Hubungan Antara Risiko Ergonomi dengan Kelelahan Kerja

Seorang tenaga kerja memiliki kemampuan tersendiri dalam hubungannya dengan beban kerja. Mungkin diantara mereka lebih cocok untuk beban fisik, mental, atau sosial. Namun sebagai persamaan yang umum, mereka hanya mampu memikul beban sampai suatu berat tertentu. Bahkan ada beban yang dirasa optimal bagi seseorang. Inilah maksud penempatan seorang tenaga kerja yang tepat pada pekerjaan yang tepat Depnaker, 1990. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya kelelahan kerja karena beban kerja yaitu dapat dilakukan pembagian tugas dengan menyesuaikan kemampuan fisik dan kapasitas kerja yang dapat diterima masing-masing karyawan dalam melakukan aktifitas kerja agar hasil kerja yang dicapai dapat maksimal. Selain itu merotasi karyawan yang melakukan aktifitasbeban kerja lebih berat dan memiliki masa kerja lama ke bagian kerja yang aktifitasbeban kerja yang lebih ringan. Sebaiknya karyawan yang melakukan aktifitasbeban kerja lebih ringan dan memiliki masa kerja baru ke bagian kerja yang aktifitasbeban kerja nya lebih berat.

6.3.7 Hubungan Antara Risiko Ergonomi dengan Kelelahan Kerja

Proses kerja di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo Jakarta dilakukan dengan sistem 3 shift. Shift pagi dimulai dari pukul 07.00 – 14.00 WIB. Kemudian Shift sore dimulai dari pukul 13.00 – 20.00 WIB. Dan shift malam dimulai dari pukul 20.00 – 07.00 WIB. Untuk menutupi kekurangan tenaga, selalu diadakan sistem nerus pada karyawan. Namun proses kerja yang dilakukan untuk ketiganya sama. Pekerjaan yang dilakukan di Instalasi Gizi bersifat dinamis. Maka untuk menentukan postur yang akan dinilai dengan metode RULA dan REBA, dipilihlah postur yang dianggap mewakili masing-masing tahap pekerjaan berdasarkan postur yang paling lama dipertahankan. Berdasarkan tabel 5.10, didapatkan hasil bahwa dari 6 responden dengan tingkat resiko ergonomi pekerjaan yang sedang yaitu sebanyak 4 orang 66,7 sebagian besar mengalami kelelahan berat 1 orang 16,7 masing-masing mengalami kelelahan kerja sedang dan ringan. Sedangkan dari 26 responden dengan tingkat resiko ergonomi pekerjaan yang rendah yaitu sebanyak 13 orang 50 sebagian besar mengalami kelelahan berat, 8 orang 30,8 mengalami kelelahan kerja sedang, dan 5 orang 19,2 mengalami kelelahan kerja ringan. Dari hasil tersebut secara persentase pekerja dengan tingkat resiko ergonomi pekerjaan yang sedang lebih banyak mengalami kelelahan berat jika dibandingkan dengan pekerja dengan resiko ergonomi pekerjaan yang rendah. Berdasarkan hasil observasi peneliti terhadap responden, menunjukkan bahwa hanya sedikit karyawan yang bekerja dengan postur tubuh yang janggal. Akan tetapi hal tersebut seharusnya dapat dikurangi yaitu dengan desain tempat kerja yang sesuai dengan antropometri masing-masing karyawan agar dapat senyaman mungkin melakukan pekerjaannya dengan baik sehingga dapat meningkatkan produktifitas karyawan di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo. Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Asmara 2008 dengan menggunakan metode REBA yaitu menunjukkan bahwa sebesar 4,34 postur dengan action level 1 sangat rendah; 73,91 postur dengan action level 2 rendah; 21,73 postur dengan action level 3 sedang untuk stasiun pemasakan dan penyaringan pada tangan kanan. 30,43 postur dengan action level 1; 56,52 postur dengan action level 2; 13,04 postur dengan action level 3 untuk stasiun pemasakan dan penyaringan pada tangan kiri. Dan terdapat 84,61 postur dengan action level 2; 15,38 postur dengan action level 3 untuk stasiun pemotongan pada tangan kanan. 15,38 postur dengan action level 1; 76,92 postur dengan action level 2; 7,69 postur dengan action level 3 untuk stasiun pemotongan pada tangan kiri. Berdasarkan hasil uji statistik, didapatkan Pvalue sebesar 0,723 , artinya pada α = 5 dapat disimpulkan dapat disimpulkan bahwa resiko ergonomi pekerjaan tidak memiliki hubungan yang bermakna dengan kelelahan kerja. Posisi dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang dilakukan, masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda terhadap tubuh. Menurut Soeripto 1989, perencanaan dan penyesuaian alat yang tepat bagi tenaga kerja dapat meningkatkan produktifitas, menciptakan keselamatan dan kesehatan kerja serta kelestarian lingkungan kerja, dan juga memperbaiki kualitas produk dari suatu proses produksi. 171

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN