Penyu Penambangan Karang dan Pasir

merupakan kegiatan yang seharusnya menjadi perhatian dari pemerintah baik pengelola TNW maupun Pemda. Bila dibiarkan terus terjadi memanfaatann jenis yang dilindungi ini, kemungkinan besar jenis ini akan punah. Hal ini dikarenakan aktifitas pemanfaatanya dapat dilakukan sepanjang tahun Lihat Tabel 7.

e. Penyu

Penyu merupakan salah satu spesies yang menjadi prioritas dalam pengelolaan TNW dan menjadi salah satu spesies prioritas dalam Renstra Kementrian Kehutanan. Dari tujuh jenis yang ada di dunia, Indonesia memiliki enam jenis penyu, dua jenis di antaranya terdapat di Wakatobi yaitu penyu hijau Chelonia mydas dan penyu sisik Eretmochelys imbricata Balai TNW 2007. Beberapa responden mengakui masih memanfaatkan penyu, namun penyu yang ditangkap adalah penyu yang secara tidak sengaja tersangkut pada jaring mereka bukan sengaja dicari. Penyu dimanfaatkan sebagai bahan makanan oleh Suku Bajo dan masyarakat Wakatobi lainnya. Menurut pengakuan masyarakat, penyu biasanya dijual pada masyarakat darat, baik daging, telur dan cangkang penyu. Sebelum menjualnya, penyu hasil tangkapan masyarakat biasanya dipelihara pada kolong-kolong rumah atau disekitar halaman rumah mereka Gambar 17. Hasil operasi yang dilakukan pegawai taman nasional pada bulan Juni 2010 menemukan 30 ekor penyu yang dipelihara pada kolong-kolong rumah oleh Suku Bajo di Mola. Dari penyu-penyu tersebut terdapat 24 penyu sisik yang tergolong langka. Temuan ini cukup mengejutkan karena di Wakatobi ternyata banyak juga penyu sisik yang menurut data monitoring jarang ditemukan. . Gambar 17 Penyu yang dipelihara pada kolong rumah masyarakat.

e. Penambangan Karang dan Pasir

Pemanfaatan karang oleh Suku Bajo di Kecamatan Wangi-wangi Selatan tergolong tinggi. Selain untuk perkampungan masyarakat, karang saat ini dimanfaatkan sebagai sumber penghasilan. Seluruh responden memanfaatkan terumbu karang, namun hanya 35,71 responden yang masih melakukan kegiatan penambangan saat ini. Intensitas penambangan karang berjalan setiap hari dengan rata-rata pengambilan 1,5 m 3 setiap harinya. Sehingga dari 35,71 responden dapat mengeksploitasi terumbu karang 37,5 m 3 setiap harinya . Berdasarkan kalender pemanfaatan pada Tabel 7 kegiatan penambangan merupakan kegiatan yang tidak dipengaruhi oleh musim dan dapat berjalan sepanjang tahun. Sehingga masyarakat dapat mengeksploitasi karang sebesar 1.125 m 3 setiap bulannya dan 13.500 m 3 di setiap tahunnya. Padahal terumbu karang pesisir memiliki manfaat yang besar untuk perlindungan dari abrasi pantai. Gambar 18 Kegiatan pengangkutan karang. Kegiatan penambangan karang yang dilakukan Suku Bajo di Mola bukanlah hal yang baru. Kegiatan penambangan telah berjalan lama sebelum taman nasional ditetapkan. Pasir bagi suku Bajo merupakan sumber penghasilan yang dapat memenuhi kebutuhan keluarga. Hal ini dikarenakan masyarakat dan pemerintah daerah memerlukannya untuk pembangunan pemukiman dan infrastruktur pemerintahan lainnya. Sehingga pemanfaatannya tergolong bebas, padahal lokasi pemanfaatannya berada dalam kawasan taman nasional yang pemanfaatannya diatur oleh peraturan perundang-undangan. Intensitas pemanfaatan pasir juga tergolong tinggi dibandingkan dengan pemanfaatan karang. Hasil monitoring yang dilakukan pada lokasi penimbunan pasir di sekitar perkampungan Suku Bajo menemukan 50 perahu pengangkut pasir dan semuanya adalah masyarakat Bajo. Satu perahu dapat mengangkut pasir 0.5-1 m 3 dan dapat mengangkut pasir sebanyak 6-7 kali sehari. Berdasarkan perhitungan kasar, dalam satu hari setiap perahu tersebut dapat mengangkut 3 m 3 pasir, sehingga untuk 50 perahu dapat mengangkut 150 m 3 pasir setiap harinya. Hal yang sama dengan penambangan karang kegiatan penambangan pasir dapat dilakukan sepanjang tahun dan dapat dipastikan berapa besar degradasi pantai akibat penambangan tersebut. Gambar 19 Kegiatan pengangkutan pasir. Pemanfaatan sumberdaya laut juga dipengaruhi oleh para pedagang pengumpul yang memiliki hubungan sangat baik dengan masyarakat. Pedagang pengumpul biasanya memanfaatkan tradisi hidup masyarakat yang biasa mengambil uang sebelum melaut. Hal seperti ini banyak terjadi di Suku Bajo, Mola dan Suku Bajo lainnya, seperti pada Suku Bajo di Teluk Bone Sulawesi Selatan, inilah yang mengakibatkan ketergantungan sosial dan ekonomi yang sangat tinggi Saleh 2004. Tengkulak ikan, penampung pasir, karang dan tripang serta pengumpul ikan hidup juga ditemukan di Mola. Kerusakan dan degradasi sumberdaya alam di kawasan TNW berkaitan erat dengan alat tangkap yang digunakan oleh masyarakat. Keberadaan tengkulak sangat menentukan pola pemanfaatan sumberdaya laut, baik dari intensitas pemanfaatan maupun penggunaan alat tangkap. Masyarakat mengakui ketika tidak dapat melaut karena musim ombak, mereka hanya mengandalkan pinjaman dari tengkulak. Kondisi inilah yang menyebabkan masyarakat sangat tergantung dengan keberadaan para tengkulak, karena diiming-iming dengan keuntungan yang besar. Sebagai contoh pada penangkapan ikan hidup, saat ini banyak masyarakat yang beralih profesi ke nelayan ikan karang hidup karena dianggap memiliki keuntungan yang lebih. Padahal kegiatan penangkapannya biasanya menggunakan bahan kimia, tanpa menggunakan bahan kimia sangat sulit untuk menangkap ikan dalam kondisi hidup. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa masyarakat, teridentifikasi jenis- jenis alat tangkap yang pernah dan masih digunakan sampai sekarang, yaitu bubu, pancing senar, jaringlamba, tombak, potasium dan bom.

a. Bubu