Ketidakjelasan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Audit Medis Rumah Sakit Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Sanksi Administrasi

Menurut buku Pedoman Akreditasi Rumah Sakit PARSI, 134 keterlibatan Dinas Kesehatan Propinsi dalam pembinaan praakreditasi rumah sakit hanya bersifat ”fakultatif”, sedangkan keterlibatan Dinas Kesehatan Propinsi dan Dinas Kesehatan KabupatenKota dalam pembinaan pascaakreditasi rumah sakit meskipun bersifat ”imperatif” tetapi fungsinya hanya ”asistensi” saja terhadap tugas pokok KARS. Selain itu, pelibatan Dinas Kesehatan PropinsiKabupatenKota dalam pembinaan pra dan pascaakreditasi rumah sakit tidak berdasar hukum yang kuat, tetapi hanya berdasarkan buku PARSI.

6. Ketidakjelasan dan Keterlambatan Aturan Hukum dan Kebijakan Audit Medis Rumah Sakit

Ketidakjelasan ruang lingkup dan rincian fungsi dan tugas Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Konsil Kedokteran Indonesia KKI, Ikatan Dokter Indonesia IDI dan Persatuan Dokter Gigi Indonesia PDGI, dalam pelaksanaan audit medis eksternal di rumah sakit yang diatur dalam Pasal 71, Pasal 72 dan Pasal 74 UU No. 292004, ternyata tidak dijelaskan dengan Peraturan Menteri Kesehatan. Selain itu, audit medis eksternal sifatnya hanya ”fakultatif”, yang pelaksanaannya tergantung kepada sikap normatif Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, KKI, IDI dan PDGI. Selanjutnya, monitoring dan evaluasi pelaksanaan audit medis eksternal yang diintegrasikan dengan akreditasi rumah sakit oleh KARS berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496 MENKESSKIV2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, telah menyimpangi ”asas desentralisasi” dalam UU No. 322004, yang menghendaki agar wewenang melaksanakan akreditasi rumah sakit diserahkan kepada Pemerintah KabupatenPemerintah Kota.

7. Ketidakjelasan dan Ketidakkonsistenan Aturan Hukum dan Kebijakan Sanksi Administrasi

Menurut Pasal 22 jis Pasal 23 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 512 MENKESPERIV2007 tentang Izin Praktik dan Pelaksanaan Kedokteran jo. Pasal 134 Tim Perumus. 2007. Pedoman Akreditasi Rumah Sakit di Indonesia, Komisi Akreditasi Rumah Sakit, DITJEN YANMEDIK-DEPKES R.I. Jakarta, hlm. 4, 5 dan 29. 107 77 UU No. 231992 jo. Pasal 71 UU No. 292004, Kepala Dinas Kesehatan KabupatenKota baru dapat mencabut Surat Izin Praktik SIP dokter jika pelanggaran kewajiban-kewajiban hukumnya dalam UU No. 231992 dan UU No. 292004 berikut aturan kebijakan sebagai peraturan pelaksananya, telah terbukti berdasarkan putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia MKDKI. Artinya, pencabutan SIP dokter oleh Kepala Dinas Kesehatan KabupatenKota hanya bersifat ”deklaratif”, tidak konstitutif. Jika MKDKI belum terbentuk baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi, atau MKDKI telah terbentuk di tingkat pusat tetapi belum terbentuk di tingkat propinsi, maka berdasarkan Pasal 83 UU No. 292004, Kepala Dinas Kesehatan Propinsi di Tingkat Pertama dan Menteri Kesehatan di Tingkat Banding berwenang memeriksa dan memutus kasus pelanggaran kewajiban hukum oleh dokter berdasarkan pertimbangan Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi yang dibentuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan. Namun, kelemahan normatif timbul, karena: pertama, terdapat ketidakjelasan fungsi dan tugas para pihak dalam proses pembuktian pelanggaran kewajiban hukum oleh dokter dan pengenaan sanksi administrasinya; kedua, Tim yang terdiri dari unsur-unsur profesi itu sifatnya ”aksidental”, dan ”pasif”, yang hanya akan dibentuk oleh Kepala Dinas Kesehatan Propinsi dan Menteri Kesehatan jika ada pengaduan dari setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan karena pelanggaran kewajiban hukum oleh dokter. Selanjutnya, terhadap rumah sakit yang melanggar kewajiban-kewajiban hukum dalam UU No. 231992 dan UU No. 292004 berikut aturan kebijakan sebagai peraturan pelaksananya, maka berdasarkan Pasal 77 UU No. 231992, dapat dikenakan sanksi administrasi oleh Pemerintah. Namun, sanksi administrasi yang diatur dalam menurut Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 282 MENKESSKIII1993 tentang Pola Tarif Rumah Sakit Swasta, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496 MENKESSKIV2006 tentang Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 378 MENKESPERV1993 tentang Pelaksanaan Fungsi Sosial Rumah Sakit Swasta, dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197 MENKESSKX2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit, adalah wewenang Menteri Kesehatan c.q. Direktur Jenderal 108 Pelayanan Medik untuk mengenakannya, mengandung ketidakkonsistenan dengan ”asas desentralisasi” dalam UU No. 322004 yang menghendaki agar wewenang melaksanakan pengawasan berikut pengenaan sanksi administrasinya diserahkan kepada Pemerintah KabupatenKota. 8. Keterlambatan Penjabaran Fungsi dan Wewenang Pemerintah Daerah Sektor Kesehatan dalam Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah Terdapat keterlambatan Pemerintah Daerah PropinsiKotaKabupaten membentuk Peraturan Daerah dan Keputusan Kepala Daerah yang menjabarkan fungsi dan wewenangnya di bidang kesehatan dikarenakan norma, standar, prosedur dan kriteria perizinan, standarisasi, akreditasi dan sertifikasi di bidang kesehatan yang menjadi acuan hukumnya ternyata belum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat c.q. Menteri Kesehatan, disebabkan oleh ketidakkonsistenan Pemerintah Pusat menegakkan ”asas desentralisasi” dalam UU No. 322004 dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575 MENKESPERXI2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan PERMENKES No. 15752005, yang kemudian diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah KabupatenPemerintah Kota.

9. Kelemahan Struktur dan Kapasitas Kelembagaan Hukum Pemerintah Sektor Kesehatan