ketersediaan jaringan utilitas, masalah lingkungan sosial budaya, ketersediaan sumberdaya manusia, jaminan keamanan, pemasok bahan baku, dan kondisi iklim
dan topografi terhadap alternatif lokasi pilihan. Sedangkan beberapa nagari dalam kabupaten yang mempunyai kawasan peternakan sapi potong dijadikan alternatif
lokasi pengembangan agroindustri sapi potong. Kabupaten tersebut adalah: 1 Kabupaten Lima Puluh Kota, 2 Kabupaten Agam, 3 Kabupaten Sawahlunto
Sijunjung Dharmasraya, 4 Kabupaten Tanah Datar, 5 Kabupaten Solok, 6 Kabupaten Padang Pariaman, 7 Kabupaten Pesisir Selatan, dan 8 Kabupaten
Pasaman. Model perencanaan lokasi pengembangan agroindustri yang dipilih berdasarkan kepada urutan peringkat. Hasil analisis diperoleh lokasi pengembangan
yang memiliki skor terbobot dan peringkat tertinggi adalah Kabupaten Agam. 9.2.2. Pembiayaan Pengembangan Agroindustri Sapi Potong
Sumber pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong yang direkomendasi ada tiga 3 alternatif, yaitu perbankan konvensional, perbankan
syariah dan modal perantau dengan sistem “saduoan”. Analisis Fuzzy investmen model dengan kaidah logika fuzzy semi numerik digunakan dalam penentuan
perkiraan sumber pembiayaan dalam pengembangan agroindustri sapi potong. Hasil defuzzifikasi agregasi pakar terhadap alternatif sumber pembiayaan pengembangan
agroindustri sapi potong menunjukkan perbankan konvensional memiliki nilai tinggi dalam perkiraan sumber pembiayaan pengembangan agroindustri sapi potong di
Sumatera Barat. Dari hasil evaluasi menunjukkan bahwa akses terhadap perbankan konvensional rendah. Salah satu penyebabnya adalah masih tingginya bunga kredit
pinjaman modal investasi. Oleh karena itu, agar akses ke perbankan konvensional dapat ditingkatkan, disarankan untuk menurunkan tingkat suku bunga pinjaman
tambahan modal bagi usaha pengembangan agroindustri sapi potong.
9.3. Pemanfaatan Tanah Ulayat
Pembangunan dan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat untuk tujuan komersial sangat memungkinkan akan terjadi persoalan, terutama dalam
pemanfaatan lahan atau tanah ulayat. Indentifikasi awal harus diketahui faktor-faktor penentu yang mempengaruhi dan pelaku yang dapat menengahi dan menyelesaikan
konflik untuk menentukan prioritas penyelesaian konflik. Prioritas penyelesaian konflik atas pemanfaatan tanah ulayat yang dimiliki suatu kaum oleh pihak industri dalam
model pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat digunakan
pendekatan Fuzzy-Analytical Hierarchy Process Fuzzy-AHP. Model program yang di disain secara hirarki berdasarkan prioritas di setiap level fokus, faktor penentu, pelaku
aktor, dan resolusinya. Dalam rancangan implementasi dari model resolusi konflik, nilai kesepakatan dihasilkan berdasarkan pada nilai lahan atau tanah yang dimiliki
pemegang hak ulayat sebagai persentase kepemilikan saham dari perhitungan total investasi modal perusahaan. Pembagian keuntungan dilakukan setiap tahun
berdasarkan prosentase kepemilikan saham tersebut dari laba yang telah dihasilkan perusahaan.
9.4. Komitmen Stakeholder, Kelayakan Ekonomi dan Finansial
Disain program pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat dalam rancangan implementasi dilengkapi dengan model penilaian komitmen
stakeholders, model kelayakan ekonomi, dan model kelayakan finansial. Pada Gambar 39 dapat dilihat model komitmen stakeholders, model kelayakan ekonomi,
dan model kelayakan finansial perencanaan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat secara keseluruhan.
9.4.1. Penilaian Komitmen Stakeholders Terdapat 4 empat kegiatan dalam program pembangunan pada pelaksanaan
pengembangan peternakan dan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat setelah otonomi daerah diberlakukan dalam disain model evaluasi komitmen stakeholders.
Kegiatan pengembangan tersebut, yaitu: 1 Pengembangan kawasan sentra peternakan, 2 pengembangan unit usaha kecil, 3 pelayanan kebutuhan sarana dan
sumberdaya manusia, dan 4 penyerahan kewenangan ke kabupatenkota dalam mempercepat pembangunan peternakan. Hasil agregasi analisa Multi-Expert Multi-
Criteria Decision Making ME-MCDM dari model diperoleh nilai komitmen dengan nilai kualitatif non numerik untuk pengembangan unit usaha kecil.
Hasil evaluasi perencanaan terhadap komitmen stakeholders dalam pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat ternyata rendah, sehingga
dalam implementasi model, diperlukan suatu kebijakan pemerintah daerah yang mendukung terwujudnya komitmen yang tinggi dalam model pengembangan
agroindustri sapi potong. Kebijakan tersebut dapat berupa kemudahan dalam perizinan dan birokrasi, regulasi adanya lembaga penjamin dalam pemberian kredit
perbankan dan kemudahan dalam pembuatan sertifikat kepemilikan tanah untuk pengembangan produk agroindustri sapi potong, sehingga investor dan pengusaha
swasta tertarik berinvestasi, dapat tumbuh dan berkembang dalam membangun ekonomi riil.
Gambar 39. Rancangan implementasi komitmen stakeholders, kelayakan ekonomi dan kelayakan finansial
9.4.2. Rancangan Kelayakan Ekonomi Analisa Manfaat dan Biaya Analisis kelayakan ekonomi menggunakan metoda fuzzy- Multi-Expert Multi-
Criteria Decision Making fuzzy- ME-MCDM menghasilkan model evaluasi kelayakan ekonomi yang di disain. Model ini digunakan untuk menilai kelayakan secara kualitatif
terhadap alternatif manfaat dan biaya yang diperoleh dengan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat. Alternatif kelayakan ekonomi yang
digunakan, yaitu: 1 manfaat langsungdirect benefits, 2 manfaat tidak langsungindirect benefits, 3 manfaat tidak kentaraintangible benefits, dan 4 biaya
Penilaian Komitmen Stakeholders
Rancangan Implementasi Komitmen dan Kelayakan Perencanaan
Analisasi Kelayakan Ekonomi Analisa Manfaat dan Biaya
Kelayakan Finansial
NPV IRR
PBP
Net BC Ratio
Alternatif 1
Alternatif 2 Alternatif 3
Alternatif 4
Penilaian Kriteria Analisa Manfaat dan Biaya
Biaya Tidak Langsung
Terwujudnya Pengembangan Agroindustri Sapi Potong
Layak ?
Perencanaan yang di rekomendasi
Tinggi ? Analisa FUZZY NON NUMERIK
Analisa FINANSIAL
Tidak Direkomendasi
Ya Tidak
Ya Tidak
Manfaat Langsung Manfaat Tidak Langsung
Manfaat Tidak Nyata
tidak langsungindirect costs dengan kriteria-kriterianya. Hasil analisis diperoleh nilai kualitatif manfaat dan biaya dari evaluasi model kelayakan ekonomi.
Alternatif kelayakan manfaat langsung memiliki kriteria-kriteria, yaitu: 1 Kenaikan nilai hasil produksi sapi potong, 2 Meningkatnya mutu produksi, 3
Berkurangnya biaya operasional pemasaran, 4 Meningkatnya kapasitas produksi, 5 Meningkatnya ketersediaan bahan baku, 6 Menambah penyerapan tenaga kerja
lokal, 7 Meningkatkan tingkat pendapatankeuntungan, 8 Peningkatan investasi, dan 9 Peningkatan penggunaan tanahlahan. Kriteria alternatif manfaat tidak
langsung, yaitu: 1 Mendorong tumbuhnya industri-industri lain, 2 Bertambahnya nilai produksi industri-industri lain, 3 Meningkatnya kepercayaan berinvestasi, 4
Peningkatan pemanfaatan produk samping, 5 Peningkatan motivasi berusaha, 6 Mendorong meningkatnya inovasi teknologi, 7 Meningkatnya nilai lahantanah di
lokasi pengembangan, 8 Mendorong tumbuhnya jumlah stakeholders, dan 9 Menjadikan contoh lokasi pengembangan agroiondustri. Hasil pengolahan secara
agregasi kriteria-pakar dari analisis Multi-Expert Multi-Criteria Decision Making ME- MCDM menunjukkan manfaat langsung dan manfaat tidak langsung pada kelayakan
ekonomi dinilai lebih “Tinggi” dengan mengimplementasikan pengembangan agroindustri sapi potong di Sumatera Barat.
9.4.3. Rancangan Kelayakan Finansial Kriteria-kriteria yang digunakan dalam disain model kelayakan investasi
finansial dalam pengembangan agroindustri sapi potong, yaitu: Net Present Value NPV, Internal Rate Return IRR, Net Benefit Ratio Net BC, Pay Back Period
PBP. Model kelayakan finansial dengan analisa finansial digunakan pula untuk analisis sensitivitas dengan menggunakan berbagai asumsi. Model evaluasi kelayakan
finansial tersebut memberikan informasi kelayakan dari pembangunan dan pengembangan produk agroindustri sapi potong yang terpilih.
Hasil evaluasi model perencanaan menghasilkan asumsi kapasitas produksi untuk produk dendeng kering yang terpilih ditingkatkan dan tingkat suku bunga
diturunkan. Dengan asumsi semula menggunakan bahan baku sebesar 30.000 kg daging sapi ditingkatkan menjadi 60.000 kg daging sapi sebagai dasar perencanaan
kapasitas produksi yang akan digunakan. Diperoleh kapasitas produksi titik impas produk dendeng kering sebesar 25.212 kg per tahun berdasarkan biaya tetap, biaya
variabel dan harga jual BEP dendeng kering per kg.
Dasar kapasitas produksi yang digunakan adalah kapasitas produksi titik impas BEP yaitu 25.212 kg per tahun dendeng kering. Berdasarkan kapasitas terpasang 5
persen, 10 persen dan 20 persen di atas kapasitas BEP, harga jual dendeng kering untuk tingkat industri sebesar Rp. 175.000,-, Biaya bunga bank sebesar 12 persen dari
pinjaman bank sebesar 40 persen dari total biaya investasi, yakni sebesar Rp. 157.142.120,-, biaya tetap sebesar Rp. 85.896.467,- per tahun dan biaya variabel
sebesar Rp. 2.905.171.212,- per tahun, angsuran pinjaman selama lima tahun, setelah dikurangi biaya pajak PPh pasal 21 dan pasal 25 diperoleh NPV pada tingkat suku
bunga 12 persen, sebesar Rp. 6.177.642.886,- IRR sebesar 63,89 persen, Net BC Ratio sebesar 1,47, dan PBP selama 0,38 tahun. Kondisi tersebut memberikan
informasi bahwa pembangunan agroindustri produk dendeng kering secara finansial dinyatakan layak dikembangkan. Hasil analisis sensitivitas dengan skenario biaya
variabel keseluruhannya naik sebesar 47 persen atau harga jual dendeng kering turun sebesar 31 persen atau biaya variabel naik dan harga jual dendeng kering turun
sebesar 19 persen menunjukkan bahwa agroindustri dendeng kering secara finansial tidak lagi menguntungkan dan tidak layak untuk dilanjutkan.
9.5. Impelementasi Model Pemrograman AGRIBEST