Dampak Pemanenan Kayu Terhadap Massa Karbon di Atas Permukaan Tanah

Tabel 48 menunjukkan bahwa rata-rata massa karbon vegetasi pada petak pemanenan kayu konvensional dan RIL sebagian besar berasal dari tingkat tiang dan pohon yakni masing-masing sebesar 33,36 tonha atau sebesar 75,54 dari total massa karbon vegetasi dan 95,40 ton Cha 89,26 . Demikian pula halnya pada hutan primer massa karbon vegetasi sebagian besar berasal dari tingkat tiang dan pohon yakni sebesar 131,80 ton Cha atau 91,12 dari total massa karbon vegetasi. Cadangan massa karbon semai dan tumbuhan bawah di semua petak penelitian berkisar antara 3,98 – 4,44 ton Cha. Tabel 48 menunjukkan bahwa cadangan massa karbon semai dan tumbuhan bawah bekas tebangan RIL rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan di hutan primer dan bekas tebangan konvensional. Hasil penelitian ini selaras dengan hasil penelitian Junaedi 2007 yang menyatakan bahwa cadangan massa karbon di areal bekas tebangan lebih tinggi dibandingkan di hutan primer dan semakin meningkat dengan semakin bertambahnya umur areal bekas tebangan. Cadangan massa karbon tingkat pancang di setiap lokasi penelitian berkisar antara 6,82 – 8,41 ton Cha. Hutan primer memiliki potensi cadangan massa karbon paling tinggi sebesar 8,41 ton Cha dibandingkan dengan areal bekas tebangan konvensional dan teknik RIL. Tingginya cadangan massa karbon di hutan primer ini disebabkan karena memiliki kerapatan tegakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan areal bekas tebangan konvensional dan RIL. Hasil penelitian ini menunjukkan cadangan massa karbon pada petak pemanenan kayu RILlebih tinggi dibandingkan dengan konvensional. Cadangan massa karbon di areal bekas tebangan RIL juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Junaedi 2007 yang mendapatkan hasil bahwa cadangan massa karbon vegetasi tingkat pancang di areal bekas tebangan TPTJ di Kalimantan Tengah sebesar 4,23 – 6,74 ton Cha. Hasil penelitian massa karbon di hutan primer mendekati hasil penelitian Brown 1997 yang mendapatkan biomassa karbon di hutan primer di atas permukaan tanah di Kamerun Afrika sebesar 310 tonha dengan kandungan C sebesar 155 ton Cha. Adapun di hutan sekunder Nicaragua Amerika dinyatakan bahwa biomassa di atas permukaan tanah sebesar 183 tonha dan massa karbon sebesar 91,5 ton Cha. Cadangan massa karbon di hutan India rata-rata 45,8 tonha Haripriya 2002. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian lain, cadangan massa karbon di hutan India lebih rendah. Hasil penelitian Rahayu et al. 2005 menyatakan bahwa potensi massa karbon vegetasi tingkat pohon di hutan primer, hutan bekas tebangan dan agroforestry umur 11-30 tahun menyumbangkan sekitar 90 dari total karbon vegetasi di atas pemukaan tanah. Kontribusi massa karbon vegetasi tingkat pohon yang besar ini dikarenakan adanya hubungan yang positif dengan ukuran diameter pohon. Jadi semakin besar ukuran diameter pohon menyebabkan massa karbon akan semakin tinggi. Rahayu et al. 2005 di Kalimantan Timur mendapatkan massa karbon tumbuhan bawah, nekromassa kayu kering dan serasah menyumbangkan sekitar 10 dari total massa karbon di hutan primer, areal bekas penebangan dan agroforestry 11-30 tahun. 5.2.3.2.2 Massa Karbon Serasah dan Nekromassa Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa massa karbon serasah dan nekromassa di hutan primer dan areal bekas tebangan pada petak pemanenan kayu konvensional dan RIL di areal IUPHHK PT Inhutani II masing-masing sebesar 14,86 ton Cha, 55,01 ton Cha dan 32,32 ton Cha, seperti yang tercantum pada Tabel 49. Tabel 49. Massa karbon serasah, nekromassa kecil dan nekromassa besar di areal bekas tebangan petak konvensional, bekas tebangan petak RIL dan hutan primer. Petak Massa Karbon tonha Serasah Nekromassa Kecil Nekromassa Besar Total Konvensional 2,30 30,72 21,99 55,01 RIL 3,10 15,74 13,48 32,32 Hutan primer 3,76 3,62 7,42 14,86 Tabel 49 menunjukkan bahwa pada petak pemanenan kayu konvensional memiliki massa karbon serasah dan nekromassa paling tinggi dibandingkan di areal bekas tebangan petak pemanenan kayu RIL dan hutan primer, yakni sebesar 55,01 ton Cha. Kondisi ini dikarenakan pada petak pemanenan kayu konvensional terdapat banyaknya serasah sisa-sisa kerusakan tegakan tinggal dan pohon mati. Rata-rata massa karbon nekromassa pada petak pemanenan kayu konvensional dan RIL sebagian besar berasal dari nekromassa kecil yakni masing- masing sebesar 30,72 ton Cha atau sebesar 55,84 dari total massa serasah dan nekromasa dan 15,74 ton Cha atau sebesar 48,70. Sedangkan pada petak hutan primer sebagian besar massa karbon berasal dari nekromassa besar sebesar 7,42 ton C ha atau 50,33 dari total massa karbon serasah dan nekromassa. Massa karbon yang berasal dari serasah dan nekromassa pada petak pemanenan kayu konvensional lebih besar dibandingkan dengan petak konvensional RIL dan hutan primer. Hal ini disebabkan banyaknya sisa-sisa kerusakan tegakan tinggal berupa pohon yang mati pada petak pemanenan kayu konvensional. 5.2.4 Massa Karbon Hutan yang Dipanen dengan Teknik RIL dan Konvensional Penyerapan karbon didefinisikan sebagai produktifitas bersih karbon tahunan tChath dikalikan dengan separuh umur th karbon yang terikat dalam hutan, yang menghasilkan dimensi penyerapan t C per ha. Massa karbon dalam hutan adalah rata-rata jumlah karbon yang terdapat pada lahan selama siklus hidup vegetasi hutan, atau massa karbon rata-rata per satuan waktu Elias 2008, Komunikasi pribadi. Untuk menduga kemungkinan peningkatan stok karbon, maka diperlukan model pertumbuhan tegakan yang dapat menduga nilai stok karbon tersebut pada masa yang akan datang. Model pertumbuhan tegakan yang dipergunakan untuk menghitung pertumbuhan massa karbon vegetasi hutan adalah model dinamika struktur tegakan DST. Data yang dipergunakan untuk penghitungan tersebut diperoleh dari petak 43 konvensional dan 45 RIL pada tahun 2000 tahun ke-0 dan hasil pengukuran terakhir terhadap petak 43 dan 45 pada tahun 2010 tahun ke-10. Untuk memperoleh massa karbon tegakan dipergunakan persamaan alometrik karbon pohon hasil penelitian ini, yaitu C = 0,017597 D 2,73 . Hasil perhitungan jumlah massa karbon tegakan per klas diameter berdasarkan model pertumbuhan tegakan pada hutan bekas tebangan teknik konvensional dan RIL dapat dilihat pada Tabel 50 dan Tabel 51. Tabel 50. Perkembangan massa karbon tegakan per hektar per kelas diameter pada hutan bekas tebangan pada petak pemanenan kayu konvensional. Tahun Massa karbon per ha per kelas diameter ton Cha 10-22,5 cm 22,5-35 cm 35-47,5 cm 47,5-60 cm ≥60 cm Jumlah 2,78 8,62 11,28 7,70 12,67 43,06 10 3,26 11,25 13,45 10,86 22,51 61,32 20 3,51 13,83 16,76 13,88 35,40 83,39 30 3,63 15,84 20,75 17,50 50,50 108,22 Pada Tabel 50 menunjukkan bahwa massa karbon tegakan bekas tebangan pada petak konvensional sebesar 43,06 ton Cha pada tahun setelah pemanenan kayu kemudian meningkat pada 10 tahun setelah pemanenan menjadi 61,32 ton Cha. Pada tahun ke-20 setelah pemanenan massa karbon tegakan menjadi 83,39 ton Cha. Pada tahun ke-30 setelah pemanenan massa karbon tegakan menjadi sebesar 108,22 ton Cha. Bila dibandingkan dengan massa karbon awal sebelum penebangan dan tahun setelah penebangan yakni masing-masing sebesar 147,81 ton Cha dan 43,06 ton Cha, maka terjadi penurunan massa karbon tegakan akibat pemanenan kayu konvensional sebesar 104,75 ton Cha. Jadi akibat pemanenan kayu dengan teknik konvensional cadangan massa karbon tegakan turun sebesar 70,87 dari massa karbon sebelum pemanenan. Setelah satu siklus tebang 30 tahun potensi massa karbon pada tegakan bekas pemanenan teknik konvensional adalah sebesar 108,22 ton Cha atau 73,22 dari massa karbon tegakan sebelum pemanenan. Tabel 51. Perkembangan massa karbon tegakan per hektar per kelas diameter pada hutan bekas tebangan pada petak pemanenan kayu RIL. Tahun Massa karbon per ha per kelas diameter ton Cha 10-22,5 cm 22,5-35 cm 35-47,5 cm 47,5-60 cm ≥60 cm Jumlah 4,17 13,02 13,60 9,51 21,12 61,42 10 4,65 16,33 18,26 13,66 39,66 92,55 20 4,90 19,17 23,58 18,74 64,02 130,41 30 5,03 21,22 28,88 24,70 95,15 174,99 Pada Tabel 51 menunjukkan bahwa massa karbon tegakan bekas tebangan pada petak RIL sebesar 61,42 ton Cha pada tahun pemanenan kayu kemudian meningkat pada 10 tahun setelah penebangan menjadi 92,55 ton Cha. Pada tahun ke-20 setelah penebangan massa karbon tegakan menjadi 130,41 ton Cha. Pada tahun ke-30 massa karbon tegakan menjadi sebesar 174,99 ton Cha. Bila dibandingkan dengan massa karbon awal sebelum penebangan dan tahun penebangan yakni masing-masing sebesar 135,87 ton Cha dan 61,42 ton Cha, maka terjadi penurunan massa karbon tegakan akibat pemanenan kayu dengan teknik RIL sebesar 74,45 ton Cha. Jadi terjadi penurunan massa karbon tegakan akibat pemanenan dengan teknik RIL sebesar 54,79 dari massa karbon sebelum pemanenan. Setelah satu siklus tebang 30 tahun massa karbon tegakan bekas pemanenan dengan teknik RIL sebesar 174,99 ton Cha atau 128,79 dari massa karbon tegakan sebelum pemanenan. Berdasarkan kurva massa karbon tegakan pada Gambar 28 dapat dihitung cadangan massa karbon rata-rata tahunan selama siklus tebang 30 tahun pada areal yang menggunakan teknik pemanenan kayu RIL yakni sebesar 118,20 ton Cha, sedangkan pada areal yang menggunakan pemanenan kayu konvensional sebesar 75,64 ton Cha. Dengan demikian terdapat selisih cadangan massa karbon tegakan dalam areal pemanenan kayu RIL dibandingkan cadangan massa karbon tegakan di areal pemanenan kayu konvensional sebesar 42,56 ton Cha. Hal ini menggambarkan tercapainya prinsip additionality sehingga dapat diajukan pada proyek perdagangan karbon. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemanenan kayu dengan teknik RIL dapat mencapai kelestarian hasil setelah 30 tahun satu siklus tebang, sedangkan pemanenan kayu dengan teknik konvensional baru mencapai massa karbon sebesar 73,22 dari massa karbon tegakan sebelum pemanenan, yang berarti belum mencapai kelestarian hasil. Kurva massa karbon tegakan selama 30 tahun pada areal bekas pemanenan kayu konvensional dan RIL disajikan pada Gambar 26. Proyeksi perkembangan cadangan massa karbon kedua areal bekas tebangan tersebut dilakukan selama 30 tahun karena pengelolaan hutan alam IUPHHK PT Inhutani II Malinau menggunakan sistem silvikultur TPTI yang siklus tebangnya adalah 30 tahun. Gambar 26. Kurva pertumbuhan massa karbon tegakan pada areal bekas tebangan dengan teknik pemanenan kayu konvensional dan RIL. Hasil penelitian menunjukkan bahwa petak pemanenan kayu RIL masih cukup baik untuk mempertahankan cadangan massa karbon di hutan alam. Hal ini dikarenakan kerusakan tegakan tinggal yang diakibatkan pemanenan kayu dapat ditekan sehingga kerusakan dan kematian tegakanan tinggal akibat dampak lanjutan dapat diminimalkan. 5.3. Analisis Finansial Implementasi Teknik RIL 5.3.1 Biaya Pemanenan Kayu

5.3.1.1 Perencanaan Pemanenan Kayu

Inventarisasi tegakan sebelum penebangan adalah kegiatan menginventarisasi tegakan dengan sistem jalur selebar 20 m, dimulai dari sudut kiri bawah petak orientasi Utara – Selatan. Data yang dikumpulkan adalah jenis pohon, diameter dan tinggi pohon, penyebaranlokasi pohon dan topografi. Adapun survai topografi bertujuan untuk menghasilkan peta kontur yang tepat dan benar agar dapat dimanfaatkan untuk perencanaan pemanenan kayu yang terinci. Inventarisasi tegakan sebelum penebangan dan survai topografi pada penelitian ini dilakukan oleh satu tim yang berjumlah 8 orang, yang terdiri dari 1 orang mandor, 1 orang pencatat data pohon dan kemiringan lapangan, 2 orang 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 160.00 180.00 200.00 10 20 30 Massa K ar bon t on C ha Tahun Setelah Tebang RIL Konv. pemegang kompas dan penunjuk arah sekaligus penarik tali, 2 orang perintis jalur dan 2 orang pengenal dan penanda pohon. Elias 1999 menyatakan bahwa inventarisasi hutan dan survai topografi dilakukan oleh satu tim yang terdiri dari 6 – 10 orang dengan 1 – 3 orang sebagai evaluator, 1 orang pencatat, 1 orang penunjuk arah dan tenaga pemabantu. Metode survai yang digunakan adalah 10 m ke kiri dan 10 m kekanan di sepanjang garis inventarisasi dengan orientasi Utara – Selatan. Perencanaan operasional pemanenan kayu merupakan kegiatan pengolahan data dan pembuatan peta pohon dan kontur hasil inventarisasi tegakan sebelum penebangan dan survai topografi. Perencanaan operasional pemanenan kayu hanya dilakukan pada petak pemanenan kayu RIL, dimana pada peta kontur dan sebaran pohon dibuat perencanaan jaringan jalan sarad, letak TPn, arah rebah pohon, arah penyaradan, penandaan batas-batas areal penebangan dan rencana batas areal yang dilarang ditebang Elias 2002. Setelah rencana jalan sarad yang telah dibuat di atas peta, pada petak pemanenan kayu RIL dilakukan penandaan dan rintis jalan sarad di lapangan. Kegiatan ini dilakukan secara bersamaan dengan penandaan arah rebah pohon penandaan TPn dan pemotongan liana. Hasil dari kegiatan ini adalah berupa cat kuning pada batang pohon sepanjang jalan sarad dan di TPn, dan tanda arah rebah pohon yang akan ditebang berupa tanda merah. Pembersihan liana dilakukan pada liana yang tumbuh atau melilit pada pohon berdiameter ≥ 2 cm yang akan ditebang dan disekitarnya. Pekerjaan merintis jalan sarad adalah kegiatan memotong semua pohon yang relatif besar ≥ 15 cm yang telah ditandai sebagai jalan sarad seseuai dengan perencanaan. Lebar jalan sarad yang dirintis adalah 4,0 m. Pemotongan pohon dimulai dari TPn. Kegiatan penandaan dan merintis jalan sarad, penandaan TPn, penandaan arah rebah pohon dan pemotongan liana pada petak pemanenan kayu RIL menggunakan 6 orang tenaga kerja dengan prestasi kerja 2,2 hajam. Setelah pekerjaan pembukaanrintis jalan sarad selesai dilakukan, maka dilanjutkan dengan konstruksi jalan sarad yaitu meratakan permukaan jalan sarad dengan traktor. Pohon-pohon yang telah ditebang dipindahkan dan pohon kecil, cabang dan ranting yang tidak menganggu jalan sarad dibiarkan untuk membantu melindungi permukaan tanah. Alat yang digunakan dalam konstruksi jalan sarad adaah traktor Catterpillar D7G yang terdiri dari 1 orang operator dan 1 orang helper. Berdasarkan hasil wawancara dan arsip perusahaan, besarnya biaya inventarisasi sebelum penebangan dan survai topografi pada petak pemanenan kayu konvensional sebesar Rp 2.157,66,-m 3 . Pada petak pemanenan kayu teknik sebesar Rp 13.135,65,-m 3 , terdiri dari biaya ITSP dan survai topografi sebesar Rp 7.372,22,-m 3 , perencanaan operasional pemanenan kayu sebesar Rp 4.208,29,- m 3 dan penandaan jalan sarad, TPn dan arah rebah sebesar Rp 1.555,14,-m 3 .

5.3.1.2 Penebangan

Kegiatan penebangan terdiri dari beberapa elemen kerja antara lain berjalan antar pohon, menentukan arah rebah dan penyiangan, membuat takik rebah dan balas, menunggu pohon roboh serta pengukuran dan pembagian batang. Kegiatan ini dimulai dengan regu penebang masuk ke petak tebang untuk mencari pohon- pohon masak tebang dengan memperhatikan kualitas pohon apakah baik atau cacat yang dilakukan dengan cara memukul atau mencoba menusuk dengan chainsaw. Apabila pohon tersebut baik, operator menentukan arah rebah dengan memperhatikan kemiringan pohon, keadaan tajuknya dan keselamatan pohon yang ditebang. Setelah itu pohon ditebang dan kemudian memotong ujung dan pangkal agar dapat disarad. Setelah selesai menebang satu pohon, regu penebang mencari pohon lain yang akan ditebang, demikian seterusnya. Kegiatan penebangan di areal IUPHHK PT Inhutani II dilakukan secara beregu. Satu regu penebang terdiri dari dua orang yakni satu orang operator dan satu orang pembantu operator. Operator penebang bertugas melakukan kegiatan penebangan, sedangkan tugas pembantu operator adalah membawa gergaji dan bahan bakar, mencari pohon serta membersihkan areal sekitar pohon dan membersihkan daerah penyelamatan, serta melakukan pemotongan pangkal dan ujung pohon. Alat yang digunakan dalam penebangan di aeal IUPHHK PT Inhutani II berupa gergaji rantai. Alat yang digunakan adalah gergaji rantai STHIL 070 yang merupakan milik pribadi operator. Perlengkapan yang dibawa setiap regu tebang