4. Keterlambatan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Perizinan
Berdasarkan Pasal 4 huruf g Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575 MENKESPERXI2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan,
yang diperkuat oleh Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah KabupatenKota, Menteri Kesehatan mempunyai wewenang menetapkan standar perizinan rumah sakit yang dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah. Namun, standar perizinan rumah sakit, ternyata belum ditetapkan oleh Menteri Kesehatan.
Menteri Kesehatan justru menerbitkan Surat Edaran Nomor 725MENKESEVI2004 yang isi pokoknya menyatakan bahwa sambil menunggu
proses penyelesaian Revisi, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 920 MENKESPERXII1986 tentang Upaya Pelayanan Kesehatan Swasta di Bidang
Medik, maka perizinan rumah sakit ditentukan sebagai berikut: izin mendirikan adalah wewenang Pemerintah KabupatenKota, izin penyelenggaraan sementara
adalah wewenang Pemerintah Propinsi, dan izin penyelenggaraan adalah wewenang Pemerintah Pusat. “Semangat resentralisasi” dalam Surat Edaran Menteri Kesehatan
ini mengandung ketidakkonsistenan, ketidaksinkronan, dan menimbulkan konflik kewenangan, karena menyimpangi asas desentralisasi kesehatan dalam UU No.
322004.
5. Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Akreditasi
Secara yuridis pembentukan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1165A MENKESSKX2004 tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit selanjutnya
disingkat KEPMENKES No. 1165A2004 tidak mengacu kepada UU No. 221999 dan PP No. 252000 yang masih berlaku saat itu. Ini berarti bahwa Komisi
Akreditasi Rumah Sakit KARS yang dibentuk berdasarkan KEPMENKES No. 1165A2004, memang mengabaikan ”semangat desentralisasi”, yang menghendaki
agar wewenang melaksanakan akreditasi rumah sakit diserahkan kepada Pemerintah KabupatenKota.
106
Menurut buku Pedoman Akreditasi Rumah Sakit PARSI,
134
keterlibatan Dinas Kesehatan Propinsi dalam pembinaan praakreditasi rumah sakit hanya bersifat
”fakultatif”, sedangkan keterlibatan Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan KabupatenKota dalam pembinaan pascaakreditasi rumah sakit meskipun bersifat
”imperatif” tetapi fungsinya hanya ”asistensi” saja terhadap tugas pokok KARS. Selain itu, pelibatan Dinas Kesehatan PropinsiKabupatenKota dalam pembinaan
pra dan pascaakreditasi rumah sakit tidak berdasar hukum yang kuat, tetapi hanya berdasarkan buku PARSI.
6. Ketidakjelasan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Audit Medis Rumah Sakit