23 Di Malaysia, menurut Shaffril et al. 2010 dan Buang et al. 2011
agropolitan merupakan pendekatan perencanaan dari bawah yang menjanjikan ekonomi riil dan pemberdayaan sosio-psikologis untuk warga miskin perdesaan.
Pendekatan ini beranjak dari model konvensional growth pole yang bersipat top- down yang hasilnya justru pemberdayaan agensi organisasi ketimbang warga
miskin perdesaan yang jadi target. Model agropolitan memberikan pemberdayaan ekonomi bagi warga miskin perdesaan sebagai target tapi tidak memberdayakan
untuk membuat keputusan. Proyek agropolitan potensial berperan sebagai sebagai katalis utama untuk mengatasi masalah kemiskinan absolut.
2.5 Model kelembagaan agroindustri
Kolaborasi dan interaksi dengan stakeholder merupakan salah satu unsur keberlanjutan bisnis Stubs dan Cocklin, 2008; D’Amato et al., 2009. Dayasaing
rantai pasok merupakan resultan dari integrasi semua pelaku yang ada sepanjang rantai pasok khususnya pemasok, pabrik dan distributor. Perusahaan akan mampu
bersaing ketika mampu menciptakan dan memberikan nilai kepada pelanggan dan seluruh pelakunya Naslund dan Williamson, 2010; Verma dan Seth, 2010.
Perdagangan yang adil harus menjadi kontrak sosial dengan prinsip: penciptaan kesempatan ekonomi bagi produsen marjinal, transparansi dan akuntabilitas,
pembangunan dan pemberdayaan kapasitas, pembayaran harga yang adil, pengelolaan lingkungan yang lebih baik, dan kemitraan dagang yang pantas dan
berkelanjutan WFTO, 2009. Ghandi et al., 2001, Ghandi dan Jain 2011 telah menguji kinerja
beberapa model pengembangan agroindustri perdesaan dan petani gurem di India yaitu:
1 Model Koperasi Cooperative Organization
2 Model BUMN Government Organization
3 Model Kemitraan Swasta Multinasional Private Multinational Partnering
4 Model Perusahaan Lokal-Multinasional dengan Perusahaan Agribisnis
Multinational-Local Firm Partnership with Corporate Farming 5
Model Pusat Nilai Tambah Value Addition Center. Kesimpulan hasil kajian ini adalah:
24 1
Aspek manajerial merupakan tantangan utama dalam mengorganisasikan produksi dan penyediaan berkelanjutan dari perusahaan besar ke petani kecil.
2 Pola kemitraan masih merupakan pendekatan yang paling menjanjikan untuk
mengatasi berbagai kendala pengembangan. Pola ini dapat diterapkan baik melalui koperasi maupun hubungan bisnis yang saling menguntungkan antara
pihak swasta dan petani. 3
Pada kedua kasus di atas, pemerintah harus memainkan peran fasilitasi melalui kebijakan, regulasi, opsi finansial serta riset dan pengembangan.
Ghandi et al. 2001 menyimpulkan perlunya “indigenous model” untuk membangkitkan organisasi agroindustri. Apapun sifat modelnya, ada beberapa
faktor kunci sukses yang harus diperhatikan: 1
Menciptakan insentif bagi petani untuk memproduk bahan baku sesuai kualitas dan kuantitas yang dibutuhkan, dan memasok produk sesuai
ketetapan kontrak. 2
Menyediakan input dan teknologi pertanian yang dibutuhkan dan memastikan siapa yang menanggung biaya dan risiko.
3 Mampu mengakses teknologi pengolahan berkualitas tinggi
4 Memperhatikan perubahan permintaan pelanggan melalui pasar cerdas yang
efektif. 5
Menarik modal investasi. 6
Memperhatikan isu-isu pemilikan, organisasi, manajemen dan kendali mutu. Contract farming CF di India dianggap lembaga yang paling baik dan
sukses meningkatkan efisiensi dan kinerja rantai pasok guna mendapatkan bahan baku yang bermutu untuk kebutuhan pengolahan dan pemasaran produk segar
bernilai tinggi Singh, 2007. CF juga berdampak positif terhadap produktivitas dan pendapatan petani. Faktor-faktor yang mempengaruhi keterlibatan petani
dalam CF adalah pendidikan, usia, ukuran usaha, akses terhadap lembaga dana, sumber pendapatan off-farm dan keanggotaan dalam koperasi Sharma, 2008. CF
juga mampu menciptakan lapangan kerja lebih tinggi ketimbang pertanian non- kontrak Kumar dan Kumar, 2008.
Contract Farming adalah kesepakatan petani dan perusahaan agribisnis untuk menghasilkan dan memasok produk pertanian berdasarkan kesepakatan
25 waktu, mutu dan harga yang telah ditentukan Eaton dan Shepherd, 2001; Bijman,
2008. CF memiliki keunggulan seperti efisiensi pengumpulan dan pengangkutan hasil, harga relatif stabil, mampu mendorong petani untuk menghasilkan produk
berkualitas, memudahkan petani mendapat fasilitas kredit, serta menjamin kontinuitas pasokan bagi perusahaan mitra Saptana et al., 2009.
CF merupakan lembaga yang mengintegrasikan petani kecil perdesaan dengan pasar di negara-negara berkembang Costales dan Catelo, 2009.
Demikian pula untuk pemasaran hasil kebun karet di India dan Thailand Viswanathan, 2006. Pengalaman di Thailand dan China menunjukkan bahwa
berbagai bentuk kemitraan CF memberikan keuntungan pada kedua belah pihak dan sangat menjanjikan bagi pengembangan agroindustri. CF dapat menjadi
mekanisme kelembagaan yang efektif untuk mereduksi biaya transaksi yang dihadapi oleh para petani kecil, termasuk petani padi, meningkatkan keuntungan
yang signifikan dibandingkan petani non-kontrak serta mereduksi kemiskinan perdesaan Setboonsarng et al. 2006; Miyata et al., 2008; Sriboonchitta dan
Wiboonpoongse, 2008. Kajian Stessens et al. 2004 di sejumlah negara-negara berkembang di
Afrika, Amerika Latin dan Asia yang melibatkan lebih dari 70 koperasi menunjukkan bahwa kemitraan CF dalam agroindustri dan agribisnis lebih efisien
dan mampu menciptakan perdagangan yang adil jika dilakukan melalui koperasi petani
yang kuat
didukung oleh
advokasi, inovasi,
pelatihan dan
pengorganisasian, dimana koperasi dapat berperan sebagai kontraktor dan penyedia jasa. Menurut Eaton and Sheperd 2001 kontrak tani tidak bisa
dibentuk kecuali jika telah terpenuhi beberapa prasyarat terkait 1 profitabilitas pasar, 2 dukungan lingkungan fisik dan sosial, dan 3 dukungan pemerintah.
Menurut Bijman 2008 pemerintah dapat memainkan peran penting ketika CF macet dengan beberapa aksi: 1 regulasi pasar untuk mencegah kontraktor
menyalahgunakan kekuatan pasar yang dimiliki; 2 memfasilitasi proses kontrak dengan mendorong perusahaan memulai kontrak baru dan pengkondisian kepada
para petani agar siap memasuki kontrak, memberikan informasi yang jelas tentang untung-rugi serta konsekuensi skema CF; 3 menyediakan informasi pasar dan
harga komoditas; 4 subsidi langsung kepada petani.
26 Di Bangladesh, praktek CF langsung antara petani dengan industri
agribisnis membuat petani memiliki akses teknologi, bantuan teknis, kredit dan jaminan pasar. Namun dengan daya tawar tidak seimbang, sering terjadi
eksploitasi oleh perusahaan. Aksi kolektif melalui kelompok tani meningkatkan posisi tawar petani, dapat mengorganisir anggota untuk keperluan pelatihan, jasa
tambahan, akuisisi teknologi, koordinasi panen dan jadwal pengiriman. Perusahaan dapat bernegosiasi dengan organisasi petani, ini lebih murah dan
mudah ketimbang harus bernegosiasi dengan banyak petani Bijman, 2008; Esham, 2009. Alternatif lain adalah membentuk perusahaan patungan antara
kelompok petani, perusahaan agribisnis dan pemerintah seperti diilustrasikan pada Gambar 2.5.
Gambar 2.5. Model kelembagaan agroindustri dengan intervensi pemerintah Esham, 2009.
Di Indonesia sampai sekarang pola pembiayaan usaha kecil PPUK masih menggunakan mekanisme proyek kemitraan terpadu PKT yang melibatkan
perusahaan besareksportir intiavalis, kelompok petaniusaha kecil plasma dan perbankan. Pola ini umumnya digunakan untuk pembiayaan UMKM termasuk
usaha kayu olahan. Mekanisme PKT disajikan pada Gambar 2.6.
Perusahaan patungan Perusahaan pengolahan ekspor
Pemerintah
Industri agribisnis
Kelompok Tani Desa produksi
ekspor Saham
21
Saham 51
Saham 28
Saham 100
27 Gambar 2.6. Mekanisme proyek kemitraan terpadu Bank Indonesia, 2003
Hubungan kemitraan adalah berbagai cara kolaborasi dan integrasi di antara pihak-pihak yang terlibat berikut elemen kuncinya. Hampir seluruh kerangka
kerja SCM dipengaruhi oleh isu terkait kepercayaan dalam rantai pasok. Saling pengertian di antara mitra dagang dan berbagi informasi merupakan komponen
terpenting untuk menjamin kesuksesan integrasi rantai pasok dan kolaborasi. Komitmen terhadap relasi dan kepercayaan pemasok berdampak positif terhadap
stabilitas hubungan kemitraan rantai pasok yang pada akhirnya memberikan dampak positif terhadap kinerja kemitraan Rahman et al., 2008; Yang et al.,
2008; Naslund dan Williamson, 2010; Ren et al., 2010. Lahirnya konsep lembaga kemitraan didasari beberapa alasan, antara lain:
1 adanya perbedaan penguasaan sumberdaya lahan dan kapital, 2 adanya perbedaan sifat hubungan biaya per satuan output dengan skala usaha Saptana et
al., 2006. Haris 2006 menawarkan model aliansi strategis untuk mengatasi keterpisahan spasial dan fungsional pengembangan agroindustri crumb rubber.
Model ini secara kelembagaan menempatkan pengusaha agroindustri dan petani sebagai pelaku utama. Kapasitas aliansi adalah skala medium dengan lokasi
agroindustri mendekat ke sentra produksi bahan baku. Prediksi kinerja model berdasarkan lima parameter; transparansi, kepercayaan, saling ketergantungan,
biaya transaksi, serta pembagian manfaat dan resiko.
28 Aliansi strategis adalah kesepakatan formal antara dua atau lebih perusahaan
yang terpisah dimana terdapat kerjasama strategis yang relevan terkait beberapa tugas, kontribusi sumberdaya, berbagi resiko dan kendali Dordevic, 2009. Cante
el al. 2003 menyebutkan lima kelebihan utama dalam praktek aliansi ini adalah: hemat biaya, meningkatkan kualitaskonsistensi, peningkatan pelayanan,
peningkatan revenue, dan peningkatan profitabilitas. Sementara lima kelemahan utamanya adalah: komunikasi, kontrol lemah, masalah waktu, kurang ketulusan,
dan issu menetapan hargaprofit. Dari sejumlah model kelembagaan agroindustri yang ada dapat dibangun
sebuah model hipotetik bahwa model pengembangan agroindustri karet alam terintegrasi harus mampu mengakomodasi kepentingan semua pemangku
kepentingan dan pelaku kunci agroindustri. Asumsi pelaku kunci dalam kegiatan ini adalah 1 industri karet, 2 petani, 3 pemerintah dan 4 lembaga dana yang
berkolaborasi dan menjalin kemitraan dalam membangun agroindustri karet alam terintegrasi. Industri karet dan petani secara kolektif terlibat langsung dalam
kegiatan rantai pasok karet alam baik berbasis karet dan kayu karet dari hulu hingga hilir. Pemerintah, di samping penetapan kebijakan, subsidi dan regulasi
yang pro-poor dan pro-growth, memfasilitasi proses kemitraan serta menciptakan insentif bagi pelaku agroindustri dapat pula menyertakan modalnya dalam
kegiatan pengembangan. Keterlibatan dan intervensi pemerintah ini dipandang dapat menjamin bahwa kolaborasi kemitraan akan berjalan sesuai aturan main
juga menjadi perekat dalam kemitraan. Lembaga dana mendukung dari sisi pendanaan dengan memberikan insentif pinjaman dengan bunga ringan di bawah
10 dan subsidi suku bunga selama masa konstruksi. Model integrasi secara vertikal dapat dilakukan pada agroindustri karet baik
berbasis karet maupun kayu karet. Dengan ketersediaan teknologi dan daya serap pasar dalam negeri untuk barang jadi karet yang hanya mencapai 15, maka
integrasi berbasis karet pada tahap awal hanya layak sampai produk antara dalam bentuk karet remah. Sementara untuk agroindustri berbasis kayu karet sesuai
ketersediaan teknologi dan serapan pasar masih sangat memungkinkan diintegrasikan dari penyediaan bahan baku hingga industri hilir berupa industri
furnitur.
29 Pembangunan berkelanjutan melalui kemitraan dapat menjamin terciptanya
efisiensi dan pertumbuhan, keadilan dan pemerataan, serta berwawasan lingkungan. Untuk mendukung upaya ini diperlukan konsolidasi kelembagaan di
tingkat petani, dukungan universitas, pihak swasta industri dan pemerintah Gunasekara, 2006; Saptana dan Ashari, 2007; Gorman dan Garnet, 2009.
Relasi akademisi-industri-pemerintah ini dikenal dengan model “triple helix” Etzkowitz and Leydesdorff, 1998; 2000; Leydesdorff and Meyer, 2003 yang
telah berkembang di China, Polandia dan Republik Korea dan banyak disarankan sebagai model pengembangan wilayah Martin, 2011.
Universitas, industri dan pemerintah memainkan peran yang sama dan membentuk triple-helix guna merangsang inovasi ekonomi berbasis pengetahuan
knowledge-based business Etzkowitz, 2010. Regulasi yang stabil memang perlu, tapi tidak cukup. Transformasi universitas dari transfer pengetahuan dan
riset menjadi institusi kewirausahaan merupakan kebutuhan vital. Pemerintah harus mendukung inovasi baru melalui kebijakan lingkungan, insentif pajak serta
penyediaan modal ventura. Industri dapat berperan sebagaimana universitas dalam pelatihan dan riset pengembangan dengan level yang sama. Jika terjadi
kesenjangan industri berbasis pengetahuan, maka interaksi universitas-pemerintah dapat membantu memicu kreasi dan mendorong pertumbuhan Etzkowitz et al.,
2007; Etzkowitz dan Ranga, 2010. Sukses kemitraan agroindustri harus didukung oleh ADB, 2010:
1 Riset yang kuat di sektor pertanian dan dukungan teknologi untuk
agroindustri. 2
Mendorong investasi oleh sektor swasta 3
Dukungan dan fasilitasi terhadap pengembangan agroindustri 4
Peningkatan kemitraan 5
Pengembangan institusi agroindustri, dan 6
Kebijakan pemerintah yang kondusif. Di Indonesia, pola kemitraan untuk pola pembiayaan usaha kecil PPUK
yang melibatkan lembaga dana dan pemerintah masih menganut pola kemitraan terpadu PKT seperti yang ditunjukkan dalam PPUK kayu olahan BI, 2003 dan
PPUK furnitur kayu BI, 2008.
30
2.6 Rantai nilai agroindustri