Pola Perlindungan Sumberdaya Laut

pengambilan pasir yang dilakukan oleh Suku Bajo berada di tiga pulau yakni Pulau Osuno, Pulau Otoue dan Pulau Kapota. Pengambilan pasir mulai dari pesisir pantai sampai pada perairan dangkal, dilakukan dengan cara menyelam dan mengangkut pasir ke dalam perahu. Pengambilan karang juga pada perairan dangkal, sebagian besar pengambilan karang terjadi pada Pulau Kapota dan Pulau Usuno.

5.5 Pola Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut

5.5.1 Pola Perlindungan Sumberdaya Laut

Pola perlindungan sumberdaya laut dilakukan dengan memberlakukan sistem buka tutup kawasan, yaitu pemanfaatan sumberdaya laut dapat dilakukan setelah meminta izin pada penguasa laut dan upacara membuka laut. Namun saat ini telah terjadi pemanfaatan pada lokasi-lokasi perlindungan tanpa melakukan upacara membuka laut untuk meminta ijin pada penguasa laut. Lokasi yang diberlakukan buka tutup kawasan tidak berlaku lagi saat ini, dikarenakan terjadi benturan aturan adat antara Suku Bajo dengan masyarakat adat Wakatobi. Suku Bajo memberlakukan sistem buka tutup kawasan pada kawasan karang pesisir yang memiliki potensi sumberdaya laut bagi kehidupan mereka. Namun kawasan tersebut merupakan wilayah adat masyarakat Wakatobi yang memberlakukan sistem pemanfaatan tanpa batasan. Sehingga persaingan akan sumberdaya laut telah menyebabkan aturan Suku Bajo tidak dilaksanakan oleh masyarakat Bajo. Pola perlindungan lainnya adalah upacara membuka laut untuk melakukan pemanfaatan. kawasan pamali pada Karang Kapota dapat dimanfaatkan ketika upacara membuka laut telah dilakukan. Upacara membuka laut merupakan bentuk upacara meminta izin pada penguasa laut untuk memanfaatkan sumberdaya laut di kawasan karang Kapota dan Karang Kaledupa dalam waktu yang lama. Namun saat ini telah terjadi pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo tanpa melakukan upacara membuka laut. Hal ini dikarenakan kawasan tersebut merupakan kawasan yang terbuka untuk umum, sehingga masyarakat Wakatobi secara umum dapat melakukan pemanfaatan tanpa menunggu upacara membuka laut dilakukan. Untuk mempertahankan hidupnya, Suku Bajo harus bersaing dengan masyarakat umum dalam memperoleh hasil tangkapan, sehingga apabila mereka menunggu upacara membuka laut dilakukan barulah kegiatan pemanfaatan dilakukan, maka mereka tidak dapat bersaing dengan masyarakat umum. Kondisi inilah yang menyebabkan sebagian besar masyarakat melakukan pemanfaatan tanpa menunggu upacara membuka laut dilakukan. Budaya bersifat dinamis, sehingga dapat berubah demi mempertahankan hidup. Perubahan ini digambarkan Suku Bajo ketika mempertahankan budaya mereka, dikhawatirkan mereka tidak dapat bersaing dengan masyarakat umum untuk memperoleh hasil tangkapan, sehingga kebutuhan hidup mereka tidak akan terpenuhi. Peraturan Suku Bajo tidak dapat diterapkan di dalam wilayah orang lain, sehingga dari segi kelembagaan aturan tersebut tidak memiliki hukum yang kuat. Hal ini dikarenakan seluruh wilayah pesisir Kepulauan Wakatobi merupakan wilayah adat atau milik adat yang di kelola oleh sara. Pulau Wangi-wangi memiliki 4 lembaga adat dengan hak-hak kepemilikan masing-masing, yaitu masyarakat adat Kapota, Liya, Wanci dan Mandati. Suku Bajo sampai saat ini diakui sebagai masyarakat pendatang yang menempati wilayah adat Mandati. Jika dianalisis lebih jauh lagi, sebenarnya Suku Bajo tidak memiliki hak dalam pengelolaan sumberdaya laut di wilayah perairan Wakatobi, karena mereka tidak memiliki hak kepemilikan seperti masyarakat adat lainnya. Inilah salah satu alasan hilangnya pola-pola kearifan tradisional masyarakat. Suku Bajo juga memiliki pola budaya dalam berhubungan dengan laut, salah satunya adalah Maduai Arak, yaitu suatu bentuk upacara yang ditujukan pada penguasa laut. Upacara ini merupakan bentuk upacara untuk mendapat rezeki di laut dan meminta maaf pada penguasa laut. Ritual biasanya dilakukan dengan menghanyutkan sesajian di laut berupa sirih, pinang dan bahan lainnya yang telah di bacakan mantra oleh tokoh-tokoh adat. Menurut pengakuan beberapa responden, bila bahan sesajian tersebut menyebar setelah dihanyutkan maka tidak akan mendapatkan hasil tangkapan yang banyak, namun bila hanyut dalam keadaan menyatu maka akan mendapatkan tangkapan yang banyak. Budaya ini tidak memiliki hubungan dengan konservasi atau tidak memberi dukungan pada kegiatan konservasi. Dapat dikatakan bahwa ritual tersebut tidak memiliki aspek perlindungan dalam pemanfaatan.

5.5.2 Pola Pemanfaatan Sumberdaya Laut