BAB III PARTUTURON IDEAL PADA MASYARAKAT
MANDAILING UMUMNYA
3.1. Hukum Adat Mandailing
Hukum adat Mandailing merupakan hukum adat yang harus dijalankan oleh seluruh masyarakat Mandailing, dimana hukum adat mandailing ini sering disebut dengan
Paradaton. Hukum adat akan menjadi pedoman hidup masyarakat Mandailing serta menjadi tolak ukur kedudukan seseorang di kalangan masyarakat. Pada dasarnya hukum
adat dipimpin oleh kaum tua hatobangon masyarakat Mandailing. Hatobangon pada masyarakat Mandailing memiliki kedudukan dan peran yang sangat penting dalam Hukum
adat paradaton masyarakat Mandailing. Setia upacara adat akan terlebih dahulu di musyawarahkan dengan pihak hatobangon dan disetujui baru acara tersebut dapat
dilaksanakan. Hal ini merupakan wujud dari hukum adat Mandailing yang menunjukkan rasa hormat terhadap tetua suatu daerah huta.
Masyarakat Mandailing terbentuk melalui tetua suatu huta yang dijadikan sebagai hatobangon pada Masyarakat Mandailing. Hatobangon ini juga merupakan kelompok
pembangun huta pada masyarakat Mandailing yang disebut pambuka huta. Pambuka huta merupakan orang yang pertama sekali membuka suatu lahan dan dijadikan sebagai tempat
bermukim. Kemudian disusul oleh beberapa orang sehingga berkembang menjadi suatu daerah perkampungan huta yang membentuk suatu kemasyarakatan bagi masyarakat
Mandailing. Masyarakat adat Mandailing di mulai dari satu keluarga menjadi beberapa keluarga,
kemudian berkembang dari satu keluarga menjadi satu marga suku, dan kemudian
Universitas Sumatera Utara
berkembang lagi menjadi masyarakat yang hidup berkelompok dalam satu kawasan huta. Huta adalah sebutan untuk daerah kawasan yang didiami oleh masyarakat Mandailing,
dimana dalam huta rumah-rumah penduduk saling berdekatan satu sama lain. Asal mula dari adat Mandailing adalah rasa kasih sayang olong. Kasih sayang akan
membawa keakraban olong maroban domu. Untuk melaksanakan rasa kasih sayang olong di sesama masyarakat Mandailing tentu didasari oleh sistem sosial masyarakat yang
membentuk kelompok kekerabatan yang tersusun dalam Dalihan Na Tolu, yaitu mora, kahanggi dan anak boru. Ketiga kelompok kekerabatan inilah yang di jadikan sebagai “
tumpuan ’’ atau “ dalian ” sistem nilai sosial. Secara etimologi Dalihan Na Tolu berarti tungku yang tiga. Tungku artinya tempat landasan menjerangkan periuk ke atas api pada
waktu memasak. Tungku itu harus di susun sedemikian rupa sehingga periuknya dapat bertunggu dengan kuat. Dalam adat Mandailing Dalihan Na Tolu mengandung arti bahwa
orang Mandailing menganut sistem kekerabatan yang tergabung dalam suatu struktur yang terdiri dari mora, kahanggi dan anak boru.
Ketiga kelompok kerabat dalam Dalihan Na Tolu memiliki kedudukan berganti-ganti, sesuai dengan situasi dan kondisinya. Ada waktu kita berkedudukan sebagai anak boru, mora
atau pisang raut. Ketiga kelompok ini merupakan suatu sistem yang saling berhubungan , saling terkait, dan saling menunjang. Oleh karena itu mekanismenya adalah somba Marmora,
manat markahanggi, elek maranak boru. Mora adalah kelompok yang sangat dihormati, dalam bahasa adat disebut “ dijunjung
do i tuana didege-dege tilakona ”. Namun disamping haknya untuk dihormati kelompok ini juga harus elek maranak boru. Anak boru bisa disuruh, tapi harus pandai menyuruhnya yaitu
dengan elek artinya dengan bahasa yang lemah-lembut. Kepada kahanggi harus manat-manat
Universitas Sumatera Utara
hati-hati. Ada orang menyebut kahanggi ini dongan marbada atau berkelahi, oleh karena itu harus pandai-pandai menghadapinya.
Peran Dalihan Na Tolu ini sangat penting bagi hubungan kekeluargaan dan hubungan kemasyarakatan. Dalam masyarakat Mandailing bila melakukan horja pesta akan terlebih
dahulu dimusyawarahkan dengan kahanggi, anak boru, dan mora sesuai dengan fungsinya masing-masing.
3.2. Dasar Hukum Adat Mandailing