pada ketentuan Pasal 7 ayat 1 mengenai jenis dan hierarki Peraturan Perundang- undangan tidak lagi memasukkan TAP MPR.
5. Sinkronisasi dan Konsistensi Konflik Aturan Hukum Sektoral
Jika hukum dimaknakan sebagai tata hukum sistem peraturan perundang- undangan, aturan hukum, maka konflik norma hukum antar aturan hukum yang
lebih rendah atau antara aturan hukum yang lebih rendah terhadap aturan hukum yang lebih tinggi, tidak terlepas dari konflik yang terjadi pada tataran hukum yang
lebih tinggi konflik antar nilai, dan antar asas. Nilai dan asas yang dimaksud berkedudukan sebagai norma hukum yang lebih tinggi dan menjadi dasar
pembentukan aturan hukum yang lebih rendah. Oleh karena pembentukan aturan hukum pada kenyataannya dipengaruhi oleh
berbagai kekuatan dan kepentingan pada lembaga pembentuk aturan hukum legislatif dan eksekutif, maka konflik aturan hukum juga dapat diakibatkan oleh
karena aturan hukum yang lebih rendah dibuat atau dirumuskan tidak selaras dengan aturan hukum yang lebih tinggi yang seharusnya menjadi dasar perumusan
aturan hukum tersebut. Terlebih bila pemerintahan demokratis tidak dilaksanakan berdasarkan makna hakikinya sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat, namun dimaknakan sebagai pemerintah yang didasarkan pada suara terbanyak pemegang kekuasaan politik terbesar.
Berdasarkan uraian di atas, maka konflik aturan hukum sinkronisasi dan konsistensi aturan hokum, peraturan perundang-undangan merupakan
lanjutanturunan konflik nilai-nilai dan asas-asas yang terkandung pada sumber hukum tertinggi, yaitu UUD 1945 yang telah mengalami perubahan sebanyak 4
empat kali. Oleh karena itu, analisis terhadap konflik aturan hukum peraturan perundang-undangan hanya dapat dilakukan apabila; konflik pada level nilai dan
asas yang terkandung dalam hukum dasar tertulis konstitusi tertulis, dikaji terlebih dahulu dan dijadikan patokan dalam pengkajian sinkronisasi dan konsistensi aturan
hukum peraturan perundang-undangan yang lebih rendah.
30
BAB III ANALISIS ATURAN HUKUM SEKTOR PERTANAHAN
A. Quo Vadis Idelogi Populis Agraria
Berlakunya aturan hukum suatu negara paling tidak ditentukan oleh dua faktor: Pertama, kesadaran atau keyakinan anggota-anggota masyarakat terhadap hukum
dalam makna nilai-nilai keadilan. Kedua, politik hukum yang ditetapkan oleh penguasa negara. Orientasi politik hukum penguasa bersifat progresif, antisipatif
terhadap perkembangan kedepan dan berwawasan nasional. Orientasi politik penguasa seringkali tidak berjalan paralel dengan kesadaran hukum orientasi
hukum masyarakat yang cenderung tradisional, konservatif, berorientasi historis dengan lingkup wilayah budaya terbatas budaya lokal
46
. Secara formal selalu diupayakan untuk menyerasikan kedua orientasi tersebut, namun secara subtansi
yang tercermin dari berbagai rumusan pasal dalam peraturan perundang-undangan belum tentu demikian.
Di bidang pertanahan, secara substansial pertarungan orientasi politik hukum antara pemerintah dan masyarakat tercermin dari adanya konflik di antara norma
tertulis peraturan perundang-undangan. Pada akhirnya akan menimbulkan ekses dalam penerapan peraturan perundang-undangan, yaitu dalam bentuk sengketa
pertanahan. Idealnya pemerintah mampu mengakomodir orientasi politik hukumkesadaran hukum masyarakat - yang bersifat pluralis - dan mengharmonisasi-
kannya dengan kebutuhan pemerintah dan dunia internasional, dengan tetap berpegang pada tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Kenyataan yang terjadi hingga saat ini mengindikasikan, bahwa pemerintah mempunyai orientasi sendiri, dan yang terlalu maju bervisi global, sedangkan
masyarakat sebagian besar belum siap dengan visi tersebut. Akibatnya, banyak peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan pemerintah dinilai tidak memihak
kepentingan rakyat, namun lebih memihak pada dunia perdagangan yang bersifat globalperdagangan bebas, dan para investor. Padahal, seyogyanya pemerintah
sangat memperhatikan kondisi senyatanya masyarakat Indonesia yang sangat
46
Maria R Ruwiastuti. 2000. Sesat Pikir Politik Hukum Agraria, Membongkar Alas Penguasaan Negara Atas Hak-Hak Adat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 109-110.
31