Penjelasan Umum PP No. 39 tahun 1973: “tujuan utama dari acara ini Konsiderans Menimbang huruf a, Permendagri No. 15 tahun 1975: Konsiderans Menimang huruf b Permendagri No. 2 tahun 1976:

conditions of adequate power but scarce resources” 109 . Argumentasi ini menjadi sejalan dengan alasan ditetapkannya peraturan perundang-undangan di atas. Sebagaimana yang dinyatakan di dalam penjelasan maupun konsideransnya, sebagai berikut:

a. Penjelasan Umum PP No. 39 tahun 1973: “tujuan utama dari acara ini

adalah untuk mendapatkan putusan secara cepat, karena semua pihak berkepentingan terhadap putusan yang cepat tersebut”.

b. Konsiderans Menimbang huruf a, Permendagri No. 15 tahun 1975:

“bahwa untuk memenuhi kebutuhan akan tanah dalam usaha-usaha Pembangunan…dirasakan perlu adanya ketentuan mengenai pembebasan tanah dan sekaligus menentukan besarnya ganti rugi atas tanah yang diperlukan secara teratur, tertib dan seragam”.

c. Konsiderans Menimang huruf b Permendagri No. 2 tahun 1976:

“bahwa untuk merangsang pihak swasta dalam pelaksanaan pembangunan dipandang perlu adanya bantuan fasilitas dari Pemerintah yang berbentuk jasa-jasa dalam pembebasan tanah rakyat dalam rangka penyediaan tanah, untuk pembangunan proyek-proyek yang bersifat menunjang kepentingan umum…”. Berdasarkan paparan di atas, maka tidak mengherankan jika pada periode ini 1974-1983 atau katakanlah selama 32 tahun masa pemerintahan orde baru bermunculan sengketa tanah disetiap proses pembebasannya, antara rakyat dengan pemerintah atau rakyat dengan investor yang diwakili oleh pemerintah. Dan hampir disetiap konflik tanah yang ada, peran pemerintah lebih mengutamakan kepentingan investor demi mensukseskan program pembangunannya, hal ini makin diperparah dengan peranan pemerintah daerah sebagai negosiator dan penyedia tanah murah bagi investor. Sengketa-sengketa yang timbul ini, apabila dicermati secara apriori orang awam pun akan menuding pada masalah besaran ganti kerugian yang tidak disepakati. Sedangkan dari tinjauan yang lebih mendalam akan bermuara pada 109 Hannah Arendt. 1972. “On Violence” in Crisis of Republic New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1972, hlm. 134-155. Philippe Nonet Philip Selznick. 1978. Law and Society in Transition-Toward Responsive Law. Harper Colophon Books, Harper Row, New York, Hagerstown, San Fransisco, London, hlm.36. 77 kondisi dimana warganegararakyat dihadapkan pada pilihan menerima ganti kerugian diganti tapi rugi yang ditetapkan oleh penguasa. 110 Dengan demikian dapatlah ditarik kesimpulan bahwa produk hukum yang berkaitan dengan penguasaan tanah pada era pemerintahan orde baru periode tahun 1974–1983 cenderung berkarakter represif dan bersifat positivis-instrumentalis. Artinya hukum hanya menjadi alat instrumen untuk memaksakan program-program pemerintah, dan menentukan arah perkembangan hukum dimasyarakat. Sifat dan karakter represif produk hukum pada periode ini merupakan konsekuensi logis dari paradigma “modernisasipembangunanisme” ekonomi yang dianut pemerintah orde baru. Kesimpulan di atas membawa impliksi bahwa produk hukum mengenai penguasaan tanah pada periode ini, nyata-nyata telah bertentangan dengan semangat dan makna yang terkandung di dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945 junto Undang- Undang Pokok Agraria UU No. 5 tahun 1960, yang mana justru sangat melindungi keberadaan petani kecil dan petani tak bertanah dari penghisapan yang sangat potensial dilakukan oleh kelompok berekonomi kuat investor.

c. Periode Derugulasi Pertanahan 1984 – 1990-an