Masyarakat Adat Beserta Hak Komunalnya dalam Perspektif Desentralisasi

motif pertarungan dari daerah masing-masing yang perbatasannya persis di kawasan tersebut. Kedua daerah atau lebih, saling klaim dan menyatakan diri sebagai pihak yang berhak dan berwenang mengambil keputusan, termasuk terhadap pihak ketiga yang akan melakukan investasi atas sumber daya alam tersebut.

B. Masyarakat Adat Beserta Hak Komunalnya dalam Perspektif Desentralisasi

Secara singkat dapat dideskripsikan pemaknaan tentang masyarakat adat itu sebagai berikut: 1. Masyarakat adat yang memiliki ikatan atas wilayah adat sebagai tanah leluhur dan secara fisik berdomisili dan menggunakannya; 2. Masyarakat adat yang memiliki ikatan atas wilayah adat sebagai wilayah leluhurnya tetapi tidak berdomisili di sana secara fisik serta tidak memanfaatkan tanah adat tersebut karena suatu kesukarelaan atau suatu keterpaksaan; 3. Masyarakat heterogen campuran antara masyarakat adat dan pendatang. Ada pula masyarakat hukum adat yang bersifat genealogis berdasarkan asas keturunan, ialah masyarakat hukum adat yang para anggotanya terikat berdasarkan keyakinan bahwa mereka berasal dari keturunan yang sama. Dalam masyarakat hukum adat yang genealogis dikenal tiga pertalian keturunan, yaitu: 1. keturunan menurut garis laki-laki, seperti terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Batak, Bali, dan Ambon. 2. keturunan menurut garis perempuan, seperti terdapat dalam masyarakat hukum adat orang Minangkabau Sumatera Barat, Kerinci Jambi, dan Semendo Sumatera Selatan. 3. keturunan menurut garis ibu dan bapak, seperti pada masyarakat hukum adat orang Bugis Sulawesi, Dayak Kalimantan, dan Jawa. Masyarakat adat masyarakat hukum adat yang dimaksud di sini lebih ditekankan pada masyarakat adat yang secara fisik berdomisili dan memanfaatkan tanah dalam ikatan wilayah adat mereka. Tidak dipersoalkan apakah anggota masyarakat tersebut mengikatkan diri secara sukarela atau karena terpaksa. Tentu saja dalam ikatan yang demikian bercampur pula ikatan yang bersifat genealogis dan 156 ikatan yang bersifat kewilayahan. Di samping hukum adat yang mereka gunakan dalam kehidupan bermasyarakat, juga berlaku hukum aturan hukum tertulis yang dibuat oleh negara, baik aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah pusat maupun yang dibuat oleh pemerintah daerah. Karakter hukum yang dibentuk oleh negara cenderung dirumuskan dalam aturan hukum dan norma hukum yang bersifat general umum, tidak didasarkan pada kekhasan dan kearifan lokal. Ketika hukum yang dibuat oleh negara itu diterapkan di masyarakat termasuk masyarakat adat sering kali menimbulkan goncangan terhadap tertib hukum dan budaya lokal, oleh hukum negara nasional tidak selalu compatible dengan budaya lokal. Padahal, manusia tidak bisa hidup di luar ketertiban, sebaliknya manusia tetap bisa hidup tanpa harus menggunakan hukum modern negara dan tiap komunitas sesuai dengan kearifannya, akan membangun ketertibannya sendiri. Dalam kebijakan otonomi daerah, seperti pembentukan daerah, pemekaran daerah, dan pembagian urusan pemerintahan, ternyata masyarakat adat beserta hak komunalnya, tidak dijadi komponen yang menentukan dalam pembentukan daerah dan pembagian urusan pemerintahan, juga dalam pembagian wilayah administratif daerah. Kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, lambat-laun akan terpinggirkan, sebab pengakuan dan penghormatan atas kesatuan masyarakat adat dan hak tradisionalnya harus menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Pembagian wilayah-wilayah daerah otonom, mengakibatkan struktur masyarakat adat dan budayanya menjadi terpecah-pecah fragmented dalam beberapa daerah otonom. Komunitas masyarakat adat dalam perjalanannya lambat laun akan berinteraksi dengan masyarakat lain luar, hal ini terjadi karena kehidupan masyarakat luar yang dinamis dan terus mengembangkan aktivitas kehidupan, sekalipun harus menjelajah jauh ke daerah pelosok. Dengan demikian, proses terjadinya interaksi antara masyarakat hukum adat dengan segala tatanan kemasyarakatan dan hak-hak komunalnya dengan penduduk atau masyarakat lain, terjadi karena masuknya orang luar tersebut ke dalam wilayah atau kesatuan masyarakat adat tersebut. Berbagai alasan alasan atau kepentingan yang melatarbelakangi kedatangan orang luar sehingga memasuki komunitas dan wilayah masyarakat adat, terutama: 157 - perpindahan penduduk dari daerah lain ke dalam wilayah suatu masyarakat hukum; - melakukan aktivitas perdagangan antar daerah; - kegiatan sosial; - kegiatan politik; - pembukaan jalan; - pembukaan area pertanian oleh pemerintah; dan - eksploitasi kekayaan sumber daya alam oleh korporasi, seperti kegiatan penebangan kayu melalui hak penguhaan hutan HPH, pertambangan, dan perkebunan, serta pengusahaan tanaman industri untuk bahan kertas misalnya. Cikal bakal persoalan konflik pertanahan berskala besar dan berkepanjangan yang menyangkut hak-hak masyarakat adat atas tanah dan hak atas tanah masyarakat lokal lainnya, yakni karena adanya aktivitas yang langsung berhubungan dengan tanah, seperti pembukaan lahan untuk perkebunan besar, pertambangan, penebangan hutan secara besar-besaran untuk kebutuhan industri pengolahan kayu, dan pembukaan ruas jalan untuk kelancaran mobilitas kegiatan investasi perusahan- perusahaan besar. Konflik tersebut di atas diakibatkan oleh perampasan hak atas tanah teritori tanah adat baik oleh negara pemerintah dengan dalih “untuk kepentingan umum” maupun oleh swasta perusahaan. Perampasan teritori territory violence terhadap masyarakat adat dengan mengatasnamakan undang-undang, peraturan atau kebijakan pemerintah, seringkali menimbulkan friksi antara pihak yang diuntungkan the winner dengan pihak yang kalah the looser. Pihak yang diuntungkan biasanya adalah pemerintah atau pihak lain yang mendapat “legitimasi” negara untuk menguasai kawasan tertentu, sedangkan masyarakat adat pemilik asli hampir selalu menjadi pihak yang dipinggirkan. Hal inilah yang menjadi benih konflik ketika masyarakat sebagai pemilik awal melakukan tindakan penguasaan kembali atas haknya yang dirampas. Dampak eksploitasi sumber daya alam yang tidak selaras dengan prinsif Pasal 33 UUD 1945, tidak hanya membuat masyarakat adat dan masyarakat lokal sekitarnya yang terdesak dan terjepit, melainkan berdampak secara kawasan, 158 regional bahkan global. Berbagai dampak terhadap lingkungan telah terjadi, sepertin penurunan kualitas sumberdaya air, perubahan iklim secara ekstrem, menurunnya fungsi dan daya dukung lingkungan dalam mendukung kualitas kehidupan sosial dan ekonomi secara serasi, seimbang dan lestari. Terancamnya kelestarian keragaman jenis dan kekhasan sumberdaya alam untuk mewujudkan nilai tambah, daya saing serta modal bagi pembangunan nasional. Pemanfaatan hutan sebagai modal pembangunan ekonomi nasional telah melebihi kemampuannya sebagai sumber daya alam yang dapat diperbaharui. Berbagai kebijakan yang telah dilaksanakan masih belum mampu menyelesaikan permasalahan di bidang kehutanan. Sementara itu, nilai tambah dari produk hutan nonkayu seperti air, udara bersih, keanekaragaman hayati, dan keindahan alam belum berkembang seperti yang diharapkan untuk mendukung sektor ekonomi. Praktik penebangan liar dan konversi lahan juga telah menimbulkan dampak yang luas, yaitu kerusakan ekosistem di kawasan tersebut dan merambah ke dalam tatanan daerah aliran sungai DAS. Kerusakan pada DAS makin parah disebabkan oleh lemahnya kapasitas kelembagaan pengelolaan DAS dan kurangnya koordinasi antara kegiatan di hulu dan hilir, telah menyebabkan banjir pada musim hujan, sebaliknya terjadi kekeringan pada musim kemarau di beberapa daerah.

C. Titik Tolak Penyelarasan Hubungan Pusat dan Daerah Berdasarkan Prinsip Otonomi yang Luas