II.  TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hutan Alam Tropika
Hutan  alam  tropika  merupakan  hutan  nyang  heterogen,  tidak  seumur  dan dan dengan komposisi jenis pohon yang tinggi. Soerianegara dan Indrawan 1988
menyatakan  bahwa  hutan  adalah  masyarakat  tumbuh-tumbuhan  yang  dikuasai pohon-pohon yang mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan
di  luar  hutan.  Hutan  alam  tropika  merupakan  habitat  yang  paling  kaya  serta kompleks.
Whitmore  1985 mengemukakan  bahwa  hutan  hujan  tropika  adalah  suatu
komunitas  yang  kompleks  dengan  kerangka  utama  adalah  pepohonan  dengan berbagai  ukuran.  Adanya  kanopi  hutan  menyababkan  iklim  mikro  yang  berbeda
dengan  keadaan  di  luar,  cahaya  yang  kurang,  kelembaban  yang  tinggi  dan  suhu yang rendah.
Berdasarkan  luasannya  hutan  alam  tropika  di  Indonesia  menempati  urutan ketiga setelah Brasil dan Zaire dan hutan-hutan ini memiliki kekayaan yang unik.
Menurut  Forest  Watch  Indonesia  2001  tipe-tipe  hutan  utama  di  Indonesia berkisar  dari  hutan-hutan  Dipterocarpaceae  dataran  rendah  yang  selalu  hijau  di
Sumatera  dan  Kalimantan,  sampai  hutan-hutan  monsun  musiman  dan  padang savana di Nusa Tenggara, serta hutan-hutan non Dipterocarpaceae dataran rendah
dan kawasan alpin di Papua. Pengelolaan  hutan  alam  tropika  yang  dilakukan  oleh  para  pemegang
IUPHHK  dilakukan  di  areal  kawasan  hutan  produksi.  Sampai  saat  ini  sistem silvikultur  yang  paling  banyak  digunakan  oleh  pemegang  IUPHHK  dalam
pengelolaan  hutan  alam  tropika  adalah  sistem  silvikultur  tebang  pilih  tanaman Indonesia  TPTI.  Sistem  silvikultur  TPTI  merupakan  salah  satu  bentuk
pengelolaan  hutan  alam  tropika  Indonesia  pada  hutan  tidak  seumur,  bertujuan untuk mewujudkan hutan dengan komposisi dan struktur yang optimal dan lestari
sesuai dengan sifat-sifat biologi dan keadaan tempat tumbuh aslinya Departemen Kehutanan 1999.
2.2  Perubahan Iklim dan Peran Penting Keberadaan Hutan
Perubahan iklim adalah fenomena global yang dipicu oleh kegiatan manusia terutama  yang  berkaitan  dengan  penggunaan  bahan  bakar  fosil  BBF  dan
kegiatan  alih-guna  lahan.  Kegiatan  tersebut  dapat  menghasilkan  gas  rumah  kaca GRK yang makin lama makin banyak jumlahnya di atmosfer. Dalam Protokol
Kyoto  disebutkan  terdapat  enam  jenis  GRK  yaitu  karbon  dioksida  CO
2
, nitroksida N
2
O, metan CH
4
, hidrofluorokarbon HFC, perfluorokarbon PFC dan  sulfurheksafluorida  SF
6
.  Gas-gas  tersebut  terutama  sebagai  hasil  gas buangan industri maupun pembakaran hutan. Peningkatan konsentrasi GRK di
atmosfer  menimbulkan  efek  rumah  kaca  yang  selanjutnya  menimbulkan pemananasan global dan perubahan iklim Murdiyarso 2007a.
Karbon  dioksida  CO
2
merupakan  salah  satu  GRK  dan  karena  berfungsi sebagai perangkap panas di atmosfer, menyebabkan terjadinya pemanasan global
dan  perubahan  iklim.  Konsentrasi  CO
2
di  atmosfer  meningkat  sejak  dimulainya revolusi  industri,  dimana  berdasarkan  pengukuran  di  Mauna  Loa  Hawaii,
Amerika  Serikat,  CO
2
di  atmosfer  meningkat  sekitar  31  dari  288  ppm  pada masa pra-revolusi industri menjadi 378 ppm pada tahun 2004. Intergovernmental
Panel on Climate Change IPCC menyatakan bahwa temperatur permukaan bumi meningkat  rata-rata  sebesar  0,74  ±  0,18°C  dalam  kurun  100  tahun  hingga  2005,
dan  diproyeksikan  terus  meningkat  1,4 –  5,8°  C  pada  tahun  2100.  IPCC
menyatakan  bahwa  hal  ini  kemungkinan  besar  disebabkan  oleh  peningkatan konsentrasi  emisi  gas  buatan  manusia.
Penyebab  utamanya  adalah  pembakaran batu  bara  dan  minyak  bumi,  dan  diikuti  dengan  degradasi  dan  deforestasi  hutan
yang akhir-akhir ini semakin meningkat  IPCC 2007. Untuk meminimumkan dampak dari perubahan iklim ini, diperlukan upaya
menstabilkan konsentrasi CO
2
di atmosfer. Konvensi kerangka kerja PBB tentang perubahan iklim UNFCCC, melalui Protokol Kyoto  mewajibkan negara-negara
industri  untuk  menurunkan  emisinya  sebesar  5  dari  level  tahun  1990.  Dalam protokol  ini,  afforestasi  dan  reforestasi  diperhitungkan  sebagai  sumber  rosot
karbon  yang  kegiatannya  termasuk  dalam  kerangka  CDM  Clean  Development Mechanism.
Salah  satu  skema  penurunan  emisi  yang  sedang  dikembangkan  saat  ini adalah Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation REDD.
REDD  merupakan  suatu  skema  pengurangan  emisi  melalui  penghindaran  atau penurunan laju deforestasi dan degradasi hutan. Setelah Conference of the Parties
COP ke-13 di Bali tahun 2007, REDD berkembang menjadi REDD+.  REDD+ sebagai  konsep  umum  yang  mencakup  berbagai  tindakan  lokal,  nasional  dan
global  untuk  menurunkan  emisi  yang  disebabkan  oleh  deforestasi  dan  degradasi hutan,  serta  meningkatkan  cadangan  karbon  hutan  di  negara  berkembang
Angelsen et al. 2011. Hutan  mempunyai  peranan  yang  sangat  penting  terhadap  penurunan  emisi
GRK,  karena  hutan  merupakan  salah  satu  penyerap  CO
2
yang  cukup  besar. Penyerapan  karbon  oleh  hutan  dilakukan  melalui  proses  fotosintesis  dan
pelepasan  karbon  melalui  respirasi.  Vegetasi  di  dalam  hutan  menggunakan  CO
2
dalam  proses  fotosintesis  dan  menghasilkan  O
2
dan  energi  yang  sebagian  energi tersebut disimpan dalam bentuk biomassa pohon.
Tempat  penyimpanan  dan  fluks  karbon  yang  terpenting  dalam  ekosistem hutan tropika tergantung pada perubahan dinamika  stok karbon di vegetasi dan tanah,
ketersediaan  kandungan  hara,  dan  kondisi  iklim  setempat  yang  dapat  dimodelkan. Tempat  penyimpanan  utama  karbon  adalah  biomassa  bagian  atas  yang  meliputi
batang,  cabang,  ranting,  daun, bunga, buah,  dan bagian bawah  yang  meliputi akar, bahan  organik  mati  necromass  tanah,  dan  yang  tersimpan  dalam  bentuk  produk
kayu  yang  nantinya  akan  diemisikan  dalam  bentuk  produk  jangka  panjang. Sedangkan  atmosfer  sendiri  bertindak  sebagai  media  perantara  di  dalam  siklus
karbon.  Aliran  karbon  biotik  antara  atmosfer  dan  hutanlahan  adalah  fiksasi  netto karbon  melalui  proses  fotosintesis  net  primary  productivity  dan  respirasi
heterotropik  dekomposisi  pada  serasah  halus  dan  kasar    akar  yang  mati  dan karbon  tanah.  Sebagian  dari  karbon  yang  terfiksasi  dari  fotosintesis  akan
ditransfer ke sistem perairan melalui sungai sebagai bahan organik  yang terlarut, dan  jumlahnya  untuk  daerah  tropik  basah  diperkirakan  sebesar  0,1  x  10
6
Mt Chatahun Mazzei et al
.
2010
,
Brown et al. 1993. Pelepasan netto karbon ke atmosfer dari perubahan tata guna lahan tergantung
pada  jumlah  karbon  yang  tersimpan  dalam  vegetasi  dan  tanah,  laju  dan  bentuk
pembukaan  lahan,  laju  dekomposisi,  intensitas  tanah  yang  terganggu  akibat pemanenan  kayu,  perubahan  tata  guna  lahan,  dan  pukulan  mekanik  hujan.  Model
dasar mengenai cadangan massa karbon secara umum dapat dibedakan menjadi dua sumber yaitu massa karbon di dalam vegetasi dan massa karbon di dalam tanah.
Hutan tropika merupakan  tipe hutan  yang  memiliki  biomasa dalam jumlah yang besar, sehingga hutan tropika merupakan cadangan massa karbon yang  penting.
Potensi  pertumbuhan  di  hutan  tropis  umumnya  lebih  tinggi  dan  lebih  cepat, sehingga  dapat  mempercepat  akumulasi  karbon  di  dalam  tanaman.  Di  samping  itu
massa karbon juga tersimpan dalam material yang telah mati sebagai serasah, batang pohon  yang  jatuh  di  permukaan  tanah,  dan  sebagai  material  yang  sukar  lapuk  di
dalam  tanah.  Nabuurs  dan  Mohren  1993  mengemukakan  siklus  karbon  pada ekosistem hutan, seperti pada Gambar 2.
Gambar 2. Siklus karbon di ekosistem hutan.
2.3  Biomassa dan Karbon Hutan