10. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1165A MENKESSKX2004
tentang Komisi Akreditasi Rumah Sakit; 11.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1197 MENKESSKX2004 tentang Standar Pelayanan Farmasi di Rumah Sakit;
12. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 631 MENKESIV2005 tentang
Pengorganisasian Staf Medis dan Komite Medis; 13.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1202 Men.KesSKVIII2005 tentang Pedoman Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan di Puskesmas,
Rujukan Rawat Jalan dan Rawat Inap Kelas III di Rumah Sakit yang Dijamin Pemerintah;
14. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 069 MenkesSKII2006 tentang
Pencantuman Harga Eceran Tertinggi pada Label Obat; 15.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 332 Men.KesSKV2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat
Miskin;
16. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 496 MENKESSKIV2006 tentang
Pedoman Audit Medis di Rumah Sakit; 17.
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 720 MENKESSKIX2006 tentang Harga Obat Generik;
18. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 125 MenkesSKII2008 tentang
Pedoman Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Masyarakat Tahun 2008.
B. Konflik Aturan Hukum Sektor Kesehatan
Secara leksikografi, desentralisasi adalah pembalikan dari konsekuensi administrasi pada satu pusat sekaligus ”pemberian” kekuasaan kepada daerah. Oleh
karena itu, desentralisasi menunjuk pada distribusi kekuasaan secara teritorial spatial, yang umumnya menjadi fokus dalam suatu negara kesatuan. Konsekuensi
hukum desentralisasi, pelaksanaannya dapat dilakukan dengan penyerahan kewenangan danatau urusan kepada Pemerintah Daerah yang lebih rendah
tingkatannya. Pada sisi hukum positif, Pasal 1 UU No. 322004 memaknai desentralisasi kesehatan sebagai penyerahan kewenangan pemerintahan oleh
Pemerintah Pusat kepada daerah otonom dalam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia NKRI.
Berdasarkan hukumk positif, NKRI telah ”memilih” untuk menyerahkan sebagian kewenangannya kepada daerah otonom. Kewenangan yang didelegasikan
tersebut sangat luas, sebab UU No. 322004 menggunakan sistem residu ketika menentukan apa saja yang menjadi kewenangan daerah. Dengan sistem residu,
kewenangan-kewenangan pusat telah ditentukan secara jelas terlebih dahulu, sedangkan sisanya merupakan kewenangan daerah otonom. Oleh sebab itu,
100
kewenangan di bidang kesehatan telah dijadikan kewenangan pemerintah daerah otonom karena kewenangan itu tidak ditentukan sebgai kewenangan pemerintah
pusat. Hal ini pada satu sisi menguntungkan pemerintah daerah sebab dengan menggunakan kewenangannya, pemerintah daerah dapat mengatur bidang kesehatan
sesuai aspirasi dan kemampuan yang dimilikinnya. Namun, di sisi lain pemberian kewenangan yang didasarkan pada teritori ini telah mengakibatkan ”pengkotak-
kotakan” wilayah yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Akibatnya, pelaksanaannya cenderung parsial dan hanya dilakukan pada teritori yang menjadi
wilayah kerja pemerintah daerah yang bersangkutan. Padahal pelaksanaan pelayanan dibidang kesehatan tidak mengenal batas wilayah borderless, sehingga perlu
dilakukan secara komprehensif dan lintas batas wilayah. Satu contoh yang menunjukkan borderless-nya kewenangan di bidang kesehatan adalah masalah
polusi, baik air, suara, maupun limbah. Ketika suara suatu industri yang terletak di salah satu daerah mengeluarkan limbah yang mempengaruhi kondisi kesehatan di
daerah-daerah lain, pihak pemerintah daerah yang terkena dampak tidak mempunyai kewenangan untuk menindak industri tersebut karena industri tersebut berkedudukan
di luar yurisdiksinya.
130
Selain konflik dalam pengendalian dampak polusi industri lintas batas daerah sebagaimana ditengarai di atas, ternyata juga terjadi konflik dalam pengawasan
rumah sakit di daerah sebagaimana diungkapkan oleh Laksono Trisnantono merujuk hasil penelitian mengenai reformasi sistem kesehatan yang dilakukan oleh Pusat
Manajemen Pelayanan Kesehatan FK-UGM, sebagai berikut:
Kasus 1:
Di Kota S, seorang staf di dinas kesehatan kota mengeluh karena puskesmas meminta otonomi. Dalam kenyataan memang sudah terjadi adanya pemberian
dana langsung dari pemerintah kota ke puskesma tanpa melalui dinas kesehatan kota. Staf dinas kesehatan Kota S tersebut dengan nada pesimistis
menyatakan bahwa apa jadinya dinas kesehatan kota apabila puskesmas menjadi otonom? Apa tugas dinas kesehatan kota di masa depan?
130
Andi Sandi dan Vivi Lignawati. “Desentralisasi dan Perkembangan Peraturan Perundang- undangan di Bidang Kesehatan: Sebuah Evaluasi Normatif”. Makalah, Disampaikan dalam Seminar
Desentralisasi Kesehatan di Indonesia: Apa yang Sudah Dicapai dan Apa yang Belum? Apakah lebih baik Resentralisasi? Tanggal 17-19 Maret 2004 di Fakultas Kedokteran, Universitas Gajah Mada.
101
Kasus 2:
Dalam suatu kegiatan penelitian ke Kabupaten X, ditemukan kepala dinas kesehatan dan direktur rumah sakit daerah dalam rangka berdiskusi mengenai
perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah. Berikut ini kutipan pernyataan dari kepala dinas kesehatan Kabupaten X
tentang perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah: ”Setelah rumah sakit menjadi Lembaga Teknis Daerah, kami sulit masuk ke
rumah sakit. Sepertinya direject. Jadi, kami jalan sendiri-sendiri. Seksi rumah sakit di Dinas sulit memeriksa rumah sakit dan kaim tidak tahu memeriksanya
dengan dasar apa?”
Adapun kutipan pernyataan dari Direktur rumah sakit daerah Kabupaten X tentang perkembangan rumah sakit sebagai Lembaga Teknis Daerah, sebagai
berikut: ”Setelah kami menjadi Lembaga Teknis Daerah, Kepala Dinas mengacuhkan
kami. Proyek-proyek pengembangan kelembagaan tidak pernah masuk ke rumah sakit. Peralatan radiologi Puskesmas saat ini malah lebih canggih
dibanding rumah sakit karena ada dana dari pusat. Kami tidak kebagian. Rumah sakit seperti tempat pembuangan sampah tenaga kerja manusia. Ya
kami sama-sama tahu diri, jangan sampai konflik. Tetap menjaga perasaan masing-masing”.
Kasus 3:
Dalam suatu pertemuan antar direktur rumah sakit swasta di Kota M, ada pertanyaan menggelitik mengenai fungsi dinas kesehatan kota dan propinsi.
Sebenarnya apa fungsi mereka? Pada intinya direktur rumah sakit swasta berharap bahwa dinas kesehatan dapat membantu mereka dalam
pengembangan sumber daya manusia, memberi subsidi, dan meningkatkan mutu pelayanan. Akan tetapi harapan ini terlihat sulit dipenuhi. Salah satu
tandanya adalah perhatian dinas kesehatan terhadap rumah sakit tidaklah besar. Hal ini dapat dilihat pada kenyataan bahwa sudah 4 bulan ini seksi pelayanan
di dinas kesehatan kosong karena pejabat lama, seorang perawat senior, pensiun dan belum ada orang yang siap menggantikan”
131
. Selain itu, berdasarkan laporan hasil Seminar Nasional Desentralisasi
Kesehatan di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Universitas Hasanuddin, Universitas Gajah Mada, Unit Desentralisasi Departemen Kesehatan RI, dan World
Health Organization, di Makassar, pada 2005, dijelaskan ada beberapa hambatan pelaksanaan desentralisasi kesehatan di Indonesia, yaitu:
131
Laksono Trisnantoro. 2005. Aspek Strategis dalam Manajemen Rumah Sakit. ANDI, Yogyakarta, hlm. 176.
102
1. Ada problem serius dalam kemampuan dan keterlambatan DEPKES dan DINKES untuk menyusun peraturan yang mendukung desentralisasi;
2. Komitmen pemerintah pusat untuk mengembangkan peraturan dan standar yang mendukung desentralisasi terlihat lemah;
3. Belum dilakukan pembagian urusan secara jelas dalam hubungan pemerintah pusat dan propinsikabupatenkota.
4. Kebijakan kesehatan di Indonesia cenderung menganggap semua daerah sama.
132
Memperhatikan adanya kasus-kasus sebagaimana diungkapkan oleh Laksono Trisnantoro dan adanya hambatan-hambatan pelaksanaan desentralisasi kesehatan di
Indonesia sebagaimana dijelaskan oleh laporan hasil ”Seminar Nasional Desentralisasi Kesehatan di Indonesia” di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ada
banyak konflik yang terjadi di dinas kesehatan dan rumah sakit di daerah yang perlu segera diatasi agar pelaksanaan desentralisasi di bidang kesehatan dapat terwujud
sesuai arahan normatif UU No. 322004 dan UU No. 332004.
C. Isu Hukum Aktual dalam Konflik Aturan Hukum Sektor Kesehatan