Pernyataan dibawah ini merupakan penggambaran bahwa partuturon mengalami perubahan disebabkan oleh faktor kurangnya kesadaran etnisitas disebabkan oleh
individunya sendiri. Seperti pernyataan Ibu Sodah berikut ini: “ Ibu memang masih tau sedikit banyaknya masalah adat Mandailing bahkan
tarombo Mandailing, dari tarombo itu kan kita bisa tau si A siapa kita tuturnya apa , tapi Ibu memang agak jarang menggunakan tutur Mandailing palingan sama orang-
orang tertentu. Karna kadang kalau pun Ibu menggunakan tutur Mandailing seperti memanggil orang lain dengan panggilan eda bisa-bisa dia malah gak ngerti apa kan
ibunya juga yang malu, bahkan takutnya di bilang batak kali ibu”. Saodah, Mei 2011
Pernyataan diatas merupakan gambaran bahwa strotife tentang “ Batak” yang kasar, pemakan orang dan lain sebagainya memberi pengarh terhadap Masyarakat Mandailing di
kota Medan. Banyak masyarakat etnis Mandailing yang lebih mengaku Jawa karna Ibunya Jawa, bahkan melupakan garis patrilineal yang seharusnya ditarik dari garis ayah. Hal ini
membuat kesadaran untuk melestarikan adat dan budaya Mandailing hilang.
4.6. Sikap Dalam Partuturon yang Berubah
Sikap yang baik ditentukan melalui aturan dan etika yang melahirkan rasa hormat, sopan, sungkan dan bersikap bebas, begitu juga sebaliknya dengan sikap yang dianggap
kurang baik. Aturan adat Mandailing dalam sistem kekerabatan Partuturon akan menjadi penentu sikap hormat, sopan, sungkan dan bahkan sikap bebas. Apabila partuturon berubah
maka penentuan sikap juga akan turut berubah sehingga sikap sopan, hormat,sungkan dan sikap bebas tidak pada kerabat yang tepat
Tutur merupakan penentu dalam bersikap, ketika tutur berubah maka tanggung jawab juga turut berubah, begitu juga dengan sikap akan turut berubah. Dalam hukum adat
Mandailing melalui tutur seseorang dapat menentukan sikap terhadap kerabatnya. Kepada siapa harus bersipat sangat hormat, kepada siapa harus bersikap bebas. Biasanya ketika
Universitas Sumatera Utara
seseorang ditutuntut untuk bersikap sangat hormat, maka rasa hormat tersebut akan melahirkan pantangan- pantangan dan rasa sungkan.
Rasa sungkan pada hukum adat sering tergambar pada hubungan antara menantu dengan mertuanya. Dimana seorang menantu parumaen secara adat dituntun untuk bersikap
sangat hormat kepada mertunya amang boru namboru sehingga ada ketentuan bersikap antara menantu dengan mertua, dimana menantu parumaen ketika berica harus sangat sopan
bahkan kepada mertua laki –laki amang boru seorang parumaen harus menjaga jarak. Namun kenyataanya berdasarkan hasil penelitian tutur antara paremaen dengan amang boru
namboru telah berubah. Amangboru namboru dipanggil dengan Ayah Ibu. Perubahan tutur ini juga telah berubah. Melalui tutur Ayah Ibu sikap parumaen terhadap amangboru
dan namboru juga berubah. Meskipun parumaen tetap menghormati amang boru dam namboru nya namun rasa hormat lebih mengarah seperti hormat kepada kedua orangtuanya.
Parumaen lebih leluasa untuk berbicara bahkan bercanda dengan amang boru namborunya. Hal ini dapat digambarkan melalui pernyataan Ibu Salmah.
“ saya memanggil kedua mertua saya amangboru namboru dengan sebuta ayah dan ibu. Menurut saya panggilan ayah dan ibu terhadap mertua membuat saya malah
semakin dekat dengan kedua mertua saya. Malah saya memperlakukan beliau sperti orangtua saya. Saya sering bercanda dengan mertua saya bahkan sebaliknya mertua
saya pun sering bercanda dengan saya. Jadi saya menghormati amang boru atau namboru saya tidak pake rasa sungkan jadinya mau dibawa carita atau bercanda pun
lebih enak”. Salmah, Mei 2011
Fenomena lain yang menunjukkan perubahan pada masyarakat Mandailing terliat jelas pada hubungan antara anak dan orang tuanya. Rasa hormat yang seharusnya disertai
sikap sungkan antara anak laki-laki dengan ibunya, dan antara anak perempuan dengan ayahnya. Sikap sungkan ini sebenarnya berlaku ketika si anak menjelang remaja. Anak
perempuan harus menjaga jarak dengan ayah begitu juga sebaliknya anak laki-laki harus menjaga jarak dengan ibunya. Mejaga jarak dalam hal ini diartikan bahwa seorang anak
Universitas Sumatera Utara
perempuan tidak diperbolehkan bersikap sangat bebas terhadap ayahnya baik cara bersikap, berbicara dan bertingkah laku, anak perempuan dapat lebih bebas terhadap ibu. Begitu juga
sebaliknya dengan anak laki-laki yang dapat bersikap lebih bebas terhadap ayahnya. Berdasarkan hasil penelitian dilapangan ketentuan adat Mandailing ini sudah
menunjukkan perubahan pesat, dimana anak dan orangtua sudah sangat bebas bahkan seperti kawan. Orang tua sudah bukan merupakan sosok yang disegani lagi melainkan orangtua
sudah menjalani teman bercerita dan teman bermain. Tidak ada lagi ketentuan yang mengharuskan anak perempuan menjaga jarak dengan ayah, begitu juga sebaliknya dengan
anak laki-laki. Perubahan ini besar pengaruhnya dengan tutur yang berubah, seperti tutur papa dan mama menyebabkan sikap juga berubah. Anak menjadi sangat bebas terhadap
orangt tuanya sehingga rasa sungkan itu tadi hilang dengan pemahaman baru bahwa sikap sungkan tidak dikedepankan melainkan kedekatan antara anak dengan orang tua. Seperti
ungkapan Suryani dan Hidayat. “ aku akrab dengan mama sama papa, bahkan lebih akrab sama papa. Papa lebih
enak diajak curhat soalnya gak cerewet. Gaq ada jarak antara aku sama mama ataupun papa. Jadinya kedua orangtua aku enak diajak ngobrol bahkan udah seperti
kawan buat aku”. Suryani, Mei 2011
“ orangtua aku sifatnya sangat terbuka sama anak-anaknya,jadinya saya juga terbuka sama bapak dan ibu aku. Yah tapi bisa di bilang saya lebih enak lah cerita
sama ibu apalagi masalah perempuan biar tau criteria ibu aku seperti apa. Kalau ngomongin masalah perempuan sama ayah keknya agak segan. Lagian lebih enak
manja-manjaan sama ibu aku.” Hidayat, Mei 2011.
Terjadinya kontak yang semakin sering antara satu masyarakat dengan masyarakat lainnya dengan kebudayaan masing-masing yang berbeda, menurut Doyle Paul Johnson,
memberi peluang bagi masing-masing mereka untuk menilai masyarakatnya sendiri. Perubahan sosial yang begitu pesat dapat membuat kebiasaan-kebiasaan dan kepercayaan-
kepercayaan yang sudah mapan itu menjadi tidak relevan lagi atau usang dan pada gilirannya mampu merangsang munculnya pemikiran-pemikiran alternatif tandingan terhadap
Universitas Sumatera Utara
kemapanan yang ada, sekaligus sebagai jawaban solusi atas masalah-masalah yang muncul dari perubahan sosial tersebut.
Perubahan partuturon juga telah memberi perubahan pada pandangan tentang aturan pernikahan Masyarakat Mandailing. seiring berubahnya partuturon pernikahan semarga pun
semakin marak terjadi di kalangan masyarakat Mandailing. Hubungan diantara sesama marga pada hukum adat mandailing merupakan hubungan kekerabatan yang dianggaap sedarah ,
sehingga pernikahan semarga pun dianggap tabu. Kenyataan yang terjadi di lingkungan masyarakat Mandailng di kota Medan pernikahan semarga sudah tidak dianggap tabu
melainkan hal yang biasa. Perubahan partuturon yang menimbulkan kesenjangan dalam hubungan kedekatan kekerabatan berdampak pada terjadinya pernikahan semarga. Rasa
kekerabatan yang semakin rendah membuat aturan adat semakin dikesampingkan. Berikut pernyataan Bapak Khoiruddin tentang pandangan terhadap maraknya pernikahan semarga di
kalangan masyarakat Mandailing: “ Menurut Bapak sebenarnya pernikahan semarga kalau bisa tetap dihindarkan, tapi kalau
memang harus terjadi itu tidak dapat disalahkan juga. Makanya kita kembali ke takdir Allah dimana jodoh itu telah ditentukan. Jadi Bapak memandang pernikahan ini sudah merupakan
takdir yang dijalankan oleh seseorang jadi tidak harus dipertentangkan lagi seperti ketentuan adat yang dianggap tabu. Orang juga pernikahan semarga ini sudah banyak
terjadi. Intinya kita lebih mengedepankan agama ajalah selama tidak menyelahi agama tidak masalah dijalankan”.
4.7. Dalihan Na Tolu Dalam Adat Siriaon