Pengolahan dan Analisis Data Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan

yang diamati Idrus 2009. Pengamatan yang dilakukan bertujuan untuk mengamati secara langsung lokasi-lokasi penelitian sehingga dapat mendeskripsikan kondisi yang sebenarnya. Selain itu bertujuan untuk mengambil gambarfoto kondisi dilapangan yang terjadi pada saat ini. Studi pustaka dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai kehidupan Suku Bajo yang sebenarnya. Secara keseluruhan rekapitulasi pengumpulan data disajikan dalam tabel 2. Tabel 2 Rekapitulasi pengumpulan data Jenis Data Parameter Cara Pengumpulan Sumber Data Karakteristik perkampungan masyarakat Lokasi perkampungan Kondisi perkampungan Bentuk perumahan Wawancara dengan informan, wawancara dengan responden dan observasi lapang Tokoh masyarakat, Masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti Kondisi sosial ekonomi suku Bajo Jumlah penduduk, mobilitas penduduk dan komposisi penduduk Tingkat pendidikan, jenis pekerjaan dan tingkat pendapatan Wawancara dengan responden, penelususran dokumen dan observasi lapang Masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti, serta kantor desa dan kantor Badan Pusat Statistika BPS Budaya Suku Bajo dalam perlindungan dan pemanfaatan sumberdaya laut Pola-pola kearifan lokal masyarakat, larangan dan sanksi Sikap masyarakat saat ini Wawancara dengan informan, wawancara dengan responden dan observasi lapang Tokoh masyarakat dan masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti Pola pemanfaatan sumberdaya laut Jenis yang dimanfaatkan Intensitas pemanfaatan Lokasi pemanfaatan Alat yang digunakan Wawancara dengan responden, wawancara dengan pengelola TNW dan observasi lapang Tokoh masyarakat dan masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti, serta Kepala Balai TNW Peraturan pengelolaan TNW Kegiatan yang diijinkan disetiap zonasi, Sumberdaya yang dilindungi Penerapan sanksi Wanwancara dengan pengelola taman nasional, wawancara dengan responden dan observasi lapang Kepala Balai TNW dan Masyarakat Desa Mola Utara dan Mola Nelayan Bakti

4.5 Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data merupakan suatu proses dalam memperoleh data ringkasan dengan menggunakan cara-cara atau rumusan-rumusan tertentu Hasan 2002. Pengolahan data dalam penelitian ini meliputi kegiatan editing data, pengkodean data dan penyajian data. Kegiatan editing dilakukan untuk mengoreksi yang telah dikumpulkan. Dalam melakukan editing, data-data yang telah dikumpulkan dikoreksi, data yang kurang diperbaiki atau dilakukan pengumpulan ulang dan data yang dianggap tidak perlu dipisahkan. Kegiatan editing berjalan bersamaan dengan kegiatan pengumpulan data, setiap kali selesai melakukan pengumpulan data dilapangan data langsung di edit. Selain melakukan editing data, dilakukan juga pengkodean data. Pengkodean data dilakukan untuk memberi kode pada data-data yang dianggap sama yang dilambangkan dengan angka-angka. Data yang telah diberi kode dimasukan dalam tabel-tabel. Data yang telah ditabulasikan langsung disajikan dan selanjutnya akan di analisis. Penyajian data dalam penelitian ini dilakukan dalam bentuk tabel, grafik-grafik dan penyajian deskriptif. Analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif untuk menjelaskan pengertian, mendeskripsikan pola kehidupan Suku Bajo masa lalu dan perilaku Suku Bajo saat ini dalam kaitannya dengan peraturan formal pengelolaan taman nasional. BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan

Mola merupakan perkampungan Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan, dengan membentuk perkampungan pada pesisir pantai dan menjorok sampai pada perairan dangkal. Dulunya lokasi ini merupakan perkampungan yang merupakan ciri khas Suku Bajo, dengan menggunakan rumah-rumah panggung di atas laut. Mereka dihubungkan dengan jembatan dan perahu-perahu kecil sebagai alat transportasi utama untuk mengakses daratan. Perahu ini juga merupakan alat untuk mencari nafkah sebagai nelayan tradisional. Namun saat ini sebagian besar telah terbuat dari beton yang didirikan di atas lahan hasil reklamasi menggunakan batu karang. Berdasarkan catatan sejarah, Suku Bajo yang tersebar di banyak tempat di Indonesia memiliki asal usul yang sama. Sejumlah antropolog menjelaskan bahwa kecintaan Suku Bajo terhadap laut bermula ketika mereka berusaha menghindari peperangan dan kericuhan di darat. Saad 2010 mencatat bahwa nenek moyang Suku Bajo memasuki Pulau Sulawesi sekitar tahun 1698. Penyebaran Suku Bajo yang terdapat diberbagai daerah disebabkan karena kebiasaan mereka menyeberangi lautan lepas. Filosofi hidup Suku Bajo sebagai manusia perahu yang diberikan pada Suku Bajo dikarenakan kebiasaan mereka yang selalu berpindah-pindah. Diperkirakan pada tahun 1950an Suku Bajo mulai menempati Wakatobi Stanley 2005. Hal ini didasarkan pada potensi keanekaragaman laut Wakatobi yang sangat melimpah, sehingga dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Suku Bajo di Wakatobi awalnya menempati Pulau Kaledupa. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat, Suku Bajo memasuki Pulau Wangi-wangi sekitar tahun 1955 dan menempati wilayah adat Mandati. Masyarakat adat Mandati merupakan salah satu komunitas masyarakat adat di Pulau Wangi-wangi yang memiliki kelembagaan adat yang jelas. Berdasarkan penjelasan dari tokoh adat Mandati, Suku Bajo yang diijinkan untuk menempati wilayah adat Mandati hanya 30 KK. Namun penduduk Suku Bajo terus bertambah dari waktu ke waktu. Hal ini dikarenakan sekitar tahun 1960an banyak Suku Bajo dari tempat lain datang dan menetap di Pulau Wangi-wangi, karena potensi perikanannya masih cukup melimpah. Seiring berjalannya waktu Suku Bajo di Pulau Wangi-wangi semakin bertambah, sehingga pada tahun 1977 perkampungan Suku Bajo telah menjadi dua desa pemerintahan, yaitu Desa Mola Utara dan Desa Mola Nelayan Bakti. Jumlah penduduk Suku Bajo terus mengalami peningkatan dan perkampungan masyarakat terus bertambah luas. Hingga saat ini jumlah penduduk Bajo di Mola mencapai 6.883 jiwa dan terdiri dari 1.846 kepala keluarga BPS Wakatobi 2010. Kondisi ini menyebabkan Desa Mola saat ini terbagi lima desa pemerintahan yaitu Desa Mola Selatan, Mola Utara, Mola Samaturu, Mola Bahari dan Mola Nelayan Bakti. Awalnya Suku Bajo merupakan masyarakat yang hidup secara tradisional, mulai dari bentuk perumahan sampai penggunaan alat tangkap. Namun pada tahun 1960-1970 kebijakan modernisasi perikanan oleh pemerintah, yang dimulai dengan motorisasi perahu mulai mengenalkan peralatan-peralatan modern dalam dunia kelautan Saad 2010. Tahun 1980-1990 masyarakat mulai membangun rumah- rumah permanen dari beton. Di mulai dengan menimbun kolong rumah dengan menggunakan terumbu karang. Salah satu faktor yang mempengaruhi adalah masyarakat mulai merasa nyaman menempati perkampungan ini. Selain itu, ternyata keberadaan tengkulak ikan juga mempengaruhi masyarakat untuk membangun rumah-rumah permanen. Berdasarkan hasil wawancara, Suku Bajo menyatakan mereka lebih dipercaya tengkulak ikan ketika mereka memiliki rumah yang bagus. Kegiatan pemanfaatan sumberdaya laut yang semakin tinggi dan dilakukan dengan cara-cara eksploitatif menyebabkan ancaman keberlanjutan ekologi perairan Wakatobi akan terancam. Padahal ekosistem perairan Wakatobi merupakan layanan ekologi dan ekonomi yang sangat penting. Mengingat pentingnya perairan Wakatobi sebagai layanan ekologi dan ekonomi untuk masa mendatang maka pemerintah menetapkan kawasan tersebut menjadi kawasan taman nasional. Keberadaan taman nasional diperuntukan untuk melindungi kondisi ekosisitem perairan Wakatobi yang kegiatan pemanfaatannya tidak lagi dilakukan dengan konsep keberlanjutan. Hal ini dibuktikan dengan kondisi dilapangan yang masih terjadi pemanfataan sumberdaya laut yang dilakukan oleh masyarakat dengan cara-cara yang eksploitatif. Lebih mengherankan lagi kegiatan-kegiatan seperti pengambilan karang, pasir dan jenis satwa yang dilindungi dilakukan dengan sangat bebas dan terbuka. Kegiatan penambangan karang dan pasir laut yang dilakukan oleh Suku Bajo sangat sulit untuk diberhentikan. Selain kegiatan tersebut merupakan sumber penghasilan, pemerintah daerahpun membutuhkannya sebagai bahan pembangunan infrastruktur. Pada tahun 2003 Kabupaten Wakatobi di bentuk sebagai pemekaran dari Kabupaten Buton. Sehingga Kawasan Kepulauan Wakatobi merupakan satu wilayah otonom yang letak dan luasnya sama persis dengan letak dan luas TNW. Otonomi daerah dengan pijakan hukum Undsng-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pertimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah merupakan momentum sangat berharga untuk melakukan perubahan-perubahan dalam segala aspek penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Dengan kewenangan yang dimilikinya, Pemerintah Daerah Wakatobi dapat melakukan perubahan kerangka kebijakan pengelolaan sumberdaya alam agar lebih sesuai dengan kebutuhan dan karakterisitik ekologis, sosial dan ekonomi. Penetapan kawasan perairan Wakatobi menjadi taman nasional seharusnya memberi perlindungan terhadap sumberdaya laut yang esensial, salah satunya terumbu karang. Namun sebagai daerah yang baru melakukan pemekaran pastinya membutuhkan pembangunan yang luar biasa, baik dari bentuk infrastruktur maupun pembangunan ekonomi. Hasil penelitian yang dilakukan sampai saat ini pembangunan infrastruktur kabupaten masih menggunakan karang dari dalam kawasan taman nasional yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah dalam hal ini Kementrian Kehutanan. Berdasarkan kasus tersebut terlihat perbedaan dua kepentingan wewenang yang berbeda. Taman nasional berhak melindungi degradasi sumberdaya laut yang dilindungi, namun Pemerintah Daerah membutuhkan sumberdaya tersebut untuk menjalankan pembangunan yang diharapkan dapat meningkatkan kesejahtraan masyarakat Wakatobi nantinya. Penjelasan di atas memberikan gambaran bahwa pergeseran nilai tradisional yang diindikasikan dengan kegiatan eksploiatsi sumberdaya laut yang dilakukan oleh masyarakat Bajo telah berlangsung sebelum TNW terbentuk. Namun hingga saat ini kegiatan tersebut masih terus berjalan, bahkan terkesan mendapat dukungan dari Pemerintah Daerah. Secara keseluruhan sejarah pemanfaatan sumberdaya laut Wakatobi oleh Suku Bajo disajikan pada Tabel 3. Tabel 3 Sejarah Pemanfaatan Sumberdaya Laut Wakatobi oleh Suku Bajo Tahun Sejarah Pemanfaatan Sumberdaya Laut Faktor Pendorong Sumber 1698 Nenek moyang Suku Bajo memasuki Sulawesi, tepatnya ke Goa Kebiasaan Suku Bajo menyeberangi lautan Saad 2009 1950an Suku Bajo memasuki Wakatobi Pulau Kaledupa Potensi perikanan Wakatobi yang melimpah Stanley 2005, Saad 2009 1955 Suku Bajo mulai menempati wilayah adat Mandati Mola sebanyak 30 KK Mola dianggap memenuhi kriteria tempat tinggal mereka Wawancara 2010 1960an Suku Bajo mulai berdatangan ke Mola Potensi perikanan yang cukup dan lingkungan yang aman Wawancara 2010 1960an- 1970an Masyarakat mulai mengenal alat-alat moderen untuk melaut Kebijakan moderenisasi perikanan oleh pemerintah, dimulai dengan motorisasi perahu Saad 2009 1977 Pemekaran perkampungan menjadi dua desa pemerintahan Peningkatan jumlah Suku Bajo di Mola Wawancara 2010 1980 Penggunaan karang sebagai fondasi rumah Tingkat kenyamanan dan status sosial yang lebih tinggi dengan rumah beton yang lebih tinggi Wawancara 2010 1990 Pemanfaatan masyarakat mulai terkosentrasi pada jenis-jenis ikan tertentu Penggunaan potasium untuk meningkatkan jumlah tangkapan ikan Masuknya tengkulak- tengkulak ikan dari Jawa dan Bali Stanley 2005, Balai TNW 2008 1997 Penetapan TNW, sehingga pembatasan pemanfaatan sumberdaya laut Meminimalisasi degradsi sumberdaya laut Wakatobi Balai TNW 2008 2003 Pemekaran Kabupaten Wakatobi Desentralisasi pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat Balai TNW 2008 2000- 2010 Masih terjadi pemanfaatan yang bertentangan dengan pengelolaan TNW Sumberkehidupan masyarakat Wawancara 2010 5.2 Karakteristik Suku Bajo Kecamatan Wangi-wangi Selatan 5.2.1 Kondisi Penduduk