Pembangunan Peternakan Sapi Potong

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan Peternakan Sapi Potong

Peranan sub-sektor peternakan pada perekonomian Indonesia menurut Bachtiar 1991 dipengaruhi oleh indikator yang digunakan. Suatu wilayah mempunyai potensi pengembangan komoditi pertanian peternakan pada kawasan strategis dan sentra produksi antara lain karena adanya sejumlah populasi ternak yang dikaitkan dengan kepadatan ternak, luas area untuk pengembangan ternak, sarana dan prasarana pendukung, tingkat produktivitas atau efisiensi usaha dan adanya peluang pasar. Penentuan wilayah potensi kurang tepat bila dikaitkan dengan batas administrasi, seperti penetapan potensi wilayah peternakan didasarkan pada prinsip tata ruang daerah. Populasi ternak dijadikan indikator untuk melihat pengaruh jumlah populasi ternak terhadap variabel-variabel jumlah penduduk, Produk Domestik Regional Bruto PDRB per kapita, luas padang rumput, luas tegalanladang dan luas sawah dari berbagai data populasi ternak di seluruh Indonesia. Populasi ternak sapi ternyata hanya dipengaruhi oleh variabel luas sawah dan erat perkembangannya dengan usaha tani padi sawah. Penduduk dan PDRB mempunyai hubungan kuat hanya terhadap jumlah ternak dan usaha ternak yang bersifat tradisional. Jumlah dan usaha ternak tidak akan berkembang tanpa penduduk walaupun areal tersedia. Dalam hal ini Bachtiar 1991 menyatakan sebagai berikut. 1. Semakin tinggi tingkat pendapatan per kapita, maka semakin kecil jumlah ternak. Hal ini menunjukan bahwa usaha peternakan hanya berkembang di wilayah yang relatif miskin, dimana tambahan pendapatan dari sektor lain belum terbuka. 2. Kebijaksanaan pemerintah untuk mendorong kegiatan investasi swasta sangat diperlukan terutama kebijakan deregulasi untuk menekan biaya produksiharga input dan penyediaan informasi potensi suatu daerah perlu dikembangkan untuk menarik investor di bidang peternakan. 3. Usaha peternakan rakyat di wilayah yang relatif belum berkembang perekonomiannya berpotensi besar ditingkatkan teknologinya, sehingga dapat memberikan sumber pendapatan yang lebih menarik. Semakin tinggi pendapatan per kapita di suatu wilayah, semakin berkurang populasi ternaknya, jumlah penduduk dan areal sawah akan menentukan konsentrasi ternak yang dikembangkan dengan memanfaatkan areal padang rumput dan membentuk usaha peternakan yang berskala besar dan intensif. Perkembangan peternakan dapat dilihat dari tingkat pertumbuhan atau kemandirian kelompok ternak di suatu kawasan pengembangan. Kondisi kawasan peternakan ditentukan oleh tingkat pertumbuhan berdasarkan perkembangan agroekosistem. Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002 membagi tingkat kawasan pertumbuhankemandirian kelompok ternak, yaitu kawasan baru, kawasan binaan, dan kawasan mandiri. 1. Kawasan baru. Merupakan daerah atau wilayah kosong ternak atau jarang ternak yang memiliki potensi untuk pengembangan peternakan. Peternak telah memiliki usaha tani lain di samping peternakan. Kelompok belum terbentuk atau sudah ada akan tetapi belum memiliki kelembagaan yang kuat kelompok pemula. Tersedia lahan untuk bahan pakan ternak, limbah pertanian yang dapat digunakan sebagai salah satu sumber bahan makanan ternak dan peran pemerintah pada pelayanan, pengaturan dan pengawasan. 2. Kawasan Binaan. Merupakan perkembangan lebih lanjut dari kawasan baru setelah memenuhi berbagai persyaratan yang ditentukan untuk kawasan binaan. Wilayah telah berkembang sesuai dengan perkembangan dan peningkatan kemampuan kelompok dari kelompok pemula menjadi kelompok madya dan masing-masing kelompok telah memiliki populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis. Telah dirintis adanya kerjasama antar kelompok dalam bentuk usaha bersama agribisnis KUBA. Telah dirintis pendirian unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana dan unit pemasaran. Peran pemerintah sama seperti pada kawasan baru, namun peran pelayanan mulai sudah berkurang. 3. Kawasan Mandiri. Merupakan lanjutan dari perkembangan kawasan binaan yang telah lebih maju dan berkembang dalam suatu wilayah yang lebih luas. Terdapat kelompok petani yang meningkat kemampuannya menjadi kelompok lanjut dan telah bekerjasama antara beberapa kelompok dalam wadah KUBA Kelompok Usaha Bersama Agribisnis, dan dapat dikembangkan beberapa KUBA dan saling bekerja sama. Terdapat populasi minimal dengan skala usaha yang ekonomis per kepala keluarga, per kelompok, per KUBA dan perkembangan populasi minimal untuk satu kawasan. Terdapat unit-unit pelayanan, unit-unit pengembangan sarana produksi dan unit pemasaran yang efisien, sehingga ada kemandirian petani peternak, kelompok KUBA dan kawasan. Pada kawasan mandiri peran pemerintah hanya dalam pengaturan dan pengawasan. Dalam pengembangan peternakan sapi potong terdapat beberapa aspek sarana dan prasarana yang penting diperhatikan selain aspek karakteristik komoditas dan pemasaran, yaitu aspek teknis produksi, suhu dan lokasi lingkungan. Aspek teknis produksi dan suhu lingkungan yang sesuai sangat menentukan mutu hasil industri sapi potong. Aspek teknis produksi meliputi keadaan perkandangan baik fungsi, model kandang, bahan dan konstruksi, ukuran dan letak bangunan kandang Santosa, 2000. Peralatan dan bangunan penunjang merupakan peralatan yang dibutuhkan dalam aspek teknis produksi. Peralatan penunjang tersebut yaitu tempat pakan dan minum dan peralatan kebersihan Sugeng, 2001. Bangunan penunjang dalam aspek teknis antara lain gudang untuk penyimpan pakan dan peralatan, tempat pemotongan hewan, bak dan saluran limbah serta handling yard yaitu fasilitas yang diperlukan untuk menangani berbagai fungsi, seperti penimbangan, pemeriksaan dan pengobatan sapi, pemuatan atau pembongkaran ternak dari atau ke kendaraan. Menurut Dirjen Bina Produksi Peternakan 2002 sarana dan prasarana pendukung pengembangan kawasan pengembangan sapi potong adalah 1 sarana produksi, yaitu adanya industri bibitbakalan ternak, industri obat dan vaksin, 2 untuk pengamanan budi daya antara lain tersedianya poskeswan dan pos inseminasi buatan IB, 3 untuk pengamanan pasca panen dan pengolahan hasil diperlukan adanya rumah potong hewan, industri pengolah daging dan produk ternak lainnya, 4 untuk pemasaran adalah adanya holding ground, pasar hewan, sarana transportasi, 5 untuk pengembangan usaha, terdapatnya kelembagaan keuangan permodalan, penyuluh, koperasi, lembaga peneliti dan kelembagaan pasar dan 6 untuk prasarana pendukung lainnya, yaitu tersedianya jalan, listrik dan air. Masalah sumber pembelian dan kualitas bakalan bibit sangat penting diketahui dalam usaha pembibitan sapi maupun penggemukan. Pemilihan semen beku bakalan merupakan aspek penting dalam pembibitan maupun penggemukan sapi Sarwono dan Arianto, 2001, begitu juga dengan ketersediaan jenis pakan yang berkualitas dan pakan tambahan atau konsentrat, disesuaikan penggunaannya dalam usaha peternakan sapi potong Hendratno dan Hendratno, 1991; Jamarun, 1991. Menurut Dinas Peternakan Sumbar 2000a, peternak sapi di Sumatera Barat umumnya mengusahakan ternak sapi potong melalui usaha sapi bibit bakalan dan usaha penggemukan. Usaha peternakan umumnya hampir merata di seluruh kabupaten dan kota, namun lebih terkonsentrasi pada kawasan sentra peternakan yang disebut Lumbung Ternak Nagari. Pembangunan lumbung ternak nagari ditetapkan atas empat kebijakan pokok Dinas Peternakan Sumbar, 2002a sebagai berikut. 1. Pengembangan peternakan dilaksanakan pada kawasan sentra produksi peternakan, 2. Pengembangan usaha kecil menengah, terutama pada akses permodalan dan pasar melalui peran pemerintah sebagai fasilitator, 3. Pendekatan pelayanan publik oleh pemerintah harus menyediakan sarana dan sumber daya manusia sesuai kewenangannya, 4. Penyerahan kewenangan kepada kabupatenkota menyangkut aspek a perizinan penanaman modal dalam negeri, b kesehatan penyakit hewan menular, c pengaturan pasokan dan permintaan, dan d pelarangan dan pemusnahan bahan-bahan asal ternak yang masuk secara illegal. Salah satu kawasan sentra produksi KSP di Sumatera Barat, yaitu Kabupaten Agam mengembangkan KSP dengan mengintegrasikan pengembangan budi daya tanaman pangan dengan peternakan Madarisa, 2000. Pengembangan agribisnis sapi potong di Kabupaten Agam Sumatera Barat diperlukan strategi ekspansi dalam investasi dan memperkuat kelompok peternak sapi Noer-TA, 2002. Strategi ekspansi dalam investasi yaitu pengembangan investasi dimana modal usaha yang ditanam dimanfaatkan untuk tujuan usaha peternakan yang produktif dengan pelaku atau kelembagaan yang berperan dalam ekspansi investasi tersebut adalah lembaga keuangan. Strategi memperkuat kelompok peternak sapi dilakukan agar usaha peternakan yang berbadan hukum dengan pelaku atau aktor yang berperan pengusaha swasta yang perlu didukung oleh kebijakan pemerintah yang kondusif. Promosi kawasan sebagai sentra sapi bibit dan sapi potong perlu dilakukan sesuai dengan karakteristik agar dapat menarik investor atau peran perantau untuk berinvestasi di kampung halaman. Kerjasama dengan investor atau pengusaha swasta diperlukan dalam mengembangkan agribisnis sapi potong melalui pola kemitraan. Peningkatan jumlah hasil ternak sapi potong dalam pengembangan peternakan seharusnya diikuti dengan peningkatan kualitas dari produk yang dihasilkannya. Berdasarkan standar kawasan agribisnis peternakan Tim Fapet IPB, 2002 pengembangan peternakan pada suatu kawasan harus menghasilkan produk yang berkualitas, seperti kualitas dari daging sapi sangat ditentukan oleh jumlah kandungan lemaknya, bobot total daging dan lemak sapi ditentukan oleh bobot karkasnya, menurut Priyanto et al. 1997; 1999 bobot karkas segar merupakan indikator yang akurat dalam memprediksi bobot total daging yang dihasilkan. Peningkatan kualitas hasil sapi potong juga dipengaruhi oleh pakan yang diberikan selama proses pemeliharaan atau budidaya ternak sapi. Sapi potong yang diberikan pakan yang sesuai, mempunyai kandungan lemak lebih rendah serta serat- serat yang sangat lembut dibanding jenis ternak besar lainnya dan disukai konsumen. Priyanto et al. 1999 menyatakan bahwa daging sapi lebih disukai karena kelembutan, mempunyai sedikit kandungan lemak dan sejumlah kandungan air daging. Penggemukkan sapi menggunakan pakan tambahan Boosdext menurut Sarwono dan Arianto 2001 dapat efektif meningkatkan pertambahan bobot sapi dalam waktu dua sampai tiga bulan dan serat-serat daging sapi yang dihasilkan sangat lembut, sedangkan menggunakan Starbio dan Bioplus membutuhkan waktu lebih lama, yaitu enam sampai delapan bulan pemeliharaan. Penggunaan teknologi Boosdext menghasilkan daging yang berkualitas dengan kandungan lemak yang rendah, yaitu sebesar 1,68 persen Uje, 1999; Hadi, 2000; Hadi dan Sediono, 2000. Pemberian pakan tambahan seperti Starbio, Bioplus dan Bossdext digunakan untuk mengatur keseimbangan mikroorganisme di dalam rumen alat pencernaan. Menurut Priyanto et al. 1999 nilai jual produk daging sapi di pasaran bervariasi sesuai dengan segmentasi pasar dan tingkat kualitasnya. Daging sapi mempunyai nilai ekonomi mutu maupun harga lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil ternak besarkecil lainnya Sugeng, 2001.

2.2. Alternatif Pengembangan Agroindustri Sapi Potong