Pelayanan Medik untuk mengenakannya, mengandung ketidakkonsistenan dengan ”asas desentralisasi” dalam UU No. 322004 yang menghendaki agar wewenang
melaksanakan pengawasan berikut pengenaan sanksi administrasinya diserahkan kepada Pemerintah KabupatenKota.
8. Keterlambatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan dalam Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah
Terdapat keterlambatan Pemerintah Daerah PropinsiKotaKabupaten membentuk Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang menjabarkan
fungsi dan wewenangnya di bidang kesehatan dikarenakan norma, standar, prosedur dan kriteria perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan
yang menjadi acuan hukumnya ternyata belum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat c.q. Menteri Kesehatan, disebabkan oleh ketidakkonsistenan Pemerintah Pusat
menegakkan ”asas desentralisasi” dalam UU No. 322004 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575 MENKESPERXI2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan PERMENKES No. 15752005, yang kemudian diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah KabupatenPemerintah Kota.
9. Kelemahan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan Hukum Pemerintah Sektor Kesehatan
Fungsi steering dan regulating Depkes, dalam arti mengarahkan dan menetapkan kebijakan kesehatan dalam bentuk NSPK mengacu asas desentralisasi,
dalam UU No. 322004 ternyata belum tercermin dalam struktur organisasi Depkes yang ditetapkan dalam Pasal 5 Permenkes No. 15752005. Meskipun ada Staf Ahli
Menteri Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, namun perubahan yang bermakna belum terjadi. Hingga kini, direktorat jenderal khusus
yang berwenang dan bertanggung jawab atas kebijakan dan strategi desentralisasi kesehatan belum dibentuk dalam struktur organisasi Depkes. Padahal, ada 2 dua
fungsi penting Depkes yang memerlukan perubahan struktur Depkes terkait dengan 109
kebijakan dan strategi desentralisasi kesehatan, yaitu: 1 pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan OTODA yang meliputi pemberian pedoman, bimbingan,
pelatihan, arahan, dan supervisi di bidang kesehatan; dan 2 penyelesaian perselisihan antar Propinsi di bidang kesehatan.
Azrul Azwar, dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Kesmas Depkes-RI, menjelaskan bahwa sebenarnya sudah ada wacana mengubah struktur Depkes terkait
dengan desentralisasi kesehatan, namun hingga kini belum ada action yang nyata. Satu-satunya perubahan struktur Depkes terkait dengan desentralisasi kesehatan,
adalah pembentukan Unit Desentralisasi untuk mendukung keberhasilan desentralisasi kesehatan di tingkat Propinsi dan KabupatenKota.
135
Namun, kelemahannya, kedudukan Unit Desentralisasi hanya sebagai unit nonstruktural dan
bersifat ad-hoc untuk periode 1 tahun saja, yang dibentuk berdasarkan KEPMENKES, sehingga perlu terus dipantau dan dievaluasi oleh Menkes, guna
ditetapkan tindak lanjut untuk tahun berikutnya. Selain itu, terdapat temuan beberapa kelemahan struktur dan kapasitas daya
dukung kelembagaan hukum pemerintah di bidang kesehatan dalam rangka otonomi daerah, di Indonesia, yaitu:
1. Terjadi perubahan radikal di propinsi dan kabupatenkota dengan ditandai
merger Kanwil dan DINKES Propinsi, serta Kandep dan Dinkes Kabupaten-Kota. Namun, tidak ada perubahan bermakna dalam struktur
DEPKES, sehingga tidak mendukung pelaksanaan kebijakan desentralisasi.
2. Kapasitas DepKes RI untuk mengelola anggaran pusat menjadi terbatas
karena sudah tidak ada lagi Kanwil. 3.
Belum ada pembinaan sistematis, pemberdayaan dan pelatihan staf DINKES propinsi dan KabKota agar mampu menjalankan urusannya
dalam konteks desentralisasi. Yang terjadi adalah situasi saling curiga, komunikasi yang sedikit mengenai masalah pembagian urusan, bahkan
kompetisi yang menimbulkan konflik.
4. Ada pihak dan individu yang mendukung kebijakan desentralisasi, ada
yang netral, dan ada yang menentang kebijakan ini.
136
Sampai kini, struktur pemerintahan yang sangat sentralistik masih tercermin di sektor kesehatan yang masih didominasi oleh Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional, Departemen Kesehatan, Departemen Keuangan, dan Departemen Dalam
135
Azrul Azwar. “Peran DEPKES di Era Desentralisasi Kesehatan”, Manajemen, Volume III022005, hlm. 7, dalam
www.desentralisasi-kesehatan.netbuletin.php ., diakses tanggal 15 Januari
2005.
136
Tim Perumus. Op. cit.
110
Negeri. Selain itu, sistem pelayanan kesehatan nasional, dengan segala keterbatasan sumber dayanya, tidak ada saling keterkaitan antarprogram dan unit dalam
Departemen Kesehatan sendiri, dan antarunit di pusat dan daerah, sehingga tidak berkerja sebagai suatu sistem, tetapi justru saling berkompetisi untuk mempengaruhi
daerah.
137
Struktur organisasi dinas kesehatan-dinas kesehatan ternyata memiliki kelemahan supratruktural, yaitu tidakbelum dibentuknya Bagian atau Subbagian
Hukum, yang tentunya dapat menghambat upaya hukum Pemerintah Daerah dalam merancang, membentuk, mengawasi dan mengevaluasi Peraturan Daerah dan
Keputusan Kepala Daerah di bidang kesehatan. Kelemahan supratruktural itu, juga terkait dengan keterbatasan jumlah dan kualifikasi sumber daya manusia di bidang
hukum kesehatan serta ilmu dan teknologi kesehatan, termasuk segi-segi teknis perumahsakitan, sehingga menemui kesulitan dalam menetapkan persyaratan teknis
dalam Peraturan Daerah apalagi Keputusan Kepala Daerah yang menjabarkan fungsi dan wewenang pengawasan Pemerintah Daerah PropinsiKabupatenKota di bidang
perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan.
138
Dwidjo Susono, dalam kapasitasnya sebagai Staf Ahli Menkes Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, menegaskan bahwa
hambatan dan tantangan dalam penerapan kebijakan dan strategi desentralisasi kesehatan, adalah:
1. Komitmen dari semua pihak terkait;
2. Kelangsungan dan keselarasan pembangunan kesehatan;
3. Ketersediaan dan pemerataan SDM yang berkualitas;
4. Kecukupan pembiayaan kesehatan;
5. Kelengkapan sarana dan prasarana kesehatan;
6. Kejelasan pembagian kewenangan dan pengaturan kelembagaan;
7. Kemampuan manajemen kesehatan dalam penerapan desentralisasi.
139
Selain itu, Dwidjo Susono menjelaskan bahwa rendahnya wewenang antara pusat dan daerah, rendahnya kerja sama antara pusat dan daerah, rendahnya
137
Soedarmono Soejitno, Ali Alkatiri, Emil Ibrahim. 2002. Reformasi Perumahsakitan Indonesia. PT. Grasindo, Jakarta, hlm. 191.
138
Muhammad Syaifuddin. 2009. Menggagas Hukum Humanistis-Komersial: Upaya Perlindungan Hak Masyarakat Kurang dan Tidak Mampu atas Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit
Swasta Berbadan Hukum Perseroan Terbatas. Bayu Media, Malang, hlm. 197.
139
Dwidjo Susono Staf Ahli MENKES Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, “Kebijakan Strategi Desentralisasi Kesehatan dan KWSPM”, Makalah,
Disampaikan dalam Rapat Koordinasi Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Timur, pada 21 Juni 2007, di Surabaya, hlm. 32.
111
kapasitas aparatur pemerintah, terbatasnya keuangan, dan otonomi menjadi masalah yang harus dihadapi oleh desentralisasi di Indonesia.
140
Penjelasan yang sama juga dikemukakan oleh Bachtiar Oesman, dalam kapasitasnya sebagai Direktur Usaha dan Pemasaran Lembaga Asosiasi Dinkes
Indonesia, yang menjelaskan bahwa perubahan dari sentralistik ke desentralistik membawa perubahan yang mendasar kepada Dinkes. Untuk itu, perlu adanya
peningkatan pengetahuan, keterampilan dan kompetensi kepada kepala Dinkes dan staf agar dapat meningkatkan kinerja Dinkes.
141
Jadi, perubahan fungsi dan wewenang pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum ditindaklanjuti dengan perubahan dan penguatan struktur, SDM, dana, sarana
dan prasarana pada Depkes di pusat dan Dinkes PropinsiKabupatenKota di daerah, sehingga menjadi kendala strultur dan kapasitas kelembagaan hukum pemerintah di
bidang kesehatan, yang dapat menghambat upaya hukum melindungi hak setiap warga negara atas derajat kesehatan yang optimal.
D. Asas-asas Hukum yang Mendasari Fungsi dan Wewenang Pemerintah dalam Otonomi Daerah Sektor Kesehatan
Fungsi dan wewenang pemerintah dalam otonomi daerah di bidang kesehatan terikat pada asas-asas hukum dalam UU No. 322004 yang memberikan otonomi
daerah seluas-luasnya sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 18 ayat 2 dan ayat 5 UUD NRI Tahun 1945.
Pemberian otonomi seluas-luasnya pada daerah, menurut Penjelasan Umum angka 1 huruf a UU No. 322004 didasarkan alasan fundamental, yaitu:
”...mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat melalui peningkatan
pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat....daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi,
pemerataan, keadilan, keistimewaan, dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.
140
Ibid.
141
Bachtiar Oesman. “Pengembangan Eksekutif Kepala Dinas Kesehatan dalam Upaya Peningkatan Kinerja Dinas Kesehatan Daerah di Era Desentralisasi”. Makalah, Disampaikan pada
Seminar Desentralisasi Bidang Kesehatan: ”Reformasi Sektor Kesehatan dalam Desentralisasi di Indonesia”, Bandung, 6 Juni 2006.
112
Asas otonomi daerah dalam UU No, 322004, menurut Penjelasan Umumnya, adalah ”prinsip otonomi seluas-luasnya”, dalam arti daerah diberikan kewenangan
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah Pusat yang ditetapkan dalam UU No. 322004.
Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 jo. Pasal 10 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UU No. 322004, ditentukan bahwa kecuali politik luar negeri, pertahanan, keamanan,
yustisi, moneter dan fiskal nasional. serta agama sebagai urusan pemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah Pusat, maka Pemerintah Daerah mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintahan menurut “asas otonomi dan tugas pembantuan”, sehingga ada keseimbangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dan
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat berdasarkan keadilan. Adapun makna “asas otonomi dan tugas pembantuan” menurut Pasal 2 ayat 2 UU No.
322004 adalah “pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula
penugasan oleh Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota dan Desa atau penugasan dari Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota ke
Desa”. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 12 ayat 1 jis. Pasal 11 ayat 3 UU No.
322004, maka penyelenggaraan urusan pemerintahan berdasarkan “asas desentralisasi”, yang maknanya menurut pasal 1 angka 7 UU No. 322004, yaitu
“penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah Pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia”. Kini, desentralisasi, khususnya desentralisasi di bidang kesehatan, secara tegas
telah dinyatakan dalam Pasal 13 ayat 1 huruf e UU No. 322004 yang menetapkan “penanganan bidang kesehatan” sebagai 1 satu di antara 16 enam belas urusan
wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsi, dan Pasal 14 ayat 2 huruf e UU No. 322004 yang menetapkan “penanganan bidang kesehatan”
sebagai 1 satu di antara 16 enam belas urusan wajib yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah kabupatenkota.
Kemudian, sesuai dengan Pasal 14 ayat 1 huruf e UU No. 322004 penyelenggaraan penanganan bidang kesehatan oleh Pemerintah Daerah didasarkan
113
pada asas desentralisasi dengan peletakan titik berat otonomi di daerah kabupatenkota.
Penanganan bidang kesehatan sebagai urusan wajib pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah propinsikabupatenkota, menurut Pasal
11 ayat 1 UU No. 322004 dan Penjelasannya, harus memperhatikan “keserasian hubungan antar susunan pemerintahan”, dalam arti keserasian hubungan antar
propinsi dengan propinsi, kabupatenkota dengan kabupatenkota, atau propinsi dengan kabupatenkota.
Jadi, asas otonomi, asas desentralisasi, dan asas keserasian, adalah asas-asas hukum yang menjadi landasan filosofis fungsi dan wewenang pemerintah dalam
otonomi daerah di bidang kesehatan.
E. Pembagian Fungsi dan Wewenang Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam Otonomi Daerah Sektor Kesehatan
Berdasarkan Pasal 76 dan Pasal 78 UU No. 231992, “Pemerintah” berwenang melakukan pengawasan dan pembinaan di bidang kesehatan. “Pemerintah” yang
dimaksud dalam Pasal 76 dan Pasal 78 UU No. 231992, adalah “Pemerintah Pusat” menurut Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 238 yang memuat asas hukum peralihan UU No.
322004 jis. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Propinsi,
dan Pemerintah Daerah KabupatenKota selanjutnya disingkat PP No. 382007, yaitu “Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara
Republik Indonesia beserta para Menteri sebagaimana dimaksud dalam UUD NRI Tahun 1945”.
Khusus di bidang kesehatan, Menteri Kesehatan sebagai unsur pelaksana Pemerintah Pusat di bidang kesehatan, berdasarkan Pasal 2 ayat 4 huruf b jo. Pasal
5 ayat 3 PP No. 382007, mempunyai wewenang berdasarkan fungsi mengatur regulating dan mengarahkan steering, dalam arti menetapkan kebijakan di bidang
kesehatan dalam bentuk norma, standar, prosedur, dan kriteria selanjutnya disingkat NSPK yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan, yang antara lain,
mencakup:
114
1. registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan;
2. pemberian izin sarana kesehatan tertentu;
3. registrasi, akreditasi, dan sertifikasi tenaga kesehatan skala nasional;
4. pemberian izin tenaga kesehatan asing;
5. registrasi, akreditasi, dan sertifikasi komoditi kesehatan; dan
6. pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala nasional.
Sesuai dengan Pasal 4 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575MENKESPERXI2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan selanjutnya disingkat Permenkes No. 15752005 Departemen Kesehatan tidak memiliki wewenang di bidang kesehatan yang bersifat operasional, dalam arti
Departemen Kesehatan tidak berfungsi sebagai pelaksana operating, tetapi berfungsi sebagai pengatur dan pengarah, sehingga Depertemen Kesehatan hanya
memiliki wewenang menetapkan: 1.
persyaratan sertifikasi tenaga profesionalahli serta persyaratan jabatan di bidang kesehatan;
2. standar pemberian izin oleh daerah di bidang kesehatan;
3. persyaratan kualifikasi usaha jasa di bidang kesehatan;
4. pedoman standar pendidikan dan pendayagunaan tenaga kesehatan;
5. pedoman pembiayaan pelayanan kesehatan;
6. pedoman penapisan, pengembangan dan penerapan teknologi kesehatan;
7. pedoman sertifikasi teknologi kesehatan dan gizi; dan
8. standar akreditasi sarana dan prasarana kesehatan.
Selanjutnya, Pemerintah Propinsi sebagai daerah otonom menurut Pasal 2 ayat 4 huruf b, ayat 5 dan ayat 6 jo. Pasal 11 PP No. 382007, memiliki wewenang di
bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan sesuai dengan kebijakan kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, antara lain,
yaitu: 5.
registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan;
6. pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh
Pemerintah Pusat;
115
7. pemberian izin sarana kesehatan rumah sakit swasta khusus dan rumah
sakit swasta yang setara dengan rumah sakit pemerintah Kelas B nonpendidikan;
8. registrasi, akreditasi, sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala propinsi
sesuai peraturan perundang-undangan; 9.
pemberian rekomendasi izin tenaga kesehatan asing; 10.
sertifikasi sarana produksi dan distribusi alat kesehatan; dan 11.
pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala propinsi. Kemudian, Pemerintah KabupatenPemerintah Kota sebagai daerah otonom
menurut Pasal 2 ayat 4 huruf b, ayat 5 dan ayat 6 jo. Pasal 11 PP No. 382007, memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan sesuai
dengan kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, antara lain, yaitu: 1 registrasi, akreditasi, sertifikasi sarana
kesehatan sesuai peraturan perundang-undangan; 2 pemberian rekomendasi izin sarana kesehatan tertentu yang diberikan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Propinsi; 3 pemberian izin sarana kesehatan meliputi rumah sakit swasta yang setara dengan rumah sakit pemerintah Kelas C dan Kelas D; 4 registrasi, akreditasi,
sertifikasi tenaga kesehatan tertentu skala kabupatenkota sesuai peraturan perundang-undangan; 5 pemberian izin praktik tenaga kesehatan tertentu; 6
sertifikasi alat kesehatan; dan 7 pembinaan, monitoring, evaluasi dan pengawasan skala kabupatenkota.
Jika rumusan Pasal 7 dan Pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah selanjutnya disingkat PP No. 412007
dikaji dalam hubungannya dengan fungsi dan wewenang Pemerintah Daerah di bidang kesehatan, maka Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan
KabupatenKota sebagai organisasi perangkat daerah Propinsi dan KabupatenKota di bidang kesehatan, mempunyai wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi
melaksanakan saja yang berpedoman kepada NSPK yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan selaku unsur pelaksana Pemerintah Pusat di bidang kesehatan, sesuai
dengan PP No. 382007 dan Permenkes No. 15752005. Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan KabupatenKota juga memiliki wewenang di bidang kesehatan
berdasarkan fungsi mengatur tetapi “terbatas”, dalam arti hanya merumuskan 116
kebijakan yang bersifat teknis sebagai penjabaran dari kebijakan di bidang kesehatan yang ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Pembagian wewenang Pemerintah di bidang kesehatan berdasarkan fungsi mengatur, mengarahkan, dan melaksanakan, sebagaimana dijelaskan di atas, dapat
ditabulasikan dalam tabel 7.
Tabel 7. Pembagian Wewenang
Pemerintah Sektor
Kesehatan Berdasarkan Fungsi Mengatur, Mengarahkan dan Melaksanakan
No. Pemerintah
Fungsi dan Wewenang di Bidang Kesehatan
1. Pusat Pada dasarnya memiliki wewenang di bidang kesehatan
berdasarkan fungsi mengatur dan mengarahkan, yaitu hanya menetapkan kebijakan di bidang kesehatan saja
dalam bentuk NSPK. Pada dasarnya hanya memiliki wewenang di bidang
kesehatan berdasarkan fungsi melaksanakan saja, dalam arti melaksanakan wewenang di bidang kesehatan sesuai
dengan kebijakan di bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat.
2. Propinsi
Juga memiliki wewenang di bidang berdasarkan fungsi mengatur, tetapi terbatas pada perumusan kebijakan di
bidang kesehatan yang bersifat “teknis” sebagai penjabaran lebih lanjut dari kebijakan di bidang kesehatan
dalam bentuk NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat. Pada dasarnya memiliki wewenang di bidang kesehatan
berdasarkan fungsi melaksanakan saja, dalam arti melaksanakan wewenang di bidang kesehatan sesuai
dengan kebijakan di kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat, kecuali perizinan rumah
sakit swasta khusus dan rumah sakit swasta yang kelasnya setara dengan rumah sakit pemerintah Kelas B
nonpendidikan.
3. Kabupaten Kota
Juga memiliki wewenang di bidang kesehatan berdasarkan fungsi mengatur, tetapi hanya terbatas pada
perumusan kebijakan di bidang kesehatan yang bersifat “teknis” sebagai penjabaran lebih lanjut dari kebijakan di
bidang kesehatan dalam bentuk NSPK yang ditetapkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Propinsi.
Sumber: Bahan hukum primer, diolah. Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah KabupatenPemerintah
Kota juga memiliki wewenang di bidang kesehatan yang dijabarkan dalam beberapa Permenkes dan Kepmenkes sebagai aturan pelaksana dari UU No. 231992 dan UU
No. 292004 yang secara yuridis, sesuai dengan asas hukum peralihan, masih 117
berlaku, karena belum atau tidak direvisi dalam arti belum dicabut, diganti, dan dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan Pasal 77 UU No. 231992 jo. Pasal 71 UU No. 292004 jo. Permenkes No. 5122007, maka Dinas Kesehatan KabupatenDinas Kesehatan Kota
setempat sebagai unsur pelaksana otonomi daerah Pemerintah KabupetanPemerintah Kota di bidang kesehatan, memiliki fungsi dan wewenang
pengawasan terhadap pelaksanaan praktik kedokteran, yang merupakan inti dari pelayanan kesehatan, dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:
1 Penanganan penderita gawat darurat medik atas dasar perikemanusiaan
sebagaimana diharuskan dalam Pasal 51 huruf a, huruf c, dan huruf d UU No. 292004 dan PP No. 261960, khususnya alinea 5 dan 6;
2 Penyelenggaraan pelayanan kesehatan kepada pasien secara bermutu dan manusiawi, yang meliputi:
a. penggunaan standar pelayanan kedokteran dan standar pelayanan rumah sakit yang berorientasi hak pasien sebagaimana diharuskan dalam Pasal 32 ayat 4
UU No. 231992, Pasal 44 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UU No. 292004, dan Kepmenkes No. 13331999;
b. persetujuan tindsakan kedokteran berdasarkan hak pasien menentukan nasib sendiri dan memperoleh informasi sebagaimana diharuskan dalam Pasal 45
ayat 1, ayat 2, ayat 4 dan ayat 6 UU No. 292004, dan Permenkes No. 5851989;
c. penggunaan rekam medis untuk kepentingan pengobatan dan perawatan pasien sebagaimana diharuskan dalam Pasal 46 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 dan
Pasal 47 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 UU No. 292004, dan Permenkes No. 2692008;
d. penyimpanan rahasia kedokteran berdasarkan kepercayaan pasien sebagaimana diharuskan dalam Pasal 48 UU No. 292004, dan PP No. 101960;
Khusus terhadap penetapan pola tarif pelayanan kesehatan rumah sakit swasta sesuai kemampuan membayar masyarakat setempat sebagaimana diharuskan dalam
Pasal 8 UU No. 231992, Kepmenkes No. 2821993, dan Permenkes No. 11732004 jis. PP 382007 jis. UUPD No. 322004, jika merujuk kepada Pasal 77 UU No.
231992 jo. Pasal 13 dan Pasal 14 Kepmenkes No. 2821993 jo. UU No. 322004, maka Dinas Kesehatan Propinsi setempat yang berwenang melakukan pengawasan,
118
sedangkan Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal Pelayanan Medik hanya berwenang melakukan pembinaan.
Kemudian, khusus terhadap pengendalian mutu dan biaya pelayanan kesehatan rumah sakit sesuai kebutuhan medis pasien sebagaimana diharuskan
dalam Pasal 49 ayat 1, ayat 2 dan ayat 3 UU No. 292004, Pasal 57 ayat 2 UU No. 231992, Pasal 58 jis. Pasal 43 Kepmenkes No. 9831992, dan Kepmenkes No.
6312005, jika merujuk kepada Pasal 71 UU No. 292004 dan Kepmenkes No. 4262006, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal Pelayanan Medik, Danas
Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan KabupatenDinas Kesehatan Kota setempat yang berwenang melakukan pengawasan, dengantanpa mengikutsertakan IDI dan
PDGI setempat. Berikutnya, khusus terhadap penjabaran dan pelaksanaan bentuk fungsi sosial
pelayanan kesehatan rumah sakit swasta sebagaimana diharuskan dalam Pasal 57 ayat 2 UU No. 231992, Pasal 25 Permenkes No. 159b1988, Permenkes No.
3781993, Permenkes No. 11732004 jis. PP No. 382007 jis. UU No. 322004, jika merujuk kepada Pasal 77 UU No. 231992 jo. Pasal 8 dan Pasal 9 Permenkes No.
3781993 jis. UU No. 322004, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal Pelayanan Medik yang berwenang melakukan pengawasan, dengan
mengikutsertakan Kepala Dinas Kesehatan Propinsi setempat dan unit-unit lain dalam satu Tim Pembina.
Selanjutnya, khusus terhadap pengelolaan perbekalan kesehatan rumah sakit yang bermutu, merata dan terjangkau oleh masyarakat sebagaimana diharuskan
dalam Pasal 61 UU No. 231992, Pasal 2 s.d. Pasal 16 PP No. 721998, Kepmenkes No. 3631998, Kepmenkes No. 11972004, dan Kepmenkes No. 7202006, jika
merujuk kepada Pasal 77 UU No. 231992 jo. Permenkes No. 3631998 dan Kepmenkes No. 11972004, maka Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal
Pelayanan Medik, Danas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan KabupatenDinas Kesehatan Kota yang berwenang melakukan pengawasan.
Secara lebih konkrit, fungsi dan wewenang pengawasan Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah KabupatenPemerintah Kota terhadap
pelayanan kesehatan rumah sakit sebagaimana diuraikan diatas, dapat ditabulasikan pada tabel 8.
119
Tabel 8. Fungsi dan Wewenang Pengawasan Pemerintah Terhadap Pelayanan Kesehatan Rumah Sakit
No. Bentuk Pelayanan Kesehatan
Rumah Sakit Pengawas
1. Penanganan penderita gawat darurat medik
atas dasar perikemanusiaan. 2.
Penggunaan standar pelayanan kedokteran dan standar pelayanan rumah sakit yang
berorientasi hak pasien.
3. Persetujuan tindakan kedokteran berdasarkan hak pasien menentukan
nasib sendiri dan memperoleh informasi. 4.
Penggunaan rekam medis untuk kepentingan pengobatan dan perawatan
pasien.
5. Penyimpanan rahasia kedokteran berdasarkan kepercayaan pasien.
Menkes cq. Dirjen Yanmedik, Dinkes
PropinsiKabupaten Kota setempat.
6. Penetapan pola tarif pelayanan kesehatan
sesuai kemampuan membayar masyarakat setempat.
Dinkes Propinsi setempat khusus
pengawasan dan Menkes c.q. Dirjen
Yanmedik khusus pembinaan.
7. Pengendalian mutu dan biaya pelayanan
kesehatan sesuai kebutuhan medis pasien. Menkes c.q. Dirjen
Yanmedik, Dinkes PropinsiKabupaten
Kota dengan tanpa IDI dan PDGI
setempat.
8. Penjabaran dan pelaksanaan bentuk fungsi
sosial pelayanan kesehatan. Menkes c.q. Dirjen
Yanmedik mengikutsertakan
Kepala Dinkes Propinsi setempat
dan unit terkait dalam satu Tim
Pembina.
9. Pengelolaan perbekalan kesehatan yang
bermutu, merata dan terjangkau oleh masyarakat.
Menkes c.q. Dirjen Yanmedik, Dinkes
PropinsiKabupaten Kota.
Sumber: Bahan hukum primer, diolah.
120
F. Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan dalam Peraturan Daerah