Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Kelelahan Kerja

juga dipengaruhi oleh shift kerja yang di jalani oleh karyawan, dimana seluruh karyawan pada semua jenjang umur pernah menjalani ketiga shift kerja yang ada di Instalasi Gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011. Sehingga kelelahan kerja yang dialami oleh karyawan selalu sama, kemudian juga karyawan sering mengalami sistem kerja nerus shift pagi nerus ke shift sore.

6.3.2 Hubungan Antara Jenis Kelamin dengan Kelelahan Kerja

Penggolongan jenis kelamin terbagi menjadi laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin juga merupakan salah satu faktor yang diduga berhubungan dengan kelelahan kerja pada karyawan di instalasi gizi RSUD Pasar Rebo tahun 2011. Berdasarkan tabel 5.6 didapatkan bahwa karyawan dengan kategori perempuan lebih banyak yaitu 24 orang 75,8 dibandingkan karyawan laki-laki yaitu sebesar 24,2 8 orang. Berdasarkan tabel 5.9 diketahui bahwa dari 8 responden dengan kategori jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 7 orang 87,5 sebagian besar mengalami kelelahan berat dan sebanyak 1 orang 12,5 mengalami kelelahan sedang. Sedangkan dari 24 responden dengan kategori jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 10 orang 41,7 mengalami kelelahan kerja berat, 8 orang 33,3 mengalami kelelahan sedang dan 6 orang 25 mengalami kelelahan ringan. Dari hasil tersebut secara persentase karyawan dengan kategori laki-laki lebih banyak mengalami kelelahan berat jika dibandingkan dengan karyawan dengan kategori jenis kelamin perempuan. Walaupun menurut jumlah diketahui bahwa kelelahan kerja berat lebih banyak dialami oleh karyawan dengan ketegori jenis kelamin perempuan, namun hasil ini tidak sejalan dengan teori Suma’mur PK 1996, yang menjelaskan bahwa biasanya wanita lebih mudah lelah dibanding pria. Hal tersebut dikarenakan ukuran tubuh dan kekuatan otot tenaga kerja wanita relatif kurang dibanding pria, secara biologis wanita mengalami siklus haid, kehamilan dan menopouse, dan secara sosial kultural, yaitu akibat kedudukan sebagai ibu dalam rumah tangga dan tradisi-tradisi sebagai pencerminan kebudayaan. Menurut Harrington dan Gill 2003 yang menyatakan bahwa pekerja wanita lebih teliti dan lebih tahan atau lentur dibandingkan dengan laki-laki, seperti pada wanita yang telah menikah dan bekerja, waktu kerjanya lebih lama 4-6 jam jika dibandingkan dengan pria suaminya karena selain mencari nafkah wanita juga bertanggung jawab terhadap keluarga dan rumah. Dapat disimpulkan bahwa hasil pada penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitian Harrington dan Gill tersebut di atas. Kemudian tidak sejalan pula dengan teori Tarwaka et al, 2004 yang menambahkan bahwa secara umum wanita hanya mempunyai kekuatan fisik 23 dari kemampuan fisik atau kekuatan otot laki-laki. Dengan demikian, untuk mendapatkan hasil kerja yang sesuai maka harus diusahakan pembagian tugas antara pria dan wanita. Hal ini harus disesuaikan dengan kemampuan, kebolehan, dan keterbatasannya masing- masing. Menurut Depkes RI 2003 , kapasitas kerja adalah kemampuan bekerja seseorang yang dipengaruhi oleh jenis kelamin . Kapasitas yang dimiliki seorang pekerja erat hubungannya dengan pekerjaannya. Jenis kelamin berpengaruh dalam melakukan pekerjaan, sebab laki-laki dan perempuan berbeda dalam kemampuan fisiknya dan kekuatan ototnya. Ukuran-ukuran tubuh juga mempengaruhi dalam menjalankan sebuah aktivitas kerja . Menurut pengalaman ternyata siklus biologi pada wanita tidak mempengaruhi kemampuan fisik, melainkan lebih banyak bersifat sosial dan kultural Depnaker, 1993. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan, menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan aktifitas kerjabeban kerja yang dilakukan antara karyawan dengan kategori jenis kelamin laki-laki dan karyawan dengan kategori jenis kelamin perempuan. Baik karyawan laki-laki maupun perempuan melakukan aktifitas kerja dengan beban kerja yang sama. Dari hasil uji statistik pada tabel 5.9 dapat disimpulkan ada hubungan yang bermakna antara jenis kelamin dengan kelelahan kerja dengan nilai pvalue sebesar 0,036. Hal ini sejalan dengan Studi di Amerika Serikat yang dilakukan Claire 2004 menyatakan bahwa jenis kelamin dapat mempengaruhi tingkat kelelahan seseorang. Hal ini dapat dilihat dari waktu kerja lembur yang mempengaruhi wanita. Wanita yang menjalani kerja lembur ternyata memiliki potensi yang lebih besar terjadi kelelahan, hal ini dikarenakan posisi wanita didalam rumah tangga yang mengharuskannya untuk selalu menyediakan waktu bagi keluarga. Biasanya setelah menjalankan lembur kerja, tenaga kerja wanita sesampainya di rumah masih mengerjakan pekerjaan rumah tangga seperti mengasuh anak, mencuci dan lain-lain. Sehingga mengakibatkan kurangnya waktu bagi tenaga kerja wanita untuk beristirahat dan memulihkan kondisi dari kegiatan pekerjaan. Masih dalam Claire 2004 Hasil studi dari Fredrikson 1999 menyatakan bahwa resiko kerusakan otot akan meningkat, jika jam kerja yang panjang lembur ditambah dengan bekerja di rumah. Dan ternyata siklus biologi pada wanita tidak mempengaruhi kemampuan fisik, melainkan lebih banyak bersifat sosial dan kultural, kecuali pada wanita yang mengalami kelainan haid dysmenorrhoea. Hal tersebut mungkin disebabkan karena status gizi karyawan. Pada karyawan yang memiliki status gizi obesitas dan mengalami kelelahan berat, sebagian besar dengan kategori perempuan 75. Pada karyawan dengan yang memiliki status gizi gemuk dan mengalami kelelahan kerja berat sebagian besar kategori perempuan 50. Pada karyawan dengan kategori laki-laki, seluruhnya memiliki status gizi normal dan mengalami kelelahan berat 87,5. Untuk mendapatkan hasil kerja yang baik dan sesuai serta pekerjaan tersebut tidak menimbulkan kelelahan kerja, maka harus diusahakan pembagian tugas antara laki-laki dan perempuan pada karyawan di instalasi gizi dengan penyesuaian kemampuan, kebolehan, keterampilan, serta keterbatasannya masing-masing Tarwaka et al, 2004. Kemudian, agar di sesuaikan juga dengan status gizi karyawan.

6.3.3 Hubungan Antara Masa Kerja dengan Kelelahan Kerja