Partuturon berubah karena faktor kurangnya kesadaran etnisitas

sebagai sopan santun meskipun tidak sesuai dengan hubungan kekerabatan yang seharusnya, seperti pernyataan Ridho: “ terlalu ribet kalo setiap berkomunikasi dengan setiap orang harus melakukan tarombo, apalagi saya sama sekali tidak mengerti tarombo. Jangankan tarombo bahasa Mandailing pun awak tak tau karena dari sejak lahir saya sudah di Medan. Palingan kalo jumpa kawan semarga aku merasa lebih akrab, dan memanggil dengan tutur yang sopan ja lah”. Ridho, April 2011

4.5. Partuturon berubah karena faktor kurangnya kesadaran etnisitas

Perubahan partuturon yang terjadi di kota Medan pada dasarnya disebabkan oleh individu masyarakat Mandailing itu sendiri. Kurangnya kesadaran atau kecintaan terhadap budaya dan adat istiadat Mandailing sehingga membuat perubahan dengan menggunakan bahasa dan partuturon yang melenceng dari ketentuan adat Mandailing. Meski mengetahui silsilah partuturon Mandailing yang ideal namun tidak dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Penyesuaian diri agar terbentuk hubungan sosial yang harmonis dengan lingkungan sekitar menjadi penyebab partuturon Mandailing ditinggalkan dirubah. Sikap yang ingin selalu mengimbangi lawan berbicara dengan bahasa dan partuturon yang dimengerti membuat seseorang menjadi terbiasa dan menimbulkan rasa malu ketika menggunakan partuturon Maandailig untuk menyapa, tindakan seperti ini kemudian menimbulkan berubahnya Partuturon dan budaya Mandailing tidak dapat terlestarikan di kota Medan. Tidak sedikit dari Masyarakat Mandailing yang berada di kota Medan menutupi jati dirinya dengan mengadopsi budaya lain termasuk partuturonnya dengan etnis yang ada di sekitar lingkungannya. streotife tentang Masyarakat Batak yang diidentikkan kasar memberi perngaruh sehingga muncul rasa malu dan takut dihindari akibat adanya setreotife tersebut dalam masyarakat. Universitas Sumatera Utara Pernyataan dibawah ini merupakan penggambaran bahwa partuturon mengalami perubahan disebabkan oleh faktor kurangnya kesadaran etnisitas disebabkan oleh individunya sendiri. Seperti pernyataan Ibu Sodah berikut ini: “ Ibu memang masih tau sedikit banyaknya masalah adat Mandailing bahkan tarombo Mandailing, dari tarombo itu kan kita bisa tau si A siapa kita tuturnya apa , tapi Ibu memang agak jarang menggunakan tutur Mandailing palingan sama orang- orang tertentu. Karna kadang kalau pun Ibu menggunakan tutur Mandailing seperti memanggil orang lain dengan panggilan eda bisa-bisa dia malah gak ngerti apa kan ibunya juga yang malu, bahkan takutnya di bilang batak kali ibu”. Saodah, Mei 2011 Pernyataan diatas merupakan gambaran bahwa strotife tentang “ Batak” yang kasar, pemakan orang dan lain sebagainya memberi pengarh terhadap Masyarakat Mandailing di kota Medan. Banyak masyarakat etnis Mandailing yang lebih mengaku Jawa karna Ibunya Jawa, bahkan melupakan garis patrilineal yang seharusnya ditarik dari garis ayah. Hal ini membuat kesadaran untuk melestarikan adat dan budaya Mandailing hilang.

4.6. Sikap Dalam Partuturon yang Berubah