4. Hilangnya hak-hak masyarakat adat termasuk hak untuk hidup dan bertahan
sesuai dengan identitas dan keunikan tradisi budaya serta hak untuk menentukan diri sendiri.
Setyadi 2006 menyatakan akomodasi kepentingan masyarakat sering berakar pada konflik penguasaan lahan dan akses atas sumberdaya alam, karenanya
kesepakatan penataan hak masyarakat harus diikuti secara tegas oleh penegakan fungsi taman nasional oleh negara, diikuti dengan pemberian intensif yang adil
sebagai kompetensi atas hilangnya hak dan akses masyarakat akibat penetapan fungsi tersebut.
2.4 Pengelolaan Sumberdaya Laut dan Pembangunan Daerah
Konservasi dan pembangunan seharusnya berjalan harmonis, sehingga yang menjadi fokus adalah melaksanakan pembangunan yang ikut mendukung
peningkatan kualitas lingkungan Soemarwoto 1994. Secara konsepsional, antara Balai TNW dan Pemda Wakatobi menyadari hal tersebut, sehingga kesepakatan
revisi zonasi dan revisi perencanaan jangka panjang TNW maupun RPJP Kabupaten Wakatobi meletakkan pembangunan daerah dan konservasi yang saling menunjang
Balai TNW 2008. Masyarakat merupakan subyek sekaligus obyek dalam pembangunan
sehingga pembangunan seharusnya melibatkan masyarakat dan hasilnya dapat dinikmati oleh masyarakat juga. Kerusakan pada sumberdaya alam di wilayah
pesisir antara lain terumbu karang, penurunan mangrove akibat perubahan penggunaan lahan, kenaikan jumlah nutrisi dan sedimentasi akibat ulah manusia
sebagian besar dipengaruhi oleh kegiatan membangun infrastruktur Dahuri 2003.
Tradisi pengambilan karang sebagai bagian dari kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat Bajo menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah,
terutama pengelola TNW. Apalagi kegiatan pembangunan perumahan dengan cara yaang demikian sampai saat ini masih terus berjalan. Padahal menurut Dahuri et al.
1996 ekosistem terumbu karang mempunyai produktivitas organik yang tinggi dan kaya akan keragaman spesies yang dapat memenuhi kebutuhan hidup manusia,
sehingga kerusakan terumbu karang akan menimbulkan efek yang besar. Selanjutnya Mitchell at el 2000 menyatakan bahwa sebenarnya tidak ada masyarakat dan
pemerintah yang sengaja menghambat kelestarian lingkungan mereka, tapi dengan terus berlangsungnya masalah lingkungan yang disebabkan oleh dampak negatif
kegiatan manusia merupakan tanda bahwa keberlanjutan masih diragukan. Peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan paralel dengan
tekanan terhadap lingkungan, terutama di wilayah pesisir. Untuk mengatasi permasalahan itu diperlukan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu,
karena ekosistem sumberdaya dapat pulih harus dikelola untuk menyediakan hasil pada tingkat berkelanjutan Dahuri et. al 1996.
BAB III GAMBARAN UMUM KAWASAN PENELITIAN
3.2
Letak, Luas dan Batas Administrasi
Taman Nasional Wakatobi TNW secara geografis terletak di antara 5°12 - 6°10 LS dan 123°20 -124°39 BT. Total luas wilayah daratan seluas ± 823 km² dan
wilayah perairan laut diperkirakan seluas ± 18.377,31 km
2
Balai TNW 2008.
Sumber : Balai TNW 2008
Gambar 1 Peta kawasan Taman Nasional Wakatobi. Secara administratif, awalnya Kepulauan Wakatobi termasuk dalam
Kabupaten Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara, namun sejak tahun 2004, terbentuk Kabupaten Wakatobi yang merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Buton
dengan letak dan luas yang sama dengan TNW. Batas-batas Kepulauan Wakatobi secara geografis adalah
a. Sebelah Utara berbatasan dengan Laut Banda dan Pulau Buton,
b. Sebelah Timur berbatasan dengan Laut Banda,
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores, dan
d. Sebelah Barat berbatasan dengan Pulau Buton dan Laut Flores.
3.2 Sejarah Kawasan