penentuan lokasi perkampungan Suku Bajo harus pada daerah-daerah yang memiliki sumber kehidupan bagi mereka. Indikator yang di lihat untuk menentukan lokasi
perkampungan diantaranya harus disekitar karang, kondisi air laut harus bersih dan tidak di sekitar muara sungai. Jika suatu daerah di anggap mampu untuk memenuhi
kebutuhan hidupnya, misalnya memiliki sumber ikan dan kondisi laut yang bersih maka akan ditempati Ponulele 1997 dalam Saad 2009. Hal ini dikarenakan
menurut pengetahuan mereka, laut yang kotor atau di sekitar muara sungai tidak akan banyak ikan yang akan menompang kehidupan mereka, tidak seperti daerah
sekitar karang yang menyediakan banyak ikan.
Sumber: Simon Onggo 2010
Gambar 5 Perkampungan Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan. Pengakuan informan dan responden tentang lokasi perkampungan
masyarakat, menunjukkan bahwa dulunya kondisi air laut di sekitar atau di perkampungan sangat bersih dan memiliki banyak ikan. Kondisi ini sangat berbeda
dengan kenyataan saat ini, dimana kondisi perkampungan tergolong kotor dan sangat susah untuk memperoleh ikan. Ini artinya kondisi perkampungan masyarakat tidak
lagi seperti lokasi yang ideal menurut pengetahuan masyarakat Bajo.
5.3.2 Bentuk Perumahan
Suku Bajo memiliki karakteristik yang berbeda dengan suku-suku di nusantara pada umumnya, karena kehidupan mereka yang tidak bisa dipisahkan
dengan laut. Menurut Saad 2009 pemukiman Suku Bajo memiliki ciri yang khas, yaitu rumah panggung bertiang kayu, berdinding dan berlantai papan sebagian
beratap rumbia, dibangun pada pesisir pantai dan sebagian menjorok ke laut. Namun pemukiman Bajo di Wakatobi saat ini agak berbeda, dimana rumah
panggung dengan menggunakan tiang-tiang tancap hanya dijumpai pada awal pembangunan rumah saja.
Suku Bajo Mola, khususnya Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti awalnya membangun rumah-rumah panggung di atas laut, dengan kolong rumah
berfungsi sebagai tempat parkir perahu dan tempat memancing ikan. Untuk berkunjung dari satu rumah ke rumah lain hanya dapat di tempuh dengan
menggunakan perahu. Namun saat ini sebagian besar mengalami perubahan, terutama Desa Mola Utara, rumah-rumah masyarakat yang telah terbuat dari beton
dengan cara menimbun karang sebagai dasar bagunan rumah Gambar 6.
Gambar 6 Kondisi perumahan masyarakat Desa Mola Utara. Untuk Desa Mola Nelayan Bakti cenderung masih menggunakan rumah-
rumah panggung, namun ada juga beberapa rumah telah menjadi rumah beton. Akan tetapi, rumah-rumah panggung yang ada sebagian besar mulai terisi karang pada
bagian kolong rumahnya Gambar 7.
Gambar 7 Kondisi perumahan masyarakat Desa Mola Nelayan Bakti.
5.3.3 Bentuk Perkampungan
Kondisi perkampungan Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan tidak lagi berada di atas air laut melainkan di atas tanah hasil reklamasi dengan
menggunakan timbunan karang. Rumah panggung dengan menggunakan tiang-tiang tancap hanya merupakan awal dari pembangunan perkampungan mereka. Setelah
merasa nyaman kolong rumah secara perlahan di timbun hingga membentuk tanah buatan yang dapat dibangun rumah beton. Kondisi ini secara umum menggambarkan
terjadi pergeseran nilai tradisional masyarakat dalam membangun rumah tempat tinggal Gambar 8.
Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan awalnya membangun rumah- rumah panggung dengan menggunakan tiang tancap di atas laut, dengan kolong
rumah berfungsi sebagai tempat parkir perahu Gambar 8a. Untuk mengakses daratan atau berkunjung dari rumah kerumah hanya dapat dilakukan dengan
menggunakan perahu. Rumah-rumah panggung bertiang kayu yang di bangun di atas laut hanyalah awal dari pembangunan mereka. Ketika merasa nyaman kolong rumah
yang dulunya dapat digunakan untuk memancing ikan secara perlahan-lahan di isi dengan karang Gambar 8b.
Kegiatan penimbunan karang di kolong rumah dilakukan seterusnya hingga seluruh kolong rumah terisi oleh karang Gambar 8d. Berdasarkan hasil wawancara,
jika penimbunan dilakukan sendiri biasanya membutuhkan waktu hingga 2 tahun. Namun jika karang di beli biasanya hanya membutuhkan waktu 2-3 minggu. Kolong
rumah yang telah terisi sepenuhnya dengan karang nantinya akan dibangun rumah beton yang permanen Gambar 8c. Masyarakat mengakui bahwa rumah beton yang
permanen dianggap lebih nyaman daripada rumah panggung yang terbuat dari papan.
a b
c d
Gambar 8 Pola bentuk perumahan Suku Bajo: a Rumah panggung awal pembangunan, b Rumah dengan kolong mulai terisi karang, c Kondisi
rumah dengan kolong penuh terisi karang dan d Rumah telah berada di atas tanag hasil reklamasi.
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa bentuk perumahan Suku Bajo telah mengalami perubahan dari rumah pancang menjadi rumah beton yang di bangun di
atas timbunan karang hasil reklamasi. Selain itu pengakuan dari masyarakat yang lebih memilih rumah beton daripada rumah panggung merupakan salah satu bukti
bahwa budaya hidup Suku Bajo telah mengalami pergeseran dari tradisional menjadi masyarakat modern. Jika dianalisis dari aspek budaya, sebenarnya perubahan budaya
hidup Suku Bajo merupakan bentuk adaptasi terhadap lingkungan hidup mereka. Ketika mereka menggunakan rumah beton yang permanen, meraka dianggap
memiliki status sosial yang lebih tinggi. Menurut pengakuan beberapa responden, masyarakat yang memiliki rumah beton mendapatkan perhatian khusus dari
tengkulak ikan. Ketika mereka meminjam uang, masyarakat yang memiliki rumah beton lebih di percaya dan diutamakan. Kondisi ini memberikan gambaran bahwa
budaya hidup adalah suatu yang dinamis, yang dapat berubah untuk mempertahankan hidup.
Perubahan budaya Suku Bajo sebenarnya merupakan hal yang wajar dan bukan merupakan permasalahan dalam pengelolaan kawasan. Akan tetapi yang
menjadi masalah adalah perubahan budaya hidup Suku Bajo dari rumah panggung sampai membuat rumah beton dengan menggunakan karang dari dalam kawasan
TNW. Sehingga kegiatan tersebut merupakan suatu yang bermasalah, karena terumbu karang merupakan sumberdaya yang penting untuk dilindungi.
5.4 Lokasi Perlindungan dan Pemanfaatan Sumberdaya Laut