karakteristik ekologis, sosial dan ekonomi. Dengan demikian, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang diterapkan oleh Balai TNW harus mendukung pembangunan
daerah yang lebih mengutamakan peningkatan ekonomi masyarakat. Sebagai daerah yang baru melakukan pemekaran pastinya membutuhkan pembangunan yang luar
biasa baik dari bentuk infrastruktur maupun pembangunan ekonomi. Sehingga dalam perkembangannya sangat berpotensi menimbulkan konflik pengelolaan antara Balai
TNW dan pemerintah daerah. Berdasarkan perspektif pengelolaan TNW, keanekaragaman hayati
Kepulauan Wakatobi perlu dilestarikan. Hal ini dikarenakan Kepulauan Wakatobi berada di pusat segi tiga karang dunia, yang merupakan perwakilan ekosistem
wilayah ekologi laut Banda-Flores. Namun masih rendahnya partisipasi masyarakat Suku Bajo dan masih berlangsungnya kegiatan destructive fishing seperti yang
dilakukan oleh Suku Bajo, menjadi permasalahan dalam pelestarian TNW. Selain itu, sistem formal pengelolaan taman nasional yang membatasi pemanfaatan
sumberdaya laut pada zona-zona tertentu, belum sepenuhnya diterapkan oleh Suku Bajo. Suku Bajo masih beranggapan bahwa mereka memiliki kebebasan untuk
mencari ikan dan mengeksploitasi sumberdaya lainnya.
1.2 Rumusan Masalah
Suku Bajo dikenal sangat menghargai laut, sebagaimana disampaikan oleh Saleh 2004 bahwa Suku Bajo memandang laut sebagai landasan dalam kehidupan
sehari-hari. Laut bagi Suku Bajo memiliki arti sebagai sahe sahabat, tabar obat, anudintha
’ makanan, lalang sarana transportasi, pamunang ala’ baka raha’ sumber kebaikan dan keburukan, patambanang rumahtempat tinggal dan
p atambanang umbo ma’dilao tempat tinggal nenek moyang Orang Bajo. Filosofi
hidup ini juga diterapkan oleh Suku Bajo di Kepulauan Wakatobi yang menganggap laut sebagai tempat tinggal nenek moyang mereka, sehingga bila musim melaut tiba
dilakukan kegiatan ritual membuka laut. Ritual membuka laut merupakan upacara adat yang dilakukan untuk memohon ijin pada penguasa laut, yang oleh orang Bajo
dikenal dengan nama umbo ma’dilao.
Sayangnya saat ini terjadi pergeseran nilai pandang dalam pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo. Saat ini sulit menyebut Suku Bajo di Mola sebagai
suku pelaut yang hidup secara tradisional di laut. Mereka sudah tinggal di daratan
hasil reklamasi yang terjadi bertahun-tahun dengan menggunakan batu karang, bentuk rumah berdinding batu bata dan beratap seng. Bahkan hampir semua
memiliki alat hiburan elektronik, seperti televisi dan pemutar kaset Dewanto 2010. Mulanya Suku Bajo hidup secara tradisional dengan rumah-rumah pancang di atas
laut, yang beratap rumbia dan berdinding papan ataupun belahan bambu Saad 2009. Pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo sudah tidak lagi mengindahkan
prinsip-prinsip kelestarian, sebagai contoh pengambilan batu karang untuk pondasi rumah, berpotensi merusak terumbu karang. Meskipun menurut pengakuan
masyarakat pengambilan karang hanya yang sudah mati, namun penambangan yang dilakukan terus menerus berpotensi merusak ekosistem laut dan menimbulkan erosi
pantai Stanley 2005. Selanjutnya Stanley 2005 dalam penelitiannya pada komunitas Bajo di
Kepulauan Wakatobi menyimpulkan bahwa Suku Bajo sebenarnya mengetahui bahwa terumbu karang adalah tempat tinggal, bertelur dan tempat makan ikan, yang
jika dirusak akan mengurangi jumlah ikan di daerah tersebut. Begitupula mereka mengetahui fungsi hutan bakau sebagai penahan antara laut dengan pantai. Namun
ketergantungan terhadap sumberdaya laut yang tinggi serta kebutuhan ekonomi yang mendesak, mendorong Suku Bajo berperilaku eksploitatif, sebuah perilaku yang
tidak mencerminkan pandangan hidup mereka terhadap sumberdaya laut Wakatobi. Keraf 2002 menyatakan ada tiga aspek penting yang menentukan
keberlanjutan ekologi, yaitu aspek ekonomi, aspek sosoial budaya dan aspek lingkungan hidup. Sehingga bila ketiga aspek itu bisa diintegrasikan secara baik,
pradigma pembangunanpun tidak akan menjadi masalah. Sedangkan yang ditunjukan diberbagai daerah alasan ekonomi dan faktor sosial budaya yang
umumnya menjadi penyebab terjadinya eksploitasi sumberdaya alam Soemarwoto 1994. Meningkatnya kepadatan penduduk, kebutuhan ekonomi akan meningkatkan
kebutuhan masyarakat akan sumberdaya alam. Berdasarkan hasil Rapid Ecological Assesetment REA tahun 2003 yang
dilakukan oleh Balai TNW, di perairan Wakatobi ditemukan sebanyak 30 daerah pemijahan ikan, namun hasil monitoring joint program TNC, WWF dan Balai TNW
pada tahun 2007 hanya menemukan 4 lokasi pemijahan yang masih dalam kondisi
baik Balai TNW 2008. Degradasi sumberdaya laut ini disinyalir sebagai akibat kegiatan-kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut yang merusak seperti pemboman,
pembiusan dan penambangan karang. Di sisi lain, dalam perspektif TNW, keanekaragaman hayati perairan Wakatobi penting untuk dilestarikan karena
merupakan sumber layanan ekologi pelestarian perwakilan ekosistem wilayah ekologi, laut Banda-Flores dan keberlangsungan sumber pangan masyarakat dalam
kawasan. Permasalahan lainnya, terdapat dua kepentingan dalam pengelolaan, yakni
pemerintah daerah dan Balai TNW. Hal ini dikarenakan luas taman nasional sama persis dengan luas Kabupaten Wakatobi. Semangat pengelolaan taman nasional yang
lebih membutuhkan dukungan finansial daripada menghasilkan keuntungan yang bersifat money oriented agaknya kontradiktif dengan semangat daerah yang lebih
berorientasi kepada peningkatan Pendapatan Asli Daerah PAD Soekmadi 2000. Beberapa hal menarik dapat dikaji dan dipelajari dari penjelasan di atas
tentang pergeseran nilai tradisional Suku Bajo, Kecamatan Wangi-wangi Selatan, dalam perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut. Beberapa permasalahan
yang dirumuskan adalah sebagai berikut: 1.
Dimana sebaran lokasi perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku Bajo di setiap zona TNW?
2. Bagaimana pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut yang
diterapkan oleh Suku Bajo? 3.
Faktor-faktor sosial, budaya dan ekonomi apa saja yang menyebabkan pergeseran pola perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut oleh Suku
Bajo?
1.3 Tujuan Penelitian