Kaidah-Kaidah Masyarakat Mandailing Unsur Dalihan Na Tolu

Sikap sopan santun diantara sesama anggota masyarakat terutama dalam pergaulan yang lebih muda terhadap yang lebih tua atau orangtua, tatakrama panggilan kerabat sudah diatur sesuai dengan struktur dalam Dalihan Na Tolu. Hapantunon dapat dikelompokkan ke dalan dua hal: a. Hapantunon di dalam hubungan kekeluargaan yang disebut dengan partuturon. b. Hapantunon di dalam pergaulan masyarakat yang dapat disebut juga dengan tata krama dalam pergaulan. Begitu pula halnya dalam adab menerima tamu dan sebagainya, harus dijalin kekerabatan dan cara menyambut tamu yang bermartabat. Hal ini terungkap dalam ungkapan malo naeng ho sanggap, manat maho mardongan tubu. Artinya jika kamu ingin menjadi orang yang terhormat, harus berhati-hati dalam bergaul dengan dongan sabutuha teman semarga.

3.3. Kaidah-Kaidah Masyarakat Mandailing

Pertama Sanggap Marmora, maksudnya adalah menjunjung tinggi mora, yang dilatar belakangi oleh hubungan kekerabatan markoum sisolkot. Kedua Manat Markahanggi, hal ini ditujukan agar diantara sesama kerabat saling peduli dan saling membantu. Ketiga Elek Maranakboru, ditujukan agar diantara sesama kerabat pandai-pandai mengambil hati pihak kerabat yang memiliki tenaga, pikiran, kekuatan atau yang memberikan bantuan, baik Universitas Sumatera Utara bantuan tenaga atau yang lainnya. Anak boru dalam budaya Mandailing adalah pihak yang bekerja lebih banyak, dan biasanya harus lebih sabar. Sehingga anak boru sering disebut dengan “ tungkol ngon lombang, siorus na lobi sitamba na urang” Ritonga, 2004 : 34.

3.4. Pola Perkawinan Masyarakat Mandailing

Tutur partuturon pada masyarakat Mandailing berkaitan erat dengan pola pernikahan yang beragam, yang juga dapat melahirkan beragam tutur yang berbeda sesuai dengan peran dan kedudukannya. Adapun menurut Bachri 1999:12 pola pernikahan pada Masyarakat Mandailing dikelompokkan sebagai berikut:

3.4.1. Perkawinan Semarga

Dalam pandangan adat Mandailing pernikahan semarga merupakan hal yang dihindari, namun belakangan ini pernikahan semarga sudah sering di jumpai pada masyarakat Mandailing. Pada dasarnya orang yang melakukan pernikahan semarga akan mendapat sanksi oleh masyarakat di sekitarnya. Perkawinan semarga ini dapat dicontohka dengan seseorang yang semarga melakukan pernikahan. Misalnya seorang pria yang bermarga Nasution menikah dengan seorang wanita yang bermarga Nasution. Pernikahan seperti ini disebut pernikahan semarga.

3.4.2. Pernikahan Sungsang

Dalam pandangan adat tidak ada pelanggaran kaidah atau norma adat yang melarang pernikahan sungsang ini, namun sebagian besar masyarakat Mandailing menghindari hal ini. Perkawinan sungsang adalah seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan, dan adik Universitas Sumatera Utara laki-laki perempuan tersebut menikahi adik perempuan laki-laki tersebut. Dalam hal ini terjadi tutur ganda “ Tulang-Amangboru” atas pasangan-pasangan tersebut tersebut terhadap mertuanya masing-masing.

3.4.3. Pernikahan dengan Boru Tulang

Pada masyarakat Mandailing pernikahan boru tulang ini merupakan pernikahan yang ideal. Para leluhur Mandailing menganjurkan meminang sang boru tulang. Boru tulang adalah putri kandung dari tulang mamak kita sendiri. Alasan pernikahan boru tulang ini merupakan pernikahan yang ideal adalah merupakan budi leluhur untuk melakukan upaya melestarikan hubungan kekeluargaan yang ada.

3.4.4 Perkawinan Sambar Bulung

Pernikahan sambar bulung ini adalah pernikahan yang bertolak belakang dari pernikahan boru tulang. Pernikahan sambar bulung adalah pernikahan seorang laki-laki yang menikahi putri dari amangborunya. Pernikahan ini akan mngubah sistem kekerabatan dimana seorang anak boru akan menjadi mora, dan begitu juga sebaliknya terhadap pasangannya.

3.5. Unsur Dalihan Na Tolu

Dalihan Na Tolu secara harfiah diartikan sebagai tungku yang pegangannya terdiri dari tiga, agar tungku tersebut dapat seimbang. Dalihan Na tolu juga mengandung arti tiga kelompok masyarakat yang merupakan tumpuan, dimana Dalihan Na Tolu terdiri dari: Universitas Sumatera Utara 1. Suhut dan Kahanggi ialah suatu kelompok keluarga yang semarga atau yang mempunyai garis keturunan yang sama dalam suatu huta kampung. Suhut dan Kahanggi terdiri dari:  Suhut ialah tuan rumah di dalam pelaksanaan upacara adat yang hajatan. Kelompok inilah yang memunyai tanggungjawab terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan upacara adat tersebut.  Hombar suhut ialah keluarga dan Kahanggi semarga dengan suhut tetapi tidak satu nenek. Hombar suhut tidak hanya berasal dari satu huta kampung yang sama tetapi juga dari luar huta kampung yang masih memiliki hubungan keluarga dan semarga dengan suhut.  Kahanggi pareban ialah keluarga kelompok pertama dan yang ketiga sama- sama mengambil istri dari keluarga yang sama, dalam status adat Kahanggi pareban ini dianggap sebagai saudara markahanggi berdasarkan perkawinan. 2. Anak boru ialah kelompok keluarga yang mengambil istri dari kelompok suhut anak boru yang terdiri dari:  Anak boru bona bulu yaitu anak boru yang mempunyai kedudukan sebagai anak boru sejak pertama kalinya Suhut menempati huta kampung. Anak boru inlah yang pertama sekali mengambil boru dari keluarga suhut. Anak boru ini bahkan turut membuka huta dan turut bertempat tinggal dengan Suhut di huta kampung tersebut.  Anak boru busir ni pisang adalah anak boru yang karna orangtuanya mengambil istri dari keluarga suhut. Oleh karena itu anak-anaknya akan tampil sebagai Anak boru busir ni pisang dan secara turun temurun berhak mengabil istri dari kelompok Suhut tersebut. Universitas Sumatera Utara  Anak boru si buat boru ialah anak boru yang mengambil istri dari suhut, dengan demikian ia berkedudukan anak boru si buat boru. 3. Mora ialah tingkat keluarga yang oleh Suhut mengambil boru istri dari kelompok ini. Mora terdiri dari:  Mora mata ni ari ialah kelompok keluarga yang secara turun-temurun menjadi mora karena kelompok Suhut sejak pertama kali yang telah mengambil boru dari kelompok ini. Dalam upacara adat Mora mata ni ari dapat hadir sebagai harajaon.  Mora ulu bondar pangalapan boru ialah Mora tempat kelompok Suhut mengambil boru. Mora ini adalah kelompok keluarga yang telah pernah memberi boru kepada Suhut, oleh karena itu secara turun-temurun kelompok Suhut dapat mengabil boru dari kelompok ini.  Mora pambuatan boru adalah kelompok keluarga tempat Suhut mengabil istri. Mora sebagai kelompok keluarga yang baru pertama kalinya memberikan boru kepada keluarga Suhut. Suhut yang mengambil boru secara langsung itu menganggap keluarga Mora ini sebagai Mora pambuatan boru. Apabila Dalihan Na Tolu dikembangkan, Mora tentu mempunyai Mora, maka jika dipandang dari sisi ni Suhut maka kedudukannya dalam Mora ni mora. Demikian dengan Anak boru tentu mempunyai Anak boru dan jika dipandang dari sisi Suhut kedudukannya disebut Pisang raut wawancara dengan Ibu Basaniah Nasution, Maret 23 2011. Masyarakat Mandailing mengenal dua jenis upacara adat, yakni siluluton dan siriaon. Siluluton artinya upacara yang siselenggarakan karena ada peristiwa duka cita, sedangkan upacara siriaon adalah upacara yang diselenggarakan karena ada peristiwa suka cita. Dalam masyarakat Mandailing Dalihan Na Tolu memiliki peran Universitas Sumatera Utara yang berbeda pada setiap kedua upacara adat. Tuan rumah dalam upacara adat disebut Suhut sihabolonan, sedangkan Kahanggi disebut Suhut kelompok inilah yang mempunyai hajat untuk penyelenggaraan upacara adat. Pihak Anak boru dari Suhut si habolonan adalah penanggungjawab pelaksanaan upacara adat tersebut, sehingga Anak boru disebut juga si suruon artinya yang di suruh-suruh oleh Mora. Sementara pihak Mora memberi restu bagi penyelenggaraan upacara adat tersebut.

3.6. Partuturon Mandailing