dapat dimanfaatkan oleh nelayan secara umum. Selain membentuk zonasi perairan laut, seluruh wilayah daratan dinyatakan sebagai Zona Khusus ZK dengan luas
46.370 ha Balai TNW 2008. Walaupun telah diberlakukan sistem pengelolaan dengan zonasi yang
membatasi pemanfaatan pada daerah-daerah tertentu, masih banyak terjadi pemanfaatan pada zona larang ambil. Selain itu, sumberdaya laut mendapat tekanan
yang sangat berat karena hampir semua penduduk Wakatobi bergantung pada sumberdaya pesisir dan laut. Isu-isu seperti eksploitasi ikan dan penangkapan hewan
dilindungi yang mengancam keberlangsungan sumberdaya tersebut sering terdengar. Selain itu, kurangnya kesadaran nelayan sebagai pihak yang dianggap paling banyak
berinteraksi dengan pesisir dan laut terlihat pada aktivitas pemanfaatan sumberdaya pesisir yang berakibat merusak ekosistem misalnya metode penangkapan yang tidak
ramah lingkungan seperti penggunaan bom dan bius mempercepat laju kerusakan terumbu karang Wakatobi Operation Wallacea 2006.
Selanjutnya Soekmadi 2000 menyatakan taman nasional merupakan satu bentuk kawasan konservasi yang mempunyai fungsi paling lengkap, yang meliputi
fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan ekosistemnya dan pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya secara optimal. Berbeda dengan pengelolaan sumberdaya hutan produksi, pengelolaan sumberdaya alam di taman nasional lebih ditunjukan untuk
kepentingan nir-laba non profit, walaupun dimungkinkan untuk menggali potensi taman nasional guna menambah pendapatan pengelolaan juga pada para
stakeholders dalam ambang batas kapasitas sangga carryng capasity nya.
2.2 Masyarakat dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam
Nopandry 2007 menyatakan bahwa satu hal yang selalu muncul di benak masyarakat berkenaan dengan kawasan konservasi adalah bahwa keberadaan hutan
tersebut tidak memberikan manfaatan bagi mereka. Larangan memasuki kawasan, mengambil sumberdaya pada daerah tertentu, penguasaan lahan yang sering
disosialisasikan pemerintah, menimbulkan anggapan dikalangan masyarakat bahwa pemerintah lebih mengutamakan kehidupan liar daripada kesejahteraan mereka.
Padahal banyak cara memanfaatkan keberadaan hutan konservasi secara lestari yang
tanpa merubah fungsinya atau mengganggu keberadaannya.
Masyarakat sebenarnya bagian yang tidak terpisahkan atau merupakan stakeholder
utama dalam pengelolaan sumberdaya hutan. Suatu kawasan yang ditetapkan menjadi kawasan konservasi tidak akan terlepas dari keberadaan
masyarakat yang secara turun temurun menempati dari nenek moyang mereka menempati wilayah tersebut. Komunitas masyarakat tersebut biasanya di kenal
dengan masyarakat adat. Terdapat banyak pendepat mengenai identitas masyarakat adat di beberapa kalangan, namun dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat
adat adalah mereka yang secara turun-temurun menempati suatu wilayah tertentu dan masih memiliki kelembagaan adat yang jelas.
Jaringan Pembelaan Hak-Hak Masyarakat Adat JAPHAMA yang dirumuskan di Tana Toraja tahun 1993 menjelaskan masyarakat adat adalah
kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik,
sosial, dan budaya sendiri Basko 2002. Selanjutnya Thompson 2003 menyatakan dalam konvensi ILO No.169
tahun 1986 menyimpulkan bahwa masyarakat adat adalah sekelompok orang yang memiliki jejak sejarah dengan masyarakat sebelum masa invasi dan penjajahan,
yang berkembang di daerah mereka, menganggap diri mereka beda dengan komunitas lain yang sekarang berada di daerah mereka atau bukan bagian dari
komunitas tersebut. Mereka bertekad untuk memelihara, mengembangkan dan mewariskan daerah leluhur dan identitas etnik mereka kepada generasi selanjutnya,
sebagai dasar bagi kelangsungan keberadaan mereka sebagai suatu suku, sesuai dengan pola budaya, lembaga sosial dan sistem hukum mereka.
Sedangkan Masyarakat adat yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Nusantara AMAN merumuskan masyarakat adat sebagai suatu komunitas yang
memiliki asal-usul leluhur secara turun-temurun hidup di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi politik, budaya dan social yang khas.
Selanjutnya juga dijelaskan batasan msyarakat lokal atau asli adalah komunitas yang menempati suatu wilayah tertentu secara turn temurun dan memiliki seperangkat
aturan yang tercipta dari interaksi sesama mereka. Sedangkan masyarakat pendatang adalah orang yang datang dan menempati wilayah asing yang bukan wilayah
leluhurnya Sirait at al. 2001.
Selanjutnya Keraf 2002 menyatakan bahwa setiap komunitas masyarakat adat memiliki kearifan lokal sebagai pengetahuan mereka dalam berhubungan
dengan alam. Dalam penjelasannya kearifan lokal didefinisikan sebagai semua bentuk pengetahuan, keyakinan, atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang
menuntun perilaku manusia didalam kehidupan dalam komunitas ekologis. Selanjutnya di dalam kehidupannya setiap komunitas masyarakat memiliki
tatanan nilai dan norma yang merupakan tuntunan berperilaku. Schwartz 1994 menyimpulkan bahwa nilai adalah suatu keyakinan mengenai cara bertingkah laku
dan tujuan akhir yang diinginkan individu, dan digunakan sebagai prinsip atau standar dalam hidupnya.
Penelitian Schwartz 1994 mengenai nilai salah satunya bertujuan untuk memecahkan masalah apakah nilai-nilai yang dianut oleh manusia dapat
dikelompokkan menjadi beberapa tipe nilai value type. Salah satu tipe nilai yang dijelaskan adalah nilai tradisional yang diartikan sebagai nilai yang menggambarkan
simbol-simbol dan tingkah laku yang merepresentasikan pengalaman dan nasib mereka bersama, yang sebagian besar diambil dari keyakinan dan norma bertingkah
laku. Sulitnya memberi batasan mengenai nilai tradisional, maka dalam penelitian
ini yang dimaksud nilai tradisionala adalah segala bentuk tingkah laku atau kearifan lokal Suku Bajo yang didasarkan pada keyakinan mereka dalam pengelolaan
sumberdaya laut.
2.3 Interaksi Masyarakat dengan Kawasan Taman Nasional