87
a. Faktor-faktor pengembangan
Hasil pembobotan terhadap faktor-faktor pengembangan Tabel 6.2 menempatkan pasar 0,176, dukungan kebijakan 0,159, modal 0,143, bahan
baku 0,141 dan informasi 0,138 pada posisi teratas. Faktor pasar ini terkait kepastian pasar dan kemudahan akses pasar. Pasar dan harga karet masih
didominasi oleh para pedagang perantara karena kekuatan modal, informasi, jaringan dan sarana transportasi. Informasi yang asimetris berdampak pada
dominasi pihak-pihak tertentu dalam aliran rantai pasok komoditas seperti pengumpul, pedagang besar, agen komisi, dan pengecer. Pada kasus rantai pasok
karet alam di Indonesia, para petani hanya menerima nilai 30 – 40 dari nilai FOB SIR 20. Berdasarkan kajian BPTK 2004 di lokasi, para petani hanya
menerima 50,2 dari harga FOB SIR 20. Ketika terjadi kenaikan harga karet pada bulan Januari 2011 yang mencapai 5,3 USD sekitar Rp. 48.000 para petani
hanya menerima Rp. 18.000kg karet kering atau 37,5, tidak berbeda dengan hasil penelitian Peramune dan Budiman 2007 dan Arifin 2005.
Modal yang minim merupakan kendala umum bagi para petani karet dalam pengembangan pengembangan agroindustri. Kekurangan modal, khususnya
modal kerja dan kesulitan mengakses kredit atau sumber dana disebutkan oleh banyak peneliti Kachru 2006; Shehrawat, 2006; Fatah, 2007; Reardon et al.,
2009. Lembaga-lembaga dana lebih suka memberikan pinjaman untuk modal tetap, sementara sektor agroindustri lebih membutuhkan modal kerja. Bank
memberikan modal kerja dengan bunga yang lebih besar untuk modal kerja ketimbang pinjaman modal lainnya Ghandi dan Jain, 2011. Pengembangan
agroindustri karet alam di lokasi khususnya untuk kegiatan peremajaan terkendala dan belum bisa dimulai akibat kurangnya modal dan persyaratan akses modal
kredit yang mengharuskan para petani memiliki sertifikat lahan dan persyaratan adanya perusahaan penjamin avalis.
Berdasarkan Statistik Perkebunan Barito Utara 2009, luas lahan yang tersedia di lokasi tahun 2008 adalah 53.333 hektar dengan produksi karet kering
41.564 ton atau rata-rata produktivitas 0,779 kghatahun. Nilai ini lebih rendah 0,64 dibandingkan tahun 2007 0,784 kghatahun. Sebenarnya dari sisi
produktivitas tidak terjadi penurunan, namun yang terjadi adalah peningakatan
88 luas TBM dari dari 41.554 hektar menjadi 53.333 hektar atau penambahan seluas
11.779 hektar. Rincian data per kecamatan dapat dilihat padaTabel 6.7 halaman 95. Berdasarkan kajian BPTK 2004 produksi bokar di lokasi ini hanya
memenuhi syarat untuk diolah menjadi karet remah SIR-20. Terkait bahan baku industri kayu gergajian, Greenomics Indonesia 2004
melaporkan bahwa sejak periode 2002-2004 kontribusi pasokan kayu hutan alam untuk industri kayu hanya mencapai 20. Departemen Kehutanan
memproyeksikan kontribusi kayu karet untuk industri kayu di tahun 2007-2025 sebanyak 6 juta m
3
tahun dengan alokasi masing-masing untuk kayu gergajian 45, kayu lapis 45 dan papan partikel 10 Manurung et al., 2007. Kelayakan
penggunaan kayu karet sebagai bahan bangunan juga telah diteliti oleh Abdurachman dan Hadjib 2009 yang membandingkan 10 jenis kayu berdasarkan
sifat mekanisnya mengacu kepada SNI 01-7207-2006 menunjukkan bahwa kayu karet memiliki kerapatan tertinggi 0,61 gramcm
3
dan kelas kuat II-III sehingga layak digunakan untuk bahan bangunan struktural maupun non-struktural. Bahan
baku untuk industri kayu gergajian dan furnitur dapat diperoleh melalui kegiatan peremajaan bertahap 10.000 hektar karet tua yang tersedia di lokasi.
b. Tujuan pengembangan