaikan konsep, ide, atau gagasan tersebut. Kedua unsur ini tidak dapat dipisahkan, suatu

signified tanpa signifier tidak memiliki arti apa–apa, sebaliknya suatu signifier tanpa

signified tidak mungkin dapat disampaikan. Contohnya manusia yang masih sangat muda yang belum bisa berbicara dan berjalan merupakan sebuah signifier. Untuk menyampaikan gagasan dalam signifier tersebut maka digunakan signified “bayi.” (3). Semiotik Roland Barthes

Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotik menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (Barthes, 2007:82).

Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure, yang tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya. Menurut Saussure (dalam Aminuddin, 1995:168) hubungan antara simbol dan yang disimbolkan tidak bersifat satu arah. Kata bunga misalnya, bukan hanya memiliki hubungan timbal balik dengan gambaran yang disebut bunga, tetapi secara asosiatif juga dapat dihubungkan dengan keindahan, kelembutan, dan sebagainya.


(34)

Konsep mental ini kemudian menjadi perhatian Barthes yang mengembangkan konsep tanda Saussure dengan menambahkan konsep “relasi.” Relasi yang dimaksud adalah penghubung penanda (disebut expression “ungkapan” dilambangkan dengan E) dan petanda (disebut contenu/ content “isi” dilambangkan dengan C). Penanda dan petanda dihubungkan dengan relasi (R). Gabungan atau kesatuan tingkatan–tingkatan tersebut dan relasinya itu membentuk satu sistem ERC. Sistem ini terdapat dalam bentuknya sendiri, dan menjadi unsur sederhana dari sistem atau bentuk kedua yang membina bentuk yang lebih luas. Oleh Barthes sistem ini dapat dipilah menjadi dua sudut artikulasi. Konotasi dan denotasi satu sudut, metabahasa dan objek bahasa di sudut lain, seperti bagan berikut ini (Pudentia, 2008:335).


(35)

Tabel 1.6:

Konotasi dan Metabahasa

Denotasi \

Objek bahasa Konotasi Metabahasa

Contoh : Tempat jin turun berkecimpung E C Denotasi

Konotasi

E C

E C

Objek bahasa Metabahasa E C

(4). Semiotik Halliday

Teori bahasa fungsional sistemik dikembangkan seorang pakar linguistik M.A.K Halliday seorang pakar bahasa yang berasal dari Inggris dan kini tinggal di Australia sebagai guru besar di University of Sydney. Kata sistemik adalah suatu

E d C d E d C d E d C d

E C

Jin makhluk

Jin berkecimpun

Jin bermain air /mandi Jin Bergembira menerima


(36)

teori yaitu tentang makna. Bahasa merupakan semiotik sistem (Halliday dkk., 1992:4). Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas dua jenis yaitu semiotik denotatif dan semiotik konotatif. Semiotik denotatif menunjukkan bahwa arti direalisasikan oleh bentuk yang selanjutnya direalisasikan oleh ekspresi. Berbeda dengan semiotik denotatif, semiotik konotatif hanya memiliki arti tetapi tidak memiliki bentuk.

Dalam pemakaian bahasa sistem semiotik konotatif terdapat dalam hubungan bahasa dengan konteks sosial yang terdiri atas ideologi, konteks budaya dan faktor situasi sebagai semiotik konotatif, pemakaian bahasa menunjukkan bahwa ideologi tidak memiliki bentuk. Oleh karena itu, semiotik meminjam budaya sebagai bentuk sehingga ideologi direalisasikan oleh budaya, budaya direalisasikan oleh konteks situasi. Selanjutnya konteks situasi meminjam semiotik yang berada dibawahnya yaitu bahasa. Jadi konteks situasi direalisasikan oleh bahasa yang mencakupi semantik, tata bahasa dan fonologi.

Bahasa dalam pandangan semiotik sosial menandai jenis pendekatan yang dilakukan oleh Halliday. Dalam pengertian ini bahwa sebagai semiotik, bahasa terjadi dari dua unsur yaitu arti dan ekspresi, berbeda dengan semiotik biasa sebagai semiotik sosial bahasa memiliki unsur lain yaitu bentuk. Dengan demikian bahasa dalam interaksi sosial terdiri dari tiga unsur yaitu arti, bentuk dan ekspresi. Arti (semantic atau discourse semantics) direalisasikan bentuk (grammar atau

lexicogrammar) dan bentuk ini seterusnya dikodekan oleh ekspresi atau


(37)

Proses semiotik adalah suatu proses pembentukan makna dengan melakukan pemilihan. Semiotik pemakaian bahasa terdiri atas semiotik denotatif dan semiotik konotatif yang memiliki arti dan bentuk. Bahasa merupakan semiotik denotatif dengan pengertian bahwa semantik sebagai arti direalisasikan oleh lexicogrammar

sebagai bentuk dan selanjutnya lexicogrammar diekspresikan oleh phonology. 1.6.4 Teori Weighted Scale

Untuk mengkaji struktur musik yang digunakan dalam nyanyian katoneng-katoneng ini, penulis menggunakan teori weighted scale (bobot tangga nada), seperti yang ditawarkan oleh Wiliam P. Malm (1977). Teori weighted scale adalah teori yang lazim digunakkan untuk menganalisis atau mendeskripsikan melodi berdasarkan delapan unsur melodis yang terdiri dari delapan unsur, yaitu sebagai berikut: (1) tangga nada; (2) wilayah nada (ambitus); (3) nada dasar (tone center); (4) jumlah nada-nada, (5) distribusi interval, (6) formula melodi, (7) pola-pola kadensa, dan (8) kontur.

1.7 Metode Penelitian

Tesis ini berjudul Nyanyian Katoneng-katoneng Dalam Konteks Kerja Mengket Rumah Pada Masyarakat Karo: Kajian Semiotik Dan analisis Musikologi.

Penulis berupaya mengkaji nyanyian tradisi dengan menerapkan ilmu etnomusikologi dengan pendekatan metode penelitian deskriptif ( descriptive research). Secara kontekstual dapat dibantu dengan menggunakan teori: Semiotik, sosiologi, anthropologi, atau teori sosial lainnya. Penggunaan teori dalam analisisnya


(38)

dapat dilakukan secara silang antara teks dan konteks. menggunakan pendekatan berbagai disiplin ilmu atau disebut pendekatan multidisiplin.

Untuk mecapai tujuan penelitian, penulis menggunakan penelitian kualitatif. Dengan metode kualitatif ini akan menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang atau perilaku yang diamati. (Bogdan dan Taylor, 1975:5) Oleh karena itu dalam penelitian ini pendeskripsian nyanyian katoneng-katoneng dilakukan dengan cara antara lain: pemilihan nyanyian dan instrumen musik.Begitu juga dan terhadap informasi atau data-data dari narasumber. Selanjutnya pencarian data dilakukan dengan meminjam cara interpretatif yakni melalui pengalaman dan pemahaman.

Selanjutnya penulis juga melakukan penelitian kualitatif. Penelitian ini menghasilkan dan mengolah data yang sifatnya deskriptif seperti wawancara, catatan lapangan, gambar, foto, rekaman audio dan video. Selanjutnya lebih dijelaskan lagi bahwasanya, metode penelitian, cara kerja, alat bantu dan pendekatan akan disesuaikan dengan tujuan yang ingin dicapai. Jenis penelitian ini bersifat deskriptif analitis. yaitu data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, bukan angka-angka. (Moleong, 2006:3).

Metode yang dipergunakan dalam penelitian nyanyian katoneng-katoneng

adalah metode deskriptif kualitatif yang berarti penelitian yang berdasarkan atas tujuannya dalam menggambarkan dan menafsirkan data yang ada. Misalnya tentang situasi yang dialami, hubungan, kegiatan, pandangan, sikap, atau proses yang sedang


(39)

berlangsung, dan lain-lain yang berlangsung pada masa sekarang, dan pada masalah-masalah yang bersifat aktual (Surakhmad, 1990:189-190).

Hal ini didukung dengan pendapat dari Bogdan bahwa penelitian kualitatif secara sistematis dilakukan melalui metode kualitatif, yaitu suatu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau kata-kata lisan dan tertulis dari orang-orang dan prilaku yang diamati, sehingga pendekatannya diarahkan pada latar sosial dan budaya individu atau masyarakatnya (Bogdan, 1972:5). Pengumpulan data dilakukan dengan teknik: (a) studi kepustakaan, (b) observasi, (c) wawancara, dan (d) perekaman.

Studi kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data melalui sumber-sumber sekunder. Yaitu sumber tertulis, berupa buku, laporan, atau dokumen yang memuat informasi tentang nyanyian katoneng-katoneng pada masyarakat pendukungnya, serta hal-hal lain yang berkaitan dengan pembentukan kerangka pemikiran.

Data yang diperoleh dari studi kepustakaan masih merupakan data sekunder. Oleh sebab itu, untuk memperoleh data primer atau data yang lebih akurat, maka penulis melakukan penelitian ke lapangan (work field).

Di lapangan, penulis mengumpulkan data melalui observasi langsung yang disebut dengan pengamatan terlibat. Untuk mendapatkan hasil semaksimal mungkin, penulis menggunakan peralatan audio dan visual beserta buku catatan.

Untuk memperoleh data tersebut sesuai dengan metode kerja lapangan, dipergunakan kerangka kerja (lihat Nettl (1964:29-30) meliputi:


(40)

(1) Wawancara mendalam, dengan tujuan agar informan dapat memberikan pandangan-pandangan tentang kebudayaan secara luas dan ^terbuka.

(2) Observasi budaya, meliputi proses dokumentasi audio dan visual, data statistik, dan sumber-sumber tertulis lainnya.

(3) Pengamatan berperan-serta, yaitu pengamatan dimana peneliti berperan-serta dalam aktifitas masyarakat.

Pelaksanaan kerja laboratorium disebut juga kerja analisis (desk work). Pelaksanaan kerja analisis ini merupakan pengolahan data yang diperoleh dari kerja lapangan dan dilengkapi dengan data yang berasal dari studi kepustakaan. Data yang diperoleh dari hasil kerja lapangan diawali dengan analisis induktif, yaitu dengan mengklasifikasikan data dari lapangan dalam tema atau ide-ide. Kemudian ide-ide tersebut dimodifikasi dalam suatu bangunan pemikiran Selanjutnya pada tahap ini kesimpulan atau hipotesa dari data mulai dibentuk. Dilengkapi dengan data sekunder dari kepustakaan, dilakukanlah analisis induktif. Yaitu kerja laboratorium yang mencari atau menemukan apakah teori-teori yang digunakan dalam konsep penelitian didukung oleh kesimpulan-kesimpulan dari analisis induktif. Pada tahap ini teori tersebut kemungkinan dapat dimodifikasi untuk menjelaskan, meramalkan dan menafsirkan fenomena dalam nyanyian katoneng-katoneng.

Adapun data audio (musik) secara khusus dianalisis secara etnomusikologis. Untuk dapat mempelajari aspek-aspek dari nyanyian katoneng-katoneng, dilakukan transkripsi yaitu suatu usaha untuk memindahkan bunyi aural ke dalam suatu notasi.


(41)

Dalam menganalisis data audio yang bersifat musikal, William P. Malm (1977:7-8) mendeskripsikan penelitian terhadap aspek musikal ini dengan tiga tahapan, yaitu:

(1) Pengamatan terhadap praktek pertunjukan yang ditulis sebagai deskripsi praktik pertunjukan.

(2) Aspek waktu, yang terdiri dari tempo atau meter, dan ritme.

(3) Aspek melodi, yaitu tangga nada, nada dasar, jumlah, interval, pola kadensa, bentuk, dan kontur.

Unsur-unsur penganalisis yang dikemukakan oleh Malm ini akan dipergunakan dalam menganalisis data musikal. Dan untuk memperoleh analisis yang lebih lengkap, akan dikombinasikan dengan prosedur analisis musik yang dikemukakan oleh Nettl (1964).

1.8 Sistematika Penulisan

Tesis ini terdiri dari lima bab dengan rincian sebagai berikut. Bab I merupakan Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pokok masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, konsep yang digunakan, teori yang digunakan, metode penelitian, dan sistematika penelitian.

Dilanjutkan kepada Bab II yang merupakan deskripsi Desa Sukanalu sebagai lokasi/ tempat dilaksanakannya kerja mengket rumah. Bab ini akan menguraikan tentang gambaran umum lokasi penelitian, Sistim sosial pada masyarakat Karo,


(42)

sistim organisasi sosial, sangkep nggeluh, sistem religi, bahasa. Sistim penanggalan dalam masyarakat Karo berikut nama bulan nama hari.

Bab III memaparkan tentang Katoneng-katoneng dalam kerja mengket rumah. Bab ini mejelaskan dan menguraikan asal usul dan pengertian katoneng-katoneng. Fungsi dan penggunaan katoneng-katoneng, penggarapan teks dalam musik yang meliputi aspek bahasa. Selanjutnya bagaimana posisi/ sikap penyanyi

katoneng-katoneng begitu juga bagaimana busana yang dipakainya. Kemudian secara kontekstual dimana katoneng-katoneng hadir/ diselenggarakan dalam kerja mengket rumah. Poin ini menguraukan tujuan pelaksanaan kerja, tingkatan kerja, musik yang dipakai, jenis reportoar yang dimainkan, pelaksanaan kerja hingga proses kerja diuraikan dan dipaparkan secara detail.

Bab IV kajian semiotika diawali dengan teori semiotika dan dilanjutkan dengan kajian teks katoneng-katoneng, yang meliputi penggarapan teks katoneng-katoneng, aspek bahasa, dksi dan majas. Dibagian akhir struktur teks katoneng-katoneng.

Analisis musikal pada Bab V adalah kajian struktur musik (melodis) yang terdapat di dalam nyanyian katoneng-katoneng. Bab ini akan membahas dan menganalisa frasa-frasa melodi yang terdiri dari tangga nada, wilayah nada, nada dasar, interval, distribusi nada, formula melodi, kontur, hubungan melodi dengan teks dan lainnya.


(43)

Bab VI merupakan bab penutup yang isinya memuat kesimpulan dan saran dari penulisan ini. Keimpulan yang diuraikan adalah menjawab dua pokok masalah yang telah dikemukakan di dalam Bab I. Sedangkan saran-saran akan diarahkan bagaimana pendekatan saintifik dan bagaimana yang harus dilakukan oleh para peneliti dan pemerhati kebudayaan terkait dalam konteks meneruskan eksistensi kesenian sebagai bahagian dari jatidiri atau identitas bangsa khususnya masyarakat Karo.


(44)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT KARO

2.1 Letak Geografis dan Kondisi Alam Kabupaten Karo

Kabupaten Karo berbatasan langsung dengan berbagai wilayah yakni, si sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (Provinsi Nangroe Aceh Darussalam), Kabupaten Langkat, dan Kabupaten Deli Serdang. Di sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi dan Kabupaten Samosir. Di sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Simalungun. Di Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara (NAD). Faktor pendukung seperti faktor geografis dan letak perbatasan inilah yang mempengaruhi berkembangnya aktifitas ekonomi, sosial budaya, dan politik masyarakat di wilayah Kabupaten Karo (sumber: karokab.go.id).


(45)

Terletak antara 20 50’ – 30 19’ Lintang Utara dan 970 55’ – 980 38’ Bujur Timur. Luas kab.Karo sekitar 2.127,25 km2 / 130,1 jiwa per km2. Wilayah Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi dengan ketinggian antara 600 – 1.400 meter di atas permukaan laut. Oleh karena berlokasi di dataran tinggi, maka Kabupaten Karo terkenal dengan iklim sejuknya yakni dengan suhu berkisar 170C – 160C. Kelembabapan udara relatif rata-rata 87%. Angin bertiup dari arah Barat ke Utara pada bulan Oktober – Maret dengan kecepatan rata-rata 104 km/hari, dan dari arah Timur ke Tenggara pada bulan April – September dengan kecepatan rata-rata 130 km/hari (sumber: google.com).

Di dataran tinggi Karo dijumpai deretan pegunungan serta danau dengan segala keindahannya. Dua diantara pegunungan tersebut adalah gunung yang tergolong aktif, yakni gunung Sinabung dan gunung Sibayak dengan ketinggian sekitar 2.172 meter dari permukaan laut.

Keberadaan 2 (dua) gunung berapi yang tergolong aktif tersebut membantu kesuburan lahan pertanian masyarakat. Selain udara yang sejuk, kawahnya yang masih tergolong aktif di beberapa titik lokasi membuat lahan pertanian semakin gembur sehingga hasil produksinya seperti sayur mayur dan buah-buahan berwarna hijau tua, segar dan tinggi akan oksigen.

Kabupaten Karo terletak pada ketinggian 1.400 meter di atas permukaan laut dan hal tersebut menjadikan Kabupaten Karo sebagai DHS (daerah hulu sungai) bagi hulu sungai-sungai utama di Sumatera Utara. Beberapa aliran sungai tersebut ada


(46)

yang berhulu di Danau Toba, namun sebagian besar berhulu di Selat Melaka (sumber: google.com).

Kabupaten Karo merupakan salah satu daerah pemerintahan tingkat II yang berlokasi di Propinsi Sumatera Utara dan beribukotakan Kabanjahe. Bupati yang menjabat adalah Kena Ukur Karo Jambi Surbakti, dan wakilnya adalah Terkelin Brahmana.

Kabupaten Karo terletak sekitar 77 km dari kota Medan, merupakan salah satu daerah pemerintahan tingkat II yang berlokasi di Propinsi Sumatera Utara dan Kabanjahe sebagai ibukota kabupaten. Memiliki 17 kecamatan dan 258 kelurahan dengan jumlah penduduk sekitar 500.000 jiwa. Kecamatan tersebut antara lain: Kecamatan Barusjahe yang terdiri dari 19 desa, Kecamatan Berastagi yang terdiri dari 9 desa, Kecamatan Juhar yang terdiri dari 24 desa, Kecamatan Kabanjahe yang terdiri dari 13 desa, Kecamatan Kutabuluh yang terdiri dari 16 desa, Kecamatan Laubaleng yang terdiri dari 13 desa, Kecamatan Mardingding yang terdiri dari 10 desa, Kecamatan Merek yang terdiri dari 19 desa, Kecamatan Munthe yang terdiri dari 22 desa, Kecamatan Payung yang terdiri dari 8 desa, Kecamatan Simpang Empat yang terdiri dari 17 desa, Kecamatan Tiga Binanga yang terdiri dari 19 desa, Kecamatan Tiga Panah yang terdiri dari 22 desa, Kecamatan Dolat Rayat yang terdiri dari 7 desa, Kecamatan Merdeka yang terdiri dari 9 desa, Kecamatan Tiganderket yang terdiri dari 17 desa, dan Kecamatan Naman Teran yang terdiri dari 14 desa (sumber: karokab.go.id).


(47)

Berikut adalah tabel perkiraan populasi jumlah masyarakat Karo yang tersebar di 17 kecamatan:

Tabel 2.1 Perkiraan jumlah populasi masyarakat Karo di 17 Kecamatan

NO Nama Kecamatan Jumlah

Penduduk (Jiwa)

1. Mardingding 15616

2. Lau Baleng 18404

3. Tiga Binanga 18894

4. Juhar 13841

5. Munthe 20565

6. Kutabuluh 11549

7. Payung 10627

8. Tiga Nderket 13765

9. Simpang Empat 19774

10. Naman Teran 11550

11. Merdeka 11973

12. Kabanjahe 58500

13. Berastagi 41442

14. Tiga Panah 29626

15. Dolat Rayat 7957

16. Merek 15577


(48)

Sumber: Pemkab.Kar

Secara geografis Kabupaten Karo merupakan salah satu daerah di Sumatera Utara yang sangat strategis. Hal tersebut dikarenakan Kab.Karo merupakan jalur lintas kabupaten serta berada di antara pegunungan dan hulu sungai (Tarigan, 2010). Lokasinya yang berada di dataran tinggi dan di antara deretan pegunungan aktif, menjadikan kabupaten ini dapat memproduksi hasil pertanian seperti sayur-sayuran, bunga, buah, dll dengan kualitas yang sangat baik.

2.2 Kebudayaan Dalam Masyarakat Karo

Istilah kebudayaan merupakan tejemahan dari istilah culture dari bahasa Inggris. Kata culture berasa dari bahasa latin colore yang berarti mengolah, mengerjakan, menunjuk pada pengolahan tanah, perawatan dan pengembangan tanaman dan ternak. Upaya untuk mengola dan mengembangkan tanaman dan tanah inilah yang selanjutnya dipahami sebagai culture.

Sementara itu, kata kebudayaan berasal dari bahasa sansekerta, buddhayah

yang merupakan bentuk jamak dari kata buddhi. Kata buddhi berarti budi dan akal. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan kebudayaan sebagai hasil kegiatan dan penciptaan batin (akal budaya) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat – istiadat.

E.B. Taylor mendefinisikan kebudayaan sebagai hal yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adapt-istiadat, kebiasaan serta kemampuan-kemampuan lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.


(49)

Menurut Koentjaningrat (1985) kebudayaan adalah keseluruhan ide-ide, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Definisi lebih singkat terdapat pada pendapat Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi (1964), menurut mereka kebudayaan adalah semua hasil karya, rasa, dan cipta masyarakat.

Bila disimak lebih seksama, definisi Selo Soemardjan dan Soelaeman Soemardi lebih menekankan pada aspek hasil material an kebudayaan. Sementara Koentjaraningrat menekankan dua aspek kebudayaan yaitu abstrak (non material) dan konkret (material). Pada definisi Koentjaraningrat, tampak bahwa kebudayaan merupakan suatu proses hubungan manusia dengan alam dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik jasmaniah maupun rohaniah. Dalam proses tersebut manusia berusaha mengatasi permasalahan dan tantangan yang ada dihadapannya.

Terlepas dari perbedaan yang ada di antara pendapat di atas. Tampak bahwa belajar merupakan unsur penting dari pengertian kebudayaan. Seperti terlihat pula pada definisi kebudayaan menurut Kroeber (1948). Menurutnya, kebudayaan adalah keseluruhan realisasi gerak, kebiasaan, tata cara, gagasan, dan nilai-nilai yang dipelajari dan diwariskan, serta perilaku yang ditimbulkannya.

Dalam sistem sosial-budaya menurut Koentjaraningrat ada 7 unsur kebudayaan sebagai cultural universal. 7 unsur kebudayaan tersebut adalah: 1. Sistem mata pencaharian hidup(ekonomi)

2. Ilmu pengetahuan atau teknologi 3. Bahasa


(50)

4. Sistem kepercayaan atau Religi(agama) 5. Sistem organisasi social(social)

6. Kesenian

7. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia

2.2.1 Sistem Mata Pencaharian Hidup (Ekonomi)

Sistem mata pencaharian hidup (ekonomi) tradisional meiputi, bercocok tanam, berburu dan meramu, beternak, menangkap ikan. Mata pencaharian masyarakat biasanya berhubungan dengan kondisi wilayah tempat tinggal serta ketersediaan yang terkandung di alamnya.Pada masyarakat Karo jelas terlihat bagaimana sistem bercocok tanam (musiman) seperti padi, jagung maupun sayur-sayuran yang menggunakan penanggalan kalender tradisional maupun menurut sistem yang dipakai sekarang. Adanya perdagangan (pasar) tradisional maupun modern membuat adanya interaksi antara penjual dan pembeli (transaksi), hal ini juga akan menambah tenaga kerja dan mengurangi pengangguran. Lahan persawahan dan ladang yang luas membutuhkan serapan tenaga untuk mengerjakannya, maka

aron sebagai buruh tani akan mendapat upah dari jasanya. Dengan demikian ada dua sektor besar yang digolongkan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat Karo yakni:

(1) Sektor Pertanian

Sektor ini mencakup tanaman pangan dan holtikultura (buah-buahan, sayur mayur, bunga-bungaan, dan biji-bijian). Berikut adalah luas wilayah Tanah Karo


(51)

yang digunakan sebagai penunjang sektor pertanian. Keseluruhan luas wilayah adalah 212,725, dan terdiri dari: Lahan sawah 12,328 Ha, Lahan kering 93,391 Ha (meliputi wilayah pekarangan, kebun campuran, perladangan, dan perkebunan), Kawasan hutan 76,835 Ha (meliputi wilayah hutan lindung dan suaka alam), Padang rumput 4,254 Ha, Rawa yang tidak ditanami 0, 399 Ha, Tidak diusahakan 7,418 Ha, dan Lain-lain 18,150. Pada sektor ini masyarakat Karo sebagian besar terlibat dalam organisasi KT2KS (Kelompok Tani Tanah Karo Simalem) (sumber: karokab.go.id) (2) Sektor Pariwisata

Selain bekerja dalam sektor pertanian, sebagian dari masyarakat Karo bermata pencaharian dalam sektor pariwisata. Bidang-bidang pekerjaan mereka termasuk di dalamnya adalah para pengelola jalan lintas gunung, pemandian air panas, objek wisata danau, air terjun, rumah tradisional, museum seni, dan sebagainya.

2.2.2 Ilmu Pengetahuan atau Teknologi

Ilmu pengetahuan sangat berkembang dengan pesat, sejalan dengan pesatnya kemajuan teknologi disegala bidang. Kemajuan teknologi mempermudah untuk berhubungan atau berkomunikasi jarak jauh. Komunikasi dengan orang lain yang jaraknya jauh dapat dilakukan dengan mudah dan cepat. Produksi hasil pertanian menjadi berlipat dengan waktu yang lebih cepat karena sudah memakai peralatan dan pemilihan bibit yang lebih unggul. Teknologi menyangkut cara-cara atau teknik memproduksi, memakai, serta memelihara segala peralatan dan perlengkapan.


(52)

Teknologi muncul dalam cara-cara manusia mengorganisasikan masyarakat, dalam cara-cara mengekspresikan rasa keindahan, atau dalam memproduksi hasil-hasil kesenian.

2.2.3 Bahasa

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat), dengan tujuan menyampaikan maksud hati atau kemauan kepada lawan bicaranya atau orang lain. Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan sekaligus mudah membaurkan dirinya dengan segala bentuk masyarakat. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuna, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Bahasa adalah suatu sistem yang memungkinkan manusia untuk mengungkapkan emosi dan perasaannya ke dalam bentuk lambang yang dapat dipahami dan ditafsirkan oleh orang lain.

Fungsi-fungsi bahasa :


(53)

2. Fungsi artistik, yaitu mengolah dan menggunakan bahasa dengan seindah-indahnya demi pemuasan rasa estetika/kebutuhan akan keindahan.

3. Fungsi filosofis, yaitu untuk mempelajari kebudayaan-kebudayaan manusia yang hidup di jaman dahulu kala.

4. sebagai kunci atau sarana untuk mempelajari ilmu-ilmu lain.

Bahasa daerah menjadi suatu ciri khas atau pembeda cara komunikasi suatu daerah dengan daerah lainnya. Dengan melihat bahasa yang diucapkan seseorang, kita dapat mengetahui asal daerah orang tersebut. Masing-masing daerah di Indonesia memiliki bahasa daerah yang berbeda-beda.

Masyarakat Karo memiliki suatu bahasa yaitu bahasa Karo sebagai bahasa ibu. Bahasa Karo ini dipergunakan setiap hari sebagai alat komunikasi, selain bahasa Indonesia. Tetapi bila ditinjau lebih lanjut, bahasa karo mempunyai tiga dialek utama yang disebabkan perbedaan letak geografisnya. Dialek-dialek tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Dialek gunung-gunung atau cakap karo gunung-gunung terdapat didaerah kecamatan Munthe, Juhar, Tigabinanga, Kutabuluh, dan Mardingding.

(2) Dialek kabanjahe atau cakap kalak julu terdapat dikecamatan kabanjahe, Tigapanah, Simpang Empat, dan Barusjahe.

(3) Dialek jahe-jahe atau cakap kalak karo jahe terdapat di kabupaten Deli Serdang yang meliputi kecamatan Pancurbatu, Biru-biru, Sibolangit,


(54)

Lambekeri, Namorambe, serta dikabupaten Langkat Hulu seperti Salapian, Kuwala, Bahorok, dan lain-lain (Tridah Bangun: 65)

Sehubungan dengan hal tersebut, dalam konteks kerja mengket rumah ini,

perkolong-kolong yang berasal dari desa Seberaya, kec. Tigapanah, didalam menyanyikan katoneng-katoneng tidak terlepas dari dialek bahasanya, yaitu dialek

cakap kalak julu. Hal ini dapat dilihat dari setiap kata dalam baris teks yang berakhir dengan huruf e, akan mendapat tambahan dengan huruf i. Contohnya, kata anak berundu e menjadi anak berundu ei, kata meter e menjadi meter ei, kata ndube

menjadi ndubei.

Meskipun ditemui dialek – dialek dalam musik vokal pada khususnya dan bahasa Karo pada umumnya, tetapi arti dan makna yang ditimbulkan oleh kata atau bahasa yang digunakan tidaklah berbeda.

Selain dipergunakan dalam komunikasi sehari – hari, bahasa Karo dipergunakan pula dalam upacara – upacara adat. Pada dasarnya bahasa yang dipergunakan dalam kedua situasi tersebut tidaklah jauh berbeda. Hanya saja bahasa yang dipergunakan sehari – hari lebih bersifat praktis, lugas dan gampang dimengerti. Sedangkan bahasa yang dipergunakan dalam upacara – upacara adat atau pembicaraan pada konteks adat, lebih banyak mengandung kata – kata yang bersifat sastra. Misalnya banyak kata – kata kiasan, perumpamaan dan lain – lain.

Salah satu contoh ialah bahasa yang dipergunakan di dalam nyanyian katoneng – katoneng.


(55)

Di samping bahasa sehari – hari dan yang dipergunakan dalam konteks adat, ditemukan juga hasil – hasil sastra lisan gunakan hanya dalam situasi tertentu dan diketahui oleh segolongan kecil masyarakat.

Adapun bentuk sastra lisan pada masyarakat Karo antara lain ialah:

(1) Tabas atau mantra, biasanya dipergunakan para guru sibaso (dukun wanita) dalam upacara pemanggilan roh untuk mengobati orang sakit. Tapi terkadang tabas juga dinyanyikan.

(2) Ndungdungen, bentuknya hampir sama dengan pantun. Terdiri dari empat baris sebait, baris pertama dan kedua disebut sampiran, sedang baris ketiga dan keempat disebut isi.

(3) Perumpamaan atau ungkapan, biasanya ditandai/ dimulai dengan kata bagi (seperti), persumpamana (umpamanya). Biasanya dipakai dalam pembicaraan adat atau dalam kehidupan sehari – hari.

(4) Turiturin atau cerita, adalah bentuk prosa mengenai berbagai hal seperti kesedihan, kesaktian, asal usul kampung, hewan, legenda dan lain – lain. Isi ceritanya bersifat nasihat, perbandingan – perbandingan satu dengan lainnya, dan mendidik. Contoh turiturin ini antara lain : Beru Patimar, Pawang Ternalem, Beru Ginting Pase, Sibayak Barusjahe dan lain – lain. (5) Cakap Lumat, merupakan bahasa dengan tutur yang halus. Dipergunakan oleh kaum muda mudi pada masa berpacaran diwaktu malam hari. Sering pula dipergunakan oleh seorang orang tua untuk meminang seorang gadis.


(56)

2.2.4 Sistem Kepercayaan

Sistem kepercayaan seringkali terintegrasi dengan kebudayaan. Agama (bahasa Inggris: Religion, yang berasar dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), adalah sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai berikut:

... sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan

kebahagiaan sejati.[1]

Menurut Maran (2000: 68-70) agama merupakan terjemahan dari kata Inggris

religion yang dalam bahasa Indonesia memiliki arti religi. ’Re’ artinya adalah kembali, sedangkan ’ligare’ artinya adalah mengikat. Jadi religare/religi maksudnya adalah kehidupan beragama itu mempunyai tata aturan serta kewajiban yang harus ditaati oleh pemeluknya. Tata aturan serta kewajiban tersebut diyakini sebagai sesuatu yang diinginkan oleh Tuhan.

Menurut Bertocci, agama adalah suatu kepercayaan pribadi bahwa nilai-nilai terpenting adalah yang didukung oleh atau selaras dengan struktur alam semesta yang abadi. Selaras dengan pendapat sebelumnya, Beardsleys menambahkan bahwa agama mengacu pada seperangkat kepercayaan, sikap, dan praktis yang ditentukan oleh kepercayaan mereka tentang hakikat manusia, alam semesta, tentang bagaimana manusia harus hidup, dan tentang cara-cara terbaik untuk mencari kebenaran realitas


(57)

serta nilai-nilai. Selanjutnya Oman menjelaskan agama adalah pengakuan akan adanya realitas tertinggi-suatu realitas yang bernilai dan patut disembah. (Maran, 2000:70-71).

Dari pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulka bahwa agama merupakan kepercayaan, perbuatan, dan perasaan manusia dalam ketaatan dan keyakinan bahwa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya berakar dalam suatu realitas ilahi. Inti kehidupan orang beragama ialah percaya dan berserah secara total kepada Tuhan.

Masyarakat Karo sebelum datangnya sebaran agama Islam/Kristen telah mengenal sistem kepercayaan tradisonal mereka. Sistem kepercayaan yang disebut dengan agama tradisional perbegu yang berubah menjadi pemena. Agama pemena

(istilah agama adalah merujuk kepada pemahaman lokal masyarakat Karo dan bukan berdasarkan konsep agama menurut NKRI) merupakan agama yang mengajarkan umatnya untuk menghormati, mensakralkan dan mengkeramatkan roh manusia yang telah meninggal dunia oleh karena keluhurannya semasa hidup di dunia.

Sebahagian besar masyarakat Karo memeluk agama Kristen Protestan, Katolik maupun Islam, sebahagian kecil memeluk agama Hindu. Masing-masing agama memiliki rumah peribadatan. Upacara atau peribadatan dilakukan untuk menyembah tuhannya. Dilihat dari sistem sosial (eksternal) semua agama mempunyai rasa toleransi terhadap agama lain dalam menjalankan upacara keagamaan terutama pada hari-hari besar keagamaan.


(58)

Menurut Koentjaraningrat istilah religi dibedakan dengan istilah agama, religi merupakan bagian dari kebudayaan. Menurut Cirero religi tidak berbeda jauh dengan pengertian agama yaitu suatu pengalaman batin dari kehidupan kejiwaan manusia kemudian menimbulkan perbuatan-perbuatan atau tingkah laku manusia yang dipersembahkan kepada suatu zat yang menguasai manusia dan seluruh alam semesta.

Menurut E.B. Tylor, evolusi religi yang berdasarkan kesadaran manusia itu sendiri yang terbagi menjadi: (1) Animesme, bentuk religi yang berdasarkan

kepercayaan bahwa di alam sekeliling tempat tinggal manusia tinggal berbagai maca, ruh, spirit, mahluk halus, dan kekuatan gaib lainnya. (2) Dinamisme, bentuk religi yang berdasarkan pada kepercayaan akan kekuatan alam yang melebihi kekuatan manusia. (3) Polytheisme, bentuk religi yang berdasarkan kepada kepercayaan akan dewa-dewa, yang masing-masing mewakili suatu kekuatan atau fenomena alam tertentu. (4) Panteon, bentuk kepercayaan kepada dewa-dewa, dimana dewa-dewa tersebut tergabung didalam suatu sistem dengan struktur tugas dan jenjang yang berbeda-beda. (5) Monotheisme, bentuk religi yang berdasarkan kepercayaan pada suatu kekuatan tunggal.

Menurut Koentjaraningrat religi merupakan suatu sestem yang terdiri atas empat komponen: (1) Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia menjadi religius. (2) Sistem kepercayaan yang mengadung keruhanian dan bayangan-bayangan manusia tentang sifat tuhan, wujud dan alam gaib. (3) Sistem upacara religius yang bertujuan mencari hubungan manusia dengan dewa-dewa atau


(1)

Sutopo Cokrohamijoyo (ed.). Jakarta: Direktorat Kesenian Proyek Pengembangan Kesenian Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sudjiman, Panuti dan Aart Van Zoest (peny.) 1992. Serba-serbi Semiotik. Jakarta:

Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.

Sumarjo, Jacob, 2000. Estetitka Paradoks. Bandung: ITB Press.

Supanggah, R. (ed.), 1995. Etnomusikologi. Surakarta: Yayasan Bentang Budaya, Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.

Suparlan, Parsudi, 2004. Menuju Masyarakat Indonesia yang Multikultural. Jakarta: UI Press.

Surakhmad, Winarno, 1990. Pengantar Penelitian Ilmiah. Jakarta: Tarsito.

Sutrisno, 2007. Manajemen Keuangan: Teori, Konsep, dan Aplikasi. Yogyakarta: Penerbit ekonisia.

Tamboen, P. 1949. Adat Istiadat Karo. Kabanjahe.

Teeuw, A. 1982. Khazanah Sastra Indonesia. Bandung : PN Balai Pustaka. ________. 1984. Sastra Dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra. Bandung : PT.

Karya Nusantara.


(2)

GLOSARIUM

Aditia : Hari pertama dalam sistem penanggalan Karo. Aditia Naik : Hari kedelapan dalam sistem penanggalan Karo. Aditia Turun : Hari ke-22 dalam sistem penanggalan Karo.

Aerophone : Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari tiupan/ udara.

Amak Cur : Tikar anyam berwarna putih

Anak Beru : Anak perempuan; Pihak penerima isteri.

Begu Jabu : Roh nenek moyang yang masih tergolong sedarah. Belah Naik : Hari ketujuh dalam sistem penanggalan Karo. Belah Purnama Raya : Hari ke-14 dalam sistem penanggalan Karo. Belah Turun : Hari ke-21 dalam sistem penanggalan Karo. Beras Pati Medem : Hari ke-25 dalam sistem penanggalan Karo. Beras Pati Pultak : Hari kelima dalam sisten penanggalan Karo. Beras Pati Tangkep : Hari ke-12 dalam sistem penanggalan Karo. Beras Pati 19 : Hari ke-19 dalam sistem penanggalan Karo. Budaha : Hari keempat dalam sistem penanggalan Karo. Budaha Gok : Hari ke-18 dalam sistem penanggalan Karo. Budaha Medem : Hari ke-25 dalam sistem penanggalan Karo. Budaha Ngadep : Hari ke-11 dalam sistem penanggalan Karo. Cibal : Sesaji/Sesajen.

Cukra Dudu (Lau) : Hari ke-13 dalam sistem penanggalan Karo. Cukra Enem Berngi : Hari keenam dalam sistem penanggalan Karo.


(3)

Cukrana Mate : Hari ke-27 dalam sistem penanggalan Karo. Cukrasi 20 : Hari ke-20 dalam sistem penanggalan Karo. Dagangen : Kain putih polos

Dalin Bulan : Hari ke-29 dalam sistem penanggalan Karo. Dibata idah : Tuhan yang kelihatan ( sebutan untuk kalimbubu)

Gendang Balobat : Sekelompok alat yang terdiri dari balobat, keteng-keteng,

dan mangkuk.

Gendang Kulcapi : Sekelompok alat yang terdiri dari kulcapi, keteng-keteng,

dan mangkuk.

Gendang Sarune : Sekelompok alat yang terdiri dari sarune, gendang singindungi, gendang singanaki, gung dan penganak.

Gender : Pembedaan pensifatan antara laki – laki dan perempuan secara kultural.

Guru Mbelin : Dukun yang memiliki tingkatan tertinggi. Homogen : Sejenis; Sebangsa.

Idiochordophone : Alat musik yang memiliki senar namun sumber bunyinya berasal dari badan alat itu sendiri.

Idiophone : Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari badan alat itu sendiri.

Isap : Cerutu atau rokok.


(4)

Kalimbubu : Pihak pemberi istri.

Kampoh : Sarung

Klan : Garis keturunan keluarga.

Kosmos : Alam semesta.

Marginal : Terpojok; Terpinggirkan.

Marginalisasi : Dipojokkan; Dipinggirkan (ada unsur kesengajaan). Mate Bulan : Hari ke-28 dalam sistem penanggalan Karo.

Membranophone : Alat musik yang sumber bunyinya berasal dari membran. Merga Silima : Lima induk merga dalam sistem kekerabatan Karo. Missionari : Pengembang ajaran Kristen.

Mitis : Tahap kehidupan dimana manusia secara tradisional masih terhubung dengan pencipta alam semesta beserta penghuninya.

Nggara : Hari ketiga dalam sistem penanggalan Karo. Nggara Enggo Tula : Hari ke-17 dalam sistem penanggalan Karo. Nggara Sepuluh : Hari ke-10 dalam sistem penanggalan Karo. Nggara Simbelin : Hari ke-24 dalam sistem penanggalan Karo. Nini Bulang : Kakek/Nenek

Nini Deleng : Nenek penguhuni gunung. Odak-Odak : Tempo ± 90-98 MM

Organologi : Ilmu yang mengklasifikasi alat musik berdasarkan empat

jenis sumber bunyi.

Otoritas : Dominasi.

Pangir : Ramuan mandian yang digunakan pada upacara ritual erpangir ku lau.


(5)

Patam-patam : Tempo ± 98-105 MM

Patriarki : Paham yang mengagungkan otoritas laki-laki.

Patrilineal : Paham yang mengikuti garis keturunan dari laki-laki. Penggual : Pemain musik tradisional Karo.

Power : Kekuasaan.

Private : Lingkungan dalam rumah tangga. Public : Lingkungan luar rumah tangga.

Rakut Sitelu : tiga buah simbiosis dalam sistem kekerabatan etnis Karo.

Rimo : Jeruk

Rimo Mukur : Jeruk purut

Ritual : Kegiatan yang berhubungan dengan kekuatan magis. Ritus : Kegiatan; Upacara.

Sakral : Hymne; Khyusuk.

Sami Sara : Hari ke-30 dalam sistem penanggalan Karo. Seluk : Proses kerasukan roh (dalam bahasa Karo). Seks : Jenis kelamin (Laki-laki/perempuan). Sekte : Kelompok ibadah; Aliran kepercayaan. Senina : Saudara.

Sierjabaten : Orang yang memiliki jabatan tinggi dalam sebuah upacara (biasanya diberikan kepada pemusik)

Simalungen Rayat : Tempo ± 60-66 MM Subordinasi : Penyisihan secara sengaja.

Suma : Hari kedua dalam sistem penanggalan Karo. Suma Cepik : hari ke-16 dalam sistem penanggalan Karo. Suma Siwah : Hari kesembilan dalam sistem penanggalan Karo.


(6)

Sumana Mate : Hari ke-23 dalam sistem penanggalan Karo. Supranatural : Berhubungan dengan indera ke-enam Tendi : Roh yang menaungi sebuah makluk

Trance : Keadaan di bawah alam sadar; Kerasukan roh.

Tudung : Hiasan kepala perempuan Karo yang terbuat dari lilitan Kain.

Tula : Hari ke-15 dalam sistem penanggalan Karo.

Tutur Siwaluh : Delapan hubungan kekerabatan dalam masyarakat Karo. Uis : Kain tradisional masyarakat Karo.