Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Pola Tarif Pelayanan Kesehatan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Fungsi Sosial Pelayanan Kesehatan

belum juga menerapkan kebijakan dalam bentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria perizinan, standarisasi, akreditasi, dan sertifikasi di bidang kesehatan yang diperintahkan oleh Pasal 1 UU No. 322004 jo. Pasal 2 ayat 4 huruf b dan Pasal 11 PP No. 382007 jo. Pasal 4 PERMENKES No. 15752005, 133 sehingga menjadi hambatan normatif bagi pemerintahan daerah PropinsiKabupatenKota dalam menyusun Perda dan Kepkada yang substansinya secara teknis untuk Perda Propinsi dan sangat teknis untuk Perda Kota menjabarkan fungsi dan wewenangnya di bidang kesehatan. Upaya Pemerintah Pusat c.q. Departemen Kesehatan mempertahankan watak sentralisasi dalam pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan itu dilakukan melalui beberapa aturan kebijakan sebagai aturan pelaksana desentralisasi di bidang kesehatan yang secara tidak langsung mengurangi kewenangan Pemerintah Daerah, antara lain, yaitu:

1. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Pola Tarif Pelayanan Kesehatan

Pasal 2 angka 3 Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282 MENKESSKIII1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta yang mengharuskan fungsi sosial dalam bentuk pemberian keringananpembebasan biaya pelayanan rumah sakit diatur oleh direktur rumah sakit swasta sampai saat ini ketentuan atau pedomannya ternyata belum ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI. 2. Ketidakkonsistenan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Pengendalian Mutu dan Biaya Pelayanan Kesehatan Terdapat ketidakkonsistenan aturan kebijakan sebagai peraturan pelaksana pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan, karena Pasal 71 UU No. 292004 jo. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496 MENKESSKIV2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit tidak memuat sanksi hukum yang tegas terhadap rumah sakit yang tidak mengendalikan mutu dan biaya pelayanan 133 Keharusan bagi PEMPUS untuk menetapkan kebijakan pengawasan dalam bentuk NSPK perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi pelayanan kesehatan RSS-BHPT sebenarnya sudah diperintahkan oleh PP yang lama, yaitu Pasal 9 ayat 2 PP No. 252000, yang seharusnya sudah ditetapkan selambat-lambatnya dalam waktu 6 enam bulan sejak pembentukan PP No. 252000 tersebut. 104 kesehatan. Selain itu, belum ada pedoman berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang menjabarkan Pasal 71 UU No. 292004 jo. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496 MENKESSKIV2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit sebagai acuan bagi aparatur hukum pada Direktur Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI dan Dinas Kesehatan PropinsiKotaKabupaten, serta Ikatan Dokter Indonesia IDI dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia PDGI setempat dalam melakukan audit medis eksternal terhadap rumah sakit.

3. Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Fungsi Sosial Pelayanan Kesehatan

Bentuk-bentuk fungsi sosial pelayanan kesehatan rumah sakit swasta yang dijabarkan dalam Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378 MENKESPERV1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta, ternyata mengandung kelemahan normatif jo. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1173 MENKESPERX2004 tentang Rumah Sakit Gigi dan Mulut jis. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah KabupatenKota jis. UU No. 322004 telah memberikan wewenang kepada Kepala Dinas Kesehtan Propinsi setempat untuk menetapkan ketentuan besaran tarif pelayanan kelas IIIkelas terendah bagi masyarakat kurang dan tidak mampu, setelah berkonsultasi dengan Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia PERSI setempat, tetapi dalam praktiknya tidak pernah direalisasikan. Selanjutnya, terkait dengan Pasal 5 angka 2 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378 MENKESPERV1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta yang mengharuskan RSS, termasuk RSS-BHPT, dalam melaksanakan pembebasan atau keringanan biaya pelayanan kesehatan dalam rangka fungsi sosialnya berdasarkan Surat Keterangan Kurang dan Tidak Mampu SKTM atau bukti lain yang mendukung, juga terdapat kelemahan normatif, karena tidak ada pedoman berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan yang menjabarkan pejabatbadan berwenang dan mekanisme pemberian dan penggunaan SKTM atau bukti lain yang mendukung tersebut. 105

4. Keterlambatan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Perizinan