7.4. Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong
Model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat terdiri atas beberapa aspek, yaitu: aspek teknis, sumber pembiayaan, dan
resolusi konflik yang terjadi. Hasil penilaian agregatif dilakukan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data, sistem manajemen basis model dan sistem manajemen
basis pengetahuan. 7.4.1. Teknis Perencanaan
Aspek teknis yang di disain dalam model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong terdiri atas beberapa submodel, yaitu 1 submodel kelayakan
pasar, 2 submodel pengembangan produk, 3 submodel lokasi pengembangan, 4 submodel perencanaan produksi.
A. Kelayakan Pasar Pengembangan peternakan sapi potong terutama ditujukan untuk peningkatan
populasi dan produksi ternak yang mampu menyediakan protein hewani berupa daging dan bahan baku industri hasil ternak sapi potong. Daging merupakan salah
satu produk utama hasil ternak sapi potong. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, permintaan akan kebutuhan daging sapi sebagai sumber protein hewani
untuk konsumsi atau olahan pengawetan cenderung terus meningkat. Prospek produk agroindustri sapi potong utama berupa daging sangat dipengaruhi oleh
fluktuasi permintaan pasar domestik dan pasar luar negeri. Proses prediksi dilakukan dengan mengaktifkan data kelayakan pasar, yaitu permintaan dan potensial pasar.
Data permintaan total produk utama hasil ternak daging sapi 13 periode dengan inisialisasi tahun 1993 dihasilkan dari masukan data sekunder Statistik
Peternakan Tahun 1993 – 2005 dari Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat 1994-2006, yakni: 1 data konsumsi per kapita per tahun produk utama hasil ternak
daging sapi, 2 data jumlah konsumen produk. Data permintaan total daging sapi berdasarkan jumlah konsumen dan konsumsi per kapita disajikan pada Tabel 2. Data
permintaan total yang dihasilkan dari Tabel 2 dilakukan prediksi dengan program SAS. Pada Tabel 2 terlihat bahwa permintaan trotal daging sapi untuk kebutuhan
konsumsi 1993-2005 cenderung meningkat setiap tahunnya. Permintaan total produk utama hasil ternak daging sapi per tahun dihitung menggunakan pendekatan sisi
permintaan demand berdasarkan kebutuhan per kapita per tahun terhadap jumlah konsumen pengguna produk Nitisemito dan Burhan, 1995. Data permintaan produk
yang diprediksi adalah permintaan total produk tahun 1993 sampai tahun 2005. Permintaan total produk merupakan jumlah kebutuhan produk yang dikonsumsi, yaitu
hasil perkalian dari jumlah produk yang konsumsi dengan jumlah konsumen setiap tahunnya. Pengolahan data dilakukan berdasarkan metoda prediksi dengan
pendekatan time series. Beberapa model prediksi yang digunakan pada penelitian adalah: 1 Exponential Smoothing Method EXPO; 2 Stepwise Autoregressive
Method STEPAR; dan 3 Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal Method WINTERS Sitepu dan Sinaga, 2006.
Tabel 2. Permintaan total daging sapi berdasarkan jumlah konsumen dan konsumsi di Sumatera Barat
Jumlah Konsumen
Konsumsi Permintaan
Tahun Pengguna per Kapita
Total orang
kgtahun kg
1993 4.162.563 1,273
5.298.943 1994 4.071.498
1,395 5.679.740
1995 4.270.517 1,337
5.709.681 1996 4.359.805
1,315 5.733.144
1997 4.426.893 1,217
5.387.529 1998 4.492.986
1,244 5.589.275
1999 4.557.383 1,239
5.646.598 2000 4.605.548
1,598 7.359.666
2001 4.285.954 1,507
6.458.933 2002 4.272.970
1,435 6.131.712
2003 4.339.423 1,701
7.381.359 2004 4.406.910
1,869 8.236.515
2005 4.560.453 1,962
8.947.609
Sumber: Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat Tahun 1993-2005
Metode STEPAR mengkombinasikan kecenderungan waktu time trend dengan model autoregressive dan menggunakan metoda stepwise untuk memilih lag
yang digunakan pada proses autoregressive, metode EXPO menghasilkan peramalan kecenderungan waktu, tetapi dalam trend yang tepat, parameter-parameter diijinkan
untuk dirubah secara berangsur-angsur dari waktu ke waktu. Dengan pengamatan awal yang diberikan pembobot secara eksponensial menurun, sedangkan metode
WINTERS merupakan metode yang mengkombinasikan kecenderungan waktu dengan faktor perkalian musiman dalam menghitung fluktuasi musiman series. Metoda
ini juga diijinkan untuk merubah parameter secara berangsur-angsur dari waktu ke
waktu, dengan pengamatan awal yang diberikan pembobot secara eksponensial secara eksponensial menurun.
Beberapa model prediksi dilakukan, tetapi analisis kelayakan pasar terhadap permintaan total DEMD produk yang ditentukan dari jumlah kebutuhan produk yang
dikonsumsi hasil perkalian dari jumlah produk yang konsumsi dan jumlah konsumen setiap tahun menunjukkan bahwa nilai prediksi dengan Stepwise Autoregressive
Method STEPAR terhadap variabel jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk mempunyai tingkat kesalahan paling kecil, yakni dengan MAE = 538938.48; RMSE =
663938,9
;
dan MSE = 4.41E11 merupakan model terbaik dibanding beberepa model
prediksi lain. Pengolahan data berdasarkan metoda prediksi time series pada model prediksi
Exponential Smoothing Method EXPO menghasilkan nilai prediksi dengan tingkat kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = 727950.08; RMSE =
989448.1; dan MSE = 9.79E11. Hasil pengolahan dengan Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal
Method WINTERS juga dihasilkan nilai prediksi permintaan total dengan tingkat kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = 554260.81; RMSE =
797312.5; dan MSE = 6.36E11. Perbandingan analisa statistik dari beberapa metode prediksi terhadap jumlah konsumen user ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil verifikasi analisa statistik prediksi permintaan total daging sapi di Sumatera Barat
Analisis Statistik No
Metode Prediksi
ME MAE
MPE MAPE
RMSE MSE
1. Eksponential Smoothing
Method expo
- 4 7 7 8 0 5 . 1 7 2 7 9 5 0 . 0 8
- 6 . 9 8 7 5 1 0 . 9 5
9 8 9 4 4 8 . 1 9 . 7 9 E1 1
2. Stepwise Autoregressive
Method Stepar
- 1 . 4 3 3 E- 9 5 3 8 9 3 8 . 4 8
- 0 . 7 3 7 7 8 . 4 6
6 6 3 9 3 8 . 9 4 . 4 1 E1 1
3. Winters Exponentially
Smoothed Trend- Seasonal Method
winters
2 2 2 9 6 5 . 8 2 5 5 4 2 6 0 . 8 1
2 . 0 7 5 0 7 . 8 9
7 9 7 3 1 2 . 5 6 . 3 6 E1 1
Keterangan: MSE = Mean squared error Nilai tengah kesalahan kuadrat
RMSE = Root mean squared error Nilai tengah kesalahan akar kuadrat MAPE = Mean absolute percentage error Nilai tengah kesalahan persentase absolut
MPE = Mean percentage error Nilai tengah kesalahan persentase MAE = Mean absolute error Nilai tengah kesalahan absolut
ME
= Mean error Nilai tengah kesalahan
Perbandingan analisa statistik dilakukan juga dengan tiga metode prediksi. Perbandingan analisa statistik dari jumlah ketersediaan produk POTS ditunjukkan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Hasil verifikasi analisa statistik prediksi ketersediaan daging sapi di Sumatera Barat
Analisis Statistik No
Metode Prediksi
ME MAE
MPE MAPE
RMSE MSE
1. Eksponential Smoothing
Method expo
- 2 3 6 9 5 . 6 6 5 3 6 1 6 . 1 6
- 8 . 0 6 7 5 1 4 . 8 1
7 3 5 2 6 . 4 2 5 . 4 1 E9
2. Stepwise Autoregressive
Method Stepar
4 . 0 3 E- 1 1 4 5 0 2 8 . 4 2
- 2 . 4 9 7 1 1 2 . 4 5
6 3 5 1 2 . 4 0 4 . 0 3 E9
3. Winters Exponentially
Smoothed Trend-Seasonal Method winters
2 5 9 4 8 . 7 9 5 8 9 7 0 . 9 3
4 . 1 8 4 6 7 1 5 . 5 7
7 8 9 6 0 . 5 4 6 . 2 3 E9
Keterangan: MSE = Mean squared error Nilai tengah kesalahan kuadrat
RMSE = Root mean squared error Nilai tengah kesalahan akar kuadrat MAPE = Mean absolute percentage error Nilai tengah kesalahan persentase absolut
MPE = Mean percentage error Nilai tengah kesalahan persentase MAE = Mean absolute error Nilai tengah kesalahan absolut
ME
= Mean error Nilai tengah kesalahan
Analisis kelayakan pasar terhadap ketersediaan POTS daging sapi yang ditentukan dari jumlah produksi dan permintaan total daging sapi hasil pengurangan
dari jumlah produksi yang dihasilkan dengan permintaan total setiap tahun menunjukkan bahwa nilai prediksi dengan Stepwise Autoregressive Method STEPAR
terhadap variabel jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk mempunyai tingkat kesalahan paling kecil, yakni dengan MAE = 45028.42; RMSE = 63512.40
;
dan MSE
= 4.03E9 merupakan model terbaik dibanding beberepa model prediksi lain. Pengolahan data berdasarkan metoda prediksi time series pada model prediksi
Exponential Smoothing Method EXPO menghasilkan nilai prediksi dengan tingkat kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = 53616.16; RMSE =
73526.42; dan MSE = 5.41E9. Hasil pengolahan dengan Winters Exponentially Smoothed Trend-Seasonal
Method WINTERS juga dihasilkan nilai prediksi permintaan total dengan tingkat kesalahan lebih besar, yakni dengan tingkat kesalahan MAE = 58970.93; RMSE =
78960.54; dan MSE = 6.23E9. Hasil prediksi permintaan produk dengan Stepwise Autoregressive Method
STEPAR untuk Tahun 2009 – 2025 ditunjukkan pada Tabel 5. Hasil prediksi tahun
2009 sampai 2025 peningkatan permintaan total daging sapi pada Tabel 5 terlihat semakin jelas seiring dengan pertambahan jumlah konsumen atau pengguna.
Tabel 5. Hasil verifikasi model prediksi permintaan total daging sapi di Sumatera Barat
Tahun Prediksi Permintaan Kg
2009 8.981.124,50
2010 9.236.462,33
2011 9.491.800,16
2012 9.747.137,99
2013 10.002.475,82
2014 10.002.475,82
2015 10.513.151,48
2016 10.768.489,31
2017 11.023.827,14
2018 11.279.164,97
2019 11.534.502,80 2020 11.789.840.63
2021 12.045.178,46 2022 12.300.516,29
2023 12.555.854,13 2024 12.811.191.96
2025 13.066.529.79
Verifikasi model prediksi terbaik digunakan berdasarkan hasil analisa statistik dari beberapa metode prediksi adalah Stepwise Autoregressive Method Stepar,
dimana variabel jumlah konsumen dan jumlah konsumsi produk mempunyai tingkat kesalahan paling kecil, yaitu dengan MAE = 538938.48; RMSE = 663938,9
;
dan MSE
= 4.41E11. Validasi model nyata dilakukan melalui wawancara kepada Prof. Dr. Ir. Arnim, MS Dosen Fakultas Peternakan Universitas Andalas Padang dan Drh.
Erinaldi Dinas Peternakan Sumatera Barat yang memberikan gambaran kebenaran kebutuhan akan permintaan produk utama hasil ternak sapi berupa daging sapi di
Sumatera Barat yang cenderung meningkat, begitu pula pemotongan sapi, produksi dan konsumsi daging di Propinsi Sumatera Barat menunjukkan peningkatan setiap
tahunnya.
B. Perencanaan Pengembangan Produk Agroindustri Sapi Potong Pengembangan produk dari hasil sapi potong saat ini belum berkembang
secara optimal. Hasil ternak sapi potong untuk ekspor masih berupa bahan baku yang belum diolah menjadi produk hilir, sehingga nilai tambah terbesar belum dapat
diperoleh di dalam negeri. Hal ini terlihat dari ekspor produk dan hasil ternak sapi potong berupa ternak hidup, kulit, tulang dan tanduk. Menurut Sudarjat 2002
peningkatan ekspor ternak dan hasil ternak Indonesia belum dalam bentuk produk hilir, tetapi karena karena penerapan keamanan maksimum terhadap beberapa
penyakit ternak dan Harmonized System dan Standard International Trade Classification HS dan SITC dari hasil ternak.
Produk agroindustri sapi potong dikaji dari pohon industri cukup luas untuk dapat dikembangkan. Sapi potong sebagai penghasil utama daging dan jeroan, hasil
ikutannya dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan produk pangan dan non pangan. Produk utama hasil ternak sapi potong adalah daging dan jeroan. Produk sampingnya
adalah kulit, lemak, tulang, tanduk, darah, lidah dan otaknya, sedangkan limbahnya berupa isi rumen dan kotoran. Daging sapi dapat dilakukan proses pengolahan dan
pengawetan dalam industri. Pengolahan daging sapi untuk produk makanan dan hidangan siap saji yang dihasilkan melalui proses pengolahan adalah daging lumat,
ekstrakesense daging dan daging potongan. Produk dan hasil olahan daging sapi dapat disimpan tahan lama jika dilakukan proses pengawetan melalui proses
pendinginan, irradiasi dan pengeringan. Bagian hasil sapi potong yang dimanfaatkan dan diolah dapat dikelompokkan
ke dalam empat produk industri, yaitu produk industri makanan, industri kulit, industri pakan dan produk industri pupuk. Produk industri makanan berasal dari olahan bahan
baku daging, jeroan, kulit, lidah dan otak sapi. Produk industri kulit berasal olahan kulit, yakni: kulit kalf atau kulit halusringan, kulit berat, kulit samakberbulu, dan kulit
perkamen. Produk industri pakan berupa tepung darah, tepung jeroan dan tepung tulang dihasilkan dari darah, jeroan, dan tulang sapi. Kotoran dan isi rumen sapi
dijadikan sebagai bahan baku industri pupuk. Dari berbagai produk yang dihasilkan sapi potong baik dari hasil utama daging dan jeroan maupun dari hasil sampingnya,
berdasarkan hasil survey dan diskusi dengan pakar di bidang peternakan, diidentifikasi 10 jenis alternatif produk agroindustri sapi potong yang sesuai dan dapat
dikembangkan di Sumatera Barat. Produk-produk agroindustri sapi potong yang dapat dikembangkan di
Sumatera Barat terbagi ke dalam 4 empat kelompok produk industri yang berbeda,
yakni: 1 produk industri makanan; 2 produk industri kulit; 3 produk industri pakan; dan 4 produk industri pupuk. Produk dari industri makanan yang dipilih dan sesuai
dikembangkan, yaitu 1 sosis, 2 bakso dan 3 abon. 4 rendang; 5 dendeng kering; 6 kerupuk kulit. Produk pengawetan kulit dalam industri kulit adalah 1 kulit lapis dan 2
kulit sol. Produk dari industri pakan berupa produk olahan dari tulang sapi yaitu tepung tulang dan 10 produk dari kelompok industri pupuk, yakni pupuk kandang.
Pemilihan produk agroindustri dalam model perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong, dikembangkan sesuai dengan strategi yang dihasilkan, yaitu
strategi pengembangan produk dan pasar produk agroindustri sapi potong. Model perencanaan produk agroindustri yang dibangun berdasarkan pada beberapa kriteria
dari berbagai alternatif produk hasil sapi potong. Analisis pengembangan produk agroindustri sapi potong dilakukan
berdasarkan kriteria: potensi pasar, lokasi, bahan baku, sarana produksi,
aksesibilitas, dukungan pemerintah, gangguan dan pencemaran lingkungan, peralatan dan alat teknologi penunjang, dan sumberdaya manusia terhadap produk yang dipilih
dan direkomendasikan sebagai pilihan alternatif produk sosis, bakso, abon, dendeng
kering, rendang, kerupuk kulit, kulit lapis, kulit sol, tepung tulang, dan pupuk kandang. Model pengembangan dan pemilihan produk agroindustri sapi potong
menggunakan metoda perbandingan eksponensial MPE. Menurut Marimin 2004 penggunaan MPE dapat menghasilkan nilai alternatif dengan perbedaan yang lebih
kontras dari alternatif keputusan yang sulit dibedakan. Metoda ini mempunyai keuntungan untuk mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Model
pemilihan pengembangan produk agroindustri sapi potong dilakukan dengan mengaktifkan sistem manajemen basis data pengembangan produk, sistem
manajemen basis model pengembangan produk, dan sistem manajemen basis pengetahuan pengembangan produk.
Hasil verifikasi model menunjukkan alternatif produk agroindustri sapi potong yang dipilih dikembangkan di Sumatera Barat berdasarkan kriteria yang dipilih hasil
pendapat pakar adalah dendeng kering. Hasil analisis pemilihan produk agroindustri sapi potong berdasarkan metoda perbandingan eksponensial MPE ditunjukkan oleh
nilai skor tertinggi dari pendapat gabungan. Skor tertinggi yang menunjukkan rangking pertama pada pemilihan produk pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera
Barat terhadap kriteria adalah dendeng kering dengan nilai skor secara eksponensial sebesar 24.022.669,82. Hasil analisis pemilihan produk agroindustri sapi potong
berdasarkan pendapat pakar gabungan ditunjukkan pada Tabel 6.
Tabel 6. Hasil verifikasi pengolahan metoda perbandingan eksponensial pemilihan produk agroindustri sapi potong
Keterangan kriteria: A. Potensi pasar,
F. Dukungan pemerintah, B. Lokasi,
G. Gangguan dan pencemaran lingkungan, C. Bahan baku,
H. Peralatan dan alat teknologi penunjang, D. Sarana produksi,
I. Sumberdaya manusia. E. Aksesibilitas,
Dendeng kering sesuai dan cocok dikembangkan di Sumatera Barat. Dendeng kering umumnya dihasilkan dari Kabupaten Agam, Kabupaten Lima Puluh Kota, dan
Kabupaten Solok. Validasi model dilakukan dengan cara wawancara kepada Ir. Fuad Madarisa, MSc Ketua Tim Konsultan Pengembangan Kawasan Sentra Produksi
Sumatera Barat. Hasil wawancara tersebut menyatakan bahwa pengembangan industri dendeng kering sesuai dengan rencana pola pemanfaatan ruang dan struktur
ruang untuk industri di Sumatera Barat. Dendeng kering dari hasil usaha rumah tangga mikro dan industri kecil
merupakan salah satu produk industri makanan yang dikembangkan sesuai dengan pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang dalam penyusunan kawasan sentra
peternakan sapi potong di Sumatera Barat khususnya untuk pengembangan industri kecil. Industri makanan yang berkembang lainnya merupakan industri berasal dari
hasil tanaman pangan kerupuk sanjai, kerupuk ubi, aneka makanan dari jagung dan
dari hasil ternak sapi potong aneka makanan sate, dendeng, rendang, kerupuk kulit, dan aneka kerajinan kulit untuk bahan tas, sepatu, serta industri pakaian jadi.
Pengembangan agroindustri dendeng kering sesuai dengan perencanaan pola pemanfaatan ruang dan struktur ruang kawasan sentra produksi khususnya di Agam
bagian Timur sebagai pengembangan produk hasil pengolahan industri makanan Bappeda Propinsi Sumatera Barat, 2000. Hasil wawancara dengan Daswilza, SP,
MM Kepala Seksi Usaha Kecil Menengah, Dinas Koperasi, Industri dan Perdagangan, Kabupaten Agam menyimpulkan bahwa usaha dendeng kering dan makanan olahan
lain dari hasil sapi potong terutama untuk usaha kecil industri kecil sesuai dengan program pemerintah Kabupaten Agam sebagai pengembangan industri hilir dari
komoditi sapi potong. C. Perencanaan Lokasi Pengembangan
Pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong dilakukan menggunakan metoda faktor peringkat Factor-Rating Method. Pengambilan
keputusan suatu lokasi didasarkan pada rating tertinggi dari skor terbobot gabungan hasil penilaian para pakar. Skor terbobot diperoleh berdasarkan urutan tingkat
kepentingan setiap faktorkriteria dan skala faktor-faktor yang mempengaruhi lokasi pengembangan. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan lokasi pengembangan
agroindustri, yaitu: 1 kondisi wilayah belakang hinterland, 2 lokasi strategis, 3 infrastruktur dan teknologi, 4 ketersediaan jaringan utilitas, 5 masalah lingkungan
sosial budaya, 6 ketersediaan sumberdaya manusia, 7 jaminan keamanan, 8 pemasok bahan baku, dan 9 kondisi iklim dan topografi.
Pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong ditentukan dari kabupaten yang memiliki kawasan peternakan sapi potong atau lumbung ternak nagari
di Sumatera Barat menurut Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat 2002; 2007, yaitu: 1 Kabupaten Lima Puluh Kota, 2 Kabupaten Agam, 3 Kabupaten Swl
Sijunjung Dharmasraya, 4 Kabupaten Tanah Datar, 5 Kabupaten Solok, 6 Kabupaten Padang Pariaman, 7 Kabupaten Pesisir Selatan, dan 8 Kabupaten
Pasaman Barat. Deskripsi masing-masing lumbung ternak nagari disajikan pada Lampiran 8. Hasil verifikasi model pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi
potong di Sumatera Barat menunjukkan bahwa Kabupaten Agam memiliki total nilai skor terbobot terbesar dan peringkat pertama yang merupakan keputusan kelompok
hasil penilaian pakar gabungan. Hasil verifikasi model perencanaan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ditunjukkan pada Tabel 7.
Tabel 7. Hasil verifikasi metoda faktor peringkat factor-rating method pemilihan lokasi pengembangan agroindustri sapi potong
Keterangan Kriteria: A. Kondisi wilayah belakang hinterland
B. Lokasi strategis C. Infrastruktur dan teknologi
D. Ketersediaan jaringan utilitas E. Masalah lingkungan sosial budaya
F. Ketersediaan sumberdaya manusia G. Jaminan keamanan
H. Pemasok bahan baku I. Kondisi iklim dan topografi.
Validasi model pemilihan lokasi pengembangan dilakukan melalui komunikasi kepada Ir. Fuad Madarisa, MSc Ketua Tim Konsultan Pengembangan Kawasan
Sentra Produksi Sumatera Barat yang menyimpulkan bahwa wilayah Kabupaten Agam bagian Timur berada pada posisi strategis, memiliki infrastruktur dan
ketersediaan jaringan utilitas, dekat dengan pasar perdagangan Sumatera tengah Sumbar, Riau, Jambi dan pasar wisata untuk pengembangan bagi industri kecil
makanan olahan hasil sapi potong. Wilayah Agam bagian Timur merupakan kawasan sentra produksi KSP peternakan sapi potong pada tahun 2000 yang diberi nama
KSP Koto Hilalang. Pada KSP Koto Hilalang terdapat kelompok-kelompok peternak sapi potong yang berhasil dalam pengelolaan dan pengembangan kemampuan usaha
kelompok dengan pembinaan instansidinas terkait. Sebelumnya kawasan pada wilayah Agam bagian Timur ini dijadikan sebagai wilayah organic farming yang
mengintegrasikan pemanfaatan hasil samping pengembangan sapi potong dengan usaha tanaman pangan dan hortikultura.
Populasi sapi di Kabupaten Agam tahun 2006 berjumlah 28.763 ekor. Pada kawasan Agam bagian Timur Kabupaten Agam yang terdiri dari Kecamatan IV Angkat
Candung, Baso, Tilatang Kamang dan Kecamatan Kamang Magek memiliki konsentrasi populasi sapi lebih banyak dari kecamatan lainnya. Persentase jumlah
sapi betina adalah 55,67 persen dari populasi sapi potong. Pemotongan sapi pada tahun 2006 di Kabupaten Agam adalah sebesar 5.856 ekor dengan produksi daging
sebesar 1.032.540 Kg. Rumah tangga pemelihara sapi potong sebanyak 11.719 kepala keluarga. Dari realisasi kegiatan inseminasi buatan IB pada tahun 2006 di
realisasi akseptor Kabupaten Agam, sebanyak 4.266 ekor dari target 6.000 ekor. Realisasi IB sebanyak 5.865 dosis 100 persen dari target dengan tingkat kelahiran
3.299 ekor. Faktor-faktor yang paling berpengaruh berdasarkan bobot rata-rata hasil
penilaian pakar adalah faktor lokasi strategis dan faktor infrastruktur dan teknologi, kemudian diikuti dengan kondisi wilayah belakang hinterland dan faktor ketersediaan
sumber daya manusia. Pada tahun 2002, lokasi di kawasan Agam bagian Timur Kabupaten Agam menjadikan komoditi sapi potong sebagai bisnis utama dalam
pengembangan kawasan agropolitan di Sumatera Barat Pemerintah Kabupaten Agam, 2002a. Kawasan agropolitan di Kabupaten Agam merupakan kawasan
agropolitan yang pertama di Sumatera Barat. Sebagai kawasan peternakan dengan sapi potong yang menjadi produk unggulan, kawasan ini memiliki akses dan utilitas
pada fasilitas pendukung untuk pengembangan sapi potong, seperti tersedianya pos inseminasi buatan IB, petugas inseminator, pemeriksa kebuntingan dan kesehatan
dan penyuluh di Kecamatan IV Angkat, Balai Penyidikan Penyakit Hewan BPPH di Kecamatan Baso, jaringan telekomunikasi, alat transportasi dengan jalan yang lancar
di setiap nagari, sehingga kawasan dijadikan sebagai wilayah pasar bagi produk hasil ternak sapi potong. Usaha pengembangan sapi potong turut mendorong tumbuhnya
usahaindustri penyamakan kulit, industri makanan, dan industri pupuk organik. Berdasarkan hasil evaluasi pengembangan pendamping usaha bagi kelompok
pengolahan hasil peternakan bahwa Kabupaten Agam Kecamatan Tilatang Kamang merupakan konsentrasi pengolahan hasil peternakan sapi potong bagi kelompok
usaha dendeng Dinas Peternakan Propinsi Sumbar, 2006a. Hasil kajian ulang beberapa komoditi untuk profil komoditi unggulan Kabupaten Agam Tahun 2000
Pemerintah Kabupaten Agam, 2000, komoditi sapi potong dan hasil produk
olahannya ditetapkan sebagai komoditi dan produk unggulan dari sub sektor peternakan di Kecamatan IV Angkat, Candung dan Kecamatan Tilatang Kamang
Kabupaten Agam. Industri pengolahan produk hasil sapi potong yang berkembang di kawasan
sentra peternakan sapi potong di Kabupaten Agam merupakan usaha dari industri kecil yang masuk ke dalam kelompok industri makanan. Berdasarkan perkembangan
industri kecil dari data statistik, jumlah industri kecil di Kabupaten Agam pada tahun 2004 berjumlah 5.535 unit yang tersebar di beberapa kecamatan yang kebanyakan
merupakan industri pengolahan makanan. Jumlah industri kecil tersebut meningkat dari tahun-tahun sebelumnya. Tahun 2000 jumlah industri kecil di Kabupaten Agam
sebanyak 5.353 unit, kemudian tahun 2001 meningkat menjadi 5.407 unit. Pada tahun 2002 meningkat lagi menjadi 5.466 unit dan setahun kemudian tahun 2003 meningkat
menjadi 5.512 unit. Industri kecil yang tersebar dalam beberapa kecamatan dalam kawasan sentra
pengembangan peternakan sapi potong di Kabupaten Agam memiliki jumlah yang lebih banyak dibanding kecamatan lain di luar kawasan. Kecamatan-kecamatan yang
berada dalam kawasan sentra peternakan sapi potong di Kabupaten Agam tersebut, yakni: Kecamatan IV Angkat memiliki industri kecil sebanyak 1.153 unit, Candung
sebanyak 7 unit, Baso memiliki sebanyak 235 unit, Tilatang Kamang sebanyak 577 unit dan Kecamatan Kamang Magek sebanyak 5 unit BPS Kabupaten Agam, 2004.
D. Perencanaan Kapasitas
Produksi Sesuai dengan strategi pengembangan produk dan pasar serta produk
agroindustri sapi potong yang dipilih adalah dendeng kering, maka dirancang pengembangan produk dendeng kering dengan memperhatikan ketersediaan bahan
baku daging sapi. Dalam rancangan, proses pengeringan dendeng kering dilakukan dengan menggunakan oven pengering yang berbahan bakar gas elpiji, sehingga
proses pengeringan dapat lebih cepat dibanding menggunakan sinar matahari. Proyeksi produksi dendeng kering, didasarkan pada perencanaan kapasitas produksi
menggunakan pendekatan metoda titik impaspulang pokok BEP. Perencanaan kapasitas BEP dipengaruhi oleh biaya variabel per unit, biaya
tetap yang dikeluarkan dan harga jual produk per unit. Berdasarkan asumsi kebutuhan daging sapi sebesar 30.000 kg per tahun, membutuhkan biaya variabel untuk
pengolahan daging sapi dalam membuat dendeng kering sebesar Rp. 1.604.335.392,- per tahun atau sebesar Rp. 53.478,- per kg daging sapi,- Biaya tersebut terdiri dari
biaya bahan baku, biaya bahan tambahan, upah tenaga kerja langsung, gaji pegawai, biaya kemasan dan biaya listrik, air dan telepon. Biaya variabel pengolahan daging
sapi menjadi produk dendeng kering disajikan pada Tabel 8. Tabel 8. Biaya variabel produksi dendeng kering
No.
Komposisi Biaya Variabel
Jumlah Biaya Rp Biaya Kg Rp
1 Bahan baku dan tambahan
1.302.585.192 43.420
2 Upah tenaga kerja langsung
115.200.000 3.840
3 Gaji pegawai
177.000.000 5.900
4 Kemasan 2.512.500
84 5 Listrik,
air, telepon
7.037.700 235
Total
1.604.335.392 53.478
Biaya variabel per unit diperoleh dari biaya variabel dendeng kering per kg
yang ditentukan oleh biaya variabel dalam memproduksi dendeng kering sebanyak satu kg. Diketahui rendemen dendeng kering sebesar 35,5 Gambar 33, artinya
untuk menghasilkan setiap kg dendeng kering dibutukan bahan baku sebesar 2,8 kg daging termasuk bumbunya. Rendemen dendeng kering 35,5 diperoleh berdasarkan
perhitungan neraca massa dari daging sapi mempunyai kadar air sebesar 72,4, kadar air campuran daging dan bumbu sebesar 71,6 Purnomo, 1997 dan kadar air
dendeng kering mutu I dan mutu II sebesar 12 Palupi, 1986; SNI, 1992. Berdasarkan biaya pengolahan per kg daging sapi sebesar Rp. 53.478,- dan
untuk menghasilkan setiap kg dendeng kering dibutukan bahan baku daging dan bumbunya sebesar 2,8 kg, diperoleh biaya variabel produksi dendeng kering sebesar
Rp.150.642,- setiap kg. Biaya tetap yang dibutuhkan dalam industri dendeng kering sebesar Rp. 85.896.456,- per tahun. Biaya tetap terdiri atas biaya penyusutan,
perbaikan dan pemeliharaan, biaya pemasaran yang tetap, dan biaya administrasi yang tetap.
Kapasitas produksi BEP industri dendeng kering diperoleh berdasarkan pada kebutuhan biaya variabel per kg dendeng kering sebesar Rp. 150.642,- per kg, biaya
tetap sebesar Rp. 85.896.456,- per tahun dan asumsi harga jual BEP dendeng kering sebesar Rp. 157.000,- per kg, dengan menggunakan persamaan 14. Kapasitas
produksi BEP diperoleh sebesar 13.509,98 kg dendeng kering, dalam perhitungan dibulatkan menjadi 13.510 kg. Pada kapasitas produksi sebesar 13.510 kg per tahun
perusahaan tidak mengalami kerugian. Hasil perhitungan kapasitas produksi minimal kapasitas BEP disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil verifikasi kapasitas produksi titik impas produk dendeng kering
Perencanaan kapasitas produksi yang dirancang berdasarkan pada kapasitas produksi minimal kapasitas BEP = 13.510 kg, yaitu sebesar 5 persen sampai 20
persen di atas kapasitas BEP dengan pertimbangan ketersediaan bahan baku daging sapi. Kapasitas produksi dendeng kering pada tahun pertama diatur sebesar 5 persen
di atas kapasitas BEP 105 persen, tahun ke dua 110 persen, dan tahun ke tiga sampai ke sepuluh dengan kapasitas 120 persen. Pengaturan perencanaan kapasitas
produksi dalam program disajikan pada Tabel 10. Perencanaan kapasitas produksi dendeng kering dalam operasional, tahun
pertama dirancang 5 persen di atas kapasitas BEP, yaitu sebesar 14.185 kg per tahun. Tahun ke dua 10 persen di atas kapasitas BEP, yaitu sebesar 14.861 kg per
tahun. Tahun ke tiga sampai tahun ke dua puluh kapasitas terpasang sebesar 20 persen di atas kapasitas produksi BEP, yakni sebesar 16.212 kg per tahun.
Tabel 10. Proyeksi perencanaan kapasitas produksi dendeng kering
E. Pembiayaan Pengembangan Agroindustri Perkiraan sumber pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong di
Sumatera Barat menggunakan metoda Fuzzy investment model dengan kaidah logika fuzzy semi numerik. Pengambilan keputusan didasarkan pada rata-rata dari sensor
agregasi dari hasil defuzzifikasi agregasi penilaian pakar setelah melalui proses fuzzifikasi dan fuzzy komputasi. Penilaian pakar menggunakan nilai label linguistik
kualitatif, yaitu: Sangat Tinggi ST, Tinggi T, Sedang S, Rendah R, Sangat Rendah SR. Nilai selang label lingusitik nilai fuzzy antara 0 sampai 200, yaitu: SR =
0 – 40; R = 30 – 80; S = 70 – 120; T =110 – 160; ST = 150 – 200, sedangkan bobot derajat keanggotaannya, yaitu: SR = 0,0 – 0,2; R = 0,1 – 0,4; S = 0,3 – 0,6; T = 0,5 –
0,8; ST = 0,7 – 1,00. Verifikasi model perkiraan pemilihan pembiayaan dalam pengembangan
agroindustri sapi potong di Sumatera Barat berdasarkan penilaian pakar gabungan menghasilkan perbankan konvensional menduduki skala Tinggi T sebagai sumber
pembiayaan dengan nilai hasil defuzzifikasi sebesar 144,44. Hasil verifikasi model pemilihan sumber pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera
Barat, ditunjukkan pada Tabel 11.
Tabel 11. Hasil verifikasi model pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong
Keterangan Alternatif Pembiayaan: 1. Perbankan
Konvensional 2. Perbankan
Syariah 3. Bagi
Hasil Saduoan Dipasaduoaan.
Validasi model pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong dilakukan melalui wawancara kepada H. Masni Arifin Direktur Utama Bank Perkreditan Rakyat
BPR Lumbung Pitih Nagari LPN Panampung Kecamatan IV Angkat Candung Kabupaten Agam menyatakan bahwa sistem kredit perbankan konvensional masih
sering digunakan kreditor karena prosesnya relatif lebih mudah dan praktis serta jangkauannya menyentuh masyarakat nagari dalam batas wilayah pemerintahan
nagari. Program pemerintah dalam mengembangkan usaha peternakan sapi sampai saat ini masih menggunakan fasilitas perbankan konvensional dalam memfasilitasi
pemberian kredit seperti dalam penyaluran dana investasi perantau bagi pengembangan peternakan sapi potong dan pemberian kredit modal usaha kepada
peternak sapi dilakukan melalui kredit perbankan konvensional dengan bunga kredit sebesar 6 persen per tahun dan waktu pengembalian selama 2 x 18 bulan atau
selama 3 tahun Noer-TA, 2002. Kredit perbankan konvensional di BPR Panampung Kabupaten Agam untuk pengembangan ternak sapi potong diberikan dalam bantuan
tambahan modal pembelian sapi bibit yang dimulai sejak tahun 2000 pada implementasi pembentukan kawasan sentra produksi Koto Hilalang Kabupaten Agam
dan berkembang penyalurannya sampai tahun 2006 kepada kelompok-kelompok peternak sapi potong.
Pemberian kredit dalam pengembangan kawasan sentra produksi peternakan dan pengembangan kawasan terpadu dalam bidang peternakan di Sumatera Barat
pada tahun 2000 sebesar Rp. 650.000.000,- Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Sumbar, 2001. Pemerintah Kabupaten Agam pada Tahun Anggaran
2001 memberikan bantuan kredit modal lanjutan dalam pengembangan kawasan sentra produksi peternakan sapi potong sebesar Rp. 145.000.000,- yang
penyalurannya bekerjasama dengan Bank Perkreditan RakyatLPN Panampung IV Angkat kepada kelompok peternak sapi potong Noer-TA, 2002.
7.4.2. Resolusi Konflik Pengembangan Agroindustri Sapi Potong A. Prioritas Resolusi
Perancangan model resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat yang kemungkinan akan terjadi atas pemanfaatan aset ulayat
dilakukan menggunakan pendekatan Fuzzy-AHP untuk menentukan prioritas penyelesaian. Prioritas resolusi dihasilkan dengan mengaktifkan sistem manajemen
basis data resolusi konflik, sistem menajemen basis model, dan sistem menajemen basis pengetahuan resolusi konflik dalam pengembangan agroindustri sapi potong.
Analisis resolusi konflik dalam perencanaan pengembangan agroindustri sapi
potong di Sumatera Barat dilakukan berdasarkan beberapa hal yang menjadi faktor penentu perundingan di luar pengadilan, kesepakatan yang disyahkan oleh
pengadilan, kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, kejelasan pembagian hak dan kewajiban dalam pengelolaan aset adat, kesepakatan pembagian
saham di dalam kaum dan industri, terjadi komunikasi yang baik antara mamak dan
keponakan; dengan aktorpelaku pemerintahan nagari, kerapatan adat nagari, ninik
mamak dalam kaum, pengadilan negeri, pihak industri atau pengelola asettanah ulayat, pemegang otoritas aset adattanah ulayat; dan beberapa alternatif
penyelesaianresolusi penyelesaian konflikkompromi dan mufakat di luar
pengadilan, kesepakatan tertulis yang disyahkan oleh pengadilan negeri, kompensasi atau kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, menggunakan prinsip”
adat diisi limbago dituang”, tukar guling penggunaan aset ulayat, kesesuaian
pembagian saham di dalam kaum. Hasil analisis pengambilan keputusan prioritas resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat
berdasarkan pemrograman FUZZY-AHAPE ditampilkan pada Gambar 27.
Metoda Fuzzy-Analytical Hierarchy Process Fuzzy-AHP digunakan dalam pengolahan data untuk mendapatkan prioritas resolusi penyelesaian konflik
keputusan kelompok melalui masukan data komparasi tiap hirarki dari para pakar. Hasil verifikasi model Fuzzy-Analytical Hierarchy Process Fuzzy-AHP berdasarkan
keputusan kelompok untuk fokus pada pola umum model resolusi konflik
pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat menunjukkan, bahwa
faktor penentu yang menjadi prioritas penyelesaian konflik dalam pengembangan
agroindustri, yaitu: 1 kesepakatan pembagian saham di dalam kaum dan industri, 2 kejelasan pembagian hak dan kewajiban dalam pengelolaan aset adat, 3 terjadi
komunikasi yang baik antara mamak dan keponakan, 4 kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, 5 perundingan di luar pengadilan, 6
kesepakatan yang disyahkan oleh pengadilan.
Gambar 27. Hasil analisis prioritas resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat
Aktor yang berperan menjadi urutan prioritas penyelesaian terjadinya konflik
dalam pengembangan agroindustri, yaitu: 1 ninik mamak dalam kaum yang bersangkutan, 2 pemegang otoritas aset adattanah ulayat, 3 kerapatan adat nagari
KAN, 4 pihak industri atau pengelola asettanah ulayat, 5 pemerintahan nagari, 6
pengadilan negeri; dan resolusipenyelesaian konflik yang dipilih berdasarkan prioritas, yaitu: 1 kesesuaian pembagian saham di dalam kaum, 2 mengunakan
prinsip” adat diisi limbago dituang”, 3 kompensasi atau kesediaan industri memberikan sebagian keuntungannya, 4 penyelesaian konflikkompromi dan mufakat
di luar pengadilan, 5 kesepakatan tertulis yang disyahkan oleh pengadilan negeri, 6
tukar guling penggunaan aset ulayat. Hirarki resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ditunjukkan pada Gambar 28.
Hasil verifikasi model menunjukkan alternatif resolusipenyelesaian konflik yang menjadi prioritas berdasarkan pendapat pakar gabungan adalah kesesuaian
pembagian saham di dalam kaum dan industri, dengan pelakuaktornya adalah ninik mamak dalam kaum yang bersangkutan berdasarkan faktor penentu kesepakatan
pembagian saham di dalam kaum dan industri. Hasil analisis pemilihan prioritas resolusipenyelesaian konflik berdasarkan metoda Fuzzy-Analytical Hierarchy Process
Fuzzy-AHP ditunjukkan oleh nilai tertinggi dari pendapat gabungan pakar. Dengan adanya kesepakatan pembagian saham dengan pihak industri, prioritas tertinggi pada
pemilihan resolusi konflik dalam penggunaan lahan tanah ulayat pada pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat adalah kesesuaian
pembagian saham di dalam kaum dengan nilai 0,3290.
Gambar 28. Hirarki resolusi konflik pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat
Validasi model dilakukan dengan melakukan wawancara kepada Djaswir Loewis Sekretaris Gabungan Pengusaha Ekspor Impor GPEI Cabang Padang dan
Perundingan diluar
pengadilan 0,0747
Kesepakatan yang
disyahkan pengadilan
0,0387 Kesediaan
industri memberikan
sebagian keuntungan
nya 0,1455
Kejelasan pembagian hak
dan kewajiban dalam
pengelolaan aset adat
0,1859 Kesepakatan
pembagian saham
didalam kaum dan industri
0,3793
Terjadi komunikasi
yang baik antara
mamak dan kemenakan
0,1759
Penyelesaian konflik diluar
Pengadilan kompromi
dan mufakat 0,1191
Kesepakatan tertulis yang
disyahkan pengadilan
negeri 0,1028
Kompensasi Kesediaan
pihak industri memberikan
sebagian keuntungannya
0,1421 Mengunakan
prinsip “Adat Diisi Limbago
Dituang” 0,2035
Tukar guling penggunaan
aset adat 0,1011
Model Pola Umum Resolusi Konflik Stakeholders Pengembangan Agroindustri
Sapi Potong di Sumatera Barat 1,0000
Pemerintahan Nagari
0,1166 Kerapatan
Adat Nagari KAN
0,1442 Ninik Mamak
dalam kaum
0,2447
Pengadilan Negeri
0,1051 Pihak Industri
Pengelola Aset Tanah
Ulayat 0,1456
Pemegang otoritas aset
adat Tanah Ulayat
0,2438
Kesesuaian pembagian
saham di dalam kaum
0,3314
2 6
1
Pelaku Aktor :
Fokus :
Faktor penentu :
Resolusi :
4 3
5
Drs. Bachzan Tidor Dt. Bandaro Penghulu Kaum Suku Caniago, Nagari Guguk Solok yang menyatakan bahwa keikutsertaan peternakpetani dalam pemanfaatan lahan
tanah ulayat oleh industri adalah dengan memberikan saham kepemilikan sesuai dengan nilai dari aset mereka selama dipakai. Pembagian saham berdasarkan kepada
kesepakatan antara pengelola dan pemegang hak ulayat. Apabila terjadi persoalan di dalam suatu kaum atas sesuatu hal dan menjadi perselisihan pembagian saham di
dalam kaum, maka persoalan tersebut terlebih dahulu diselesaikan olah kaum yang bersangkutan.
B. Resolusi Konflik Penyelesaian resolusi konflik antara pemegang hak dengan pengelola
industri atas pemanfaatan tanahlahan ulayat yaitu adanya kesepakatan untuk keikutsertaan pemegang hak ulayat dalam memiliki saham dalam pembangunan
industri. Besarnya nilai kepemilikan saham ditentukan oleh besarnya nilai lahantanah ulayat yang digunakan dalam pembangunan industri. Hasil kesepakatan diperoleh nilai
per meter lahantanah ulayat adalah Rp. 100.000,- antara pihak industri dan pemegang hak ulayat.
Pemegang hak ulayat dengan lahan atau tanah yang dimiliki seluas 400 M2, memiliki nilai saham yang sebesar Rp. 40.000.000,- atau 16,97 dari total modal
perusahaan sebesar Rp. 235.713.180,- sedangkan nilai saham pengelola lahantanah ulayatinvestor pihak industri sebesar 83,03 dari total modal perusahaan atau
sebesar Rp. 195.713.180,-. Bagi hasil usaha diperoleh setiap tahun setelah perusahaan mendapatkan keuntungan berdasarkan persentase kepemilikan saham
dari laba bersih yang dihasilkan selama perusahaan berjalan. 7.4.3. Komitmen stakeholders
Pengembangan agroindustri sapi potong sangat tergantung dari usaha peternakan sapi potong dalam persediaan bahan baku. Rencana pengembangan
agroindustri sapi potong terlihat dari komitmen stakeholders dalam pengembangan peternakan sapi potong. Analisis model komitmen stakeholders dengan metoda Multi-
Expert Multi-Criteria Decision Making ME-MCDM digunakan dalam penilaian perkiraan komitmen dari pemerintah daerah, pelaku bisnis, dan masyarakat
stakeholders terhadap perkembangan lumbung ternak dan rangka pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.
Metoda fuzzy ME-MCDM merupakan metoda analisis non numerik. Pengambilan keputusan didasarkan pada evaluasi hasil perhitungan agregasi kriteria
dan agregasi pakar terhadap alternatif keputusan. Penilaian oleh pakar menggunakan nilai label linguistik, yaitu: ST = Sangat Tinggi, T = Tinggi, S = Sedang, R = Rendah,
SR = Sangat Rendah. Hasil verifikasi model penilaian komitmen stakeholders pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ditampilkan pada Tabel
12.
Tabel 12. Hasil verifikasi model komitmen stakeholder pengembangan agroindustri sapi potong
Keterangan alternatif komitmen: 1.
Pengembangan kawasan sentra peternakan sapi potong 2.
Pengembangan unit usaha kecil 3.
Pelayanan kebutuhan sarana dan sumberdaya manusia
4.
Penyerahan kewenangan ke kabkota dalam mempercepat pembangunan peternakan
. Verifikasi model perkiraan penilaian komitmen stakeholders pengembangan
agroindustri sapi potong di Sumatera Barat berdasarkan nilai agregasi kriteria-pakar gabungan, diperoleh komitmen pengembangan unit usaha kecil lebih tinggi dari
alternatif lain. Validasi model penilaian komitmen dilakukan melalui wawancara kepada Ir. Afriadi Laudin, MSi Kepala Biro Perekonomian Sekretariat Daerah
Sumatera Barat menyatakan langkah-langkah yang perlu dalam perencanaan pembangunan untuk mengembangkan suatu produkkomoditi diperlukan adalah
komitmen yang tinggi dalam menyediakan dukungan secara penuh terhadap
pelaksanaan program yang mendorong bagi masyarakat dan dunia usaha untuk berperan aktif dalam mengembangkan usaha.
7.4.4. Kelayakan Ekonomi Analisis model kelayakan dampak ekonomi dengan metoda Multi-Expert
Multi-Criteria Decision Making ME-MCDM digunakan untuk melihat kelayakan dari sisi manfaat dan biaya terhadap pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera
Barat. Metoda fuzzy ME-MCDM merupakan metoda analisis non numerik yang penilaiannya melalui perhitungan agregasi kriteria dan agregasi pakar disetiap
alternatif penilaian. Skala penilaian yang digunakan, yaitu 1. ST = Sangat Tinggi, 2. T = Tinggi, 3. S = Sedang, 4. R = Rendah, dan 5. SR = Sangat Rendah. Hasil verifikasi
model penilaian komitmen pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat, ditunjukkan pada Tabel 13.
Tabel 13. Hasil verifikasi model kelayakan ekonomi manfaat dan biaya terhadap
pengembangan agroindustri sapi potong
Keterangan alternatif kelayakan ekonomi: 1. Manfaat langsung direct benefits
2. Manfaat tidak langsung indirect benefits 3. Manfaat tidak kentara intangible benefits
4. Biaya tidak langsung indirect costs
Verifikasi model kelayakan dampak ekonomi dari hasil penilaian agregasi kritaria - pakar dari analisis Multi-Expert Multi-Criteria Decision Making ME-MCDM
ternyata manfaat langsung dan manfaat tidak langsung dinilai lebih tinggi dampaknya dari manfaat tidak kentara dan biaya tidak langsung akibat pengembangan
agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Dengan adanya manfaat langsung dan tidak langsung terhadap dampak pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera
Barat, maka secara ekonomi, pengembangan agroindustri sapi potong layak untuk dikembangkan. Validasi model kelayakan ekonomi dilakukan melalui wawancara
kepada Novrial, SE, MA Kepala Bidang Produksi dan Sarana Perekonomian Bappeda Sumatera Barat menyatakan secara umum berdasarkan kriteria-kriteria dalam
kelayakan ekonomi dapat memberikan manfaat langsung dan tidak langsung terhadap perekonomian masyarakat Sumatera Barat dengan mengembangkan agroindustri sapi
potong. 7.4.5. Kelayakan Finansial
Pembangunan agroindustri hasil produk sapi potong dendeng kering direncanakan pada tahun 2008 dengan skala usaha kecil sesuai dengan prioritas
program pemerintah, potensi dan kemampuan pengusaha dendeng kering yang membutuhkan daging sapi sebanyak 30.000 kg per tahun, atau 100 kg daging sapi per
hari. Berdasarkan kebutuhan bahan baku sebesar 30.000 kg per tahun diperoleh kapasitas produksi titik impas sebesar 13.510 kg dendeng kering per tahun. Pada
produksi titik impas tersebut membutuhkan alokasi investasi senilai Rp. 392.855.300,- Tiga ratus sembilan puluh dua juta delapan ratus lima puluh lima ribu tiga ratus
rupiah. Hasil verifikasi kelayakan finansial produk dendeng kering pada kapasitas
produksi 5, 10 dan 20 persen di atas kapasitas BEP, harga jual dendeng kering sebesar Rp. 170.000,- per kg menunjukkan Nilai bersih saat ini NPV sebesar Rp.
726.244.598,-; Tingkat kemampulabaan internal IRR sebesar 49,87 persen; Pemulihan investasi atau tahun kembali modal PBP selama 2,15 tahun; Nisbah biaya
dan manfaat Net BC Ratio sebesar 1,12. Kondisi tersebut memberikan informasi bahwa pembangunan agroindustri hasil produk olahan sapi potong dendeng kering
secara finansial dinyatakan layak. Hasil analisis sensitivitas dengan memperkirakan semua biaya variabel naik 9
persen menunjukkan Nilai bersih saat ini NPV sebesar Rp. 37.349.097,-; Tingkat kemampulabaan internal internal rate of return, IRR sebesar 8,60 persen; Pemulihan
investasi atau tahun kembali modal payback method, PBP selama 6,16 tahun; Nisbah biaya dan manfaat Net BC Ratio sebesar 1,03. Pada kondisi tersebut secara
analisis finansial usaha industri dendeng kering sudah tidak layak. Validasi kapasitas produksi agroindustri hasil produk olahan sapi potong
dendeng kering berdasarkan wawancara dengan pengusaha dendeng sapi di Kecamatan Aur Birugo Tigo Baleh Bukittinggi dan Kecamatan Baso Kabupaten Agam
dengan Kelompok Bina Maju dan Usaha Pengolahan Daging dan Sapi Jorong Koto Tangah IV Nagari Pandan Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam 2007,
bahwa selama ini usaha mereka tetap berjalan dengan produksi dendeng kering sebesar 25 kg sampai 50 kg per minggu. Penilaian evaluasi model KBMS dilakukan
oleh drh. Erinaldi dari Dinas Peternakan Propinsi Sumatera Barat bahwa tingkat kelayakan produk agroindustri sapi potong dendeng kering tersebut dinilai tinggi,
sehingga layak untuk dikembangkan.
7.5. Evaluasi Model Perencanaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong