didahului dengan kata “ alak “. Kerabat yang tergolong dalam perlakuan sikap sungkan dalam ketentuan adat Mandailing antara lain :
• Seorang laki-laki dengan istri adik laki-lakinya alak anggi i
• Seorang adik perempuan dengan suami kakaknya alak abang i.
• Seorang adik laki-laki terhadap istri abangnya alak kakak i
• Menantu perempuan dengan mertua laki-laki alak amang boru
• Menantu laki-laki dengan mertua perempuan alak nantulang
• Dan sebagainya
Hubungan tabu diatas dapat digambarkan ke dalam bagan dibawah ini:
Bagan 7
1 2
6 3 I 4 7
Keterangan: 5 adik perempuan dengan 7 suami kakak perempuan, 5 adik perempuan dengan 6 istri
abang, 1 mertua laki-laki dengan 6 menantu perempuan, 2 mertua perempuan dengan 7 menantu laki-laki.
3.8. Pengaruh Partuturon Terhadap Sikap
Pada hukum adat Mandailing partuturon mengatur ketentuan bersikap dalam kehidupan sehari-hari. Ada ketentuan tutur yang dipakai masyarakat Mandailing ketika
Universitas Sumatera Utara
melakukan intraksi diantara sesama kerabat. Orangtua memiliki aturan tutur ketika memanggil atau menyuruh anak-anaknya. Tutur ketika kerabat yang lebih tua memanggil
atau menyuruh kerabat yang lebih muda, dan tutur yang dipakai kerabat yang lebih muda terhadap kerabat yang lebih tua.
Berdasarkan hukum adat Mandailing seorang anak memanggil kedua orangtuanya dengan sebutan Amang Ayah dan Inang Ibu, sebaliknya orangtua menggunakan tutur
Amang untuk anak laki-laki dan tutur Inang terhadap anak perempuan. Tutur timbal-balik antara orang tua dan anak pada masyarakat Mandailing dimana, sebutan untuk kedua
orangtua malah dibalas oleh orangtua dengan sebutan yang sama. Pada masyarakat Mandailing tutur orangtua memanggil anak boru dengan sebutan
yang sama bertujuan untuk lebih mempererat kedekatan antara anak boru dengan orangtuanya. Melalui sebutan Amang anak laki-laki dan Inang anak perempuan juga
bertujuan untuk mempertegas kepada anak boru bahwa melalui tutur tersebut, si anak dan si boru menjadi pengganti ayah dan ibu orangtua kita. kakek dan nenek. Artinya selain
memiliki tanggungjawab sebagai anak mereka juga memiliki tanggungjawab sebagai pengganti ayah dan ibu orangtuanya. Anak dan boru setelah dewasa bertanggungjawab untuk
merawat dan menjaga orangtuanya kelak sudah tua nanti. Masyarakat mandailing membekali anak-anaknya dengan ilmu agar kelak menjadi
anak yang berguna dan mampu berbakti sebagai anak, yang nantinya menjadi harapan penopang hidup kedua orangtuanya di usia tua. Sering kali para orang tua mengucapkan
sipiongot nasehat kepada anak-naknya beberapa bunyi bait di bawah ini: I abo ale amang, sinuan tunas
Langka maho, amang, marguru tu sikola Ulang hum baen songon luas-luas
Universitas Sumatera Utara
Tai ringgas ho, amang, marsipoda Anggo panganon dohot abit
Huparkancitkon manjalahisa Inda au nian makikit
Diho mangalehensa I male nian amang
Por nirohangku ho marbisuk Ampot songon mandokdok ma hulala pamatang
Ansu ho doma hubaen usuk Nasution,Sati , 2005 : 18
Sajak ini menggambarkan harapan dari orangtua amang inang kepada anaknya agar benar-benar menuntut ilmu dan dia rela berkorban dengan bersakit-sakit asal anaknya
mau menuntut ilmu dengan harapan jika ia telah tua anaknyalah yang mengambil alih tanggungjawabnya.
Berdasarkan pemakaian tutur adat Mandailing orangtua dapat memerintah dan menyuruh bahkan memarahi anak-anaknya ketika melakukan kesalahan dengan tujuan untuk
menasehati kearah yang lebih baik. Pada adat Mandailing orangtua juga memiliki ketentuan untuk memanggil anak-anaknya dengan tutur tanpa menyebut nama, kalaupun menyebut
nama orangtua biasanya menggunakan kata “ Amang Inang ” terlebih dahulu sebelum menyebut nama anak-anaknya. Hal ini tegambar dalam intraksi sehari-hari “ ke ma buot
minum ji amangmu amang inang ” , kutipan ini merupakan contoh percakapan antara orang tua Amang Inang terhadap anaknya dimana Ibu menggunakan kata “ Inang Amang ” ,
arti kutipan tersebut adalah “ pergi ambilkan air untuk ayahmu amang inang ”. tutur seperti inilah yang ideal dipakai oleh orangtua kepada anak-anaknya.
Universitas Sumatera Utara
Ketentuan bertutur juga belaku kepada kerabat yang lebih tua terhadap kerabat yang lebih muda, dimana kerabat yang lebih tua dapat menyuruh kerabat yang lebih muda dengan
cara yang sopan. Kerabat yang lebih tua boleh menyebut nama ketika memanggil kerabat yang lebih muda tetapi sebelumnya didahului dengan tutur “ Anngi ” sebelum menyebutkan
nama, hal ini digambarkan melalui intraksi sehari-hari “ anggi Nanan ke mangan “. Kutipan ini merupakan contoh percakapan antara kerabat yang lebih tua terhadap kerabat yang lebih
muda. Arti kutipan diatas adalah “ Nanan adikku pergilah makan ”. Aturan bersikap pada kerabat yang lebih muda terhadap kerabat yang lebih tua. Pada
adat Mandailing seseorang yang lebih muda tidak boleh menyuruh orangtua atau kerabat yang lebih tua karena dianggap tidak sopan, kalaupun harus terpaksa menyuruh seseorang
yang labih muda sebelum menyuruh harus menggunakan kata “ Tolong ” misalnya “ kakak abang tolong alap au tu si kola ” arti kutipan diatas adalah “ kakak abang tolong jemput
saya ke sekolah “. Aturan-aturan tutur seperti tersebut diatas sudah seharusnya berlaku pada masyarakat
Mandailing, dimana melalui ketentuan bertutur yang ada seseorang dapat mengetahui bagaimana cara bersikap terhadap orangtua, kerabat yang lebih tua dan yang lebih muda.
Tutur merupakan jembatan bagi seseorang untuk mengetahui hubungan kekerabatannya dengan orang lain. Tutur dapat diketahui melalui perkawinan dan marga.
Adat Mandailing mengatur tutur diantara kerabat yang memiliki marga yang sama, baik melalui marga ayah maupun marga Ibu. Pada masyarakat Mandailing seseorang dituntut
untuk tetap bertutur meskipun hubungan kekerabatan perkawinan tidak ada, namun hubungan kekerabatan melalui marga harus tetap dijalankan sesuai ketentuan bertutur pada adat
Mandailing. Tutur dikelompokkan sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
• Tutur terhadap marga yang sama dengan usia yang sama yaitu : Anggi, Abang,
Kakak, Ipar, Lae dan sebagainya. •
Tutur terhadap orang yang semarga ayah dengan usia yang lebih tua lebih muda dari ayah yaitu: Amang tua, Namboru, Ompung bayo Ayah. Apa uda
dan sebagainya. •
Tutur terhadap orang yang semarga ibu dengan usia lebih tua lebih muda yaitu: Inang tobang, Ompung bayo Ibu, Bujing dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
BAB IV IMPLEMENTASI PARTUTURON ETNIS MANDAILING
YANG BERUBAH SERTA KONSEKUENSI YANG DI TIMBULKAN
4.1. Partuturon Berubah dalam Keberagaman Etnis
Medan merupakan kota metropolitan dan pusat pemerintahan Propinsi Sumatera Utara. Keberagaman etnis merupakan salah satu cirri kota Medan. Hal yang paling menarik
dari keberagaman etnis bahwa pada kawasan-kawasan di kota Medan di huni oleh satu etnis yang lebih dominan sehingga menimbulkan pencirian, misalnya kawasan Padang Bulan
dicirikan sebagai kampungnya etnis Karo karena di kawasan tersebut banyak di huni oleh etnis Karo. Kawasan Bandar Selamat banyak di huni oleh etnis Mandailing, begitu juga
dengan kawasan lainnya di dominasi oleh satu kelompok etnis di tengah-tengah keberagaman etnis lain.
Fenomena lingkungan kawasan yang berkelompok seperti yang disebutkan di atas akan menimbulkan polemik yang menyebabkan saling mempengaruhi budaya dan bahkan
menimbulkan adopsi budaya terhadap budaya yang lebih kuat atau yang lebih berpengaruh di lingkungan atau kawasan tetsebut. Penyesuaian terhadap lingkungan dan pengadopsian
budaya etnis lain akan menyebabkan perubahan – perubahan bahkan melupakan adat istiadat etnis yang semestinya di junjung tinggi dan dilestarikan. Hal seperti ini yang sering dialami
oleh masyarakat Mandailing di kota Medan, khususnya masyarakat Mandailing di beberapa kawasan penelitian
Perubahan budaya dan adat Masyarakat Mandailing diawali melalui pengadosian bahasa yang lebih dominan digunakan di lingkungan atau kawasan tempat tinggal, bahasa-
bahasa daerah tidak dipergunakan lagi bahkan di lupakan, sehingga tidak sedikit masyarakat Mandailing yang sama sekali tidak memahami bahasa daerahnya lagi. Berubahnya bahasa
Universitas Sumatera Utara